cover landing

What I Couldn't Tell You

By Dahlian


“Sudah nyaman belum, Nit?” Dalam posisi berlutut, Kiara Dharmadi menyematkan jarum pentul pada bagian pinggang gaun pengantin Nitya Adiera.

Nitya menatap bayangannya pada cermin. “Bisa dipendekin sedikit lagi nggak, Mbak?”

Kiara menarik rok tutu Nitya hingga tiga sentimeter di atas lututnya. ”Segini?”

“Iya. Nggak kependekan, kan?”

Kiara menelengkan kepala, mempertimbangkan. “Nggak, sih.”

Pernikahan Nitya Adiera dengan Michael Sanjaya akan dilaksanakan bulan depan. Nitya secara khusus meminta Kiara  untuk membuatkan gaun pengantin. Jujur saja, permintaan gadis imut itu membuat Kiara sedikit kesal. Semenjak awal Riani—ibu Nitya—menjadi pelanggannya, beliau telah tahu bahwa busana pengantin bukanlah spesialisasi Kiara. Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia belum cukup percaya diri pada kemampuannya. Mungkin juga, ada alasan lain yang tidak ingin diakuinya. Namun, Riani tetap memaksa. Kiara paham Riani sangat peduli kepadanya dan ingin melihatnya berkembang. Sebagai pendatang baru di industri ini, Kiara memang membutuhkan orang-orang seperti Riani Azhari untuk mengembangkan kariernya. Jenis orang-orang yang memiliki uang dan networking yang luas. Apalagi calon suami Nitya juga berasal dari keluarga berada.

Sayangnya, Nitya menginginkan gaun pengantin ala barat alih-alih kebaya modern. Padahal Kiara telah berencana untuk menggunakan dua macam motif; Nogo Gini yang mengandung filosofi banyak rejeki dan berkah, serta Sido Asih Sungut yang mengandung makna kehidupan rumah tangga yang selalu dipenuhi kasih sayang. Doa dan harapan yang amat sesuai untuk pasangan pengantin. Ia tidak mengerti mengapa Nitya tidak memilih perancang busana lainnya saja jika menginginkan gaun pengantin ala barat. Memang, menggunakan desainer baju pengantin ternama negeri ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun, Kiara yakin, meskipun Nitya menginginkan gaun pengantin dari Vera Wang, orangtua atau calon suami Nitya pasti akan mewujudkannya. Hanya saja, seperti halnya Riani, Nitya lebih suka kesederhanaan. Bahkan dari sekian banyak desain gaun pengantin yang diajukan Kiara pun, Nitya memilih yang paling simpel.

Kiara menelengkan kepala, mengamati dengan teliti tube gaun. “Sepertinya nggak banyak yang perlu diperbaiki.” Ia memutar tubuh Nitya hingga mereka berhadapan, sebelum mundur satu langkah. “Cuma ini perlu dikecilin sedikit.” Ia menyentuh sisi tube gaun. Ia kembali memutar tubuh Nitya, mencabut jarum dari bantalan yang dipegangnya sebelum merapikan sisi tube gaun gadis mungil itu dengan lihai.

Suara langkah menaiki tangga, membuat Nitya menoleh, senyumnya mengembang seketika. “Hai, Mike.”

“Oh, ada Kiara?” sapa Michael. “Sudah hampir selesai ya, gaunnya?”

Tanpa menghentikan pekerjaannya, Kiara menoleh, siap melemparkan senyum pada Michael. “Iya, tinggal—” Ucapannya terhenti di ujung lidah dan tangannya tergantung kaku di udara seketika. Kiara membelalak saat menangkap sosok di belakang Michael. Bahkan jantungnya pun berhenti berdetak. Tanpa sadar, bantalan jarum pentul terlepas dari tangannya. Andres!

Apa-apaan ini?! Bagaimana mungkin lelaki itu bisa berada di sini?!  

“Oya, kenalin dulu, Ra. Ini Andres, sepupu aku.”

