cover landing

You're The Immune for My Soul

By zazahra


You know I want you

It’s not a secret I try to hide

 

KELANJUTAN lirik itu melesap dari jangkauan Orion saat fokusnya hanya tertuju pada satu suara yang terngiang di kepala. Suara itu semula terdengar ringkas dan cepat, lantas bagai sengaja dipelankan, temponya melambat. Namun, kian tegas.

Aku nggak bisa lanjutin hubungan ini, Yo.”

Orion mendadak tidak bisa merasakan denyut jantungnya. Rasa pening tiba-tiba muncul. Ia bahkan harus bersusah payah mengerjap, kemudian fokus sebaik mungkin agar pandangannya tidak kabur. Hanya demi memastikan bahwa perempuan berparas tegas namun elok yang tengah duduk di hadapannya—Clover—masih di sana. Sosok yang baru beberapa detik lalu melontarkan kalimat tak masuk akal padanya.

“Hah?” Orion merasa luar biasa tolol. Hanya satu kata itu yang berhasil ia luncurkan dari mulut kelunya. Memangnya ia bisa bereaksi apa lagi selain itu?

Setelah cukup merasa dungu, Orion mendengkus keras dan menurunkan cangkir kopi di tangan yang isinya baru ia sesap sedikit. “Penyakit calon manten nih pasti,” kekehnya geli. “Kenapa, sih? Kamu mendadak diserang gugup?” Orion mencondongkan tubuh dan menjawil ujung hidung Clover yang masih tampak memesona meski gadis itu menunduk. “Sayangku,” panggilnya dengan nada menggoda, menggunakan sebutan yang teramat jarang mereka terapkan satu sama lain. Meski sudah menjalin hubungan sedari SMA hingga kini mereka berusia seperempat abad, keduanya memang masih betah memanggil nama.

Saat Clover mengangkat wajah dan menatap Orion dalam diam, hawa dingin tiba-tiba membungkus tubuh pemuda itu. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dari tatapan Clover. Tidak ada keteguhan dan keceriaan di manik gadis itu. Romannya redup serupa cahaya remang dari kejauhan. Senyuman lebar yang kerap Clover beri saat mereka bersama, kini tidak tampak wujudnya. Orion tidak ingin meladeni firasat yang dengan lancang menghantui. Namun, saat ia melihat Clover melepaskan cincin bermata berlian yang baru diterimanya kemarin, sekujur tubuh Orion membeku.

“Aku nggak bisa, Yo.” Jemari lentik Clover meletakkan cincin ke meja, tepat di depan Orion. Ia menghela napas dan memasang senyum getir yang kentara. “Aku nggak siap.”

 

Nothing could keep us apart

You’d be the one I was meant to find

 

Tembang itu masih dilantunkan, tapi Orion sungguh tidak dapat berpusat pada lagu yang justru ia minta putarkan di kafe tempat mereka berada sekarang. Lagu tentang mereka. Milik mereka. 

“Nggak siap?” bisik Orion. Ia menatap cincin dengan nanar, lantas menarik pandangannya pada Clover yang membalas tatapannya tanpa ragu. Bukan ketegasan semacam itu yang Orion inginkan. “Kamu nerima lamaran aku kemarin, Clo. Kamu ngebiarin aku masang cincin ini di jari kamu. Kamu bahkan langsung telepon Kak Ry. Minggu depan keluargaku udah siap ke rumahmu buat lamaran.” Orion tidak ingin mengakui ini, tapi ada kegetiran di suaranya yang bergetar. Bagaimana tidak. Ucapan Clover sungguh di luar nalar. Orion tentu tidak akan lupa seperti apa reaksi kekasihnya itu kemarin, saat Orion mengajaknya menikah. Mereka sepakat melakukan lamaran bersama keluarga minggu depan. Orion tahu tidak hanya dirinya, tapi Clover pun sudah siap dengan rencana mereka. Lantas kenapa gadis itu tiba-tiba berkata demikian?

Clover menyelipkan helaian rambutnya yang bebas dari ikatan ke balik telinga. Iris hitam legamnya sejenak melirik ke arah jendela, pada jalan malam Braga yang ramai. Pemandangan pejalan kaki yang merekatkan jaket mereka meyakinkan Clover bahwa mereka memilih tempat duduk yang tepat di dalam ruangan. Namun, Clover tidak merasa hangat sama sekali. Ia merasa menggigil. Kedua tangannya yang berada di pangkuan bahkan saling menjalin seolah ingin menghasilkan kehangatan, atau sekadar memberi kekuatan.

