cover landing

You, Wounded Healer

By Fiieureka


Di dunia ini, tidak ada yang abadi, termasuk sesuatu yang bernama Rahasia.
~Fiieureka

***&***

Liverpool, Inggris, 2017

“Kau seharusnya ingat umur, Ta!” Aileen memulai ceramah pagi di hari pertama Februari.

“Kau tahu alasanku masih enggan menikah, Bi,” sahut perempuan berambut cokelat gelap yang tengah menyambar sekotak susu segar dari tangan Aileen. Setiap dua hari seminggu, mereka memang kedatangan seorang kurir susu sapi segar.

Kakak perempuan ipar daddy-nya itu menghela napas dalam-dalam seraya menatap perempuan semampai itu. “Cobalah cari pasangan, lalu menikah, Ta! Itu bisa menghilangkan rasa takutmu,” ucapnya lembut.

Greta setengah memicing dan menyorot protes perempuan yang memakai shift dress biru tua dan putih di balik mantel hitam. Membenarkan posisi tali foldover purse bag yang melintang di dada, ia berujar, “Bagaimana kalau ternyata itu akan memperburuk keadaanku?”

“Kau bisa mencobanya dulu. Jangan karena otak yang terlampau encer, lalu kau terus-terusan mengejar karier seperti ini.” Aileen meneliti penampilan Greta; slim white blazer suit dengan dua kancing hitam di dua sisi blazer dan mantel abu-abu sebagai pelapis. Tatapannya seolah menyalahkan Greta yang siap berangkat kerja.

Entah sudah berapa kali telinga perempuan hampir berkepala tiga itu mendengar kalimat yang intinya sama saja—suruh segera menikah. Rasanya, Greta ingin membantah habis-habisan. Paman dan terutama Bibi tidak tahu semenderita dan setersiksa apa ia menghadapai kekacauan yang ditorehkan oleh daddy-nya. Mereka memang ada saat ia terpuruk, tetapi bukan berarti tahu semua sampai ke isi hati, kan?

“Kau tahu? Tidak semua laki-laki seperti Yasa, Ta.” Aileen belum lelah membujuk.

Greta menyandarkan punggung pada salah satu pilar bercat putih dan berbentuk hexa di luar rumah yang menjulang tinggi dari permukaan tanah hingga lantai atas. Ia menyisir rambut tergerainya. "Stop talking about him! OK?”

“Fine, but you should stop blaming the past! Could you?”

Itu terdengar seperti ultimatum keras bagi Greta yang di dalam dada mulai terasa bergemuruh. Menegakkan tubuh, matanya berkilat pada Aileen. “Bibi mudah berkata seperti itu. Aku lebih baik sendiri karena orang tua meninggal daripada harus ditinggal sendiri karena mereka bermasalah dan akhirnya pisah, Bi. Kalau saja waktu itu aku tidak segera operasi, mungkin aku tidak akan pernah melihat jejak perlakuan tidak manusiawi Daddy pada Mama.”

“Jadi, kau menyesal?” tanya Aileen setengah kecewa.

Greta membalas tatapan itu dengan penuh keyakinan dan mengangguk. “Bukankah sudah berulang kali aku mengatakannya?”

Aileen membuang wajah. Matanya terarah pada jutaan butir salju yang menyelimuti permukaan tanah sejak Desember. Tangan kirinya menyeka peluh yang merembes tipis di pori-pori dahi. Ya, itu efek endogen yang timbul akibat percakapan cukup panas ini.

“Kenapa aku cepat mendapatkan donor mata, sih?! Seharusnya, siapa pun orang itu ... memberikan matanya pada pasien yang sudah lama mengantre di daftar penerima donor mata,” keluh Greta dengan emosi hampir tidak terkendali.

“Kau seharusnya bersyukur, Greta Ventura!” gertak Aileen gemas. “Kau tidak berhak menyalahkan pendonor atau siapa pun itu. Kami susah payah mencarikannya untukmu, tahu?”

