cover landing

When Food Means Love

By Yasmine Helga



Wonho datang ke rumah Eunji, kekasihnya selama dua tahun terakhir, sambil membawa dua kotak daging sapi Korea. Saat itu, Eunji baru saja selesai mengeringkan rambutnya. Ia mengenakan celana pendek dan kaos berwarna biru yang agak kebesaran. Wonho sudah sering ke sana untuk sekadar makan bareng, sehingga Eunji tidak begitu menyambutnya.

“Uh, di luar dingin sekali,” ucap Wonho sambil melepaskan jaketnya.

Eunji melirik kantong plastik yang dibawa Wonho dan tanpa disuruh, Eunji menggelar panggangan portable di atas meja. Sedangkan Wonho menyiapkan piring dan membuka kulkas untuk mengambil air mineral.

“Wah, ada kimchi!” ucap Wonho sambil menunjuk beberapa kotak plastik yang tertata rapi di kulkas. “Ada sundae juga. Hmm, tadi Ibu ke sini ya? Bagaimana kabar Ibu?”

“Ya, baik, seperti biasa,” kata Eunji sambil mengikat rambutnya menjadi messy bun.

Oppa*, kenapa beli daging sapi? Aku sedang ingin makan jajangmyeon.(*Kakak laki-laki, disebutkan oleh perempuan)

“Kalau begitu kita delivery jajangmyeon saja,” ucap Wonho santai sambil meraih ponselnya.

“Tidak usah, aku sudah keburu lapar.”

Eunji mencuci tangan lalu mengambil nasi dua mangkuk dari rice cooker. Panggangan sudah memanas, Eunji menata daging di atasnya, menimbulkan bunyi gemerisik yang enak didengar.

“Hmm… enak sekali,” ucap Wonho pada suapan pertama.

Oppa, ada yang mau kukatakan,” ucap Eunji di tengah-tengah santapan mereka.

“Hm, ada apa?” tanya Wonho sambil tetap mengunyah.

“Kita… putus saja.”

Wonho mengunyah sedikit lebih lambat, tapi kemudian dia tersenyum, “Lucu sekali,” ucapnya sambil mencubit pipi kanan Eunji dengan tangan kirinya.

Oppa, aku tidak bercanda,” sahut Eunji dengan nada kesal.

“Tunggu dulu, hari ini bukan tanggal penting, kan? Apakah aku melupakan sesuatu?”

Oppa tidak salah apa-apa. Aku hanya merasa hubungan kita tidak berjalan ke mana-mana,” ucap Eunji melunak.

Wonho berusaha mencerna, “Oh, jadi kamu minta dilamar?”

Oppa! Bukan itu maksudku!” ucap Eunji frustasi. “Aku hanya ingin sendiri dulu.”

“Jika ini karena jajangmyeon tadi, aku minta maaf, kita bisa memesannya sekarang.”

JajangOppa, hal ini tidak ada hubungannya dengan jajangmyeon.

Wonho meletakkan sumpitnya di atas meja. Raut wajahnya berubah serius. “Kalau aku tidak ingin putus, bagaimana? Mau pacaran atau putus, semua berdasarkan keputusan dua belah pihak. Setidaknya, beri aku alasan, kita bisa membicarakannya,” ucap Wonho kalem.

“Aku tahu itu. Tetapi…” Suasana hening sejenak. Eunji menelan ludah, “Aku sudah tidak sayang sama Oppa. Tidak ada alasan lain.”

Wonho hanya terdiam, tidak melanjutkan percakapan. Ia memandangi daging di atas panggangan, tetapi pikirannya berkecamuk entah ke mana. Ia akhirnya berdiri, mengambil jaketnya, dan berpamitan pulang. Ia lalu mengendarai mobilnya menuju sebuah restoran.

“Ibu, apa kabar? Changkyun di sini?” sapa Wonho kepada seorang ibu bercelemek yang sedang mengelap meja.

Aigoo*, Wonho! Sudah lama tidak kemari, dan kau sudah setinggi ini saja,” ucap ibu itu ramah sambil menepuk bahu Wonho. (*Astaga)

“Nak! Wonho datang!” teriaknya, kemudian menyuruh Wonho duduk dulu.

