cover landing

You're Expired!

By Finkfink


Kata orang, rahim wanita ada masa kedaluwarsanya. Seperti susu low fat yang akan basi, jika sudah dibuka, tetapi tidak segera dimasukan ke kulkas. Bagai produk yang diproduksi, lalu diberi label expiry date pada kemasannya. Nantinya susah punya anak kalau terlalu lama menikah, melahirkan di usia senja sangat berisiko, dan masih banyak lagi ucapan yang mendukung semua fakta itu.

Menjadi wanita tidaklah mudah, mereka harus seperti Valentino Rossi. Bedanya, pembalap itu berlomba di sirkuit, sedangkan kaum hawa berbalapan dengan waktu. Tak peduli seberapa bahagianya kau menikmati kesendirian, masyarakat sekitar akan memandangmu rendah bila belum juga berkeluarga saat umur sudah menginjak angka tiga. Miris memang, namun begitulah hidup. Ada yang dikomentari dan ada yang berkomentar.

Suara ketikan terdengar dari kubikel yang terletak di sudut ruangan. Tumpukan dokumen yang belum ia periksa masih banyak, dan semuanya harus diselesaikan hari ini juga. Ah … betapa wanita itu membenci akhir bulan. Closing; laporan penjualan, merekap semua faktur, dan mengirimkan semua data itu ke bagian akunting tepat waktu. Jika saja ia memiliki Doraemon, maka semua pekerjaannya akan selesai dalam hitungan detik. Andai saja ….

Wanita itu terlalu sibuk dengan komputer, hingga tak menyadari seorang wanita yang tengah berdiri di sampingnya. Suara dehaman wanita itu membuyarkan fokusnya, ia menoleh dan menemukan Putri tengah bersedekap sembari menatapnya datar.

“Mau apa?”

Meeting, Ra. Meeting!” ucap Putri penuh penekanan.

“Gue nggak ikutan, Put. Mau closing, nih!”

Wanita itu berdecak sebal. “Semua orang juga sibuk, tapi ini kan udah tugas kita. Sebagai pihak penyelenggara family gathering tahun ini, kita harus lebih semangat, Ara. Lu yang notabene panitia abadi pun udah semestinya aktif!”

Panitia abadi, Mbahmu! Rutuk Ara dalam hati.

“Gue udah nyariin hotel, minta surat penawaran, dan nyiapin semua yang dibutuhin panitia akomodasi. Sekarang, tinggal meeting sama pihak hotel aja, harus banget ada gue?” Ara menatap sinis wanita di sampingnya.

“Ya lu tahu sendiri, tahun ini lebih banyak anak baru. Mereka belum pernah nangani acara kantor kayak gini, Ra. Nggak ngertilah anak-anak itu.”

Ara memutar kedua bola mata. Yang benar saja! Jika hal semudah ini tak bisa ditangani, maka bagaimana mereka semua bisa diterima di perusahaan tempatnya bekerja?

“Ya kalau begitu, ini saatnya mereka belajar,” ucap Ara acuh.

“Belajar juga harus ada gurunya, Ra. Masa nggak mau berbagi ilmu lu sama mereka? Lu kan udah sangat berpengalaman.”

“Kasih waktu setengah jam, nanti gue ke atas.” Ara menyerah, tak ada gunanya berdebat dengan Putri. Wanita itu nantinya akan mengejek gelar ‘panitia abadi’ Ara,  jika terlalu banyak menolak. Mengeluarkan segala ultimatum tentang betapa berpengalamannya Ara dalam mengatur event tahunan, dan  membuatnya merasa miris dengan diri sendiri.

“Nggak sia-sia lu menyandang gelar ‘panitia abadi’, Ra.”

“Sekali lagi lu ngomong gitu, gue bubar jadi panitia!”

Putri menggerakkan tangan di udara dan terkekeh-kekeh pelan. “Ampun, Nyai. Sebenernya, ada enaknya lu masih single. Lihat sisi positifnya, Ra. Tiap tahun bisa jadi pantia karena belum nikah.” Putri mengeluarkan tampang sok bijak yang membuat Ara ingin segera menerkam wanita itu.

