cover landing

Yang Disesali Sebelum Hari Ini

By Dibatezal


Dunia Nyata

“Pak, saya mau cetak apa? Bisnis lagi sepi. Maaf, ya.”

Syamsul Basri menjauhkan gawai pipih putih dari telinganya, lalu menarik napas panjang. Slamet adalah calon pelanggan ketujuh yang dihubunginya hari ini, tetapi sama saja seperti yang lain, mereka tidak berminat untuk order di tempat kerja barunya, sebuah jasa printing kain. Setelah pandemi banyak bisnis kecil yang tidak berkembang. Dengan lemas Basri berjalan menyusuri trotoar, mengikuti suara azan yang memanggil, sambil menghadap Ilahi, mengadu dan meminta. Sepertinya ia akan dipecat sebentar lagi. Basri sudah bekerja tiga bulan, tetapi baru closing dua kali, itu pun hasilnya amburadul.

Tiga bulan sebelumnya Basri sempat tersenyum semringah, setiap lewat mejanya, bos selalu tersenyum dan menyapa Basri dengan ceria. Hingga suatu saat sebuah musibah tak bisa Basri cegah. Bosnya keluar dari ruangannya yang dibatasi dinding kaca, berjalan cepat dengan muka memerah seperti kepiting. Lalu berhenti di depan mejanya.

“Kamu ini kok kerja enggak beres! Pelanggan pesan model A kok yang dikasih file yang lain! Yang benar, Basri!!” Bosnya yang berbadan tambun berteriak di kuping Basri. “Saya mempekerjakan kamu biar usaha saya jadi untung! Bukan buntung kaya sekarang!”

Lalu, ia pergi meninggalkan Basri yang menunduk.

Pegawai marketing dan administrasi lain melihat lalu saling berbisik. Tubuh Basri lemas. Ia terduduk dan membaca arsip yang dilempar ke mejanya barusan. Keringat dingin perlahan keluar dari pelipisnya.

Padahal closingan pertama ini mendarat di pekan pertama Basri bekerja, bukan pesanan kecil, partai besar! Dia sudah membayangkan akan menjadi kesayangan bos kalau begini. Para senior mulai mencibir karena pegawai baru langsung dianakemaskan. Hanya satu bulan berjalan, plot twist terjadi. Kesalahan pertama ada di pihak pemesan yang tidak mengisi formulir secara benar, kesalahan kedua dan fatal, Basri tidak melakukan konfirmasi.

Basri menutup mata dan  berusaha mengingat-ingat. Lalu, setelahnya ia memukuli kepala. Basri hampir menangis, kalau saja ia tidak sadar waktu itu sedang ada di mana.

Lengkap sudah kesalahannya menjadi kerugian. Seribu lembar sleeve berbahan satin salah pesanan teronggok di gudang. Basri pun harus mengganti rugi dengan meminjam uang ke rentenir. Siapa lagi yang mau menerima pinjaman dari seorang pengusaha gagal dan karyawan marketing masih kontrak dan dalam masa percobaan? 

Entah musibah atau apa, closingan kedua gagal. Pelanggan malah berpindah ke produsen lain gara-gara Basri terlalu fokus memperbaiki kesalahan di closingan pertama.

“Ya Allah, aku masih yakin semua yang Engkau berikan kepadaku adalah cobaan yang harus aku lalui. Mohon, beri kesabaran untukku, anak-anak, dan istriku agar tabah menjalaninya.”

Setelah salat Basri berbaring di musala sambil memandangi langit-langit. Ia tahu takdirnya akan segera datang, ia pasrah.

“Kau akan tetap bersamaku, kan, Allah?” Basri tersenyum, ada damai bersemayam dalam hatinya. Tak ada sesal. Ia tahu yang datang adalah yang terbaik.

***

     Hari itu datang, tiga hari kemudian Basri harus hengkang dari tempat kerjanya. Tak mendapatkan tunjangan, gaji pun dipotong. Ia meminta maaf kepada istrinya, sambil menangis di pangkuan Angel. Wanita itu hanya tersenyum sambil mengelus-elus rambut Basri.

“Maafkan, papa enggak bisa memberikan nafkah yang layak ke Mama, maaf sudah melakukan banyak kesalahan hingga hidup kita sengsara seperti ini.”

Angel mengangkat kepala suaminya, menaruh kedua telapak tangannya di kedua pipi Basri. “Ih, Papa gitu, deh. Siapa bilang mama sengsara?”

Jawaban serta senyuman tulus istrinya membuat Basri otomatis memberikan senyuman lega. Batinnya seakan disiram. Sejuk, seperti air dari kulkas.

