cover landing

Where the Royals Meet

By Roserian Blue


“Tuan Putri Sekarkedhaton, sebentar lagi saatnya untuk naik ke atas podium.”

Rahajeng mengangguk, tersenyum kecil kepada sekretaris pribadinya sebelum menghadap lautan manusia di balik tirai merah yang menghadiri upacara ini. Tubuh mungilnya dibalut dengan sebuah kebaya berwarna emas dengan jarik cokelat yang serasi, sementara rambut panjangnya disanggul dengan berlian berbentuk bunga lotus. Sayup-sayup terdengar di telinganya suara pembawa acara.

“Mari kita sambut kedatangan Putri Rahajeng dari Kerajaan Nuswantara!”

Menarik napas panjang-panjang, Rahajeng berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.

Santai saja, Rahajeng. Ini bukan kali pertamamu melakukannya. Kamu harus berani dan percaya diri, seperti apa yang selalu dikatakan oleh Kanjeng Romo.

Rahajeng memejamkan matanya sejenak, lalu mulai melangkahkan kaki dan memasang senyum menawan yang membuat aura kebangsawanannya menguar. Lampu sorot tertuju hanya kepadanya. Lautan manusia yang berada dalam kegelapan itu berdiri, bertepuk tangan untuk menyambut kedatangan sang putri raja.

Kaki Rahajeng telah menapak di atas podium, berdiri di atas karpet merah dan berada tepat di hadapan mikrofon. Matanya tak berkedip, bahkan ketika jutaan kilatan cahaya dari kamera menghujani pandangan. Seumur hidup tak hanya sekali dirinya berada dalam posisi ini, tapi Rahajeng takkan pernah terbiasa. Meski demikian, ia tetap memasang senyuman manis dan sesekali melambai kepada seluruh hadirin yang datang, termasuk para jurnalis yang alaminya menjadi musuh keluarga kerajaan.

Ketika jepretan kamera mulai mereda, Rahajeng segera memulai pidato pembukaan acara tersebut, yang digadang-gadang menjadi acara termahal di abad ini oleh media internasional.

Ladies and Gentlemen, welcome aboard to Nuswantara. This morning, I’d like to give a warm welcoming party to the athletes who participate in this event. The day that Nuswantara’s citizens and people around the world have been waiting for, finally has come. Ever since this kingdom was founded by my ancestors, countless international events have been held in this beautiful kingdom. Today, the opening for The World Olympics 2021 is finally being held. Please look forward to the grand opening ceremony that will be held tonight. I, Princess Rahajeng of Nuswantara, declare that The World Olympics 2021 has officially begun. Selamat datang di The World Olympics 2021!”

Kilatan cahaya kamera langsung berebut mencuri perhatian Rahajeng, yang masih setia mengulum senyuman. Agenda berikutnya mulai dijalankan, yakni sang putri menyambut perwakilan atlet dan pelatih dari masing-masing negara yang berpartisipasi, dan mengalungi mereka dengan kalung bunga melati. Kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi mulai pegal, tapi acara bahkan belum masuk pada intinya. Rahajeng mengeluh dalam hati ketika dirinya ternyata tak dipersilakan untuk duduk ketika tiba giliran Perdana Menteri menyampaikan sambutannya.

Sial. Aku telah membuat sambutan sesingkat mungkin agar acaranya bisa rampung lebih awal, tapi orang-orang lain suka sekali mengulur-ulur waktu. Sialnya lagi, kakiku sepertinya lecet. Mungkin aku harus memakai sandal selop biasa untuk grand opening malam nanti. Awas saja jika Rajendra ternyata hanya sibuk menebar pesona bersama Kanjeng Romo, padahal telah membuatku sengsara dengan menggantikan kedudukannya di sini.

Menyadari dirinya bisa saja menunjukkan raut wajah tak bersahabat di depan kamera dan seluruh hadirin yang datang, Rahajeng mengenyahkan seluruh bayangannya mengenai senyum menyebalkan Rajendra dan kembali memasang senyum terbaiknya.

***

Sang Raja tengah melihat persiapan grand opening The World Olympics 2021 untuk nanti malam di Stadion Geni yang terletak di pusat ibu kota, tak jauh dari istana kerajaan. Arjuna adalah nama lahir sang raja. Ia tengah dikelilingi oleh para menteri dan orang-orang yang bertanggung jawab atas acara nanti malam. Mengekor di belakangnya, Rajendra, pangeran dari Kerajaan Nuswantara, yang sama sekali tak bereaksi terhadap staf perempuan yang sengaja curi-curi pandang ke arahnya. Ia lebih tertarik menyimak pembicaraan Kanjeng Romo dengan Menteri Olahraga, yang tengah membahas bidang-bidang kejuaraan yang dilombakan.

Dingin, seperti itulah Rajendra jika dilihat melalui kacamata para penggemarnya.