Suara Michael, yang memecah keheningan, terdengar begitu jauh di telinga Andres. Otaknya pun begitu lambat mencerna makna ucapan sepupunya itu. Ia hanya menatap perempuan, yang menumpukan tangan pada coffee table sebelum bangkit dengan perlahan, dengan mata membeliak tak percaya dan rahang melorot.

Nitya mengangkat satu alisnya mendapati cara Andres menatap Kiara. “Kenapa, Dres?” Ia mengalihkan pandangan pada Kiara, keheranannya bertambah mendapati wajah perempuan itu seputih kapas. “Kalian udah saling kenal?”

Pertanyaan Nitya seakan memalu kesadaran Andres. Dengan cepat, ia melenyapkan ekspresi terkejut dari wajahnya. “Belum,” gumamnya datar.

“Ini Mbak Kiara Dharmadi, desainer langganan Bunda.” Nitya menoleh pada Kiara yang masih mematung. “Mbak, ini Andres, sepupu Michael.”

Kiara mengangguk kaku, memaksakan seulas senyum terkembang di wajahnya. Ia berusaha mengabaikan sikap dingin Andres. Ia sama sekali tidak keberatan atas sikap lelaki itu. Ia pantas menerimanya. Hanya saja, di luar keinginannya, hatinya terasa nyeri.

“Gue turun dulu ya. Mau telepon.” Andres segera memutar tubuh, menuruni tangga tanpa menunggu respons dari yang lainnya.

“Undangannya udah jadi nih, Nit.” Michael meletakkan setumpuk undangan pada coffee table sementara matanya tak lepas dari sosok mungil di hadapannya yang terbalut gaun ala ballerina lengkap dengan ekor panjang yang menyapu lantai. “Kamu cantik.”

“Bajunya kali yang cantik,” kilah Nitya tersipu. “Thanks to Mbak Kiara,” ia melirik Kiara yang sedang berlutut di sisinya. Perempuan itu tampak sibuk memperbaiki rok tutunya.

Kiara menatap punggung Andres hingga menghilang dari pandangan sambil diam-diam mengembuskan napas berat. “Kamunya juga cantik kok, Nit.”

Mengabaikan Michael yang mengobrol dengan Nitya, Kiara memungut bantalan jarum pentul dari lantai, kembali bekerja. Ia mengutuki tangannya yang masih gemetar, sehingga ia sulit menyematkan jarum pentul pada gaun di hadapannya. Pekikan kecil Nitya, membuat Kiara berjengit. “M-maaf.”

“Mbak udah pernah ketemu Andres?” tanya Nitya, mengabaikan permintaan maaf Kiara.

“Belum,” gumam Kiara sambil sedapat mungkin menghindari tatapan menyelidik Nitya.

Suara langkah kaki menaiki tangga membuat jantung Kiara kembali berdetak lebih cepat. Dari sudut matanya, ia melihat Andres muncul di puncak tangga.

“Mike, sudah ditelepon Opa, nih. Kita disuruh ke sana sekarang juga,” ujar Andres tak sabar, berusaha sedapat mungkin tidak menatap Kiara. Namun, bola matanya mengkhianatinya dengan bergulir ke sudut mata. Sial, setelah sekian waktu berlalu, kenapa perempuan itu justru tampak semakin cantik dan anggun? Mungkin akan lebih baik jika Kiara terlihat lebih tua, jelek dan lusuh. Dengan begitu netranya pasti akan menuruti perintah otaknya. Namun, sejak kapan ada seorang model papan atas terlihat lecek? Kiara selalu tampak menarik, tak peduli apa pun yang ia kenakan.

“Ya udah deh, gue balik dulu ya, Nit. Gue dan Andres mau ke rumah Opa dulu.” Michael mengacak-acak rambut Nitya hingga membuat gadis mungil itu menjerit protes sebelum mengalihkan pandangannya pada Kiara. “Aku balik dulu ya, Ra.”