Hyung*, tumben datang tanpa diundang,” canda Changkyun. Ia membawa dua kaleng soda. (*Kakak laki-laki, diucapkan oleh laki-laki)

Wonho dan Changkyun sudah berteman sejak kecil, selisih umur mereka tiga tahun. Orang tua Changkyun memiliki sebuah restoran keluarga, yang jaraknya hanya lima menit dari rumah Wonho dengan berjalan kaki. Jika tidak ada kelas, Changkyun akan membantu orang tuanya berjualan. Restoran itu tertata rapi dan bersih, dengan meja dan kursi bermotif kayu.

“Aku hancur, Changkyun. Aku dan Eunji baru saja putus,” kata Wonho sambil membuka kaleng soda, menimbulkan bunyi berdesis.

“Eh? Kenapa?! Hyung, mencari cewek baik-baik seperti Eunji itu susah sekarang.”

“Bukan aku, dia yang minta putus”

Changkyun terdiam sebentar, “Tapi kenapa tiba-tiba?”

“Intinya dia bilang sudah tidak sayang lagi, tetapi aku juga kurang percaya.”

“Ah, aku memang tidak mengerti pola pikir perempuan. Maksudku, Hyung kurang apa sih?” Changkyun tertawa sendiri mendengar perkataannya.

“Jangan salah paham. Aku tidak sesuka itu padamu, Hyung. Tetapi aku tahu Hyung orang baik. Pikirkan saja, Hyung sering membeli makanan take away hanya untuk makan bersamanya. Dia tidak perlu berdandan dan keluar uang. Hyung juga percaya saja saat Eunji jalan-jalan dengan ‘temannya’. Padahal kalau aku jadi Hyung, aku akan curiga.”

Hyung juga menjaga privasi, tidak berusaha mencari tahu password ponselnya. Saat ada masalah, Hyung yang datang kepadanya untuk ngomong baik-baik. Kalau aku jadi Eunji, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Kalau dipikir-pikir, Eunji sendiri juga tidak sebaik itu jadi cewek. Aku tarik kembali perkataanku sebelumnya,” jelas Changkyun, lalu menenggak sodanya.

“Changkyun, ada apa denganmu? Kau berbicara layaknya wanita, hahaha.” Wonho tertawa atas reaksi Changkyun, lalu ikut menenggak soda. “Tapi aku menyukai Eunji. Bagaimana ya?”

“Eh, Hyung juga sama saja. Kenapa mengejar cewek yang tidak pantas dikejar?” kata Changkyun. “Tetapi semua balik lagi ke Hyung. Begini, setahuku, saat cewek tiba-tiba minta putus, tandanya ia sedang bingung.”

Wonho fokus mendengarkan.

“Pikirkan saja, saat kita sudah terlalu lama single, kita ingin punya pacar. Begitu juga sebaliknya. Hyung... pada dasarnya kita benci rutinitas. Kita ingin suasana baru. Cewek juga begitu. Eunji pasti bosan dengan rutinitasnya. Ia jadi bingung tentang kelanjutan hubungan kalian. Ia lupa alasan awal kenapa dia bisa suka pada Hyung.”

“Jadi?” Wonho kesulitan mencerna perkataan temannya itu.

“Jadi, pada saat seperti itu, dia harus diingatkan kembali alasan kenapa dia memulai suatu hubungan dengan Hyung in the first place,” ucapnya dengan aksen british.

“Pendeknya, untuk sementara menghilang saja dari kehidupannya. Eunji akan merasa kehilangan kebiasaannya. Ia bingung harus mulai dari mana. Itulah saat ketika dia menyadari perasaannya yang sebenarnya.”

Wonho mengikuti saran dari Changkyun. Hari pertama setelah putus, ia sama sekali tidak menghubungi Eunji. Awalnya memang terasa biasa saja. Ia kembali bertemu dengan beberapa teman lama. Tidak ada Eunji rasanya tidak apa-apa. Tetapi hari ketiga dan seterusnya, terasa ada yang hilang. Teman-teman tidak selalu ada untuknya. Wonho paling tidak bisa makan sendirian. Ia memilih untuk tidak makan daripada makan sendirian. Itulah sebabnya ia sering kali membawa makanan ke rumah Eunji.