“Sisi positif dari Hongkong!”

Wanita single berumur tiga puluh tahun selalu lebih sensitif, dibanding wanita yang galau karena tidak menerima kabar dari kekasih mereka. Percayalah!

Putri tertawa. Bukan bermaksud mengejek seniornya yang tak kunjung menikah, ia hanya suka membuat Ara kesal. “Ditunggu ya, Ra,” ujarnya beranjak pergi.

Ara mendengkus kesal, lalu kehilangan semua semangat kerja. Diperhatikannya pigura di meja yang memiliki gabungan beberapa foto berukuran kecil. Tujuh lembar dengan beberapa orang dan seragam berbeda, yang artinya sudah tujuh tahun berturut-turut ia menjadi panitia.

Sudah menjadi tradisi di perusahaan, para single-lah yang harus menjadi pihak pelaksana acara family gathering. Ia menikmati tahun pertamanya saat menjadi bagian dari acara itu, lalu tahun kedua. Namun, tidak di tahun ketiga, saat beberapa teman sesama panitianya sudah menikah dan menyebabkan dirinya diteror dengan pertanyaan ‘kapan nikah?’.

Setiap tahun, ia akan bertemu dan bekerja sama dengan orang-orang baru dari bagian lain. Namun, dirinya bagai kandidat abadi dari bagian admin sales yang kerap terpilih menjadi tim pelaksana acara. Menyedihkan memang, apalagi tahun ini ia akan berusia tiga puluh tahun. Ya Tuhan … rasanya ingin dikubur hidup-hidup aja.

Ara menyingkirkan semua dokumen yang tadi berada di depan dan menyatukannya di samping. Ia akan mengerjakan semuanya setelah mengeluarkan taringnya di meeting hari ini. Ia ingin para pemula itu tak bergantung padanya, dan membuatnya merasa menjadi sesepuh dalam hal yang tidak bisa dibanggakan. Salahkan saja Putri yang merusak mood-nya.

Siap-siap kalian semua!

***

Sebulan telah berlalu pascameeting terakhir bersama pihak hotel. Hari H pun tiba. Acara family gathering yang telah disusun masak-masak, tinggal dilaksanakan. Ara sudah membagi list pekerjaan pada rekan sesama panitianya, sementara ia memastikan proses check-in di resepsionis berjalan lancar.

Dikejar closing dan mengurus event bukanlah hal yang menyenangkan, akan tetapi ia berhasil melalui itu semua. Beruntung, para karyawan baru di perusahaannya begitu cepat tanggap, hingga tak perlu berdebat sambil marah-marah saat membagi tugas pada mereka semua. Ia harus meminta pensiun dari acara seperti ini, tak peduli tahun depan sudah menikah atau belum. Ia tak ingin menjadi panitia lagi, dan menerima ejekan yang membuatnya kesal setengah mati. Walau bernada bercanda, tetap saja hatinya tak terima.

“Mbak Ara, kita check-in jam berapa? Di sini kan tulisannya jam dua, udah pasti jam segitu?” Gilang menghampiri dan memperhatikan list yang tengah dipegangnya.

“Ini gue lagi mastiin, Lang. Lagian, kan peserta lain masih medampingi lomba anak-anak sambal makan siang. Santai aja.”

“Iya sih, Mbak.” Lelaki itu tertawa kecil sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Mbak Ara mau nungguin kunci aja di sini, atau mau gue gantiin? Mbak makan siang aja dulu.”

Ara menggeleng. “Nggak usah. Lu ke meja pengambilan kunci aja. Biar gue yang ngurus di sini.”

Lelaki itu tak bisa menolak, dan pergi meninggalkan Ara. Ara mengonfirmasi pesanan kamarnya dengan staf hotel, meminta pihak penginapan memastikan mereka bisa masuk ke kamar tepat waktu. Acara itu diadakan di puncak, perjalanan dari Jakarta ke hotel ini cukup jauh, hingga Ara tahu betapa peserta membutuhkan kamar untuk beristirahat. Apalagi mereka yang membawa anak-anak.

