cover landing

We Shouldn't Have Kissed

By Annisa Haroen


Besok pesawat saya akan landing jam 9.30 jika tidak ada ‘kejadian’ yang tidak diharapkan. See you, Pak Rillo. Harap tepat waktu.

Rillo kembali membaca pesan itu untuk ketiga kalinya, kali ini sambil mengembuskan napas kesal. Selain karena dipanggil “Bapak” di umurnya yang ke-33, ia juga sudah hampir satu jam duduk di coffee shop, menunggu seorang dekorator dari Surabaya yang direkomendasikan oleh sahabatnya, Boma. Karena rutinitas yang padat, Rillo berpendapat bahwa akan lebih baik jika dekorasi rumahnya ditangani oleh seorang profesional. Menurut Boma, dekorator yang pernah menangani rumah kakaknya tersebut mampu menciptakan hasil sempurna dengan menggabungkan unsur seni sesuai kepribadian dan juga feng shui. Namun saking perfeksionisnya, si dekorator terkenal cerewet. Wajar saja, sebenarnya, karena usianya hampir mencapai kepala tujuh. Bagi Rillo tidak masalah, yang penting rumahnya terlihat keren, homey, menjadi tempat bekerja yang nyaman, tidak peduli meski kreator dari keindahan itu adalah makhluk terjelek dari dasar neraka.

Mungkin telatnya oma-oma itu juga karena faktor umur. Bisa saja dia jatuh di garbarata pesawat hingga pingsan atau kesasar. Rillo lebih memilih kemungkinan pertama. Setidaknya ia bisa berada di sekeliling pramugari seksi yang menangani oma bernama Martha itu, daripada harus mencarinya di tengah kerumunan banyak orang.

Rillo kembali mengetikkan pesan singkat untuk Oma Martha. Satu-satunya alasan dia ingin segera beranjak pergi adalah sikap seorang wanita di hadapannya yang terhalang oleh dua meja. Sudah bisa dipastikan, wanita tersebut beberapa kali mencoba untuk memancing perhatian Rillo. Ia dengan sengaja menjilati whipped cream dari sendoknya secara tidak wajar hingga menciptakan suasana awkward. Rillo yakin wanita itu sedang dalam keadaan high.

Bu, di mana? Saya aja, deh, yang samperin Ibu.

Setelah meletakkan kembali ponselnya, Rillo menyesap kopi sambil melihat sekilas ke arah wanita di hadapannya lagi. Kulitnya putih mulus, alisnya melengkung sempurna, bibirnya dilapisi lipstik warna merah yang dipoles dengan teknik overdrawn ala Kylie Jenner. Cukup seksi, namun terlalu agresif.

Ketika hendak mencoba menghubungi seseorang untuk mengusir perasaan tidak nyamannya, ponsel Rillo bergetar. Ada pesan baru dari Oma Martha.

Dekorator: Maaf, Pak Rillo. Sepertinya jadwal hari ini dibatalkan saja.

Rillo: Loh… kenapa, Bu?

Dekorator: Asam urat saya kambuh.

Rillo: Kok baru ngabarin, Bu? Saya udah nunggu dari tadi, loh.

Dekorator: Ya namanya juga kena asam urat, mau jalan aja susah! Gimana, toh? Ini saja saya baru berhasil ngambil hapenya.

***

What a bloody day!

            Setelah rencana pertemuan dengan Oma Martha gagal, lalu si cewek agresif tiba-tiba bermesraan dengan om-om buncit bergelimang batu akik, Rillo juga terjebak macet gara-gara kerumunan massa yang sedang berdemo menyesaki jalan raya. Benar-benar hari yang sial.

Suasana kantor pun tidak kalah kacau. Sudah dua jam listrik mati, sementara mesin genset rusak. Padahal Rillo sudah menyuruh Sammy mengurus mesin itu dari kapan hari. Rillo akan merasa lega jika bisa meluapkan kemarahannya pada Sammy, namun asisten jadi-jadiannya itu sedang sibuk melakukan siaran radio.

“Katupnya bocor, Bro. Tadi teknisinya udah gue telpon,” kata Boma, seorang sahabat juga partner kerja yang dikenal dengan senyumnya yang memikat. Banyak yang beranggapan bahwa Boma merupakan kembaran dari Ji Chang Wook, aktor asal Korea.