Perempuan itu memejamkan mata dan menghirup oksigen yang terasa begitu membeku ketika melewati saluran napas. “Untuk kesekian kali, aku merasa menyesal. Mata ini membuatku menyaksikan hal menyakitkan, Bi. Bahkan Mama berubah menyedihkan. Tidak seperti yang terakhir kulihat sebelum buta.”

Bayangan kelam masa remaja yang pernah terlupakan langsung menyergap. Membuatnya bungkam dan meringis pedih dalam hati. Ia tidak kuasa membuka suara untuk sementara waktu karena hanya akan tergantikan oleh air mata. Dan seperti biasa, ia tidak ingin sisi rapuhnya dilihat oleh Bibi. Cukup di masa-masa itu saja Paman dan Bibi menyaksikannya.

Berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan, netra bening Greta terpaku tajam pada iris abu-abu di hadapan. Ia dapat menangkap sorot kecewa, marah, serta iba dari sepasang bola mata Aileen. Namun, itu tidak menggoyahkan.

Ingin sekali Aileen mendaratkan telapak tangannya pada pipi mulus Greta dengan kencang. Berharap dengan begitu, perempuan keras kepala tersebut sadar atas ucapannya. Sayang, itu hanya terealisasikan di dalam bayangan.

Ia paham betul bahwa Greta tidak sepenuhnya salah. Ada sesuatu yang tidak diketahui Greta sehingga dirinya setengah memaklumi.

“Kau tidak pantas menyalahkan mata itu.” Aileen menunjuk objek yang dimaksud. Dengan menahan gelombang amarah, ia lanjut berkata, “Apa kau tidak sampai memikirkan orang yang sudah rela mendonorkan mata untukmu, ha?”

Greta memicing dan mengerutkan dahi. “Memangnya, orang itu siapa? Bukankah identitas si Pendonor dirahasiakan? Bibi maupun Paman Ahmed juga tidak tahu, kan, Bi?”

Aileen serta merta mengatupkan bibir rapat-rapat seraya menarik kedua sisi mantel supaya tubuhnya lebih tertutup sempurna.

“Oh! Atau jangan-jangan ....”

Mata mengerjap dua kali, lalu menyahut, “Siapa pun itu, tidak penting. Yang penting adalah kaubisa menghargai mata yang kaumiliki sekarang. Kau harus menjaganya baik-baik, ingat itu!”

Greta bukan anak kecil atau orang yang mudah dibodohi. Dari ekspresi barusan, dirinya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Kecurigaannya mulai timbul.

“Sudah, sana berangkat!” pinta Aileen sebelum berbalik dan hilang di balik pintu mahogany cokelat besar berornamen.

***&***

Percakapan yang Mengganjal

“... terus-terusan mendengar anak itu mengeluhkan keadaannya, Med. Bisa hipertensi lebih cepat aku.”

“Bagaimanapun juga, kita tetap tidak bisa memberi tahu anak itu yang sebenarnya.”

Greta yang baru saja menginjak lantai dua dan melintas di depan kamar besar suami-istri itu mendengar lirih, tetapi jelas. Karena penasaran, ia urung meneruskan langkah ke kamarnya dan memutuskan pasang telinga diam-diam. Pintu putih besar itu terbuka sekitar dua jengkal sehingga memudahkannya menangkap setiap gelombang suara.

Ia melongok sedikit dan melihat Ahmed sedang merapikan kaus hijau lumut yang baru saja melekat di badan. Sementara itu, Aileen tengah duduk di sofa panjang berwarna krim dengan posisi memunggungi pintu. Meneliti sekilas raut wajah pamannya, ia menangkap atmosfer serius.

“Apa tidak ada cara untuk memberi tahunya? Sampai kapan dia akan hidup seperti ini? Dia sudah cukup tua untuk terus tumbuh bersama traumanya, Med.”

Dalam waktu singkat ini saja, perbincangan dua orang berusia setengah abad lebih itu menarik kuat penasaran Greta. Bahkan sampai mampu membuatnya lupa akan lelah akibat bekerja di ruang operasi selama 11 jam tadi.