Ara memandang sekeliling. Menatap iri potret keluarga bahagia di sekitarnya, menutupi semua perasaan itu dengan kesibukan menjadi panitia. Walau bagaimanapun, ia adalah wanita yang memiliki impian sama dengan sebagian kaum hawa di dunia ini: menikah dan membangun keluarga bahagia.

Menit demi menit berlalu, Ara yang sudah mendapatkan kunci kamar, segera berjalan ke ballroom, tempat acara makan siang berlangsung. Ia menghampiri rekan kerjanya yang berjaga di meja pengambilan di sudut ruangan, kemudian membagikan kunci pada mereka. Seorang dari mereka memanggil peserta untuk mendekat, sementara Ara tak melakukan apa pun selain duduk sembari mengamati.

Lomba anak-anak masih berlangsung di area dekat panggung. Permainan mudah, seperti: memindahkan kelereng, mewarnai gambar, dan juga kuis-kuis mudah menghiasi acara. Beberapa orang dewasa memilih duduk di kursi-kursi yang disediakan sambil menikmati santap siang. Ramai, namun Ara merasa kesepian. Mungkin iri, atau terlalu lelah dengan pekerjaan yang membuatnya merasa seperti itu. Ia tak tahu.

“Ara,” panggilan yang disertai tepukan di bahu membuat Ara menoleh ke belakang punggung. Ia berdiri, tersenyum, lalu menjabat tangan wanita paruh baya itu. Bu Ajeng, istri dari Pak Romi, manajer bagian admin sales.

“Apa kabar, Bu?”

“Baik, dari tadi Ibu cariin loh.”

Ara tersenyum salah tingkah. “Jadi malu, ampe dicariin gitu.”

Bu Ajeng menepuk pelan lengan Ara. “Nggak berubah. Kamu masih sama seperti saat pertemuan pertama kita. Udah berapa lama ya, Ra?” wanita paruh baya itu tampak berpikir.

“Tujuh tahun, Bu. Waktu saya baru jadi panitia dan Pak Romi ngenalin kita. Setelah itu, ibu udah jarang ikut ke acara family gathering kantor.”

Ajeng tersenyum sembari mengangguk-angguk. “Nah iya, udah lama banget ya, dan kamu masih setia aja jadi panitia. Kapan nih, Ra?”

“Nunggu dilamar Brat Pitt, Bu.”

Ajeng terkekeh-kekeh dan menepuk lengan Ara untuk yang kesekian kalinya. “Jangan mengkhayal mulu, Ra. Nggak bosen apa jadi panitia mulu. Ibu ada kenalan, nih. Mau Ibu bantuin?”

Beberapa tahun belakangan perbincangan dengan Ajeng selalu berujung acara perjodohan, bahkan Pak Romi pun sering menyampaikan pesan dari istrinya itu kepada Ara secara langsung. Tentu saja Ara menolaknya mentah-mentah. Hari gini dijodohin? Yang benar saja!

“Nggak perlu, Bu. Saya udah ada calon, kok.”

Ajeng semringah. “Beneran? Ibu tunggu loh undangannya.”

Ara mendadak keringat dingin. Calon dari Hongkong. Toh, saat ini ia tak dekat dengan pria mana pun. “Iya, Bu.”

“Ya udah, Ibu nyari Bapak dulu. Tadi katanya sih dia mau ngambil kunci kamar. Nanti kita ngobrol lagi, ya!” ucap Ajeng berlalu pergi. Ara tersenyum sembari mengangguk pelan.

Mati … nyari calon dari mana?

Tidak ingin banyak berpikir, Ara pun kembali membantu sesama rekan panitia. Membagikan kunci, menceklis daftar kegiatan, dan memastikan semua pekerjaan berjalan mulus.

