cover landing

Womanizer

By Respati Kasih


Prolog

Suara beradu kulit baru saja terdengar. Panas segera menjalar di pipi kirinya. Sedetik yang lalu, sebelah tangan cantik mendarat di pipinya tanpa aba-aba. Dia mengumpat pelan, tapi tidak marah. Meski semua mata pengunjung restoran menatap penuh rasa ingin tahu atau bahkan menunggu drama lanjutan.

Tidak akan. Jangan harap.

Juna segera memasang ekspresi terbaiknya. Dia akan menjelaskan sekali lagi. “Calm downBabe. Kita dilihatin semua orang. Percaya sama aku, yang jalan sama aku kemarin malam, itu Karenina. Dia teman, no, sahabatku. Kenapa mesti terhasut sama temenmu sih?”

Sebuah ponsel kemudian terlempar ke tengah meja. Juna mengambilnya dengan tenang. Dilihatnya sebuah foto yang menampilkan Karenina menggelayut manja dan mereka tertawa di salah satu mal ibu kota. Ya terus kenapa? Dia sudah jelaskan kalau mereka bersahabat. Perempuan di depannya masih saja menatapnya garang.

Juna menyandar di kursi, menyatukan kedua tangannya. Nyengir lebar, menjawab apa adanya. “Karenina minta ditemenin ketemu designer kemarin. Terus pulangnya mampir mal. Aku longgar, jadi ya—”

“Kamu begini juga ke mantan-mantan kamu?”

“Begini gimana?” Dia tidak sebodoh itu. Hanya saja, melihat ujung dari hubungan ini akan bagaimana, sekalian saja dia buat perempuan ini sekesal mungkin.

“Membiarkan mereka nampar kamu, dan setelah ditampar, kamu masih bisa cengengesan?”

Juna menyeringai. “Kamu keberatan dengan sahabatku? Mereka nggak cuma satu hlo.”

“Maksud kamu?!”

“Sebelum kita pacaran, aku udah jelasin kalau aku punya tiga perempuan yang nggak bisa aku jauhin demi alasan menjaga perasaan pacar. Lupa?”

Perempuan di depannya tampak terdistraksi.

“Tapi kenapa harus semesra itu?”

“Kamu keberatan?”

“Iya! Kenapa pakai nanya segala? Jelas iya. Coba bayangkan kamu yang ada di posisiku. Lihat pacarnya ketawa-ketawa mesra sama perempuan lain.”

“Nina sahabatku.” Kurang jelas gimana sih kalimat Juna?

“Sahabat? Laki-laki dan perempuan bersahabat? Bullshit, Jun, bullshit!”

Juna menghela napas. “Oke, mau kamu apa?”

“Aku nggak mau lihat hal serupa terjadi.”

“Aku nggak bisa.”

“Maksud kamu?!”

“Kamu nggak cukup untuk dijadikan alasan, Honey.” Juna mulai kesal. “Mungkin besok-besok kamu bakal lihat aku jalan sama Danisha, atau nungguin dia di belakang panggung dengan sabar. Nemenin Vian berkebun dan baca buku bareng. My life just pretty simple kalau kamu mau sedikit toleran. Aku bahkan nggak nuntut apa-apa selama kita pacaran tiga bulan ini, ‘kan?”

Wajah perempuan di depannya sudah merah padam, tapi Juna—meski kesal—masih menunjukkan wajah ramahnya. Danisha bilang, ini wajah playboy cap kadal.

“Tapi kamu nggak bisa gitu, Jun!”

“Bisa. Sama ketika aku ngasih kamu kebebasan. Nggak nuntut ini-itu, yang artinya nggak mendikte kamu menjadi sosok yang aku mau. Aku juga berharap sama, kamu nggak mendikte aku harus jauhin sahabat perempuanku demi memuaskan ego, cemburu atau apalah itu.”

“Kamu nggak ngerti, di mata temen-temenku—”

“Jadi, yang jalani hubungan ini, aku sama kamu, atau aku sama temen-temenmu?”

“KAMU EGOIS!”

