cover landing

When A Son Lives Without Father

By wwgpublisher


PROLOG

"Ayah! Ayah sudah kembali?"

"Kapan, Ayah? Kenapa aku tidak melihatmu datang?" Sedikit pun Ayah tidak menjawab pertanyaanku. Dia ha nya terdiam menatap, lalu tersenyum pergi meninggalkanku. "Ayah, mau ke mana? Tolong jangan pergi lagi Ayah! Ayah ... Ayah."

Mendadak aku terbangun karena mendengar jeritanku sendiri. Kutengok ke arah jam weker yang ada di atas meja belajar. Rupanya waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku mendengkus kasar.

Untuk kesekian kalinya, aku bermimpi tentang Ayah. Begitu terbangun dari tempat tidur, tubuhku telah basah dipenuhi keringat.

Aku tidak tahu mengapa setiap memimpikannya, hal ini selalu saja terjadi. Mengenai kabar ayahku sekarang, aku juga tidak tahu menahu. Sejak beliau pergi meninggalkan aku, Ibu dan kedua adikku, dia sudah tidak pernah berkabar lagi.

Hmm....

Semua berawal dari mimpi bertemu Ayah. Aku tidak percaya, aku mengira Ayah sudah benar-benar pulang. Ketika tersadar dari tidur, ternyata semua hanya mimpi belaka.

Ini adalah kebiasaan burukku. Memimpikan orang yang sudah lama pergi, orang itu adalah ayahku sendiri. Dia begitu antusias sekali masuk ke dalam hidupku kembali, setelah apa yang dia perbuat pada keluarganya dulu.

Mimpi tadi membuatku mengingat kembali semua yang terjadi pada hari itu. Pikiranku terbawa lagi ke masa lalu yang penuh dengan kekecewaan di dalam diri. Namun mimpi ini ber-beda, entah kenapa pikiranku mengatakan aku benar-benar rindu sosok ayah.

Aku benci tapi rindu dengan ayahku. Entahlah, apakah itu salah?

Katakan jika itu salah, tapi aku benar-benar rindu. Saat dia mengantarku membeli perlengkapan sekolah, saat dia menemaniku bermain di mal, memarahiku ketika aku berbuat salah. Meski kuyakin amarahnya tidak begitu serius.

Pokoknya aku rindu semua tentang bagaimana dia merangkai kenangan bersamaku. Hari ini, mimpi itu membuatku mengingat semua hal tentangnya di dalam kamarku seorang diri.

Seketika aku melupakan tingkah buruknya pada hari itu, setelah mengingat semua kenangan baik yang aku lalui bersama beliau. Mimpi kali ini sungguh berat dan mengharuskan aku terjatuh lagi dalam kolam rindu yang penuh rasa haru.

Katakan jika itu tidak wajar, seorang anak laki-laki seusiaku yang sebentar lagi berumur enam belas tahun tidak harus bersikap seperti ini.

Aku berbeda dengan kalian, ini sungguh berat bagiku. Kau tidak tahu bagaimana ayahku memanjakanku dulu, bagaimana dia menuruti segala keinginanku, bagaimana dia dulu menemaniku ketika aku jatuh sakit dan Ayah rela tidak masuk kantor untuk itu.

Sungguh aku tidak melebih-lebihkan. Tetapi, Kenyataan manis dulu, kini berubah menjadi kenyataan pahit kemudian.

*

“Ibu, aku bertemu Ayah dalam mimpi.”

"Memimpikan masa lalu, seperti terjun di dalam kolam penuh kopi dan susu.

Ada pahit karena benci dan ada manis karena rindu. Namun, seringkali orang takut untuk memimpikan masa lalu, karena dapat membuatnya kembali terjatuh dengan penuh haru."

**

Setelah beberapa pekan yang lalu sekolah diliburkan karena kenaikan kelas, tibalah hari ini rutinitas sekolah kembali dimulai seperti biasa. Tetapi, kali ini berbeda dari sebelumnya. Aku sudah duduk di bangku kelas sebelas Sekolah Menengah Atas, setelah beberapa pekan lalu dinyatakan naik kelas dan menduduki peringkat dua.

Hari pertama di kelas sebelas, kuharap gurunya tidak membosankan.

"Roy, sudah bangun, Nak? Segera turun ke bawah. Maka-nan sudah siap!" teriak Ibu dari ruang makan di lantai bawah.

"Iya, Ibu," kujawab teriak dari dalam kamar.

Ibu sudah memanggilku sarapan. Terlebih dulu, aku beranjak mengambil handuk dan juga alat mandi yang ada di dalam lemari mini persegi milikku. Akan tetapi, tanpa sengaja aku me-nyambar sebuah bingkai potret kesayanganku yang ada di atas meja belajar. Jika tak ada tanganku yang meraihnya lebih awal, mungkin saja bingkai tersebut sudah pecah di atas lantai.

