Yantivia
Matahari bersinar terang ketika 20 mahasiswa beralmamater kuning turun dari bus yang membawa mereka dari Depok menuju daerah yang terletak di sisi timur kabupaten Boyolali. Mereka turun dari bus sambil membawa koper dan tas yang berisikan barang-barang pribadi yang mereka butuhkan selama masa KKN.
“Selamat sore, adik-adik mahasiswa!” sapa seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam dinas warna khaki. Pria tersebut menjabat sebagai lurah di desa Guli tempat 20 mahasiswa tadi akan melaksanakan KKN.
“Sore, Pak!” jawab mahasiswa serentak. Meskipun wajah mereka menyiratkan kelelahan setelah perjalanan kurang lebih 9 jam, mereka tetap berusaha ceria.
“Perkenalkan, nama saya Choi Siwon. Kalian bisa memanggil saya Pak Siwon. Saya adalah lurah di desa ini,” ucap pria paruh baya tadi memperkenalkan diri. “Di samping saya ini namanya Pak Shindong. Beliau adalah pemilik rumah yang akan kalian tumpangi selama dua bulan disini.” Tangan Siwon yang semula saling bertaut, ia regangkan untuk menunjuk Shindong yang berdiri di sampingnya.
Setelah dijelaskan banyak oleh Siwon mengenai peraturan menginap di kediaman Shindong, serta penjelasan dari mahasiswa KKN mengenai kegiatan yang akan mereka lakukan selama disini, akhirnya Siwon pamit undur diri karena ada kesibukan di balai desa. Ia pun mempersilahkan mahasiswa untuk beristirahat terlebih dahulu karena rencananya besok mereka akan segera melaksanakan program kerja tim dan program kerja individu, mengingat mereka berasal dari jurusan yang berbeda. Di desa Guli ini mereka dibagi menjadi 4 kelompok yang akan melaksanakan KKN di 4 dusun, yaitu Karanglo, Girang, Mangurejo dan Guli sendiri.
Rumah Shindong sendiri terletak di Karanglo –dusun paling barat di desa Guli-, yang terdiri dari dua lantai, memiliki dinding bercat hijau dengan dua tiang besar penyangga balkon. Mereka memutuskan untuk menggunakan lantai dua sebagai kamar para perempuan yang jumlahnya seimbang dengan laki-laki yaitu 10 : 10. Sementara lantai satu digunakan untuk kamar laki-laki, ruang tamu dan dapur. Sejak lima tahun lalu, rumah ini jarang ditempati oleh Shindong dan keluarga. Mereka lebih memilih tinggal di rumah orangtua Shindong yang tengah sakit-sakitan, yang hanya terletak di samping rumah lantai dua ini. Sebelumnya ada keluarga yang mengontrak disana, tetapi sudah satu bulan ini keluarga tersebut pindah ke Bandung karena dipindah tugaskan.
“Gue mau cari udara segar, lo pada mau ikut gak?” tanya seorang laki-laki berambut hitam legam dengan model potongan pendek berponi kepada teman-temannya yang sedang rebahan di lantai berlapiskan tikar.
“Panas-panas gini mau kemana lo?” tanya Dino tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
“Ke depan aja sih, lihat sawah,” jawab Mingyu, laki-laki tadi. Setelah beberapa detik tidak ada yang bergerak atau sekedar bersuara untuk ikut dengannya, akhinya Mingyu pun pergi seorang diri.
Hamparan padi yang menguning menyambut Mingyu yang baru saja keluar dari rumah Shindong yang memang bersebrangan dengan areal persawahan. Senyum takjub terpatri di bibir tipis milik Mingyu. Ia tidak akan menemukan pemandangan yang sama di Depok maupun di Jakarta tempat tinggalnya.
Kaki Mingyu melangkah menyebrang jalan yang sedang sepi. Ia duduk di pembatas parit dengan menghadap ke sawah. Saat sedang mengamati para buruh tani memotong padi, tak sengaja kedua matanya menangkap sosok perempuan berambut panjang yang dikuncir kuda sedang berjalan di pematang sawah dengan posisi membelakangi dirinya. Perempuan itu sedang membawa rantang di tangan kanan, serta teko di tangan kiri. Ia tampak kesusahan. Bocah laki-laki kecil yang berjalan di belakang perempuan itu bukannya membantu malah asyik merentangkan kedua tangan agar bisa menyentuh padi-padi yang belum dipotong.
