cover landing

Unexpected to be Mom

By freyay


Bekerja di sebuah perusahaan besar adalah impian banyak orang.  Mendapatkan gaji yang cukup besar dan fasilitas yang sangat memudahkan pekerjaan, beruntunglah, seorang perempuan bernama Raina yang telah bekerja di perusahaan seperti itu selama dua tahun meskipun hanya bekerja di kantor cabang dari sebuah perusahaan swasta besar. Raina bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di usia dua puluhan setelah lulus diploma dengan nilai yang baik.

Siang hari ini Raina masih disibukkan dengan pekerjaan kantornya oleh sang atasan yang baru saja menambah beban kerja Raina menjadi dua kali lipat. Hani—atasan Raina—mendadak izin sebab anaknya harus segera dibawa ke rumah sakit dan tidak akan kembali ke kantor sampai sore nanti. Raina mau tak mau harus mengambil alih pekerjaan Hani dan terpaksa jam makan siang kali ini digantikan dengan menyelesaikan proposal kantornya yang harus dikirim jam tiga nanti ke kantor pusat.

Hari ini libur makan siang, deh. Ucap Raina dalam hati.

Jemarinya sibuk mengetik dan matanya tidak beralih sedetik pun dari layar komputer di depannya. Membuat proposal kantor bisa memakan waktu dua jam lebih. Belum lagi dia harus merevisi kembali untuk meminimalisir adanya kesalahan dalam pengetikan yang mungkin akan memakan waktu lebih. Sebenarnya, Raina ingin protes sebab selalu dirinya yang menjadi sasaran empuk untuk selalu menyelesaikan sisa kerjaan atasannya, sebagai bawahan perempuan paruh baya itu, namun Raina tidak bisa. Dia hanya tersenyum dan membiarkan berkas atasannya tertumpuk di atas mejanya.

Di samping kubikelnya, Alaska, teman satu divisi Raina memanggil.

"Ra, gak mau ikut gabung makan siang sama kita-kita?" Tanya Alaska memperhatikan jam yang ada di pergelangan tangan kanan, lalu melirik Raina dengan kerutan di kening, menunggu.

"Duluan aja-eh!" Raina memutar kursinya menghadap Alaska. “Aku nitip mie Mang Tejo di depan, ya! Gak pedes tapi."

Alaska bersiap untuk pergi. "Oke! Mana duit lu?" Tangannya ia julurkan ke arah Raina. Meminta uang sebab jujur saja lelaki itu hanya membawa uang pas-pasan hanya untuk makan dirinya sendiri.

Raina berdecak sebentar, tanpa mengalihkan perhatiannya yang kembali pada layar komputer, menjawab "Pake duit kamu dulu, deh. Ntar aku ganti."

"Tolong ngertiin kondisi keuangan saya, Buk. Lagi miskin." Senyum Alaska meledek.

Raina dengan malas memberikan dua lembar uang sepuluh ribu padanya. lelaki itu pergi bersama teman-teman yang lain kemudian melambaikan tangan pada Raina. Ia sengaja membuat perempuan itu kesal.

Alaska kadang memiliki sikap yang menyebalkan, tetapi lebih banyak menghibur Raina. Lelaki itu satu-satunya rekan kantor yang dekat dengan Raina. Sifatnya supel dan suka membawa gelak tawa saat sedang berbicara. Bisa dibilang Alaska pembawa energi positif untuk semua orang di kantor mereka.

Jam satu siang, Raina masih sibuk mengetik dan pekerjaannya baru saja selesai setengah. Ia mengeluh dan menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. Menyelipkan rambut nakal yang mengganggu penglihatannya ke belakang telinga. Melanjutkan pekerjaan, Raina kembali fokus meskipun perutnya sedari tadi meminta diisi.  Perutnya yang keroncongan parah akhirnya memaksa Raina berhenti sejenak dan meraih handphone yang ada di atas meja untuk menghubungi Alaska agar secepat mungkin kembali membawa makan siangnya sekarang juga.

Setelah menekan panggilan pada Alaska, Raina menempelkan benda pipih itu ke telinga kirinya dan menunggu jawaban dari seberang. Tak sampai sepuluh detik, suara Alaska terdengar samar bersama bunyi kendaraan berlalu-lalang. [Halo?]

"Al, kamu udah beres makan, belum? Aku udah laper, nih!" Raina memegang perutnya yang dibalut blazer hitam setelan kerjanya. Ia memasang wajah cemberut agar Alaska tahu betapa inginnya ia menyantap makan siang sekarang juga meskipun pastinya orang di seberang sana tidak akan tahu ekspresinya itu.

[Lagi dibikinin sama Mang Tejo! Ntar kalo udah selesai gue kabarin! Udahan ya—]

"Tunggu! Gak jadi deh, aku minta OB bikinin mie aja." Potong Raina cepat.

[Eh? Pret! Ini beneran lagi dibikin sama Mang Tejo!] Kesal Alaska namun tidak digubris Raina.

"Buat kamu aja. Soalnya udah satu jam nunggu, nih!" Raina hendak menutup panggilannya sebelum Alaska mengutarakan kekesalannya.

[Parah lu beb! Kalo gue mang ojek dan lu pesan Go-food bisa-bisa lu udah ngerugiin gue. Mana di akhir nanti lu kasih bintang satu. Kejam!]

Tak tega mendengar curhatan Alaska, Raina pun pasrah. "Oke-oke. Aku gak jadi minta OB tapi kamu harus cepat ke sini, ya! Mana ada jam istirahat makan siang satu jam lebih kayak gini?"

[Salahin mang Tejo banyak yang pesan, jangan salahin gue.]

TUT!

Panggilan ditutup oleh Alaska di seberang sana. Raina menarik napasnya dalam, lalu perempuan itu kembali sibuk dengan pekerjaannya yang masih berjalan setengah.

Raina tersenyum mendengar kekesalan Alaska barusan. Dia sangat suka mengusili lelaki itu karena baginya lucu saja mengisengi seorang teman. Tau aja si Al kalau dia jadi mang ojek, aku bakal ngasih dia bintang satu. He-he.

Tidak sampai dua menit, Alaska datang dengan tangan membawa sebungkus makanan sesuai pesanan Raina. Ia bergegas memberikan bungkus itu pada Raina dan segera kembali ke mejanya.

Raina mengucapkan terima kasih dan melihat ke arah Alaska sejenak. Cowok itu tengah merengut dengan bibir dimajukan ke depan.

“Kenapa monyong gitu bibirnya?” Tanya Raina iseng.

“Mang Tejo kelamaan bikin mienya.” Jawab Alaska semakin memasang wajah cemberut.

“Mang Tejonya yang lama atau kamunya yang lagi asyik ngobrol sama yang lain di sana?” goda Raina sambil tersenyum.

“Mang Tejonya yang asyik ngobrol makanya lama.”  Balas Alaska lagi dan mulai kembali mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya tersendat.

Raina tertawa. “Makasih loh, ya! Tapi kembalianya enggak niat disimpen, kan?”

Alaska memutar bola matanya dan membuang napas kasar. “Yaa ampun, sisa tiga ribu doing, pelit amat, ya Allah!” ucapnya dan berjalan menuju meja Raina, mengeluarkan tiga lembar uang seribu ke atas meja perempuan itu. Raina cekikikan melihat sikap Alaska yang kesal dibuatnya.

***

"Papa!" Teriak bocah kecil berusia tiga setengah tahun yang sedang berlari mengejar pria yang baru saja membuka pintu swing berbahan kayu setinggi dua meter masuk ke ruang kerjanya. Bocah itu sedari tadi berada di ruangan kerja sang ayah yang ada di lantai dua puluh tiga. Ruangan itu diisi beberapa perabot seperti sofa, meja dan lemari serta hiasan-hiasan dinding monoton berwarna hitam dan putih. Setiap kali sang ayah harus mengadakan rapat di ruang rapat kantor, bocah cilik itu menunggu bersama pamannya yang juga sekretaris sang ayah di ruangan itu hingga ayahnya kembali. Pria itu merendahkan badannya dan memeluk sang putra yang berlari ke arahnya cepat, lalu menggendongnya.

Raiden nama anaknya. Selama dua jam di ruang kerja sang ayah, ia hanya memandangi gedung-gedung melalui jendela kaca ruangan ini, seolah membayangkan gedung-gedung tersebut tengah berlomba mendapatkan predikat tertinggi. Raiden berpikir hanya gedung kantor ayahnyalah yang paling tinggi di antara yang lain. Ditemani sang paman—Handoko—Raiden duduk manis dalam pangkuan laki-laki itu menunjuk satu per satu gedung-gedung yang terlihat di depan matanya. Sesekali Handoko ikut berseru membalas Raiden.

"Kenapa lama banget, sih, pah? Aden galau nunggunya." Ucap Raiden sembari memajukan bibirnya cemberut.

Sang ayah yang menggendongnya pun mengerutkan kening bingung mendengar ucapan anak itu dan melirik Handoko dengan memicingkan mata curiga.

Handoko yang tak lain adalah sepupunya hanya menyengir sambil membuat tanda 'V' dengan kedua jari di tangan kanannya. "Sorry, Bos! Aden kecepatan banget belajarnya." Handoko tiga tahun lebih muda dari ayah anak itu. Semenjak ayah dari anak yang ia asuh telah ditinggal pergi oleh sosok istri untuk selamanya, Handoko lebih banyak membantu mengurus Raiden dengan senang hati saat berada di kantor.

Nama ayah dari anak itu adalah Galih. Pria berusia 36 tahun, bos dari perusahaan yang sudah dijalani keluarganya selama setengah abad. Ia juga membesarkan Raiden seorang diri selama dua tahun ini dengan menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi Raiden.

Galih duduk di atas sofa hitam sepanjang dua meter sembari memangku anaknya dan menggelengkan kepalanya pada Raiden. "Aden tahu arti galau itu apa?"

Raiden yang dilirik pun mengalihkan pandangannya pada sang paman. "Apa Om altinya?" Tanya bocah itu polos dengan cadel.

Handoko yang diteror pertanyaan itu pun melengos siap keluar dari ruang kerja Galih. Tapi suara dehaman yang dikeluarkan Galih berhasil membuat Handoko kembali melirik ke arah dua orang yang tengah duduk santai di atas sofa di belakangnya.

"Han, jangan ajarkan Aden yang tidak-tidak. Sekarang bisa jelaskan ke Aden galau itu apa sebelum dia tanya pada saya yang sama sekali tidak mengerti bahasa aneh itu,” pinta Galih.

Terpaksa Handoko ikut duduk di samping bosnya, pasrah. Lelaki berkacamata itu melirik Raiden yang memandangnya bertanya. Membuat lelaki itu gemas dan ingin mencubit kedua pipi keponakannya. "Aden, galau itu artinya kacau atau gak karuan. Jadi orang yang galau itu kayak jomblo—“

"Jomblo itu apa, Om?" Tanya Aden lagi dan Handoko menepuk keningnya tanpa sadar membawa kata baru pada keponakan kecilnya. Handoko sadar bahwa bocah cilik itu masih banyak belajar mengenal makna arti kata yang jarang ia pahami.

Handoko mendorong kacamatanya yang turun di bawah ujung hidungnya ke posisi semula. Setelahnya, pria itu menjawab, "Jomblo itu kayak papanya Aden," ucapnya membuat orang yang disinggung pun menatap Handoko sinis. Handoko dengan cepat tersenyum dan menggeser jarak dari bosnya. "Gak ada pasangan."

Raiden yang mendengarnya pun mengangguk paham dan melirik sang ayah. "Jadi Papa lagi galau ya, