cover landing

Unwritten Destiny

By Daryani_Windya


Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, sebab semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.

***

SMA Pelita, sebuah sekolah yang letaknya di pinggiran kota Jakarta. Seluruh siswa sibuk dengan acara karnaval yang akan digelar pada tanggal 16 Agustus ini. Di lapangan sekolah sudah terdapat beberapa kelompok siswa yang memakai seragam sesuai dengan perannya. Ada kelompok yang memakai baju adat, profesi, pahlawan, ibu rumah tangga, ibu-ibu sosialita, ustazah, bahkan ada yang memakai pakaian dari barang-barang daur ulang.

Seorang siswi yang memakai make-up ala pengantin mengipasi wajahnya dengan sebuah kardus minuman gelas. Ia merutuki nasibnya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia luntang-lantung tidak jelas mengikuti arahan dari para pembina.

"Lagian, kenapa harus pakai baju pengantin sih? Adat Jawa pula. Yang ada lo diledekin orang-orang nanti."

Nama cewek yang memakai baju pengantin adat Jawa itu adalah Lydia Mwarisa. Ia memandangi Tari, sahabat karibnya yang ingin ikut duduk. "Eh, jangan ikut duduk. Pantat lo nggak muat, tuh!"

"Peduli setan!" Tari mendengkus. "Mending juga kayak gue, bagian profesi. Jadi guru kan lebih gampang daripada dandanan lo. Udah kayak tante-tante mau nikahan, tau nggak?"

Cewek yang biasa di sapa Lydia itu memutar bola mata. "Itu si Yuni pake baju adat juga, tapi kok nggak lo marahin? Gue kan ngikut perintah wali kelas kita doang."

"Kan bisa sih ganti sama yang lain. Barter gitu."

"Semuanya kembali ke barisan masing masing! Kita udah mau berangkat, ya. Pejuang-pejuang di barisan depan!" Salah satu anggota OSIS memberi komando.

"Eh, udah mau mulai tuh!" Lydia mendorong bahu Tari pelan, tapi cewek yang memakai seragam guru itu tidak berniat pergi sama sekali. "Aduh, ini kaki gue sakit banget tumitnya. Sepatunya nggak enak di pake, ah!"

Tari mencari sesuatu dari dalam tas selempangnya. "Nih, coba pake Hansaplast." Lydia mengambilnya tanpa ragu.

"Makasih. Udah sana buruan balik ke barisan lo!" Lydia kembali mengusir sahabatnya itu, belum sempat ia mengatupkan bibir, tiba-tiba seorang cewek berbadan tinggi dengan dandanan ala pejuang kemerdekaan datang.

"Lo nggak dengar panitia bilang apa? Cepat balik ke barisan lo sana!"

Tari cengengesan, sedangkan Lydia menutup mulut menahan tawa.

Waktu berlalu, siswa-siswi sudah sibuk berjalan ke lapangan besar yang ada di kecamatan. Ambulans mengikuti dari belakang untuk berjaga-jaga jika ada yang pingsan.

Lydia sibuk menutupi wajahnya dari sengatan terik matahari. Sepanjang jalan, Lydia tidak bisa berceloteh lagi, selain karena tubuhnya kelelahan, ia pun tidak mengenal orang-orang yang berada di sekitarnya. Bahkan cowok yang berdiri di sampingnya juga terasa asing. Ya, cowok di sebelahnya itu adalah pasangannya, lebih tepatnya pasangan dari baju adatnya.

"Panas ya?"

Lydia yang mendengar suara cowok di sampingnya itu segera menoleh. Dalam hati ia sudah merutuk tidak jelas. Udah tau panas, masih tanya lagi. Dasar nggak jelas! Setelah beberapa detik memandang cowok di sampingnya, Lydia kembali menatap kedepan. "Dingin!"

Cowok itu terkekeh, lalu tak beberapa lama terdengar suara-suara orang sekitar yang menggoda mereka sepanjang jalan. Lebih tepatnya, menggoda sekumpulan siswa-siswi yang memakai baju ala-ala pengantin. Lydia rasanya ingin mati saja. Ini semua gara-gara informasi yang mengatakan kalau cowok yang ia idolakan diam-diam, memakai baju adat. Akhirnya, Lydia pun dengan semangat memilih tema baju adat di karnaval kali ini. Sejak tadi, matanya berkelana mencari keberadaan cowok yang ia idolakan. Sayangnya, cowok itu tidak kunjung ketemu.