Mingyu masih mengamatinya hingga perempuan itu tiba di tempat para buruh tani yang entah sejak kapan sudah menghentikan aktivitas memotong padi, dan kini mereka sedang duduk di bawah terpal. Perempuan itu membuka satu persatu rantang yang Mingyu pikir berisi lauk serta sayuran. Saat tiba-tiba perempuan itu membalikkan badan dan tersenyum, Mingyu tertegun. Meskipun ia tahu senyum itu bukan untuk dirinya, entah mengapa Mingyu merasa bahagia.
“Cantik,” gumam Mingyu.
Saat perempuan itu berjalan ke arahnya melewati pematang sawah, jantung Mingyu berdegup kencang. Dress terusan warna pink yang dipakai perempuan itu tertiup angin. Helaian rambutnya mencuat dari ikatan. Beberapa kali ia membenarkan letak cardigan panjang warna putih yang melorot dari pundaknya hingga menampakkan kulit putih bersih di baliknya. Entah mengapa Mingyu tak dapat mengalihkan pandangannya dari perempuan itu.
Semakin dekat, Mingyu mencoba mengalihkan pandangannya dari perempuan itu yang sepertinya tak sadar akan kehadirannya. Wajahnya fokus ke depan. Namun, tak urung kedua ujung matanya melirik perempuan tadi yang tepat melewatinya.
“Kakak mahasiswa yang tinggal disitu ya?”
Mingyu tersentak kaget akan pertanyaan tiba-tiba dari bocah laki-laki yang bersama dengan perempuan itu. Sambil sesekali melirik perempuan yang sedang mengulum senyum itu, Mingyu menjawab, “Iya, Dik.”
“Besok sore tolong ajarin aku sama teman-teman ngaji di masjid ya, Kak.”
Setelah berkata demikian, bocah laki-laki itu berlari menuju rumah bercat biru tua yang terletak di samping rumah Pak Shindong yang ia tempati, diikuti oleh perempuan tadi setelah menganggukkan kepala pada Mingyu, pertanda pamit undur diri.
“Loh, bukannya itu juga rumah Pak Shindong ya? Jangan-jangan—“ Mingyu terdiam.
~
Ketika para mahasiswa KKN sedang berdiskusi di ruang tengah lantai satu, seseorang mengetuk pintu yang memang sudah terbuka.
“Permisi, Kak,” ucap si pengetuk pintu yang ternyata seorang perempuan berkuncir kuda mengenakan rok motif bunga-bunga warna pink dengan panjang di bawah lutut, serta kaus polos pendek warna mustard.
Melihatnya, Mingyu tak mampu mengedipkan mata. Ia menatap lurus pada perempuan itu yang berjalan masuk mendekati mahasiswa yang sedang duduk melingkar.
“Ini ada titipan singkong goreng dari bapak, Kak, yang nyabut bapak sendiri tadi sore.” Perempuan tadi menyerahkan dua piring singkong goreng yang masih hangat pada mahasiswa perempuan yang duduk di ujung pintu.
“Makasih ya, Mbak,” jawab Yeojin setelah meletakkan piring di tengah-tengah mereka. “Mbak ini anaknya Pak Shindong?”
“Iya, Kak. Nama saya Jeon Hee Jin. Kakak-kakak semua bisa manggil Hee Jin aja.” Perempuan bernama Hee Jin tadi memperkenalkan diri dengan menyebut para mahasiswa dengan panggilan kakak, karena setau Hee Jin mereka berasal dari Depok yang mana orang lebih tua biasanya dipanggil ‘Kak’.
Ternyata tebakan Mingyu benar bahwa perempuan yang membawa rantang tadi sore adalah anak dari Pak Shindong. Itu berarti ia akan sering bertemu dengan Hee Jin –perempuan desa yang mampu membuatnya terpesona sejak pandangan pertama-.
Saat para mahasiswa sedang saling memperkenalkan diri dengan Hee Jin, tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang membawa sebaskom sayur bayam yang masih mengepul, disusul oleh bocah laki-laki yang membawa satu piring tempe goreng dan semangkuk kecil sambal bawang.
