cover landing

Wrong Direction

By maulabronte


Mungkin aku terlalu naif, kelewat bodoh, bucin nggak ketulungan, or you name it. Meninggalkan keluargaku di Surabaya agar bisa tinggal di kota yang sama dengan Reihan, lelaki yang sudah berpacaran denganku selama delapan tahun. Yes, delapan tahun! Sudah mirip mencicil KPR, meskipun selama delapan tahun itu kami sering putus nyambung. Dan, hubungan kami setahun belakangan ini tidak berjalan mulus sejak Reihan pindah ke ibu kota.

Gelapnya langit Jakarta dan rintik-rintik gerimis menemani perjalananku menuju kantor. Sepertinya awan mendung gemar mengikuti ke mana aku pergi seolah mengerti benar apa yang kurasakan. Kuembuskan napas kuat-kuat ketika bus jurusan Ragunan-Blok M yang kutumpangi sebentar lagi berhenti di Taman Kemang. Aku memakai baseball cap sebelum turun dari bus, di luar masih gerimis sedangkan aku tidak membawa payung.

Dengan sedikit berlari, aku masuk ke dalam kafe Tanamera, menepuk-nepuk lengan yang tertutup blazer, titik-titik air gerimis sudah merembes masuk ke dalam kulit, aku butuh sesuatu yang hangat, and I need caffeine in my system.

Sebelum memesan, kukeluarkan ponsel dari dalam tote bag, mengetuk layarnya dengan jari telapak tangan yang lain, melihatnya menyala dengan setiap ketukan. Tak ada balasan chat sama sekali dari Rei, hanya pesan dari Mama dan Aurel. Aku mendesah, memasukkan kembali ponsel dalam tote bag, lalu memeriksa arloji di pergelangan tangan kiri, dua menit lagi menuju pukul sembilan, dan aku tahu dalam dua menit aku akan terlambat. Aku dan HRD perusahaan menentukan akan teken kontrak pada pukul sembilan pagi ini sebelum aku memulai pekerjaanku.

Ingin mempertimbangkan untuk meninggalkan kafe atau pergi langsung ke kantor. Tapi, yah, mungkin aku akan menggunakan alasan klasik ‘macet’ bila ditanya nanti, lagi pula HRD yang melakukan wawancara bilang jam kantornya fleksibel.

Aku memesan hot vanilla latte to-go dan langsung membayarnya. Tanpa menunggu lama, pesananku selesai dengan cepat. Keluar dari kafe, kuteruskan langkah kaki ke jalan Taman Kemang yang mengarah ke Kemang Village, hingga tiba di Graha Anugrah. Aku tersenyum saat security gedung menyapa. Ketika aku melangkahkan kaki untuk menaiki tangga menuju lobi, entah mengapa, aku mendadak gugup. Sampai di depan pintu otomatis yang terbuka lebar, aku mengembuskan napas untuk sedikit meredakan kegugupanku, menghirup oksigen sebanyak mungkin. Baru tiga kali melangkah masuk ke dalam lobi gedung, lenganku disenggol dari belakang, otomatis cup vanilla latte yang kupegang berguncang hingga cairan di dalamnya merembes keluar dari tutupnya. Aku tidak bisa mentolerir rasa sengat panas cairan kopi yang mengenai kulit tanganku hingga refleks menjatuhkan cup kopi itu ke lantai, dan yang paling menyebalkan cipratan kopi dari kibasan tanganku sekarang membuat percikan noda di bagian depan blus putih yang kukenakan.

“Holy shit!” umpatku kesal.

“You okay?” Sebuah suara yang dalam membawa perhatianku pada pria yang menjulang di sebelah kanan. “Sori, tapi saya lagi buru-buru banget, ada bug yang harus saya selesein cepet.”

Aku menoleh, dan saat mata kami bertemu, pria—yang katanya buru-buru ini menatapku dengan dahi berkerut dalam. Ia mengenakan kaus polo hitam dan jin hitam, menggendong tas ransel yang juga berwarna hitam, dan di tangannya pun … entah jaket atau hodie—yang warnanya sama, hitam. Saat aku menunduk, ia malah menurunkan posisi kepalanya ikut menunduk untuk sekedar menatapku.