Greta ingin tertawa geli, tetapi tidak terima karena dinilai sudah tua. Memangnya, usia akhir dua puluhan itu sudah tergolong tua, ya?

Sweety, trauma itu tidak pandang bulu dan usia. Siapa pun bisa mengalami. Tingkat kesembuhannya juga berbeda-beda. Jangan samakan!” sahut Ahmed berkata bijak. Ia duduk di samping istrinya. “Dia juga sudah pernah kita bawa ke psikiatri dan dinyatakan sembuh.”

“Sembuh katamu?” tukas Aileen kurang setuju.

“Kata dokter waktu itu,” koreksi suaminya dengan tenang.

Ibu satu anak itu menghela napas. “Kalau sembuh, tentu dia sudah menikah.”

Sweety, setidaknya, dia menjalani hidup normal sekarang.”

“Dengan masih menyalahkan keadaan?” timpal Aileen tajam. Ia membuang wajah ke kiri sehingga anting pendulum hitamnya bergerak-gerak.

Greta tahu, tidak kali ini saja paman dan bibinya selisih paham. Dan hal yang selalu menjadi bahan adu mulut adalah seputar dirinya. Ia dapat melihat arah mata angin berlawanan di antara dua orang tersebut.

Jika sedang seperti ini, perasaan Greta tidak enak. Ia sudah menjadi beban hidup bagi Ahmed dan Aileen sejak belasan tahun lalu. Juga menjadi pemicu keributan di rumah ini. Setiap mengingat hal itu membuatnya kerap merasa tidak nyaman.

Ingin rasanya Greta pergi, menjauh dari paman dan bibinya. Namun, ia belum tahu ke mana harus melangkah. Dirinya belum menemukan tujuan yang jelas.

Ahmed melingkarkan lengan di bahu Aileen dan mengusap-usap lembut. “Selain itu, dia sendiri yang meminta dirahasiakan identitasnya. Lagi pula, dia sudah pergi. Greta tidak akan bisa menemuinya lagi.”

Aliran darah di dalam tubuh Greta berdesir. Tangan kanannya langsung beralih dari pintu ke dada. Ia merasa jantungnya terasa lari dari rongga dan lenyap ketika mendengar kalimat terakhir tersebut. Memalingkan kepala dari ruang kamar, ia menerawang entah ke mana. Arah pandangnya tertuju pada lantai marmer yang sebagian tertutup karpet berpola oriental klasik.

Wah! Pembicaraan macam apa ini? Siapa yang dimaksud mereka?

Pertanyaan itu terus berputar di kepala hingga mengaburkan pendengaran akan percakapan mereka selanjutnya.

Apakah mungkin—ah, tidak! Greta menggeleng, lantas beranjak menuju kamar sendiri.  

***&***

“Dokter Emma, terus periksa tekanan darahnya!” pinta seorang laki-laki berusia 31 tahun yang memimpin operasi pukul 11.00 a.m. Ini menjadi tugas terakhir sebelum waku kerja mereka selesai hari ini.

“Siap,” jawab sang Dokter Anestesi.

Tangan kanan Alby terulur ke samping. “Scalpel (pisau bedah).”

Greta selaku asisten dokter bedah tersebut segera mengambil sebuah alat untuk disodorkan pada Alby. Namun, laki-laki itu tidak segera menerima. Ia mendongak dan menatap mata cokelat terang rekan kerjanya.

“Fokus, Dokter Greta!” Netranya melirik alat berbentuk pipa panjang.

Perempuan itu segera paham akan kode tersebut. Ia sadar yang diambil adalah irigator (alat semprot untuk membersihkan luka), bukan alat yang sesuai permintaan.

“Sorry,” sahutnya seraya lekas mengganti dengan benda yang dimaksud.

Selama hampir 2 jam mengoperasi pasien UGD yang beberapa waktu lalu mengalami perdarahan akibat udara di paru-paru yang menekan jantung, Greta mati-matian memusatkan pikiran pada apa yang tengah mereka kerjakan. Dalam hati merutuk karena percakapan Ahmed dan Aileen dua hari lalu masih terngiang jelas hingga membuatnya tidak tenang. Ada sesuatu yang sangat menghantuinya. Entah apa itu, dirinya belum tahu pasti.