“Ini ibu masakin sayur bayam dan tempe goreng buat kalian. Maaf ya, cuma sederhana soalnya ibu mau kalian ngerasain makan enak versi Boyolali,” kata Yoona –istri Shindong- sambil menurunkan baskom berisi sayur bayam.
“Aduh Ibu, ngapain repot-repot, sih,” kata Jeon Wonwoo tak enak hati. “Kita mah nggak papa, Bu, makan apapun juga. Lagian ini udah enak banget, Bu. Gratis pula!”
Perkataan Wonwoo tersebut langsung disoraki oleh teman-temannya. Sementara Wonwoo hanya menggaruk kepala tanda tak merasa berdosa. Setelah berbasa-basi, akhirnya mereka pun makan bersama. Hee Jin, Ibu Yoona dan Chanyeol –adik Hee Jin- turut makan disana setelah dipaksa oleh para mahasiswa.
“Lo kenapa, sih, Mingyu, dari tadi ngelihatin Hee Jin mulu?”
Pertanyaan Woozi tersebut membuat Mingyu gugup. Ia yang sebelumnya diam-diam memandangi Hee Jin yang duduk di seberangnya, langsung menundukkan kepala. Berkali-kali ia menelan ludah, bingung akan menjawab apa. Sementara Hee Jin pun turun menunduk demi menyamarkan rona merah di pipinya.
“Gue—“
“Kalau suka sama Hee Jin, dekati orangtuanya!”
“Woahhh! Langsung lampu hijau!”
Suitan heboh menyambut perkataan dari Yoona yang mereka anggap sebagai kode untuk Mingyu. Malam itu pun berlangsung seru. Mereka kompak menggoda Mingyu dan Hee Jin hingga keduanya tak bisa berkutik.
~
Hari ini adalah hari Minggu ke dua dimana mahasiswa melaksanakan KKN di dusun Guli. Mereka tengah bersiap-siap menuju masjid tempat mengajar anak-anak TPA seperti yang biasa mereka lakukan setip hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Mingyu mengenakan baju koko warna navy dengan motif batik di tengah kancing yang dipadukan dengan celana kain. Ia bersama Yeojin, Jo Haseul, Wonwoo dan Hoshi Dino akan mengajar di Masjid At-Taqwa Karanglo. Kebetulan masjidnya tak terlalu jauh dari kediaman Shindong, jadilah mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja. Sementara kelompok lain yang kebagian KKN di desa Girang, Mangurejo dan Guli terpaksa mengendarai motor yang sebelumnya telah mereka kirimkan dari Depok melalui jasa ekspedisi.
Ketika Mingyu dan rekan satu timnya keluar dari rumah, di depan sudah ada Hee Jin dan Chanyeol yang menunggu. Hee Jin tampak anggun dengan dress batik warna navy dan kerudung segiempat yang senada dengan dressnya. Tak urung hal tersebut membuat Mingyu terpesona. Pasalnya, ia tak pernah melihat Hee Jin mengenakan kerudung sebelumnya.
“Kamu ikut mengajar, Hee Jin?” tanya Haseul sambil menyampirkan kerudungnya ke pundak kiri.
“Mbak Hee Jin memang mengajar TPA, Kak Haseul. Hanya saja kemarin-kemarin itu tidak berangkat karena menjaga embah di rumah sakit.” Chanyeol mewakili jawaban Hee Jin. Haseul dan teman-temannya pun mengangguk. Memang dua hari lalu saat mereka menjenguk ibu Pak Shindong di rumah sakit swasta di kota Solo, mereka melihat Hee Jin disana. Saat di rumah pun mereka hanya melihat Hee Jin pulang untuk mengambil beberapa barang, lantas pergi lagi.
Mingyu baru tahu jika Hee Jin mahir membaca al-qur’an. Perempuan itu mengampu anak-anak TPA yang sudah sampai tahap membaca al-qur’an. Mereka mengaji menggunakan microphone dengan cara bergiliran. Ketika sampai pada giliran Hee Jin, entah mengapa Mingyu langsung terdiam. Ia meresapi bacaan Hee Jin dan suara indah perempuan desa itu. Tiba-tiba Mingyu sadar bahwa kemampuan mengajinya masih jauh di bawah Hee Jin. Ia memang bisa membaca al-qur’an, tetapi belum terlalu mahir. Saat ini saja ia hanya dipercaya mengampu anak-anak yang masih jilid 4.