Kebiasaan memang susah dihilangkan. Suatu hari, Wonho lewat di depan sebuah restoran dimsum. Aroma gurihnya sampai ke depan restoran tersebut. Wonho teringat betapa Eunji suka dimsum. Tanpa pikir panjang, ia memesan take away dua kotak dimsum udang. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Ia merapatkan jaketnya sepanjang jalan menuju rumah Eunji. Ketika menyeberang jalan bersama banyak pejalan kaki lainnya, Wonho tiba-tiba tersadar di tengah jalan. Ia baru ingat bahwa Ia dan Eunji sudah putus.

“Bodohnya aku, kenapa aku bisa lupa,” ucapnya pada diri sendiri.

Wonho akhirnya menunggu lagi di seberang jalan, ingin pulang saja. Tetapi kemudian ia memandang plastik yang berada di tangannya. Ia sudah terlanjur membeli dua. Kalau ia pulang sekarang, siapa yang akan memakan yang satu lagi?

“Jadilah pria, Wonho!!” ucapnya dalam hati.

“Emang kau berharap Eunji akan datang padamu dan mengajak balikan?”

“Tidak mungkin. Aku lah yang harus mendatanginya duluan.

“Tetapi Eunji bilang dia sudah tidak sayang padaku. Bukankah itu sudah jelas kalau dia memang tidak mau balikan?”

“Aih, tidak apa-apa. Selama aku masih sayang padanya, aku bisa membuatnya kembali sayang padaku!”

Wonho menetapkan pilihannya. Ia dengan mantap lanjut jalan menuju rumah Eunji.

Tetapi yang selanjutnya ia lihat adalah dua orang yang sedang berpelukan di depan rumah Eunji, di samping sebuah mobil berwarna putih yang tampak familiar.

“Eunji?” panggilnya.

Kedua orang di depannya langsung melihat ke arah Wonho.

“Ah, maaf. Saya kira tadi… silakan lanjutkan”

Wonho menunduk malu telah mengganggu kedua pasangan itu. Ia naik ke lantai dua, tempat tinggal Eunji, lalu menekan bel. Tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya Eunji sedang tidak di rumah. Wonho melihat jam, pukul sembilan malam. Wonho bertanya-tanya kenapa Eunji masih belum pulang. Ia akhirnya duduk sambil bersandar di sebelah pintu rumah Eunji.

Oppa?... Oppa?” ujar suara perempuan.

Wonho membuka matanya dan melihat Eunji sedang berjongkok di depannya. Ia mengenakan jaket tebal dan bagian hidung juga matanya sedikit kemerahan.

“Eunji, astaga bagaimana bisa aku ketiduran di sini,” ucap Wonho sedikit malu. Ia kembali melihat jam tangannya, “Hampir jam satu? Kenapa baru pulang?”

Oppa pasti kedinginan, masuklah dulu,” ucapnya sambil membuka pintu.

Wonho bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka, dan ia terkejut melihat mukanya yang tampak pucat akibat kedinginan menunggu di luar.

Oppa, aku buatkan teh panas,” ucap Eunji ketika Wonho keluar dari kamar mandi.

Wonho duduk di meja makan dan melihat satu piring dimsum yang sudah dipanasi. Uap panas sedikit mengepul di atasnya. Wonho baru ingat kalau ia tadi membeli dimsum. Eunji memakai sweater berwarna kuning, duduk di hadapannya seperti biasa, lalu memberikan sepasang sumpit kepada Wonho.

“Aku membeli dimsum untukmu, kamu saja yang makan,” kata Wonho.

“Kita makan sama-sama saja,” sahut Eunji.

Wonho dan Eunji melahap dimsum itu tanpa bicara, malah sibuk dengan pemikiran masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat. Wonho merasa memiliki keharusan untuk pulang dan membiarkan Eunji istirahat.

“Tunggu… Oppa,” ucap Eunji ketika Wonho berpamitan. “Ada yang ingin kukatakan.”

Wonho kembali duduk. Hening sejenak. Mungkin karena hari sudah malam, bahkan sudah dini hari, Eunji menjadi sentimental.

“Aku minta maaf,” kata Eunji cepat. “Sebenarnya waktu itu, aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Aku bukannya tidak sayang, aku merasa ada yang tidak benar dengan hubungan kita. Semuanya datar. Kita bahkan tidak pernah bertengkar.”