Oleh karena itu, kaum hawa dari Kerajaan Nuswantara menjulukinya sebagai Pangeran Salju. Parasnya tak seperti orang-orang Nuswantara yang kebanyakan berkulit sawo matang. Kulitnya putih bersih seperti Putri Salju. Orang-orang meyakini jika sosok asli pangeran yang menyelamatkan Putri Salju dari racun sang ibu tiri menyerupai Rajendra. Karena mitos yang beredar itu pula, para gadis di Nuswantara berlomba-lomba memiliki kulit pucat dan bibir semerah apel.

“Bara,” panggil Rajendra kepada sekretaris pribadinya.

“Paduka Pangeran memanggil hamba?”

“Ya. Berapa lama lagi aku harus terjebak di tempat ini?”

“Kurang lebih dua jam lagi sebelum agenda makan siang bersama keluarga di istana, Paduka.”

Rajendra mengembuskan napas pelan, tak ingin orang-orang menyadari ketidaknyamanannya berada di antara ribuan pasang mata yang menatapnya penuh kagum. Diliriknya jam tangan mahal berlapis berlian berkarat di pergelangan kirinya. Sekarang masih pukul sebelas pagi, artinya paling lambat mereka akan keluar dari Stadion Geni pukul setengah dua belas.

Meski Rajendra tak menanggapi, Bara tahu jika sang pangeran sudah tak sabar keluar dari tempat yang penuh dengan orang-orang yang menganggapnya mangsa. Puluhan pengawal dan prajurit khusus memang selalu dikerahkan untuk menjaga anggota keluarga kerajaan, tapi mereka tak bisa menjaga para bangsawan dari tatapan yang membuat risi itu.

“Apakah Paduka ingin hamba mencari alasan agar bisa pergi dari tempat ini lebih awal?” tanya Bara khawatir.

“Tidak perlu. Aku bisa menahannya,” sahut Rajendra tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian kembali menanyai Bara tanpa menoleh. “Oh ya, bagaimana dengan kakak kesayanganku? Kali terakhir kami berpapasan, aku mendengarnya mengeluh karena harus menggantikanku menyambut para atlet di acara pagi tadi.”

Bara beringsut mendekat agar tak seorang pun bisa mencuri dengar percakapan mereka atau membaca gerak bibirnya ketika membicarakan sesuatu yang rahasia. “Tania berkata jika Tuan Putri Sekarkedhaton telah melakukan yang terbaik, meski kondisinya tidak begitu baik.”

“Kakakku sakit?” Dahi Rajendra berkerut. Jantungnya berdebar lebih kencang daripada biasanya, membayangkan Rahajeng tiba-tiba pingsan di atas podium ketika memberi sambutan.

“Bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Tuan Putri hanya mengeluh kakinya lecet karena memakai sepatu hak tinggi yang salah, sehingga meminta Tania dan dayang-dayangnya menyiapkan sepatu selop biasa untuk acara malam nanti.”

“Sudah kuduga. Kakakku adalah perempuan yang tangguh, tak mungkin tumbang hanya gara-gara sepatu hak tinggi,” ucap Rajendra pelan, sedikit lega karena Rahajeng tak jatuh sakit seperti yang ada di bayangannya.

Bayangannya hanya ada di kepala, sebab jika hal tersebut benar-benar terjadi maka Nuswantara, atau bahkan dunia akan digegerkan dengan berita pingsannya Rahajeng saat media tengah menyorotnya. Dan yang terpenting, Arjuna dan Rajendra tidak akan ada di sini jika Sang Sekarkedhaton kenapa-napa.

 

***

 

“Akhirnya aku tiba di rumah, yang seperti bukan rumah,” kata Rahajeng pelan saat limousine miliknya memasuki pekarangan Istana Nuswantara, berharap sopir, pengawal, dan sekretaris pribadinya tak mendengar hal tersebut.

Mata bulat gelapnya menatap pohon palem yang menghiasi jalan menuju lobi istana, mendapati keberadaan patung leluhurnya yang menyatukan empat kadipaten menjadi sebuah kesatuan kerajaan dan melebarkan wilayah kekuasaannya hingga ke seluruh penjuru Nuswantara. Tumbuhan memenuhi jalan utama di Istana Nuswantara, menjadi sekat antara patung satu dan lainnya. Rahajeng tak pernah menghitung jumlah pastinya, tapi seorang tukang kebun istana mengatakan bahwa jumlahnya mungkin ada puluhan. Rahajeng juga tak pernah menghafalnya, hanya menandai beberapa yang paling krusial bagi sejarah kerajaannya.

Menyadari jika lobi istana semakin dekat, Rahajeng bertanya, “Tania, jadwalku yang berikutnya?”

“Tuan Putri memiliki agenda menyantap makan siang bersama Paduka Raja, Paduka Ratu, dan Paduka Pangeran. Selepasnya Tuan Putri bisa beristirahat sebelum menghadiri grand opening petang nanti,” jawab Tania ringkas.

Rahajeng mengeluh dalam hati. Artinya aku harus menatap wajah Rajendra yang menyebalkan itu.

“Kalau begitu, jangan ganggu aku hingga pukul empat sore.”

“Baik, Yang Mulia.”

“Terima kasih, Tania.”

“Itu sudah menjadi kewajiban hamba.”