Akan tetapi, sore harinya beberapa preman penagih utang datang mengobrak-abrik rumah Basri, Basri dipukuli, dan Angel hanya bisa menangis. Para penduduk sekitar kemudian datang melerai.

“Ya ampun Basriiiii, Angeeeelll kasihan kalian.” Bu Laila, istri Pak RT datang menjenguk setelah penduduk sekitar melerai dan mengusir para preman. Beberapa di antara mereka membantu Angel membereskan rumah sedang Basri masih terkapar di kasur.

“Basri! Pak RT mau perbaikin teras, kalau udah sembuh, mau kerjain?” tanya Bu Laila.

Basri terdiam, lalu mengangguk dengan antusias. “Tapi, Kang Harman gimana? Biasanya dia yang suka bantu-bantu.”

“Kang Harman kan lagi bantuin bangun rumahnya si Engko, ibu udah nunggu dari dulu, tapi masih belum sempet.”

Basri mengangguk-angguk antusias. “Makasih, Bu.”

Bu Laila mengangguk, lalu keluar, menyapa Angel dan anak-anak Basri yang baru pulang dan terlihat syok.

“Terima kasih, ya Allah.” Basri kembali bersyukur.

Malamnya Basri tergugu sambil terduduk di balik pintu kamarnya. Dari luar lirih terdengar isakan sang istri, Angel, yang sedang memohon kepada Sang Pencipta.

"Allah, jangan biarkan kami terus bertahan dalam kefakiran ini sehingga datang kekufuran dalam hati kami. Bukannya kami tak ikhlas dan tak bersyukur menerima rezeki dari-Mu, tapi ...." Lalu isaknya runtuh bagaikan air bah.

Suami mana yang hatinya tak sakit mendengar keluh-kesah istrinya. Ibaratnya sebuah tumbuhan yang dicabut dari tempatnya untuk hidup bersama. Bukankah seharusnya akar dan sinar matahari yang lebih bagus seharusnya diterima? Bukan duka dan lara, tercekik utang-piutang, berjalan tanpa tujuan bagaikan di labirin besar tanpa akhir? Namun, Basri sudah berupaya keras. Hanya hasil tak juga berpihak kepada mereka.

Sang kekasih hati memasuki kamar, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, lalu meringkuk membelakangi Basri. Sang suami menunggu beberapa saat, hingga waktu mendekati pukul empat. Istrinya sudah terlelap, kini gilirannya yang 'meminta', dengan sabar, seperti hari-hari lainnya.

***

Hari telah berlalu, setelah beres merenovasi teras Bu Laila, Basri memakan nasi bungkus yang disediakan. Padahal sudah diberikan dari pukul 11 siang. Namun, Basri malah bersikukuh menyelesaikan kerjaannya dan istirahat hanya untuk salat saja.

“Nah, gitu Basri. Dimakan, dong!”

Bu Laila duduk di hadapan Basri sambil memegang sebuah amplop.

“Kagok, Bu RT. Tinggal sedikit lagi, enggak bisa makan puas kalau masih kepikiran. Hari ini hari terakhir.”

“Kamu, memang!” Bu RT tertawa sambil memperhatikan Basri yang makan dengan lahap. “Basri, istrimu katanya mau kerja di rumah ibu, bantu-bantu gitu, boleh, ya?”

Basri terdiam, mulutnya yang berisi tidak bergerak, terbuka saja.

“Yaa, sampai kamu dapat pekerjaan lagi, kasihan kan anak-anak.” Perempuan berusia 55 tahun itu tersenyum tulus.

Basri membalas senyuman Bu RT. Tidak apa-apa, Basri. Lalu mengangguk, meski sepertinya ada sesuatu yang menohok hati. Syukurlah azan Ashar mengumandang, cairan bening yang sedari tadi ditahannya tak jadi merangsek keluar dari mata.

“Saya pamit, Bu. Kalau ada apa-apa, panggil aja.”

Bu RT turut berdiri, berterima kasih sambil menyelipkan amplop di tangan Basri. Lelaki setinggi 170 cm itu berjalan sambil memandangi tangannya. Sedari dulu ia memang tidak ingin istrinya bekerja keras apalagi menjadi pembantu rumah tangga. Selama dirinya masih kuat bekerja, hal itu tidak pernah dibiarkannya. Ia merasa sangat lemah. Basri menghentikan langkahnya, menengadah memandang langit.

“Tolong aku, ya Allah!” pintanya dengan penuh penghayatan.

Tak lama, sebuah pesan dari temannya datang.

Jaka: Bas, ketemuan yuk! Gua traktir.