Setelah istirahat beberapa menit di kamar masing-masing, acara dilanjutkan dengan tim bulding. Permainan-permainan interaktif berhadiah membuat semua peserta bersemangat, namun tidak untuk panitia yang hanya diperbolehkan menonton.

Acara berlanjut hingga senja berpulang, dan langit mulai menggelap. Semua orang diberikan waktu beberapa menit untuk membersihkan diri, lalu harus mengikuti gala dinner. Bukan hanya sekadar menyantap makanan. Namun, ada acara yang berlangsung di sana, seperti: musik, lomba bernyanyi untuk para karyawan, dan juga pembagian doorprize.

Sehabis menyantap makan malam, Ara memutuskan berjalan ke kolam renang hotel dan mencari udara di sana. Mungkin saja, semua rasa penatnya bisa menghilang.

Kolam renang yang terletak tidak jauh dari ballroom tampak sepi, airnya tampak berkilau berkat pantulan cahaya bulan. Ara terpesona akan pemandangan itu, hingga memilih duduk pada kursi di pinggir kolam dan menikmati kesendiriannya. Setidaknya hanya di sinilah batinnya merasa tenang.

Apa salahnya lambat menikah? Seharusnya, orang-orang tak sibuk memikirkan dengan siapa ia mau beranak cucu, dan lebih mengurusi hidup mereka sendiri. Namun, beginilah manusia. Kepo akut.

Pandangan Ara teralihkan begitu mendengar derap kaki yang mendekat. Tidak perlu menunggu waktu lama hingga lelaki itu berdiri tepat di sampingnya. Lelaki itu mengatur napasnya yang terengah-engah, lalu menunjuk Ara dengan jari telunjuknya.

“Kamu … ikut saya sebentar!” Belum sempat Ara menolak, lelaki itu sudah menarik tangannya.

“Eh, kamu siapa?” Ara bertanya sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu. “Lepasin, atau saya teriak!”

Lelaki itu tak peduli. Ia meminta Ara bersabar dan mengikuti langkahnya. Mereka berhenti tepat di depan pintu ballroom utama yang berada tidak jauh dari tempat acara perusahaan Ara berlangsung.

“Ini mau ngapain?” Ara menepis kasar tangan lelaki itu.

“Aku mohon, ini hanya sebentar saja,” ucap lelaki itu memelas. Mereka saling berpandangan untuk beberapa menit, dan seketika pintu di hadapan mereka terbuka.

“Biru … akhirnya datang juga,” ucap seorang wanita dengan pakaian formal, wanita itu menatap keduanya secara bergantian. “Ini calon istri yang lu bilang?” lanjut wanita itu.

Ara terkejut setengah mati, belum sempat membela diri, mulutnya sudah dibungkam oleh tangan lelaki bernama Biru. Ara menatap marah lelaki itu, namun Biru tak peduli. Ia malah tersenyum manis pada Ara.

“Nggak usah ceritain semuanya, Sayang. Maaf ya, aku baru bawa kamu ke acara keluarga,” ucap Biru cengengesan. 

Ara menatap kesal lelaki itu, meminta Biru segera melepaskan tangannya dari mulut Ara. “Please … bantu aku. Nanti aku akan mengabulkan apa pun yang kamu minta,” bisik Biru pelan.

Ara dapat melihat keputusasaan di manik mata lelaki itu. Mungkin, lelaki itu bernasib sama dengannya. Ia tahu benar, bagaimana rasanya tertekan karena status yang tak kunjung berganti. Ara mengangguk pelan. Perlahan Biru melepaskan tangannya.

Wanita di hadapan mereka menatap keduanya curiga. “Kalian beneran pasangan, atau ini cuma akal-akalan Biru?”

Ara tersenyum, memeluk lengan Biru mesra dan berkata, “Ini siapanya kamu, Sayang?”

Wanita itu terdiam. Mengamati keduanya yang saat ini tengah berpandangan sembari bertukar senyum. 

“Ini sepupu aku, namanya Lena. Lena kenalin ini calonku ....”