Para pengawal yang berjaga di lobi pun langsung berbaris rapi begitu mendapati mobil Sang Sekarkedhaton menepi, dan salah satu dari mereka membukakan pintu limousine mahal tersebut. Begitu turun, Rahajeng tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada pengawal yang membukakan pintunya.

Kaki Rahajeng yang memerah dan dihiasi goresan pun melangkah menuju sayap timur istana diikuti dayang-dayangnya, tempat keluarga kerajaan tinggal dengan nyaman. Setidaknya begitulah yang dianggap oleh masyarakat di luar sana. Dulunya para putri dan pangeran tinggal di bagian istana yang berbeda. Namun, seiring perubahan zaman, aturan tersebut telah dihapuskan, sebab keturunan raja sekarang tidak sebanyak keturunan raja-raja di masa lampau yang memiliki belasan hingga puluhan selir. Dan sejak satu abad terakhir, raja-raja Nuswantara menganut pernikahan monogami.

Begitu tiba di lorong kamar para putri dan pangeran, Rahajeng melihat Bara keluar dari ruangan Rajendra. Juga para dayang dan pengawal yang berjaga di depan kamar sang adik.

“Apakah adikku sudah tiba?” tanya Rahajeng ketika Bara memberi salam hormat kepadanya.

“Sudah, Tuan Putri. Paduka Pangeran baru saja tiba.”

“Baiklah, terima kasih sudah menjawab.” Rahajeng kemudian berlalu tanpa menoleh, menuju ke ruangannya yang berada tak jauh dari kamar Rajendra.

Setibanya di dalam ruangan, Rahajeng duduk di depan meja rias, membiarkan para dayang membantunya membersihkan diri dan melepas perhiasan yang memenuhi rambutnya. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin, yang meski di mata orang terlihat sempurna, nyatanya menyimpan banyak rahasia.

“Hampir semua perhiasan putri dan ratu bentuknya bunga lotus. Tidakkah kau penasaran apa penyebabnya, Tania?” tanya Rahajeng saat salah satu dayangnya meletakkan jepit rambut berharga milik keluarga kerajaan di kotak penyimpanannya. Netranya selaras mengikuti gerak-gerik para dayang yang kemudian menutup kotak penyimpanan tersebut.

“Hamba yakin itu karena lotus merupakan lambang kerajaan kita, Paduka,” jawab Tania sopan, tak berani mendongakkan kepala untuk melihat ekspresi Rahajeng, sebab dirinya tak bisa menilai isi hati Rahajeng hanya dari suaranya.

Rahajeng menggeleng. “Itu adalah salah satunya, tapi ada alasan yang lebih spesifik. Lotus adalah bunga kesukaan Rajaputri Amintajiwo semenjak romonya masih menjadi seorang putra mahkota. Ia memerintahkan agar danau di Kedaton Bramodaro dipenuhi dengan bunga lotus. Eyang Putri yang memberi tahu tentang hal ini. Sampai sekarang bunga-bunga itu masih tumbuh subur di Danau Bramodaro, meski berkali-kali terkena erupsi gunung berapi.”

“Ah, ya, benar juga. Di Kedaton Bramodaro yang sekarang menjadi sebuah museum, terdapat sebuah lukisan kuno mengenai seorang dewi yang memegang lotus di tangan kirinya. Para sejarawan dan budayawan sepakat menganggap dewi yang terlukis itu merupakan Rajaputri Amintajiwo.”

Rahajeng tersenyum mengetahui sekretaris yang merangkap sebagai kepala dayangnya menyebutkan hal tersebut. Amintajiwo merupakan penguasa paling fenomenal sepanjang sejarah, masih merupakan leluhur raja-raja Nuswantara. Tak heran jika nama Amintajiwo lebih dikenal daripada pendiri Kerajaan Nuswantara sendiri.

Saat kembali menatap cermin, ia mendapati sebuah benda berada di atas ranjang luasnya. Dahinya berkerut, kemudian memerintahkan salah satu dayangnya untuk mengambil bingkisan itu.

“Ini merupakan obat luka dan kapas, Tuan Putri. Ada satu pack plester juga di dalam bingkisan ini,” ucap dayang yang dimintai tolong Rahajeng untuk membukanya.

“Kerjamu cepat juga, Tania. Begitu aku mengeluh, rupa-rupanya kau langsung menyiapkan obat. Terima kasih banyak,” ujar Rahajeng tulus. Akan tetapi, ia mendapati raut kebingungan Tania dari pantulan cermin.

“Obat ini, bukan kau yang menyiapkan?” tanya Rahajeng curiga.

Tania menggeleng takut, sebab ia lupa untuk menyiapkan barang-barang yang ada di dalam bingkisan itu. “Mohon ampun, Tuan Putri. Hamba tidak tahu apa-apa mengenai bingkisan dan obat tersebut.”

Otak Rahajeng berputar, sibuk menyelidiki siapa gerangan yang seperhatian itu kepada dirinya sehingga menyiapkan obat untuk lecet di kakinya lebih cepat daripada dayang-dayangnya sendiri.

Bibirnya mencetak sebuah senyuman miring.

Mungkinkah?

***