“Sepertinya kamu familiar,” gumam pria itu. “Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” Pria itu bertanya sementara aku mengibaskan tanganku yang kecipratan kopi, sebelum aku bersuara, ia berkata lagi. “Tapi, sori banget, saya nggak bisa gantiin kopi kamu sekarang dan baju kamu kotor.”

Aku menggertakkan gigi dengan jemari mengepal-ngepal. “Saya nggak berharap dulu pernah bertemu orang yang suka nabrak orang seenaknya. Dan menurut kamu, baju saya kotor karena siapa?!” Aku meluapkan kesal.

Pria beralis tebal dengan tatapan mata tajam itu tak menggubrisku, ia malah mengalihkan pandangannya ke pintu kaca sebuah kantor dengan tulisan The Velvet Dept HQ. Oke, jangan bilang kalau pria-serba-hitam ini bekerja di kantor yang sama denganku.

“Bangsat!”

Sial, siapa pula yang berani memaki dengan nada nyaring seperti itu di pagi hari begini?

Aku berjengit kaget saat suara cempreng seorang perempuan bermata sipit entah datang dari arah mana menepuk pundak pria itu. “Ngapain di sini? Masuk, yuk!”

Oh, Bangsat means Bang Sat? Jadi nama pria itu Sat?

Pria itu meninggalkanku begitu saja ketika perempuan dengan suara cempreng yang memanggilnya Bang Sat itu menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam kantor yang sialnya, aku juga akan bekerja di sana.

Sungguh hari yang menakjubkan!

***

Hari pertama di kantor baru bukannya langsung kerja, tapi aku diajak rapat oleh Bu Nina manajerku di divisi pengadaan barang. Kami rapat dengan tim IT begitu selesai menandatangani kontrak selama enam bulan ke depan. Seharusnya sepanjang rapat aku memerhatikan, meski belum mengerti betul apa yang dibicarakan. Tapi, aku sulit berkonsentrasi, mengingat Reihan belum memberi kabar padaku sama sekali. Ruang rapatnya tidak begitu luas, jendela kaca besar di sekeliling membuat ruangan terlihat lebih lega. Hanya ada lima kursi tersisa.

“Harusnya udah sih, gitu doang Pak Ren,” kata Bu Nina setelah dia mengoceh panjang lebar saat berdiskusi dengan Pak Renaldi, manajer IT dan timnya. “Eh, Satria mana? Gue butuh ngomong, nih, sama anak lo yang satu itu, soal kejelasan spek kabel yang dia minta.”

Satria? Apakah yang dimaksud pria yang menabrakku tadi?

“Lagi ngerjain bug aplikasi, bentar lagi dateng, udah gue chat kok,” jawab Pak Renaldi.

Sekitar lima menit setelahnya, pintu ruangan meeting diketuk dan dibuka secara bersamaan, aku menoleh dan … ya, pria itu. Si Bangsat atau Bang Sat yang ternyata bernama Satria.

“Hai, sori, sori.” Ia masuk, langsung duduk di salah satu kursi yang kosong.

Kedua matanya membulat saat melihatku yang sudah sejak tadi memperhatikannya.  Namun, ia tak kunjung mengatakan apa-apa, keningnya mengernyit seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu sambil mengedipkan mata beberapa kali ketika ia menaruh buku catatannya di meja.

“Sat, ini Didi, baru di tim gue, dia yang gantiin Anti buat ngurusin kebutuhan non-food, keperluan lo yang masih outstanding sama Anti, nanti gue limpahin langsung ke Didi ya,jelas Bu Nina membuat hatiku mencelos, entah kenapa.

**

Selepas rapat pukul dua belas siang, aku menolak ajakan rekan-rekanku untuk makan siang di kantin belakang gedung karena aku harus membeli baju. Aroma kopi dan rasa lengket akibat cipratan kopi yang kurasakan di bagian dada sungguh mengganggu. Aku memutuskan untuk makan siang di Kemang Village sekalian membeli baju baru yang sekiranya bisa langsung kupakai. Aku memilih blus lengan pendek berwarna navy di Uniqlo, sebelum ke kasir untuk membayar, aku meminta tolong pada pramuniaga agar bisa menyetrika blouse yang hendak kubeli dengan setrika uap karena akan langsung kupakai setelah dibayar, dan untungnya mereka mau.