“Ya, katakanlah aku egois.” Juna pasrah, lelah berdebat. Seharian ini dia sibuk mobile dari satu gedung ke gedung lain. “Aku begini adanya. Kalau kamu nggak bisa terima, ya udah.”

“Ya udah?!”

“Iya. Ya udah. Dibikin gampang aja sih.” Juna menggaruk dagu. “Kita putus.”

WHAT?!”

***

1

Belum apa-apa, dia sudah jerih menatap lautan manusia. Memang sih, yang dia tunggu belum tampil. Via Vallen masih di atas panggung, menyapa penonton—setelah menyanyikan satu lagu yang berhasil membuat lautan manusia bergoyang. Sungguh animo yang luar biasa.

Tunggu, dia tidak sendirian. Ada perempuan kalem di sebelahnya, yang kalau tidak dipegang tangannya, bisa hilang. Juna menoleh, yang tadinya hanya menggandeng tangannya, kini beralih merangkul bahu perempuan itu.

Vian menepis rangkulannya. Tapi Juna tetap memaksa. “Tuh, di sebelah lo ngelirik mulu. Risi gue.”

“Iya?”

Sudah dua kali dia mengajak Vian menonton konser di lapangan terbuka. Yang trttpertama, dia sempat terpisah dengan Vian karena perempuan itu terdorong-dorong penonton lain. Dengan panik, Juna sampai menghubungi promotor acara. Panik luar biasa. Apalagi ini Vian. Perempuan yang dia kenal introvert.

Maka kali ini, dia harus menjaga Vian lebih ekstra.

“Kalau pengin ke toilet, bilang. Nanti gue anter. Jangan ditahan.”

“Oke, anter sekarang.”

Juna mengedar pandangan, lalu merengkuh bahu Vian dan menyibak penonton untuk menuju ke tribun sebelah kiri.

Begitu tiba di depan toilet, Juna mengambil alih ransel mini Vian. Sambil menunggu, dia membuka aplikasi chat.

Nina: Jun, udah mulai? Gw pengin nyusul nih

Juna: blm, gk usah nyusul. Crowded bgt. Gw kewalahan kalo jagain dua cewek.

Nina: dih -_-

Dari pintu toilet, kepala Vian melongok. “Jun ....”

Juna menoleh cepat. “Kenapa, Vi? Airnya macet?”

Vian menggeleng.

“Tisunya habis?”

Menggeleng lagi.

“Terus?”

“Itu, ehm, aku tadi lihat di depan stadion ada toko.”

“Mau beli cemilan dulu?”

“Ih, bukan.”

“Terus apa?”

“Beliin pembalut dong, Jun.” Sambil tersenyum sungkan.

Juna sempat bengong sebentar. “Oh, pembalut. Oke, tunggu.”

***

Bahu Vian kembali dia rengkuh untuk merangsek lebih maju. Tapi mereka harus puas berada di deretan tengah. Tidak bisa merangsek lagi. Jadi mending pasrah daripada membuat penonton lain emosi. Lagi pula, yang mereka tunggu sudah berdiri di atas panggung.

Dari tempatnya berdiri, Juna menatap kagum pada perempuan yang setiap kali manggung selalu mengenakan serba-hitam. Kali ini pun sama. Rambut panjangnya yang bergelombang, diikat. Kaki jenjangnya dibalut jins hitam pekat. Serta sepatu lars bergerigi yang membuatnya lincah melompat-lompat di atas panggung.

Gebukan drum langsung disambut sorak-sorai penonton. Suara nge-bass Danisha meningkahi gebukan drum yang diikuti petikan gitar. Seketika penonton terbakar. Juna menoleh, memastikan perempuan di sampingnya aman. Dia takut lengah dan Vian bisa terseret lagi.

Merasa ditatap cemas, Vian menoleh dan mengacungkan telunjuk dan jempol. Yang menandakan dia baik-baik saja.

Lagu pertama selesai. Lagu yang Juna tahu diciptakan sendiri oleh Danisha. Lagu yang menjadi awal kebangkitan perempuan itu setelah apa yang sempat terjadi beberapa tahun silam. Sesuatu yang membuat hidup perempuan itu jungkir-balik.