Rillo menjatuhkan diri ke sofa sambil mengelap wajahnya yang dipenuhi keringat dengan tisu. “Emang anak setan, si Sammy! Udah diingetin berkali-kali buat benerin itu mesin, duitnya juga udah gue kasih. Parah tuh anak.”

Boma terkekeh. “Udah tahu kalo si Sammy sering lupaan, apalagi soal duit, tapi lo sendiri yang terus-terusan nyuruh dia segala macem.”

Rillo ikut tertawa singkat, mengingat bahwa selama ini Sammy memang sering membuat kesalahan. Namun, Rillo tidak tega jika harus menolak tawaran bantuannya. Lagi pula, Sammy mempunyai sikap yang energik, penghidup suasana dan mau melakukan apa saja demi menafkahi keluarganya di Medan. “Anggap aja dia kayak samsak.”

“Maksudnya, samsak gimana?” tanya Boma.

“Samsak buat ngelatih kesabaran gue. Si Sammy cocok buat dijadiin samsak, karena dia yang paling sering bikin gue emosi. Kalo kita bisa tahan ngadepin dia, berarti level kesabaran kita udah meningkat.”

Boma terbahak lagi. “Harusnya lo nyari asisten cewek sekalian. Biar bisa lebih banyak nahan segala hal.”

“Nggaklah. Jadi asisten gue itu harus kuat mental. Kasian juga kalo nyusahin cewek. Mereka biar dapet yang enak-enak aja.”

“Hahahaha .… Bangsat!”

Semua yang berada di kantor bersorak ketika akhirnya listrik kembali menyala. Rillo langsung meraih jaket yang ia sandarkan di kursi untuk bergegas ke ruangannya. Ia sangat ingin beristirahat diiringi embusan AC. “Oya, jadwal road tour si Dios kapan?”

Next week,” jawab Boma ikut berdiri. “Rundown acaranya udah ada. Semua crew dan runner udah siap. Tinggal serah terima sama road manager.”

“Oke. Terus …. Si Oma Martha dibatalin aja, deh. Gue mau cari dekorator lain. Nanti kita kasih kompensasi aja buat dia.”

“Kenapa? Lagian cuman asam urat doang, gak nyampe seminggu juga sembuh.”

“Nggaklah, gak nyaman juga gue berurusan sama orang tua. Udah punya asam urat, tensian pulak!”

***

Mahesa Record memiliki gedung empat lantai di pusat kota Jakarta. Lantai satu khusus untuk tamu, tempat meeting, juga kafetaria. Lantai dua khusus untuk staf dan ruang siaran radio. Lantai tiga terdiri dari ruang bersantai bagi para artis juga beberapa kamar untuk menginap, sedangkan lantai empat dijadikan studio recording, ruang kerja Boma, dan ruang kerja Rillo.

Pagi hari, suasana kantor Mahesa selalu hectic. Apalagi ketika beberapa artis sedang sibuk melakukan promo dan hampir setiap hari mendapat undangan di banyak stasiun TV. Keadaan tersebut selalu dimanfaatkan oleh Sammy, bagian radio promotion yang juga merangkap sebagai MUA atau asisten dadakan. Ia merupakan pria gemulai berperawakan gemuk, berkulit putih dengan rambut keriting sebahu, berdarah Batak-China. Tidak ada yang tahu bahwa Sammy juga sering menjual gosip para artis Mahesa. Sebagai pencinta uang, apa pun akan ia lakukan.

“Ada yang mau gue make up-in?” tanya Sammy, setelah mendaratkan kakinya di lantai tiga.

Tidak ada satu pun yang menyahut. Semua sedang fokus dengan kesibukan masing-masing. Ada yang sedang olah vokal, fingering gitar, ada sekelompok artis baru yang saling memamerkan barang branded, bahkan ada yang mengobrol dengan ikan koki. Sammy tidak mau menyerah. Ia harus mendapatkan upah dari jasa yang ia tawarkan sebelum ada bibit-bibit gosip yang bisa disebar. Matanya terus memicing untuk mencari mangsa, hingga akhirnya ia melihat Rillo yang baru turun dari lantai empat.

“Siang, Bos Rillo .… Udah lunch belum? Mau aku pesenin?”

Rillo mendelik. “Ah, parah lo! Itu kenapa mesin genset gak dibenerin juga?”