Aku mengeluarkan sebuah kartu debit dan menyerahkannya ke kasir, tapi di saat yang bersamaan seseorang mengeluarkan kartunya juga.

“Pakai ini aja, Mbak,” suara berat itu lagi.

Aku menoleh dengan tatapan tak suka yang kutunjukkan, lalu mengembalikan pandanganku pada kasir sambil tersenyum.

“Nggak, Mbak, pakai kartu saya aja,” cetusku, “Saya nggak kenal sama orang ini.”

Mbak kasir yang masih memegang kartu debit milikku nampaknya bingung, saat aku menaikkan alis padanya, ia menekan-nekan monitor lalu menancapkan kartuku pada mesin EDC.

“Kurang kerjaan sekali ya, nguntit saya sampai ke sini?” sindirku, fokus pada kasir yang sedang melakukan transaksi.

“Pinnya, Kak.”

Aku mengambil alih mesin EDC dan menekan-nekan tombol angka sebelum menyerahkannya lagi pada kasir. Setelah mendapatkan struk dan blouse di tanganku, tanpa menghiraukan Satria tentunya, aku keluar dari Uniqlo. Dan menyebalkan saat dia masih saja mengikutiku di belakang.

“Saya nggak nguntit, Audi. Cuma mau bayar kesalahan saya yang nggak sengaja nabrak kamu dan bikin baju kamu jadi kotor.”

Tunggu. Audi? Bagaimana dia bisa tahu namaku yang sebenarnya Audi? Aku belum diajak office tour oleh HRD untuk memperkenalkan diri, apa mungkin dia bertanya pada Bu Nina?

Aku berbalik dengan kedua alis menukik tajam. “Kamu tahu dari mana kalau nama saya Audi?”

Bibir Satria malah melengkungkan senyuman dan kusadari pria itu memiliki lesung pipi meski tak begitu cekung.

“Audi Raharja, kamu lupa sama saya?”

Aku yang semakin tak mengerti karena dia menyebutkan nama lengkapku, hanya bisa memasang tampang bingung.

“Saya tahu nama lengkap kamu waktu Bu Nina kasih form pengajuan pembuatan akun untuk masuk ke sistem dan email. Kebetulan saya yang buat. Dan di situ saya baru ingat, ternyata kamu Didi teman masa kecil saya di Surabaya. Dulu kita tinggal di komplek perumahan yang sama, sekolah SD kita juga sama. Kamu dulu suka banget deket-deket saya kalau main. Masa kamu lupa?”

Teman SD? Aku berusaha mengingat-ingat dengan keras. Satria yang mana dia? Bila melihat wajahnya, aku hampir tak mengenalinya sama sekali. Aku bahkan punya kesulitan untuk mengingat teman-teman semasa SD dulu, kecuali jika aku memaksa untuk mengingatnya. Lesung pipi, ya, aku mengingat-ingat temanku yang punya lesung pipi.

Aku masih berusaha merangkai ingatan itu, hingga akhirnya dia menambahkan, “Saya dulu pakai kacamata tebal, rambut saya klimis, suka pakai baju kotak-kotak.”

Aku masih mencoba mengingat sampai beberapa saat kemudian memori di otakku me-recall sesosok anak lelaki dengan kacamata tebal, rambut klimis berminyak yang gemar mengenakan kemeja pendek kotak-kotak seperti bapak-bapak meski masih bocah.

“Ah, jadi kamu Satria yang ….” Aku tak bisa melanjutkan kalimatku ketika perempuan bermata sipit yang tadi pagi memanggil Satria dengan sebutan Bang Sat itu menghampiri kami.

“Bang Sat!” tanpa ragu perempuan itu menggamit lengan Satria dengan tatapan antusias. “Kita mau makan di mana?”

“Sori, saya mau ke toilet dulu, udah kebelet.” Aku berpamitan dan berlalu dengan gerakan cepat meninggalkan mereka, meski Satria sempat memanggil namaku. Dari tatapan perempuan itu pada Satria juga aku tahu kalau dia pacarnya, jadi aku tidak mau mengganggu.

Entah harus merasa senang atau tidak mengetahui bahwa orang yang dulu mengenalku juga tinggal dan bekerja di tempat yang sama, karena yang kurasakan sekarang adalah rasa gelisah akibat Reihan yang tak kunjung membalas pesanku.