Sial! Lupa nanya namanya siapa.

Ara yang mengerti gelagat lelaki di sampingnya itu segera mengulurkan tangan. “Arani. Call me Ara.”

Lena menyambut tangan Ara. Ia menarik keduanya masuk dan bergabung ke acara. Mereka berkeliling, berkenalan dengan sanak keluarga Biru, dan Ara mendadak keringat dingin begitu dikenalkan kepada kedua orangtua lelaki itu. Harus seekstrem inikah sandiwara yang ia ikuti?

“Arani, ada nama panjangnya?” tanya wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu Biru. Wanita bernama Intan itu menggenggam erat tangan Ara, kebahagiaan terlukis jelas di wajahnya.

“Nggak, Tante. Hanya Arani.”

“Nama kamu, secantik orangnya.”

Ara tersenyum malu. Dalam mimpi sekalipun, ia tak pernah berharap dikenalkan pada seluruh keluarga lelaki yang baru dikenalnya. Apalagi lelaki itu berkata, jika ia adalah calon yang selama ini dipertanyakan seluruh keluarga. Tidak seharusnya Ara memulai permainan ini, namun apa daya, ia tak bisa memperbaiki kesalahannya sekarang.

Obrolan santai menghiasi acara makan malam. Ara dikenalkan pada pengantin perempuan yang ternyata adalah adik Biru, Bulan. Semua keluarga Biru tampak bahagia, seakan Ara adalah keajaiban yang selama ini ditunggu-tunggu. Wanita itu merasa bersalah dan juga tertekan, namun harus bertahan. Hanya untuk saat ini dan esok mereka akan kembali menjadi dua orang asing.

Getaran pada ponsel mengintrupsi pembicaraan. Ara meminta izin mengangkat panggilan, ia berjalan ke jendela dekat meja mereka, dan dirinya ditarik paksa ke alam nyata. Panggilan dari Gilang yang memintanya segera hadir ke ballroom untuk acara pembagian doorprize mengembalikan akal sehatnya. Ara tak mampu menyembunyikan kepanikannya.

“Kenapa?”  bisik Biru yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya.

“Aku lupa kalau lagi ada acara juga di hotel ini.”

Biru mengangguk. Ia menarik Ara kembali ke meja. “Ma ... Pa ... dan semuanya. Maaf, kami pulang duluan ya. Keluarga Ara ada yang datang ke rumahnya, jadi dia harus segera pulang.”

Ara tersenyum, mengikuti permainan Biru. “Maaf, saya nggak bisa lama-lama. Om ... Tan ....”

“Nggak pa-pa, Sayang. Kirim salam buat orangtuamu dan jangan lupa main ke rumah,” perkataan Intan seakan menampar pipinya, membuatnya kembali tersadar jika sandiwara mereka bisa saja berlangsung untuk waktu yang lebih lama lagi.

Ara mengangguk, menyalami semuanya, lalu beranjak pergi keluar bersama Biru. Sesampainya di luar ballroom, Ara segera menepis kasar tangan Biru.

“Udah cukup sandiwara bodoh ini. Semuanya akan berakhir sekarang juga!” Ara menggertakkan gigi dan menatap Biru kesal.

Baru saja Biru hendak membuka mulut. Seseorang memotong pembicaraan mereka.

“Eh .... Ara ... ke mana aja dari tadi?”

Entah kesialan apa yang menghantuinya. Mengapa bisa berturut-turut semua kebetulan menghancurkan hidupnya. Ara menoleh ke sumber suara. Romi dan juga Ajeng berjalan ke arah mereka. Refleks, Ara kembali memeluk mesra lengan Biru, sebagaimana Ajeng menggandeng suaminya.

“Maaf, Bu. Ada urusan tadi.” Ara tersenyum kikuk. “Bapak dan Ibu mau ke mana? Acaranya kan belum selesai.”

“Selagi nggak bawa anak-anak. Kami mau pacaran dulu, Ra. Nggak mau kalah sama yang muda,” ucap Ajeng sembari tergelak. Ia melirik Biru.