Aku kembali menatap potret tersebut. Ini adalah satu-satunya potret kecilku bersama Ayah. Jika tidak salah, saat itu aku masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar.

Melihat wajah Ayah melalui segenggam potret, entah ke-napa pikiranku semakin melantur saja. Aku kembali memikirkan Ayah.

Sekeras apa pun hati ini ingin membenci, itu sangatlah sulit melupakan kenangan bersamanya. Apalagi tadi aku bertemu lagi dengannya.

Iya. Bertemu Ayah di dalam mimpi.

Namun, bagaimanapun juga, dia adalah ayah kandungku, bukan?

Tanpa dia aku tidak akan mungkin ada di muka bumi, tepatnya di Kota Palopo, Jalan Anggrek blok A5/No.15. Tanpa dia juga, mungkin aku tidak akan tahu arti mandiri yang sesungguhnya.

Aku menghela napas panjang. Sudahlah, saatnya aku ke ruang makan. Ibu sudah menungguku. Tadinya aku berniat menuju kamar mandi, tapi kali ini aku memilih langsung ke ruang makan.

Seperti biasa, sebelum Ibu berangkat ke kantor, pagi-pagi sekali dia pasti senantiasa menyiapkan sarapan terlebih dulu untuk kami.

Sepintas terbayang di benakku, kini Ibu tengah menyandang gelar 'single parent'. Semenjak ayahku meninggalkannya, semua urusan rumah tangga dan biaya sekolah aku dan adikku, Ibu yang mengurusnya. Terkadang, ketika aku melihat wajah Ibu, pasti terbayang sosok Ayah.

"Oh yah, Bu. Mana Bayu dan Rahayu? Mereka sudah pada bangun?" tanyaku sembari menggeser kursi meja makan untuk duduk.

"Mereka sudah bangun, mungkin lagi siap-siap. Nggak kayak kamu jam segini belum mandi."

"Ayolah, Bu ... Ini hari pertama aku masuk sekolah. Jadi, apa salahnya telat? Lagian, Roy juga masuk jam sembilan, kok," jawabku sambil menuangkan sesendok nasi ke piring. Aku asal jawab, sih.

"Ya justru kalau hari pertama, harus tiba lebih awal di sekolah."

"Tapi, Bu—"

"Iya, iya ... Sudah, terserah kamu. Ini makan dulu," pinta Ibu sambil menuangkan lauk ke dalam piringku.

Di meja makan hanya ada aku dan Ibu, suasana begitu hening.

Kembali aku terbayang dengan mimpi semalam. Aku hanya bingung saja, setiap aku memimpikan Ayah, dia tidak pernah mengatakan sepatah kata pun. Selain diam, dia hanya tersenyum padaku lalu pergi begitu saja, seperti orang yang tak punya tampang malu karena sudah berbuat buruk pada anaknya sendiri.

Kali ini pandanganku tertuju pada Ibu yang mengharuskanku mengatakan apa yang terjadi dalam mimpi semalam. Sebenarnya aku ragu untuk mengatakannya, sebab ini kali pertamanya lagi Ibu harus mendengar nama Ayah langsung dari bibirku. Sebelumnya sih pernah, tapi aku lupa itu kapan. Yang jelas, Ibu tetap saja meresponsku dengan tidak banyak bicara seperti biasa. Namun, dengan terpaksa aku harus memberanikan diri kembali.

"Ibu, boleh aku mengatakan sesuatu?" kutanya Ibu dengan tatapan tertuju padanya.

Sambil menikmati sarapannya Ibu menjawab, "Tentu saja. Apa itu, Roy?"

"Semalam aku bertemu Ayah.” Kuarahkan sesaat kedua bola mataku ke arah foto Ayah yang terpajang rapi di rak tua miliknya. Rak tersebut tepat berada di samping meja makan. Hal itu tidak berlangsung lama, karena kemudian mataku kembali terfokus secara manual menatap Ibu.

Tiba-tiba saja, Ibu menghentikan sarapannya lalu meminum seteguk air putih. "Roy! apa yang kamu katakan barusan?" tanya Ibu dengan nada yang lumayan tinggi.

“Iya, Ibu. Maksudku, aku bertemu Ayah dalam mimpi."

"Lagi-lagi kamu berbicara omong kosong. Sudah, habiskan sarapanmu lalu segera bergegas ke sekolah!"

Beginilah ibuku, ketika aku membahas tentang Ayah, dia selalu saja menyebutku berbicara dengan omong kosong. Padahal aku berbicara dengan mulut. Dan ini serius!

Aku tahu, istri mana yang tidak kecewa ketika ditinggal seorang suami. Begitu pun aku, seorang anak yang masih duduk di bangku SMA dan masih sangat membutuhkan belas kasih dari seorang Ayah.

"Ibu, aku serius! Mimpi ini bukan hanya sekali atau dua kali saja. Sudah sering terulang, Bu. Bahkan kali ini, Ayah hanya datang memandangku seorang diri. Lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa." Pandangan mataku masih tertuju pada Ibu dengan penuh antusias, seperti ingin menjelaskan semuanya namun sedikit rumit. Kau pasti tahu sendiri kenapa ini menjadi sedikit rumit jika kukata-kan dengan tergesa-gesa pada Ibu.

"Roy. Tolong jangan bahas ini sekarang, Nak. Jika adikmu mendengarnya dan ia bertanya kepada Ibu hal-hal yang aneh, maka Ibu tidak tahu harus menjawab apa. Yang perlu kamu ingat sekarang adalah Ayah kamu sudah—" Dengan panjang lebar Ibu menjelaskan, tiba-tiba ada yang memotong pembcaraannya.

"Sudah apa, Bu?" sela Bayu dengan heran.

"Bayu! Sudah berapa lama kamu di situ?" kutanya Bayu dengan nada yang cukup tinggi, aku sedikit terkejut oleh dirinya yang sontak berada di antara kami.

"Baru aja, Kak. Apa yang Ibu katakan tadi?" Kedua alis Bayu mengerut, dia bertanya lagi seakan ingin tahu akar dari pembahasan.

Dengan sergap Ibu menjelaskan, "Hmm. Maksud Ibu tadi, jika Roy sudah selesai makan, se—segeralah ke kamar mandi," jelas Ibu dengan sedikit terbata-bata. Ibu terpaksa harus berbohong ke Bayu.

Tanpa berpikir panjang, Bayu kemudian mempercayai Ibu dan langsung duduk di meja makan bersama kami. Benar-benar anak yang polos.

Saat ini aku dan Ibu saling melempar tatapan. Sepertinya Ibu marah padaku, terbukti dengan bola matanya yang sedikit melotot padaku barusan. Jika Bayu sampai tahu yang sebenarnya, maka dia tidak akan lagi percaya pada Ayah, bahkan pada kami semua.

Kami terpaksa harus merahasiakan ini darinya, karena umur Bayu masih terbilang dini dan belum saatnya mengerti tentang masalah yang dihadapi oleh keluarga kami.

Bayu yang pada saat itu masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar, belum begitu pandai mencerna bahasa. Aku hanya mengatakan padanya jika Ayah ada kerjaan di luar kota dalam kurun waktu yang cukup lama. Itu hanyalah cara untuk membuatnya tidak bertanya terus menerus setiap waktu. Walaupun pada akhirnya, Bayu kerap bertanya kapan Ayah pulang pada Ibu.

Bayu termasuk anak yang sangat dimanja oleh Ayah, setiap apa yang dimintanya dulu selalu dituruti. Entah bagaimana Bayu sekarang tanpa Ayah. Tapi aku yakin suatu saat, apa yang kami rahasiakan ini darinya akan ia ketahui dengan sendirinya.

Perlahan tapi pasti. Waktu akan menjawab segalanya, Ayah.

Selang beberapa saat kemudian, Rahayu ikut bergabung dengan kami di meja makan. Daripada aku di sini memperkeruh suasana hati Ibu, lebih baik segera meninggalkan ruang makan.

"Sepertinya sudah siang ya?" tanyaku pada diri sendiri atau entah ke siapa. “Kak Roy mandi dulu, yah." Aku perlahan berdiri. "Kalian ikut sama Ibu saja nanti ke sekolah, biar Ibu yang antar. Kakak masuk jam sembilan, jadi agak lambat ke sekolahnya. Ingat! Jangan sekali-kali jalan kaki ke sekolah tanpa Kakak, Oke?" jelasku dengan nada serius seperti menghardik mereka berdua. Mungkin aku sedikit terbawa suasana yang tadi sempat tegang antara aku dan Ibu.

"Siap, Kak Roy!" jawab keduanya serempak.

Lagi-lagi Ibu tidak memperhatikanku sama sekali. Dia hanya sekadar mendengar saja tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Baiklah, mungkin dia sedang marah, dan akan aku maklumi itu. sebaiknya aku langsung saja ke kamar mandi tanpa mengusiknya lagi.

Aku tahu, Ibu peduli pada kami dan jika aku membahas tentang Ayah, mungkin dia akan sekilas mengingat tentang kejadian beberapa tahun silam. Itu menyakitkan baginya, bagiku juga. Sungguh menyakitkan. Namun … Roy benar-benar rindu, Ayah.