‘Mungkin aja jodoh gue nanti yang membantu gue menyempurnakan bacaan al-qur’an,’ gumam Mingyu.
~
Hari Minggu ini adalah hari terakhir mahasiswa salah satu universitas negeri di Depok melaksanakan KKN di desa Guli setelah dua bulan lamanya. Sebagai ucapan terimakasih, mereka mengajak Pak Shindong sekeluarga berlibur ke Bukit Gancik yang terletak di kecamatan Selo, Boyolali, tepatnya di lereng Gunung Merbabu. Karena jaraknya lumayan jauh dari tempat mereka, yaitu sekitar 45 kilometer, jadilah mereka memutuskan untuk menyewa bus.
Hawa dingin menyambut kedatangan rombongan mahasiswa KKN bersama keluarga Pak Shindong ketika bus memasuki area Selo. 1 kilometer ke atas, sampailah mereka di basecamp Gancik tempat parkir bus. Tanpa beristirahat terlebih dahulu, mereka langsung berjalan menuju bukit Gancik yang berjarak 600 meter dari basecamp. Tak lama kemudian sampailan mereka di gardu panjang bertuliskan ‘Gancik Hill Top’.
“Indah banget,” gumam Yeojin. Yang lain pun mengangguki. Dari atas gardu panjang ini mereka bisa melihat pemandangan rumah-rumah warga yang berjejer rapi, perkebunan sayur yang tampak segar dengan sistem terasiring, serta kemegahan Gunung Merapi. Tak menyianyiakan waktu, mereka pun langsung mengambil gambar dengan background pemandangan alam hijau serta langit biru yang berawan.
Sambil menunggu teman-temannya mengambil gambar, Mingyu duduk di kaki patung macan sebelah kiri yang memang dibuat untuk spot foto. Sementara di kanan ada Hee Jin yang duduk sambil mengamati kedua orangtuanya dan adiknya yang tampak gembira berfoto bersama.
“Kamu—“ jeda sebentar. Mingyu menelan ludahnya, gugup. “Udah lulus sekolah?” lanjutnya kemudian tanpa menatap mata Hee Jin.
“Aku lulus tahun ini, Kak. Tapi, aku mau libur satu tahun dulu biar bisa bantu bapak dan ibu di sawah,” jawab Hee Jin lengkap dengan senyum lebarnya. Ia tak tahu saja bahwa senyuman itu berefek buruk pada kecepatan detak jantung Mingyu.
Mingyu berdehem guna membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba gatal. “Kan bisa dibantuin sama buruh tani,” katanya.
“Iya sih, Kak.” Hee Jin menggoyangkan kakinya yang menggantung. “Selain itu, aku juga mau menghabiskan waktu bersama Chanyeol. Aku juga masih mau ngajar TPA. Kalau udah masuk kuliah kan mulai sibuk.”
“Kamu baik.”
Pujian spontan dari Mingyu tersebut membuat pipi Hee Jin merona. Bibirnya bergerak mengucap terima kasih tanpa suara, sebelum kemudian menundukkan kepala. Diam-diam Hee Jin memandangi Mingyu. Ketika Mingyu menoleh, Hee Jin cepat-cepat mengalihkan pandangan. Mingyu sendiri sibuk menetralkan detak jantungnya. Dalam hati ia merutuki dirinya kenapa bisa keceplosan. Meskipun begitu, Mingyu bersyukur bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
Ketika Hee Jin mengusapkan tangan di kedua lengannya, tiba-tiba sebuah jaket tebal warna hijau tentara menempel di pundaknya. Ia menoleh ke samping, melihat Mingyu yang duduk santai hanya berbalutkan kaus putih tipis, seolah-olah tak merasa kedinginan di ketinggian 1.850 meter diatas permukaan laut ini.
Tanpa genggaman tangan, tanpa pelukan, tanpa ciuman di kening, Mingyu dan Hee Jin seolah-olah tahu bahwa rasa yang mereka miliki tak hanya sekedar cinta sendiri.