Jeda sebentar sebelum intro lagu kembali mengalun. Kali ini lebih slow, tanpa mengurangi kekuatan suara Danisha yang selalu menyihir penonton untuk bernyanyi bersama.

That Arizona sky ....

Lautan penonton kembali bergemuruh. Lagu dari Lady Gaga yang dibawakan dengan Danisha kali ini—sebagai lagu kedua.

Burnin' in your eyes
You look at me and babe I wanna catch on fire
It’s buried in my soul
Like California gold
You found the light in me that I couldn’t find

So when I'm all choked up and I can't find the words
Every time we say goodbye baby it hurts
When the sun goes down
And the band won't play
I'll always remember us this way

Lovers in the night
Poets tryin' to write
We don't know how to rhyme but damn we try
But all I really know
You're where I wanna go
The part of me that's you will never die

So when I'm all choked up and I can't find the words
Every time we say goodbye baby it hurts
When the sun goes down
And the band won't play
I'll always remember us this way

Oh yeah
I don't wanna be just a memory baby yeah
Hoo, hoo, hoo, hoo, hoo, hoo
Hoo, hoo, hoo, hoo, hoo, hoo
Hoo, hoo, hoo, hoo, hoo hoo hooooooooo

So when I'm all choked up and I can't find the words
Every time we say goodbye baby it hurts,
When the sun goes down
And the band won't play
I'll always remember us this way
Way yeah

When you look at me and the whole world fades
I'll always remember us this way

Oooh, oooh, hmmmm
Oooh, oooh, hmmmm

Sebuah sentuhan membuat Juna tersadar. “Kenapa, Vi?”

“Danisha barusan chat. Dia nunggu kita di backstage.”

Juna menatap ke depan lagi. Lagu sudah selesai, digantikan dengan suara MC. Serenade—band rock indie yang digawangi Danisha—sudah turun dari panggung. Dia kembali ke Vian, mengangguk, dan merengkuhnya. Mencari jalan untuk mencapai backstage.

Di belakang panggung, lumayan ramai. Entah kru promotor atau manajer tiap penyanyi yang tampil. Di antara lalu-lalang orang, Danisha akhirnya terlihat. Bersamaan dengan perempuan itu yang menangkap sosok keduanya.

“Vian!” Danisha segera memeluk erat. “Sumpah, kangen banget.”

Tour dua bulan penuh. Jahatnya.” Vian memeluk sama eratnya.

Danisha melirik ke Juna. Satu tangannya merentang, mengundang Juna untuk bergabung. Tanpa pikir panjang, Juna mendekat dan memeluk kedua perempuan yang sangat dia sayangi itu.

“Susahnya ketemu sama orang sibuk.” Juna menyindir.

Danisha tertawa. “Nina mana btw?”

“Gue larang buat dateng. Gue nggak sanggup jaga dua cewek sekaligus.”

Vian yang tergencet di tengah, tiba-tiba mengaduh.

“Eh, kenapa? Kenapa?” Juna panik bertanya.

“Kena jaketnya Danisha. Sakit.” Vian mendorong mundur tubuh Juna.

“Hahaha, sori, sori.” Danisha lalu menanggalkan jaket hitam penuh gerigi di bagian depan itu. Menyisakan kaus hitam lengan pendek. Peluhnya semakin terlihat di bawah leher. Meski di wajah sudah dia lap dengan tisu. Dia kembali memeluk Vian.

“Pulang bareng rombongan?” Juna bertanya.

Danisha berpikir sebentar, kemudian menggeleng. Melepas pelukan Vian, “Gue nyanyi satu lagu lagi. Tungguin gue ya? Di sini aja.”

Juna menepuk-nepuk bahu Danisha, memberi semangat. Vian juga menggenggam tangannya erat-erat sebelum Danisha dipanggil sang manajer. Mengenakan jaketnya kembali. Dia harus bersiap-siap kembali ke panggung.

***

Sebuah rangkulan dari belakang membuat Danisha sesak napas. Dari harum parfumnya, dia tahu siapa yang menggelayut manja seperti ini.

