cover landing

Withered and Blossomed

By Lisma Laurel


Dari mana angin berembus? Dari barat ke timur, atau timur ke barat, mungkin utara ke selatan, atau selatan ke utara. Aku tak pernah tahu. Namun, ada satu hal yang kutahu, cinta seperti angin yang berembus, entah dari mana datangnya, entah berlabuh untuk siapa. Dan pada suatu pagi, cinta datang menyapaku dengan tiba-tiba.

Pagi itu, aku terbangun karena mendengar alarm dari mulut Ayah. Kalian tahu bagaimana alarmnya? KINANTHI! KINANTHI! KINANTHI!

Ya, tiga kali Ayah meneriakan namaku. Aku segera terjaga, menelentang dan mengerjap-ngerjapkan mata. Langit-langit kamar berwarna biru muda, kupandangi seraya mengumpulkan kesadaran yang masih belum kembali ke pikiran.

“Sampai kapan kamu seperti itu?”

Uh, itu Ayah lagi. Namanya Kartolo. Ayah melongokan kepala di pintu. Wajah kurusnya penuh jelaga. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang sudah dilakukannya sepagian ini? Ayah melotot dengan mata besarnya. Kepada siapa? Tentu saja kepada diriku.

“Ini sudah jam enam? Kenapa kamu belum bangun? Ini hari pertamamu masuk SMA. Cepat-cepat!”

Ayah menarik tanganku. Aku menguap. Tapi alih-alih menutup mulutku, Ayah malah menepuknya perlahan.

“Ayah….”

“Apa? Apa?”

Aku menggeleng. Ayah menyeretku untuk turun dari ranjang. Lalu memasukkan diriku ke kamar mandi.

“YAH! TIDAK BISA SEPERTI ITU!”

Sebuah teriakan membuatku berdiri tegak di balik pintu. “Apa itu tadi Ayah yang berteriak?”

Aku memutar kenop pintu kamar mandi. Masih berdiri di tempatnya semula, Ayah menaikkan alis, sebagai bertanda tidak tahu. Wajah Ayah juga tampak kebingungan.

“Siapa yang berteriak sepagi ini? Kencang sekali!”

Aku mengangkat bahu, sebagai pertanda tidak tahu.

“APA KAMU TIDAK PUNYA HATI NURANI?!”

Teriakan itu terdengar lagi. Datangnya dari luar. Kami bergegas melihatnya dari jendela. Ada kerumunan murid sekolah yang dari seragamnya kebanyakan anak SMP dan sisanya anak SD. Ayah berbalik, berderap pergi menuruni tangga. Aku menyusulnya dari belakang.

Kami menerobos kerumunan. Rupanya ada seorang nenek yang terluka. Kakinya tidak penuh darah. Hanya beset-beset sedikit. Nenek itu merintih, mengatakan kakinya sakit dan tidak bisa digerakkan.

“Cepat bawa dia ke rumah sakit!”

“Aku bawa ke rumahnya saja. Nenek, di mana rumah Nenek? Saya akan membawa Nenek pulang.”

“KAKI NENEK ITU SAKIT, BRENGSEK! DIA BUTUH DIOBATI, BUKAN DIBAWA KE RUMAH!”

“Saya tidak punya uang. Lagian dia sudah tua. Dia pasti sebentar lagi mati karena umur!”

“Andre, JANGAN!”

Pemuda bernama Andre itu mengepalkan telapak kanannya, bersiap untuk menghajar bapak yang tidak punya hati nurani tersebut, tapi kepalan tangan Andre tertahan di udara karena seruan JANGAN.

“Kita bawa dia ke rumah sakit, sekarang! Tolong bantu kami,” ucap wanita itu lagi. Kali ini kepada Ayah.  

“Biar aku gendong nenek itu, Ma!”

Andre melepaskan cengkeraman tangannya di kerah si bapak. Tepat saat itu, si bapak segera berlari ke sepeda motornya. Tanpa mengatakan apa pun, dia tancap gas.

“Jangan lari! Jangan lari!” Murid berseragam mengejar si bapak berbadan jangkung. Namun, teriakan mereka tidak dihiraukan. Mereka berlari, tapi si bapak berkendara bagai orang kesetanan.

 Akhirnya, murid-murid yang terdiri dari 6 siswa SMP (lima perempuan dan satu lelaki. Mereka pasti dari sekolah berbeda karena seragamnya tidaklah sama) dan dua anak SD perempuan, menghentikan pengejaran mereka yang sia-sia. Mereka berjalan ke arahku dengan langkah goyah.

Mereka kian mendekat, ketika pemuda bernama Andre sudah menyeberangi jalan seraya si Nenek berada di punggungnya. Ayahku dan wanita yang mungkin mama Andre mengikuti Andre dari belakang.

“Anak-anak, kalian pasti murid rajin. Sepagi ini sudah berangkat sekolah,” kataku kepada murid-murid itu, “Ayo, bawa sepeda pancal kalian dan berangkat!”