“Maaf, Yo.” Clover kembali menatap Orion yang tidak menanggalkan pandangannya barang sedetik. Ujung lidah Clover membasahi bibir. “Kupikir aku siap. Tapi setelah aku pertimbangin, aku belum bisa, Yo.”

“Belum bisa apa, Clo?” desak Orion. Ia mengusap wajahnya sesaat. “Clo, aku kenal dan pacaran sama kamu dari SMA. Kamu yang kemarin, yang nerima cincin aku adalah kamu yang sebenarnya. Kamu yang ini—“ Orion diam sejenak demi meneguk liur. “Ini bukan kamu,” tegasnya. Orion yakin ia melihat keputusasaan di mata Clover, dan sejenak tadi maniknya bergetar oleh ucapan Orion. “Kenapa, Clo? Cerita sama aku! Bilang, ada apa?” pintanya. Sungguh, Orion tidak pernah merasa segamang ini.

“Kamu nggak lupa status aku, kan?” timpal Clover pelan namun tegas.

Orion mengernyit hebat. Sayup, telinganya masih menangkap lagu “Rewrite the Stars” yang disenandungkan James Arthur dan Anne-Marie. Sial. Seharusnya mereka mendengarkan lagu ini sambil saling menguatkan, bukan sebaliknya. Orion tahu hidup mereka barangkali tidak akan mudah. Itulah sebabnya ia ingin mengembalikan Clover pada sebuah momen kebersamaan mereka, ketika gadis itu mengkhawatirkan banyak hal, dan lagu inilah yang menemani mereka hingga melahirkan sebuah tekad, bahwa mereka akan menjalani segala hal berdua.

“Kita udah ngomongin ini, Clo,” tegas Orion lembut. Ia menatap Clover lekat-lekat, mencurahkan seluruh rasa yang dimiliknya terhadap gadis itu. “Aku nggak peduli kamu apa atau bagaimana. Aku sayang sama kamu, Clo. Selama kamu mau jalanin hidup ini berdua, aku bisa laluin apa pun.”

“Termasuk hujatan?”

Orion mengusap wajahnya sekali lagi. Pintu di belakangnya berdenting, menandakan seseorang masuk.

“Aku udah pernah dihujat, Clo. Kamu lupa?”

“Ini bakal beda, Orion.”

“Hujatan tetap hujatan. Nggak ada yang beda.” Orion menggeleng yakin. “Aku pernah laluin itu, dan aku bisa laluin lagi, asal sama kamu.” Demi Tuhan, apa yang harus Orion katakan demi menumpas pikiran buruk di kepala Clover dan mengakhiri sorot letih dan gusar di mata gadis itu? “Clover....”

“Termasuk kalau keluarga kamu yang dihujat?” sela Clover, membungkam Orion. “Ibu kamu? Kakak  dan adik kamu? Kamu bisa laluin itu, Yo?”

Kebisingan di kafe senyap sempurna. Suara Clover bermain-main sekali lagi di kepalanya. Orion mematung sementara wajah keluarganya terbayang nyata. Hawa panas menyelimuti tubuhnya. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Sesaat, keraguan bergumul di dada, lantas ia tepis begitu saja.

“Clo, aku tahu siapa kamu sebelum kita mulai pacaran. Aku tahu apa yang bakal kita laluin kalau sama-sama. Kalau aku nggak siap, aku nggak akan bertahan sampai titik ini. Kalau keluargaku nggak siap, mereka nggak akan merestui hubungan kita.”

“Kamu yakin mereka merestui, Yo?”

Tanya itu memantik kejengkelan Orion. Ia mengatup mulutnya rapat.

“Kamu yakin ibu, kakak, dan adik kamu ikhlas kamu nikah sama aku?”

“Clover—“

“Kamu mungkin siap, Yo. Tapi mereka belum tentu siap punya keluarga ODHA.”

Pernyataan itu sesaat bagai menghentikan degup jantung Orion hingga menyulitkannya menarik napas, sebelum akhirnya ia mengerjap dan seluruh rasa ngeri juga perih kembali menghunjamnya.

Clover membasahi bibirnya yang bergetar. Ia menunduk sejenak, lantas mengarahkan tatapannya kembali pada Orion. Wajah pemuda itu pucat pasi.