“Lepas, gue belum mandi dari pagi.”

Nina sungguhan menyingkir, lalu memaki pelan. Dia kemudian duduk di sebelah Juna. Menyeruput es jeruk milik Juna tanpa permisi.

Nyaris pukul 01.00 dini hari, tapi keempatnya justru asyik menikmati malam di salah satu angkringan lesehan di sudut ibu kota. Besok libur, jadi mereka lebih leluasa mengobrol setelah hampir dua bulan Danisha absen di acara kumpul mereka.

Es kopi pesanan Nina datang bersama sepiring pisang goreng yang masih panas. Nina bahkan memesan empat mi rebus. Ya salam. Juna alamat bakal mulas-mulas besok pagi. Eh, nanti pagi maksudnya.

“Naik apa, Nin? Kok gue nggak lihat mobil pinky lo?” tanya Vian.

“Diantar babang ojol.”

Danisha mengambil satu pisang goreng, meniup-niupnya. Melempar pertanyaan sebelum menggigit pisang. “Lo serius putus sama Andin, Jun?”

“Arita,” koreksi Vian.

“Loh? Ganti nama?” Danisha melongo.

Nina ikut menjawab. “Andin mah mantan dia ke ... ke berapa, Jun?” Malas menghitung, Nina melempar pertanyaan ke Juna.

“Gue nggak ngehitung.” Juna melirik Danisha. “Tapi mantan terbaru gue itu namanya Nadine. Ah, gimana sih kalian? Nggak perhatian sama gue.”

Danisha berkomentar sinis. “Lagian hobi banget ngoleksi mantan.”

“Kenapa putus? Belum juga dikenalin ke kita.” Vian menyahut.

Juna meluruskan kaki. “Biasalah. Klise. Kami emang nggak cocok.”

“Bosen gue denger alesan itu mulu.” Nina mencomot pisang goreng.

“Jun, jangan gitu dong. Nanti kalau karmanya ke kita gimana?” Vian menatapnya sedih.

“Karma?”

“Jangan pacarin kalau cuma buat nyakitin mereka.” Danisha, lagi-lagi. Juna gemas dengan mulutnya yang kadang suka pedas.

“Mereka hlo yang nuntut status. Gue cuma ngobrol biasa ke mereka, tapi apa? Mereka lihatnya beda. Ngerasanya beda. Dan baper sendiri. Gue cuma kasih kesempatan mereka buat mengenal gue. Bahwa ini gue. Gue menawarkan pertemanan, tapi mereka minta lebih.” Juna bahkan sudah memeringatkan tentang risiko sakit hati dan semacamnya, tapi mantan-mantannya ini tetap nekad. “So, salah gue kalau gue pada akhirnya gue menarik diri?”

“Salah!” Ketiganya menjawab kompak.

Juna terdiam, tak berkutik. Astaga.

“Gue korban di sini. Korban.” Juna menepuk-nepuk dada dramatis. “Gue masih berbaik hati dengan memberi mereka kesempatan untuk memutuskan hubungan kami. Gue terima tamparan dan siraman air minum dengan lapang, ditonton banyak orang pula. Belum lagi, divideoin dan diunggah ke sosmed. Kurang baik apa gue? Toh, yang malu gue. Yang dicap buaya juga gue. Mereka bisa puas maki-maki gue.”

Suara tawa Danisha mengakhiri kalimat pembelaan diri itu. Dengan kesal, Juna melempar gulungan kaus kaki yang dia ambil dari sepatunya.

“Jun, Jun, lo nggak pernah berubah ya.” Danisha masih terpingkal.

Nina malah ikut-ikutan. “Tunggu. Gue jadi inget dulu pas Juna nembak si Rambut Kepang di samping sekolah. Anjir. Bilang apa waktu itu?”

Vian menepuk tikar dengan semangat. Dia ingat, dia ingat. “Kamu pecicilan anaknya. Mama bilang, aku nggak boleh dekat-dekat anak bandel.”

“Iya, bener. Ya ampun! Muka nih anak udah yang asem banget.”