Bangil di pagi itu masihlah lengang. Hanya tampak satu atau dua sepeda motor melintas di jalan raya. Nantilah, ketika matahari sedikit meninggi, para penarik becak akan berdatangan. Mereka akan mangkal di depan Pegadaian dan beberapa di dekat warungku. Nantilah, ketika lebih siangan, anak-anak sekolah akan bersepeda berjajar seperti kereta api. Nantilah, ketika sedikit siangan lagi, sepeda-sepeda motor, truk, dan kendaraan umum berlalu-lalang menyesaki jalan. Namun, itu nanti. Sekarang, Bangil masih seperti anak kecil yang polos.

Aku berlari, menyeberangi jalan tanpa menoleh ke kanan dan kiri. Nenek itu pasti dibawa ke RS Masyithoh. Itu rumah sakit terdekat.

“Aih....” ucapku. Sandal kiriku terlepas.

Aku mengangkat kaki kiri, melompat-lompat untuk mendekati sandal jepit bertali hijau itu. Setelah memakainya, segera aku berlari kembali. Aku melewati pagar rumah sakit yang terbuka, melihat sekilas ke pos satpam, belum ada siapa pun di sana. Ayah dan pemuda bernama Andre serta mamanya, berdiri di dekat pintu UGD.

Sambil ngos-ngosan aku menemui mereka. Lalu melemparkan pertanyaan, “Apakah Nenek itu tidak apa-apa?”

“Masih diperiksa,” jawab Ayah.

Kami berempat berdiri dalam diam. Aku sekadar menoleh ke kiri, untuk melihat rupa Andre. Dia lebih tampan dari lelaki manapun yang pernah kulihat. Hidungnya mancung. Matanya tidak sipit dan tidak juga besar. Berdiri berdampingan, membuatku menyadari kalau tinggiku sebahunya. Dan… dan mulutnya… dan kulitnya… aku seolah-olah melihat ada sorot lampu yang menyinarinya dari atas, sedangkan sekelilingku menggelap.

“Ah,” seru mama Andre, “Kalian juga harus sekolah. Jam berapa ini? Cepat-cepat, pergi bersiap!” Mama Andre mendorong anaknya, membuat diriku tertegun sejenak.

Saat Andre menyingkir dari hadapanku, sebuah kaca menyambutku dengan segala kejujurannya. Sedari tadi kaca itu memang ada di sana, tapi aku tidak melihatnya karena tertutup tubuh Andre. Sekarang aku menatap diriku sendiri pada pantulan kaca. Pagi itu, aku adalah seorang gadis lusuh memakai piyama tidur, rambut acak-acakan, ada jejak iler di mulutku, mata belekan, dan tak kalah menyedihkannya, aku memakai sandal jepit yang sudah kucel.

“AHHHH.” Aku berteriak melihat rupaku sendiri.

“Aish, kaget aku,” seru Ayah.

Namun, aku tidak menggubris dan berlari pergi.

“Jangan lupa sarapan juga! Makanannya sudah siap di meja makan!”

Aku tidak peduli teriakan Ayah. Aku malu. Malu.

Kakiku berlari sekencang mungkin. Gerbang terlewat tanpa dilihat. Lalu tanpa kusadari, aku menabrak seseorang di jalan raya, yang kemudian, aku merasakan seseorang itu menjambak rambutku dari belakang.

Aku terhuyung. Sebuah tangan menangkap kedua lenganku, yang membuat tubuh kami berdekatan. Aku mendongak, menemukan sosok Andre. Andre mengerutkan kening. Kemudian ada embusan angin kencang dari belakang yang menerbangkan rambutku. Angin itu berasal dari sepeda motor yang melaju cepat.

“Mau cari mati? Setidaknya jangan di dekatku. Aku tidak akan membiarkannya. Paham?”

Aku mengerjap. Mencoba memanggil kesadaran pikiran yang entah pergi ke mana lagi.

Tepat di hadapanku, dengan hidung kami yang hampir bersentuhan, kepada seseorang yang baru aku temui, kepada seseorang yang kutahu bernama Andre, aku jatuh cinta untuk pertama kali. Jantung serasa dipenuhi sejuta kembang api, diledakan secara bersamaan, menimbulkan bunyi bum, bum, bum.

“Apa kamu tidak apa-apa?” tanyanya.

Kepalaku mengangguk perlahan, “Tidak apa-apa.”

Andre mengerutkan wajah. Dia memalingkan muka. “Napasmu bau. Kamu pasti belum berkumur.”

Seakan-akan seluruh kata pemaluan menerjang, aku menjauhkan diri dari pelukannya. Berjalan gontai. Menoleh ke kanan dan kiri, melihat sebentar kepada Andre yang menyeringai. Kemudian setelah memastikan sebuah sepeda motor jaraknya cukup jauh, aku berlari. Berlari sekencang mungkin. Tidak menoleh lagi.

Aku malu. Sangat malu. Malu sekali. MALUUUUUU….

***