Sam langsung teringat ketika Rillo mengamanahkan perbaikan mesin genset sekitar minggu lalu. Uangnya terpakai untuk membeli kacamata baru, namun ia lupa untuk menggantinya. “Oh, yampuuun .… My bad, Bos! Uangnya sempet kepake buat bayar iuran sekolah adikku. Terus aku lupa ngeganti.”

Ck! Ya udahlah. Udah diurus si Boma,” ucap Rillo. “Pesenin nasi padang yang biasa, dong. Lo pesen juga kalo mau.”

“Asiaaap!” Sammy pun segera membuka aplikasi untuk memesan makanan. Setiap hari, ia selalu memutar otak supaya bisa makan tanpa mengeluarkan uang.

Rillo sendiri menghampiri seorang drummer dari salah satu band asuhannya. “Bro! Lo kemarin abis ngebangun rumah, kan? Pake jasa dekorator gitu, gak?”

Drummer berambut gondrong yang sedang mengajak bicara ikan koki itu pun menoleh. “Nggak. Gue cuman ngedekor bareng cewek gue doang. Semua barang juga kami yang pilih sendiri. Kenapa, Bang?”

“Yang kemaren mau ngedekor rumah gue, tahunya ada halangan. Si Boma, sih, pake rekomendasiin orang tua. Kali lo punya kenalan dekorator, gue minta kontaknya, dong. Tapi mau liat portofolionya dulu.”

“Nanti gue coba tanya temen-temen, deh. Kalo ada langsung dikabarin.”

Rillo mengangguk. “ASAP, ya. Cari beberapa opsi aja, biar bisa gue pilih,” ucapnya. Ia pun pamit untuk kembali ke ruangannya. “Sam, kalo makanannya udah dateng, anterin ke atas. Nanti sekalian gue gantiin saldonya.”

“Oke, Bos,” jawab Sammy sebelum turun ke lantai dasar untuk menunggu Abang GoFood.

***

Salah satu cara cerdik mengelola keuangan adalah mendekatkan diri pada orang-orang tajir. Setidaknya, begitu menurut Sammy. Minimal, dia bisa makan gratis atau menawarkan jasa untuk mendapatkan tip.

Makan siang tadi sudah gratis. Giliran makan malam. Sammy memanfaatkan keadaan sahabatnya yang sedang patah hati. Ralat, bukan patah hati. Sahabatnya itu sedang merasakan kekesalan menggunung terhadap Dios, salah satu artis pendatang baru di Mahesa Record. Sam pun menawarkan diri untuk menjadi wadah yang bisa menampung seluruh kekesalan yang ingin ditumpahkannya sambil barbeque-an di restoran jepang.

Sahabatnya itu bernama Pearly. Ia berpacaran dengan Dios selama kurang lebih tiga tahun. Meskipun perjalanan asmara mereka tidak semulus pantat bayi, Pearly tetap mempertahankan Dios hingga membantunya mencapai impian sebagai penyanyi. Namun Dios memutuskan hubungan mereka setelah menuai kesuksesan dan memilih untuk berstatus sebagai jomblo.

“Kalo gak salah, minggu depan si Dios ada jadwal road tour, bareng anak-anak  Alexound,” kata Sam.

Merasa geram setiap nama mantannya disebut, Pearly meremas sumpit dengan erat, lalu mulai menusuk-nusuk dagingnya dengan ganas. “Bisa gak, sih, kita gak nyebut namanya dulu?”

“Terus mau nyebut dia pake nama apa? Anjing?”

Seakan mendapatkan ilham, Pearly menjentikkan jari dengan lemah. “Nah! Goofy aja.”

Sam mengangguk. “Gue bisa, sih, ngancurin karier si Goofy dalam sekejap. Tapi lebih enak kalo nunggu dia naik pamor dulu, biar jatohnya lumayan ‘berdarah’,” ujar Sam dramatis. Lebih tepatnya, semakin tinggi pamor seseorang, semakin besar juga imbalan untuk mengembuskan gosip tentangnya.

“Gak perlulah jatohin kariernya dia. Gue cuman pengin ketemu. Ngobrol face to face, nanya kenapa dia bisa tega ngelakuin itu sama gue.”

“Bosen kali dia sama lo,” jawab Sammy santai.

Pearly menyandarkan punggung, merasa kehilangan selera. “Setelah kami berhubungan selama tiga tahun? Setelah apa yang udah gue lakuin buat dia? Seenggaknya dia bisa ngomong baik-baik di depan muka gue kalo emang mau pisah. Gak kayak pengecut cuman lewat chat, terus ngilang gitu aja kayak ditelen bumi.”

“Dunia entertainment itu penuh godaan, Pearl, apalagi buat cowok yang baru megang duit banyak. Bisa aja dia nemu cewek yang lebih segala-galanya dari lo. Makanya langsung mutusin gitu.”

“Bisa gak sih, kasih kata-kata yang ngehibur dikit? Kasih quotes bijak atau positive vibes, kek!” Pearly sewot.

Sam tertawa sinis sambil membalikkan daging di atas panggangan. “Okeee .… Pemikiran positif gue mengatakan kalo kemungkinan si Goofy lagi nge-prank, terus tiba-tiba nanti dia ngasih lo surprise sambil bawa kotak cincin. Gimana? Puas dengan kata-kata penghiburnya?”

Pearly terdiam.

            “Gini aja, deh .… Lo maunya gimana? Mau gue mintain nomor teleponnya atau langsung gue labrak aja kalo nanti ketemu dia di kantor?” tanya Sammy lagi.

“Yaaa .… Kalau bisa, lo usahain gimana caranya gue ketemu sama dia tanpa dilihat banyak orang.”

“Emang kenapa, sih, kalo dilihat banyak orang? Bukannya lebih bagus? Nanti gue videoin kalian biar viral. Lo bisa pansos dan akhirnya banyak online shop yang minta lo jadi endorser.”

Akhirnya Pearly bisa tertawa. “Justru itu alasan kenapa gue gak mau ketemu dia di tempat umum. Nanti dikira nyari sensasi murahan.”

Sam mengembuskan napas pelan. “Liat entar aja deh, ya. Si Goofy kan sekarang lagi sibuk banget. Gue jarang liat dia di kantor, kalopun dateng paling langsung naik ke studio. Emang lo mau berapa lama di Jakarta?”

Pearly mengedikkan bahu. “Belum tahu. Gue lagi ngehindarin keluarga dan butuh sesuatu yang baru buat ngalihin pikiran. Tapi gak tau mau ngapain.”

Teringat akan sesuatu, Sam langsung menjentikkan jari. Ia meneguk minumannya terlebih dahulu sebelum berbicara. “Lo mau ngedekor rumah gak?”

“Rumah siapa?”

“Gue liat rumah lo yang kemarin dekorasinya bagus juga tuh. Mending lo jadi dekorator bos gue aja. Kebetulan dia lagi nyari dan kalian punya nasib sama. Sama-sama baru ditinggal pacar.”

“Ogah! Selera orang kan beda-beda.”

“Coba dulu, dong. Siapa tahu lo bisa manfaatin si Bos buat ketemuan sama si Goofy,” seloroh Sam sambil bernafsu memencet sebuah nomor telepon.

“Eh, lo mau telepon siapa?”

“Sssst! Halooo .… Bos Rillo.”

[Yap, kenapa, Sam?]

“Tadi kalo gak salah lagi nyari dekorator, kan? Gimana, udah nemu?”

[Belum. Kenapa emang?]

“Oh, aku ada nih temen dekorator yang bagus banget. Dia pernah ngedekor rumah dinas wali kota, apartemen seleb papan atas, hmmm … restoran mewah sama hotel juga.”

[Oya? Boleh, tuh. Minta portofolionya aja, gue mau lihat dulu.]

“Oke, nanti aku kirim ke e-mail.”

[Sip.]

Pearly mengernyitkan dahi. “Lo ngapain, sih? Gue belum bilang iya, loh!”

“Gue lagi nyusun rencana brilian, gimana caranya lo bisa ketemu sama si Goofy. Dan ini juga satu-satunya cara supaya lo bisa ngalihin pikiran sekaligus menghasilkan cuan.”

“Ya gak gitu jug—"

“Pearly, honey, please.” Sam meletakkan telapak tangannya di depan wajah Pearly.Lo gak mungkin dateng ke Jakarta cuman mau minta quotes bijak dari gue, kan? Kata-kata motivasi itu bullshit! Manusia hanya butuh duit. Oke, gue tahu duit lo udah banyak. Lo hanya butuh pengalihaaaan .… Soal duit biar gue yang nampung.”