“Sial. Sial. Bahas aja terus.”

Tiga perempuan itu masih tertawa. Sementara Juna sudah menekuk wajahnya. Dia mencari kunci mobilnya, mengambil jaket yang tergeletak tak jauh dari tempatnya duduk, lalu bersiap berdiri.

Danisha cepat-cepat menarik ujung kaus Juna. “Jun, Jun, yaelah mau pulang sekarang?”

“Hamba lelah jadi bahan tawaan kalean.”

“Bercanda doang, Malih.”

“Jadi, apa kabar tour-nya?” Vian bertanya yang memang perlu ditanyakan. Juna kembali duduk, lega ketika topik sudah dialihkan.

Danisha menatap satu per satu sahabatnya. Wajahnya yang semula datar, tiba-tiba berkerut, matanya yang besar menyipit dan pipinya menyunggingkan senyum lebar.

“Seru! Gila. Pengalaman tak terganti pokoknya. Gue menanti tour kedua. Doain ya, rencana kalau album ketiga lancar dan booming, kami tour lagi awal tahun.”

“Andai gue nggak ada jadwal, pas di Lombok, gue susul deh.” Nina manyun. Ingat rencananya yang gagal karena jadwal dadakan. Juna bahkan kena dampaknya. Nina kalau sudah uring-uringan, tidak main-main. Membuat orang beruban dan berkeriput dini.

Pesanan mereka datang. Nina yang paling semangat. Wajarnya, sebagai model, seseorang akan makan dengan teratur bahkan menyeleksi makanan apa saja yang masuk ke dalam tubuhnya. Tapi Nina tidak. Dia berhasil membuat iri setengah mati para model di luar sana. Karena sebanyak apa pun Nina makan, tetap tidak akan jadi lemak.

Mereka baru pulang ketika Vian sudah mengeluh mengantuk. Oke, setelah dipikir satu menitan kira-kira, Juna akhirnya sadar kalau dia harus mengantar tiga perempuan kesayangan ini pulang ke rumah masing-masing. Kalau saja kosnya muat untuk mereka, Juna tidak perlu repot-repot.

“Jun, pulang ke apartemen gue aja. Ribet kalau mesti nganter balik semua.” Danisha yang duduk di samping kemudi, seolah bisa membaca pikirannya.

Juna menoleh ke belakang, Vian sudah tertidur. Nina masih asyik memainkan ponsel. Kepala mereka saling menyandar. Dia beralih ke Danisha. “Ah, ogah ah. Ntar bulldog lo ngamuk lagi.”

“Udah gue putusin.”

Tunggu, Juna kok baru tahu? Apa hanya dirinya saja yang belum tahu?

“Kapan?”

Danisha menumpukan sikunya di sisi pintu mobil. “Sebelum berangkat tour.”

“Kenapa? Bukannya lo cinta mati sama dia?”

“Dia apa-apa yang dibikin ribet. Tahu sendiri gue nggak suka dikekang. Gue mau tour aja dia ngelarang. Secara nggak langsung, dia sandungan buat karir gue, ‘kan? Jadi mending gue bikin minggir sekalian daripada jadi penghalang.”

“Asli, baru sadar lo? Dari awal kami nggak setuju, tapi ya, ini lo. Keras kepala banget. Mana bisa dikasih tahu. Gue sama anak-anak suka nahan tawa tiap lihat kalian jalan bareng.”

“Iya, kelihatan kok bucinnya.” Danisha mengaku sendiri. Sadar diri betapa dia sempat tergila-gila dengan Indra—sang mantan.

Juna memukul setir. Tertawa kencang. Matanya menyipit. Dari sana dia bisa melihat perempuan di sebelahnya itu bersedekap sambil mencebikkan bibir.

Danisha. Satu tahun lebih muda darinya. Perempuan yang memiliki sepasang mata yang indah. Dia adalah lembaran kertas putih yang sulit ditebak dan dipahami. Pribadi yang dingin tapi hangat secara bersamaan. Bahkan, Juna masih sulit memahaminya sampai sekarang.

***