“Aku tahu Oppa tidak suka mencari masalah, tetapi terkadang aku merasa Oppa terlalu percaya pada omonganku. Saat Oppa tahu aku berbohong, Oppa juga tidak mempermasalahkannya. Oppa tidak cemburu saat aku menghabiskan waktu dengan temanku yang lain. Membuatku berpikir apakah Oppa benar-benar sayang padaku atau tidak.”

“Kalau begitu, aku harus bagaimana? Aku tidak suka bertengkar,” ucap Wonho kalem.

“Kita tidak harus bertengkar, tapi setidaknya aku ingin Oppa mengatakan langsung saat tidak setuju akan sesuatu. Jika tidak setuju, bilang tidak setuju. Berlatihlah mengatakan ‘tidak, jangan, tidak boleh’. Jangan dipendam sendiri,” kata Eunji.

“Nah, Oppa pasti juga punya uneg-uneg. Katakan saja padaku sekarang.”

“Hm… aku sebenarnya senang jika kamu bisa jujur padaku seperti ini. Sering kali aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Eunji. Aku tidak bisa menebak keinginanmu, aku juga tidak peka. Jadi jika ada yang mengganggu pikiranmu, aku harap kamu langsung membicarakannya padaku”

Eunji mengangguk. Mereka kemudian terdiam lagi. Tak lama, mereka bertemu mata, saling berpandangan sebentar, kemudian saling tersenyum. Perlahan-lahan, mereka kemudian saling mengobrol –  diselingi tertawa, makan dimsum, dan minum teh – tentang bagaimana keseharian mereka selama seminggu terakhir yang dihabiskan tanpa satu sama lain.

***

Sebenarnya malam itu, saat Eunji melewati sebuah toko burger, ia teringat kepada Wonho. Eunji tahu betul bahwa burger adalah makanan kesukaan Wonho. Eunji menyadari perkataannya kepada Wonho cukup keterlaluan, apalagi Wonho selama ini memperlakukannya dengan begitu baik sampai membawakannya makanan hampir setiap hari. Walau meminta putus duluan, Eunji masih mengharapkan notifikasi masuk dari Wonho yang tidak kunjung datang. Ia sendiri bingung, kenapa ia melakukan hal itu.

Akhirnya Eunji memutuskan untuk tidak memikirkan tentang harga dirinya untuk kali itu saja dan membeli satu bungkus burger sebagai permintaan maaf. Sesampainya di depan rumah Wonho, Eunji merasa kecewa karena yang dicari ternyata tidak sedang di rumah.

“Apakah Oppa sedang di restoran Changkyun?”

Jangankan Wonho, Changkyun ternyata juga tidak sedang di sana. Ia disambut oleh orang tua Changkyun yang ramah itu. Mereka mengenali Eunji sebagai kekasihnya Wonho.

“Changkyun sedang sibuk ujian, sehingga tidak bisa kemari. Wonho sudah beberapa hari ini tidak berkunjung,” ucap ibu Changkyun dengan ramah.

Saking baiknya, ibu Changkyun membungkuskan sup andalan restoran itu dan menyuruhnya untuk dimakan bersama Wonho nanti, kebetulan malam itu juga dingin sekali. Eunji kembali menunggu di depan rumah Wonho, padahal ia sudah kedinginan. Eunji tidak menelpon langsung karena merasa malu.

Terlalu lama menunggu, Eunji kedinginan. Ia akhirnya membuka sup dari ibu Changkyun dan memakannya sendiri untuk menghangatkan badan. Tepat tengah malam, Eunji merasa kalau Wonho mungkin tidak akan pulang, jadi dia menyerah. Eunji berjalan pulang sambil menangis, dan memberikan burger yang ia bawa kepada seorang bapak-bapak yang tidur dipinggir jalan beralaskan koran.

Eunji tentunya terkejut saat melihat ada orang yang ketiduran di depan pintunya, dan ternyata orang itu adalah Wonho yang ia tunggu dari tadi. Ia berjongkok di depannya, memerhatikan mukanya yang pucat, dan bibirnya yang mulai membiru. Eunji menyentuh pipi Wonho yang dingin. Ia tiba-tiba merasa rindu akan momen-momen bahagianya bersama orang di depannya itu. Eunji akhirnya membuat keputusan. Ia tidak mau kehilangan Wonho.

***