Kiara mengangguk canggung sementara matanya tak lepas dari sosok Andres yang pergi begitu saja. Seharusnya, Kiara merasa lega karena tidak perlu berbasa-basi dengan lelaki itu, tetapi—lagi-lagi—ada sengatan tajam di hatinya.

Andres tidak banyak berubah. Selain tubuh yang lebih kurus, lelaki itu tampak persis seperti ketika terakhir kali ia melihatnya. Garis wajah yang tajam, sepasang alis tebal yang nyaris menyatu di pangkal hidung, sepasang mata kelam yang dalam, serta kharisma dan ketenangan yang terpancar darinya, tidak berbeda dengan lima tahun yang lalu.

Kiara bangkit, mengamati gaun Nitya dengan seksama selama beberapa saat. “Sudah nyaman belum, Nit?”

“Udah, Mbak.”

Kiara mengangguk. “Ya sudah, kalo gitu aku bawa dulu bajunya, ya.” Masih dengan tangan gemetar, ia membereskan barang-barangnya, memasukkan ke dalam sebuah tas besar. “Oya, boleh numpang kamar mandi?”

“Silakan, Mbak.”

Tanpa menunggu satu detik pun, Kiara melesat ke kamar mandi. Setelah menutup pintu di belakangnya ia menghampiri wastafel, menyalakan keran. Ia membasahi wajah dengan tangan yang masih saja menggeletar, sementara hatinya sibuk mengutuki diri sendiri.

Bodoh! Ia memang bodoh! Seharusnya, ia sudah curiga saat Nitya mengatakan bahwa calon suaminya adalah Michael Sanjaya. SANJAYA! Seharusnya, nama keluarga yang disandang Michael membuat ia lebih waspada. Namun, begitu banyak nama Sanjaya di negeri ini. Ditambah lagi, nama ayah Michael adalah Toni, bukan Fredi. Seorang pengacara pula, bukan pengusaha properti. Ia pun hanya tahu bahwa Michael seorang arsitek, tanpa merasa perlu mencari informasi di mana lelaki itu bekerja. Hal itu membuat tingkat kewaspadaan Kiara berkurang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Toni dan Fredi Sanjaya ternyata kakak-beradik. Sial!

Kiara menatap refleksi dirinya pada cermin. Wajahnya yang basah masih tampak pucat. Sementara kedua tangannya, yang mencengkeram tepi meja wastafel, masih bergetar. Ia tidak menyalahkan Andres untuk bersikap begitu dingin terhadapnya. Ia pantas menerimanya. Tidak ada manusia yang tidak terluka jika ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya. Apalagi tanpa alasan yang jelas. Namun, bagaimana ia dapat menjelaskan segalanya?

Kiara mencabut beberapa lembar tisu dari kotaknya, mengeringkan wajah. Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, ia meninggalkan kamar mandi.

***

Andres mengendarai mobil dengan setengah linglung. Masih sulit baginya untuk percaya bahwa ia baru saja bertemu Kiara. Perempuan, yang telah menghilang begitu saja dari kehidupannya lima tahun lalu tanpa meninggalkan jejak, tiba-tiba berada di hadapannya. Dengan penampilan dan profesi yang berbeda. Ya, penampilan konservatif  Kiara membuat ia tidak dapat segera mengenali perempuan itu. Lagi pula tidak pernah terlintas dalam benaknya, Kiara akan beralih profesi menjadi designer. Bahkan ia sama sekali tidak pernah mendengar keinginan berganti profesi terucap dari bibir perempuan itu sejak dulu. Namun, ia tidak mungkin dapat melupakan wajah oval, hidung bangir, dan bibir tipis yang telah berkali-kali dikecupnya. Andres mendesah resah. 