“Ini calon yang kamu bilang ke Ibu tadi? Kok, bisa di sini juga?”

Matilah!

Biru tersenyum dan segera mengulurkan tangannya pada Ajeng. “Kenalkan, Bu, Pak. Nama saya Biru, calonnya Ara.” Biru menyalami keduanya.

“Kebetulan keluarga saya lagi ada acara di sini, Bu. Jadi, tadi kami ketemuan sebentar.”

Ara terkejut dan menatap tak percaya lelaki di sampingnya. Mengapa ia ikut memainkan permainan yang sama?

Ajeng tampak bahagia dan segera menggenggam tangan Ara. “Ternyata beneran ada calon, ya. Ibu kira, kamu bohong biar nggak dicariin jodoh sama Ibu.”

Ara tersenyum kaku. “Iya, Bu.”

Ia tak bisa mengelak lagi. Tentu saja, permainan ini menguntungkan dirinya juga. Ia akan terbebas dari acara perjodohan Ajeng, tatapan miris rekan-rekan kerjanya, lalu bisa sedikit bernapas lega bila orang memberikannya undangan pernikahan dan menanyakan haruskah mereka menuliskan kata "dan partner" di bawah nama Ara. Keuntungan besar.

“Ya udah, Ibu nggak mau gangguin lagi. Have fun dan jangan lupa undangannya.” Ajeng mengedipkan sebelah mata, lalu keduanya berlalu pergi.

Ara menarik rambut frustrasi. Mengapa hanya dalam semalam hidupnya bisa hancur total seperti saat ini? Mengikuti permainan yang nantinya pasti akan mempersulit hidupnya. Ya Tuhan ... semoga saja semua ini tak berlanjut.

Ara hendak melangkah pergi, namun Biru mencegahnya dengan menarik pergelangan tangan Ara. “Mau apa lagi?” tanya Ara kesal.

Biru tergelak, semakin menambah tingkat emosi Ara. “Bahagia ngerjain aku?”

Biru menghentikan tawanya. ‘Maaf ... maaf ... aku nggak bermaksud begitu.” Lelaki itu mengulurkan tangan pada Ara. “Namaku Biru Sanjaya. Kita belum kenalan secara resmi, kan?”

Ara menatap datar lelaki di hadapannya. Amarahnya memuncak, namun ditahan agar tak meledak di tempat itu. Ia tak ingin mempermalukan dirinya, juga mempermalukan lelaki itu. Ara menyambut tangan Biru.

“Arani,” ucapnya singkat.

Tangan keduanya terlepas. Biru lagi-lagi tersenyum. “By the way ... makasih banyak untuk malam ini.”

Ara terpaku. Ia pikir, lelaki itu adalah si pemaksa yang tak tahu caranya berterima kasih. Lagi-lagi ucapan "jangan menilai buku dari sampulnya" ada benarnya. Biru tak seburuk itu.

“Sama-sama. Makasih juga untuk yang tadi.”

Keduanya mengangguk dan bertukar senyum. Mereka bertatapan dalam hitungan menit. Sedetik kemudian, Ara mengangkat tangan di udara dan mengucapkan kata "bye". Biru melakukan hal yang sama. Keduanya saling membelakangi dan melangkah pergi.

Begitu banyak pertanyaan yang bermain di benak keduanya, namun tak ada yang berani memperpanjang apa yang terjadi malam ini. Terlalu lelah hati dan pikiran, hingga mereka tak mau lagi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang semakin mengacaukan fungsi otak.

Siapa sangka, dalam semalam hidup seseorang bisa hancur, dan keesokan harinya harus kembali ke dunia nyata dalam keadaan kalut. Keduanya berharap, tidak ada lagi sandiwara yang harus dimainkan. Mereka hanya perlu menulis adegan penutup dan semuanya akan kembali normal. Setidaknya, itulah yang dipikirkan keduanya untuk saat ini. 

***