Ah! Haruskah dirinya mencari jawabannya?

Begitu operasi selesai, Alby keluar lebih dulu untuk menemui wali pasien. Sementara itu, Greta dan beberapa perawat langsung membawa si pasien ke ICU untuk mendapatkan treatment.  Greta menghela napas sedalam-dalamnya setelah tugasnya selesai. Ia gegas keluar dari ruangan untuk menuju ruang terbuka. Dirinya butuh udara segar.

“Kau terlihat mengenaskan,” cemooh seorang laki-laki berlesung pipi begitu berhasil menyusul Greta.

Perempuan itu mengibaskan tangan di depan wajah seraya berlalu. Alby yang merasa diabaikan pun terus mengekor.

“Ayo, pulang! Kau butuh istirahat.” Alby melirik perempuan yang kini sejajar dengan langkahnya.

“Aku akan mengecek pasienku lebih dulu sebelum pulang.”

Mereka masuk bersama, lalu berpisah di lantai empat belas. Alby sempat berucap akan menunggu Greta di dalam kantor sebelum keluar dari liftGreta mengangguk sebelum pintu tertutup. Dirinya perlu naik dua lantai lagi untuk ke bangsal jantung.

Sekitar 15 menit kemudian, perempuan itu sudah tiba di ruangannya. Ia melihat Alby sudah menanggalkan pakaian operasi dan digantikan oleh setelan kasual berupa kemeja putih dilapisi black sweater tanpa lengan. Ada sebuah mantel hitam yang tersampir di bahu kokohnya.

“Would you come to Chinatown?” tawarnya diiringi alis yang naik-turun.

Perempuan itu terkekeh-kekeh lirih. Sahabatnya ini memang tahu apa yang ia butuhkan. Tanpa pikir panjang, ia mengangguk. Setelahnya, ia pamit ganti pakaian sebelum mereka benar-benar meninggalkan salah satu rumah sakit elite yang terletak di jantung kota Liverpool ini.

Mereka menaiki bus menuju Liverpool Lime Street, lalu diteruskan berjalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai di 48 Nelson Street, Liverpool, Merseyside L1 5DN. Itu adalah lokasi di mana sedang ada perayaan Imlek. Mereka dapat menikmat hal berbau Cina; barongsai, kembang api, hingga berbagai macam jajanan khas Cina.

“Pasti ada yang sedang mengganggu pikiranmu.” Alby mengutarakan unek-unek yang sejak tadi ditahannya.

Greta menghentikan langkah di antara para pejalan kaki yang berlalu lalang di sekitar gerbang masuk setinggi kira-kira 13,5 meter. Beberapa atapnya berwarna merah, hijau, dan emas. Mendongak, mata jernihnya tertuju pada ukiran naga pada struktur kayu dan marmer dengan campuran emas yang ada di atas gerbang.

“Entahlah! Ada hal yang sepertinya harus kucari tahu,” sahutnya, lalu menoleh sejenak.

“Tentang ...?” Alby menoleh dan menatap ingin tahu lebih.

Greta menarik bibir ke atas seraya menaikkan bahu. “Aku sendiri belum tahu pasti,” tanggapnya kemudian.

Alby mengangguk samar seraya mengalihkan pandangan ke sekitar. Ia berpikir sesaat, lalu kembali bertanya, “Apa ada sesuatu yang terjadi lagi di rumah sehingga menganggu pikiranmu?”

Greta tersenyum simpul dan kedua tangannya bersedekap di dada. Seraya meneruskan jalan ke arah barongsai yang sedang beraksi, ia menjawab, “Kemarin kudengar Paman dan Bibi membicarakan tentang pendonor mataku lagi.”

Alby langsung menjepit leher Greta menggunakan lengan kiri. Dengan santainya, ia berseru, “Kau pasti menguping!”

Greta menyodok perut Alby menggunakan siku kanannya. Ia mendongak untuk menghadiahi tatapan tajam. Alhasil Alby yang peka dengan ekspresi tersebut pun menjauhkan lengan dari lehernya.

“Aku sengaja,” aku Greta setelah mengubah raut wajahnya ke mode normal lagi. “Kau tahu, kan? Setiap kali mereka membicarakan itu, aku merasa tidak nyaman. Entah sudah berapa kali kuberpikir untuk hidup sendiri, tetapi niatku sampai saat ini belum bulat.”

Alby sangat tahu itu. Gadis yang mencuri hatinya sejak mereka duduk di bangku kampus itu sudah melalui hal berat sejak berusia 15 tahun.

“Apa pun rencanamu nanti, pastikan beri tahu aku.”

Yeaah, masih kupikirkan itu,” sahut Greta santai. Pandangannya tertuju pada kerumunan beberapa meter di hadapan. Pertunjukan barongsainya sudah dikelilingi banyak sekali pengunjung.

“Oke, terserah. Semoga kau segera mendapat pencerahan.” Alby lantas menarik kedua bahu perempuan di sebelah kirinya hingga berhadapan. Ia merapikan syal hijau tua yang melilit leher Greta. “Namun, yang pasti ... kuharap kau tetap dapat fokus selama bekerja denganku. Aku tidak mau ada masalah di hari-hari terakhirku di Royal Crown Hospital,” ucapnya enteng.

Mata upturned Greta melebar. “What are you talking about?” Ia menahan lengan kanan Alby yang masih terulur sejajar dengan bahunya. Ia menuntut jawaban jelas lewat sorot mata.

Alby tersenyum, lalu menurunkan kedua tangan. "I'll back to Indonesia in three days.”

“What?! You're kidding me, aren't you?” Perempuan itu memelotot tidak percaya.

Laki-laki keturunan Tionghoa muslim itu terbahak melihat reaksi Greta yang menurutnya berlebihan, tetapi dirinya senang. Ia melingkarkan lengan ke bahu perempuan tersebut sementara tangan yang bebas menepuk-nepuk puncak kepala di sampingnya. ”Hi, you'll miss me much, huh?” godanya.

“Aargh!” Greta meloloskan diri dari kungkungan itu. Dengan wajah kesal, ia berkata, “It's not funny, Saskiadi Alby.”

“I'm serious, Baby. But, calm down ... we'll meet again. I'll be back or you'll come to there maybe.”

Greta meringis sebal, lalu menonjok pelan perut roti sobek Alby. ”I'm not your baby and I mad to you,” ujarnya sebelum berlalu dengan langkah cepat.

“Why?”

Greta balik badan dan mengarahkan jari telunjuk ke laki-laki berwajah tanpa dosa itu. ”Why are you only saying that now?!” Ia setengah teriak.

Alby tersenyum miring mendengarnya. Ia memangkas jarak antara mereka sekitar 3 meter. Tepat di hadapan perempuan itu, ia berkata, ”Because, I don't want to make you sad.”

“You must be kidding. I don't believe you. Bullshit!” Greta mulai meracau sembari menampakkan wajah masam.

“Sorry, Babe.” Alby setengah menyesal karena baru mengatakannya sekarang.

Greta mendengkus. Sembari berjalan untuk berbaur dengan penonton barongsai, ia menggumam, “You make me terrible.”

Alby menahan lengannya. Ia merasa tidak nyaman dengan wajah Greta saat ini. “Sorry, but I'm serious.” Alby meyakinkan, lalu menepuk-nepuk puncak kepala Greta. “Kau bisa tanyakan pada Mama.”

Greta merespons lewat kerutan dahi.

“Rumah sakit Mama kerja sedang membutuhkan dokter bedah. Jadi, aku mengirim lamaran ke sana. Seminggu yang lalu aku mendapat panggilannya,” terangnya.

Greta mendengkus. “Jadi, kau akan meninggalkanku,” ucapnya dengan nada rendah.

Alby berat hati meninggalkan Greta. Namun, sudah waktunya ia kembali ke Indonesia. Detik ini yang bisa ia lakukan adalah mengusap-usap kepala Greta.