Seharusnya ia senang ketika harapannya terwujud. Namun, rasa terkejut disertai amarah dan kecewa, yang telah tersimpan sekian lama, membuat ia kehilangan kendali atas dirinya. Meskipun ia tetap berhasil menampilkan sikap tenang, hanya Tuhan yang tahu bagaimana ia seakan terjungkir balik di dalam.

Dulu, ia jatuh cinta setengah mati pada model cantik itu, dan yakin Kiara-lah perempuan yang ia inginkan sebagai pendampingnya. Namun, setiap kali ia menyinggung soal pernikahan, Kiara selalu menghindar. Andres dapat memahami, latar belakang kehidupan Kiara selalu menjadi ganjalan bagi perempuan itu untuk menikah dengannya. Kiara selalu merasa tidak layak menjadi istri dari cucu tertua Henri Sanjaya. Namun Andres tidak patah sesmangat. Ia terus berusaha meyakinkan Kiara bahwa masa lalu perempuan itu sama sekali bukan masalah baginya. Ia mencintai Kiara, tanpa peduli sejarah hidupnya. Lagi pula, kehidupan keluarga Sanjaya juga tidak sesempurna yang terlihat dari luar. Apalagi kedua orangtuanya—Fredi Sanjaya dan Angela.

Pernikahan orangtua Andres tidak seharmonis seperti yang selalu mereka tampilkan di depan umum. Hanya saja, mereka pintar menyembunyikannya. Tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari Henri Sanjaya.

Dari apa yang ia dengar, Fredi adalah seorang womanizer sebelum menikah dengan Angela. Selama beberapa tahun pertama, Fredi sempat berubah—paling tidak begitulah yang dipikir oleh keluarga Sanjaya lainnya. Namun, setelah Levin—adik Andres—lahir, Fredi kembali pada tabiatnya sebelum menikah. Ulah Fredi tentu saja membuat hati Angela hancur. Meskipun tersiksa, ibunya tidak dapat menggugat cerai ayahnya karena Henri Sanjaya amat menomorsatukan keluarga dan menentang keras perceraian. Ditambah lagi, Henri Sanjaya telah membantu di saat perusahaan kosmetik keluarga Angela terancam bangkrut. Sekarang, kakeknya adalah pemegang saham terbesar di perusahaan tersebut. Angela dapat kehilangan segalanya bila memutuskan untuk bercerai. Akhirnya, ibunya hanya bisa menutup mata atas ulah suaminya.

Selama bertahun-tahun, Angela mencoba bertahan. Berusaha mengalihkan rasa frustrasinya pada perusahaan kosmetik peninggalan orangtuanya. Hingga di satu titik, beliau menyerah pada kebutuhannya sebagai seorang perempuan normal. Dan akhirnya melakukan hal yang sama dengan suaminya; memiliki lelaki simpanan. Tidak tanggung-tanggung, lelaki simpanan Angela kali ini 2 tahun lebih muda dari Andres.

Yang pasti, Andres sendiri bukan berasal dari keluarga terhormat. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan Kiara. Seharusnya begitu. Paling tidak, Kiara masih memiliki keluarga yang solid. Kiara mendapatkan kasih sayang dari kakek dan ibunya. Sementara dirinya? Meskipun keluarganya utuh, ia dan Levin seakan tumbuh tanpa orangtua.

Dua tahun lamanya Andres mencoba meyakinkan Kiara, hingga akhirnya kegigihannya membuahkan hasil. Walaupun Andres masih menangkap keraguan di mata Kiara, perempuan itu akhirnya setuju untuk bertemu orangtua Andres. Namun, beberapa hari sebelum pertemuan itu berlangsung, tiba-tiba saja Kiara diminta menggantikan seorang model untuk photoshoot di Berlin. Ada perasaan tak enak di hati Andres ketika Kiara menyampaikan kabar tersebut. Ia begitu ingin meminta Kiara membatalkan kepergiannya, tetapi ia sudah berjanji tidak akan pernah menghalangi karier kekasihnya—bahkan setelah mereka menikah. Akhirnya, dengan berat hati, Andres memundurkan hari pertemuan Kiara dengan orangtuanya.

Andres merasa kecemasannya tidak beralasan setelah Kiara menghubunginya dari benua Eropa itu, meski sedikit kecewa ketika Kiara mengatakan akan menunda kepulangannya. Ternyata perempuan itu bertemu dengan seorang kawan lama di sana. Hanya dua hari, begitu pinta Kiara. Walaupun berat, Andres mengabulkan. Dua hari hanyalah waktu yang singkat. Sama sekali bukan masalah besar. Kiara tetap akan kembali kepadanya.

Sayangnya, itulah kali terakhir Andres berkomunikasi dengan Kiara. Sejak saat itu, Kiara seakan lenyap ditelan bumi. Kiara tidak muncul di bandara. Bahkan, namanya tidak tercantum dalam daftar penumpang. Berkali-kali Andres mencoba menghubungi Kiara, tetapi ponsel perempuan itu tidak aktif. Tidak juga esok hari ataupun lusa. Kecemasan Andres berubah menjadi kepanikan ketika agency tempat Kiara bernaung tidak dapat memberi informasi yang memuaskan. Atau, mungkin juga tidak mau—entahlah. Begitu pula dengan teman-teman Kiara yang ia kenal. Andres mulai tenggelam dalam keputusasaan. Tidak ada lagi yang bisa ia hubungi untuk mencari tahu, karena Kiara tidak memiliki keluarga setelah ibunya meninggal dunia. Berkali-kali Andres mendatangi apartemen Kiara. Setiap kali ia menekan bel dengan harapan pintu akan terbuka, dan perempuan yang dirindukan muncul di hadapannya. Harapan yang sungguh sia-sia.

Seumur hidupnya, baru kali ini Andres bertingkah seperti orang dungu. Ya, orang dungu yang patah hati. Hingga akhirnya, ia menerima sepucuk surat. Tidak, bukan surat yang sesungguhnya. Hanya sebuah amplop tanpa alamat pengirim yang berisi cincin berlian yang ia berikan kepada Kiara ketika ia meminta perempuan itu menjadi istrinya. Satu-satunya petunjuk yang ia dapatkan hanyalah perangko negara Perancis yang tersemat di sudut kanan amplop. Tidak terlalu banyak berguna.

Andres frustrasi. Berbagai prasangka bermunculan di benaknya. Mungkin seperti ini cara Kiara menolaknya. Mungkin perempuan itu memang tidak pernah berniat untuk menikah dengannya. Merasa dipermainkan, membuat Andres terluka. Amarah, sedih, dan kecewa menggumpal di hatinya. Hari ini, semua perasaan itu meluap ke permukaan. Dan saat ini, setelah Andres berada dalam mobilnya, rasa ingin tahu mulai menggerogotinya. Andres mengusap rambutnya dengan resah. Dalam hati ia mengutuki kebodohannya. Seandainya tadi ia dapat mengendalikan diri, mungkin sekarang ia sudah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya selama ini.

“Lo kenapa sih? Diam aja dari tadi?”

Pertanyaan Michael menyeret Andres keluar dari lamunannya. “Nggak apa-apa.”

Michael tidak lagi bertanya. Pandangannya telah kembali tertuju pada layar ponselnya.

Andres mengerutkan bibir sementara jarinya mengetuk-ngetuk kemudi. Mempertimbangkan perlu tidaknya meminta nomor telepon Kiara dari Michael atau Nitya, dan menghubunginya nanti. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk tidak melakukannya. Tidak saat ini. Ia butuh waktu untuk meredakan rasa terkejutnya. Ia belum memikirkan cara untuk menemui Kiara, tetapi ia tidak terlalu khawatir. Kali ini perempuan itu tidak bisa menghilang begitu saja. Kiara tidak mungkin melakukan tindakan bodoh dengan meninggalkan pelanggan potensial seperti Riani dan Nitya kan?

*