“Kita mungkin bisa jalanin ini, Yo. Tapi keluarga kamu belum tentu,” getir Clover seraya menahan desakan air mata. “Aku nggak bisa ngeliat mama kamu diomongin orang, Yo. Atau kakak kamu. Adik kamu. Aku nggak bisa, Yo.”

“Clo—“

“Aku nggak mau mama kamu terpaksa nunjukin wajah gembira di depanku, tapi nangis diam-diam. Bagaimanapun, mama kamu pasti pengin kamu nikah sama cewek yang sehat, Yo.”

Orion menggeleng kuat-kuat. “Mama tahu aku pengin nikah sama kamu, Clo,” lirih Orion nyaris putus asa.

“Tapi kamu juga tahu apa yang mama kamu pengin, kan, Yo?”

Kalimat itu membungkam Orion. Perbincangannya dengan sang ibu beberapa hari lalu melintas, juga raut wajah beliau yang tidak ingin Orion akui, tidak satu suara dengan ucapannya. Karena sesungguhnya Orion tahu, meski wanita yang telah membesarkannya itu tersenyum dan merelakannya menikahi siapa pun yang ia inginkan, ada luka yang begitu kentara dari sorot matanya. Pedih, yang jika bisa tidak ingin Orion sadari.

“Kamu tahu, Yo....”

Suara Clover mengembalikan focus Orion pada kekasihnya. Mereka tak lagi bicara, hanya saling menatap seolah ada suara batin yang terucap.

“Pelan-pelan pasti bisa, Clo. Aku cuma minta satu. Kita perjuangin ini sama-sama.”

“Kenapa harus berjuang sih, Yo? Seharusnya jalan kita mudah, kan?”

“Clover—“

“Susah, Yo,” sela Clover seraya tersenyum miris. “Kita nggak berjodoh.”

Orion menyugar rambutnya keras. “Ini apa-apaan, sih, Clo? Ngapain kita usaha sampai sini kalau mau udahan?”

 

But I can’t have you

We’re bound to break and my hands are tied

 

Saat lirik itu terdengar sebelum akhirnya hilang, Clover tahu ia tidak perlu memberi jawaban. Lagu itu pernah menjadi penguat mereka saat membayangkan masa depan. Clover ingat mereka saling menautkan jemari dan bertekad menjalani semuanya bersama. Nyatanya, sebatas rasa dan niat tidak cukup menggenapi kebahagiaan mereka jika mengancam ketentraman hidup orang lain.

Clover menarik napas panjang. Ia harus lekas pergi. Pertahanannya mulai runtuh.

Orion mendongak saat Clover mendorong kursinya dan bangkit.

“Mau ke mana?”

“Kita udah selesai, Yo. Cincin itu...,” Clover mengerjap dan menghela napas, “cincin itu bukan buat aku. Aku yakin ada cewek yang tepat buat kamu kasih cincin itu.”

“Clo—“

“Salam buat keluarga kamu, ya. Sesekali aku bakal main ke rumah, kok.”

Orion buru-buru berdiri dan menahan tangan Clover saat gadis itu hendak pergi.

“Kamu nggak mau berjuang sama aku, Clo? Kita udah sejauh ini.” Orion menarik sebelah tangannya yang bebas dan menangkup satu sisi wajah Clover. Dingin. “Aku sayang kamu, Clo.”

“Aku juga, Yo.” Clover melepaskan genggaman Orion dan menjauh demi mengakhiri sentuhan tangan pemuda itu di wajahnya. “Tapi kita emang nggak bisa sama-sama, Yo.”

Clover menutup pertemuan mereka dengan seulas senyum lirih, sebelum meninggalkan Orion yang terpaku.

“Yo, lo yakin pacaran sama gue?”

“Kenapa emangnya?”

“Gue positif HIV, Yo.”

“Terus?”

“Lo mungkin bakal nyesel.”

“Satu-satunya yang bakal gue sesali adalah kalau gue nggak perjuangin hak lo masuk sekolah lagi setelah dikeluarin karena lo seorang ODHA, juga kalau gue lepasin tangan lo sekarang. Gue sayang sama lo, Clo, dan gue nggak main-main.”

Saat denting pintu terdengar, beriringan dengan berakhirnya laju kenangan obrolan Orion dan Clover di masa lalu, setitik air mata mendarat turun. Orion lekas menunduk, menyembunyikan raganya kembali di kursi yang menghadap jendela.

Berakhir, Clo? Orion mendongak. Ia menarik napas panjang dan tersenyum miris.

“Semua udah berakhir, Clo?”

***