"Nih, mau air minum nggak?"

Lydia mengangguk dan meraih air mineral gelas yang disodorkan cowok di sampingnya. "Makasih… Kak? Hmm… Kak—“

"Hendra! Nama dia Hendra, Dek." Suara dari belakang menyahut. Lydia merasa deg-degan tiba-tiba. Itu suara Yendi, sahabat dari cowok yang ia sukai. Lydia menolehkan kepalanya ke belakang, Astaga! Benar apa dugaannya. Cowok yang ia suka tepat berdiri di belakangnya.

"Ngucap Lyd, ngucap!" Lydia berkata dalam hati sambil menepuk-nepuk kedua pipinya. Rasanya ia ingin tersenyum terus, padahal sedari tadi wajahnya sudah seperti wajah tante-tante yang tengah merajuk. Saking sibuknya ia tersenyum sambil berpikir yang tidak-tidak, tanpa sengaja cewek itu menjatuhkan ponselnya.

"Aduh!" Lydia berhenti berjalan sampai membuat orang yang di belakangnya ikut berhenti. Ia berusaha memungut ponselnya dengan susah payah, rok yang ia pakai sangat sempit sekali. Ia saja sampai kesusahan saat berjalan. Belum sempat ia menunduk untuk mengambilnya, seseorang telah mengambilkan ponsel itu Lydia.

"Nih! Untung nggak pecah layarnya."

Lydia tersenyum manis, entah kenapa. Lydia menerima ponsel yang diulurkan cowok yang katanya bernama Hendra itu. "Makasih.” Hendra ikut tersenyum.

"Cieee… gas, Ndra! Gas! Tanya namanya dulu lah."

Suer!

Sebenarnya Lydia merasa risi sekali mendengar ledakan Yendi kepadanya. Tapi ia diam saja, yang terpenting, ia bisa berdekatan dengan cowok yang dia suka walaupun tidak berpasangan.

Bahu Lydia tiba-tiba dipegang seseorang, dengan cepat dia menoleh. "Capek nggak? Kalau capek biar kakak gendong."

"Nggak kok Kak, masih kuat." Lydia tidak lagi memedulikan celotehan Yendi yang sibuk menggodanya. Untung temannya ganteng, Lydia membatin.

"Kok muka lo pucat banget gitu? Lo kecapekan?" tanya Hendra.

Lydia menggeleng, memang sebenarnya kepalanya sedikit pusing. Namun ia tidak mungkin menepi di pinggir jalan sendirian.

"Gue lapor ke panitia, ya?"

"Nggak usah, Kak."

"Muka lo pucet banget walaupun ketutupan make up. Gue gak bohong!"

Lydia memegang kepalanya dengan tangan kiri, matanya memejam menahan pusing. Rasanya ia akan limbung, dua orang laki-laki di belakangnya mendekat. Ia sempat melihat Hendra menyentuh pergelangan tangan kirinya.

Seseorang di belakang memegang kedua bahu Lydia. “Lo kenapa?" Cowok itu membalik badan Lydia, menyentuh tangan cewek itu pelan "dingin." imbuhnya.

"Dia sakit itu, Van! Gue panggil Pak Andi dulu ya, lo bawa dia ke pinggir situ aja dulu." Ucap Yendi sebelum berlari ke belakang mencari ambulans dan guru pembinanya.

"Oke. Lo lanjut jalan aja, Ndra. Biar gue yang urus dia."

Lydia menahan napas, harum parfum cowok yang berada di dekatnya ini tercium langsung di indra penciumannya. Perlahan tubuhnya terangkat ke atas, cowok itu menggendongnya? Rasanya Lydia ingin membuka mata, namun tidak bisa sama sekali. Ingin bergerak pun rasanya sulit, tubuhnya lemas sekali. Setelah itu ia tidak tahu apa yang terjadi lagi. Ia hanya tahu jika, cowok yang dia sukai diam-diam itu tengah menggendongnya.

***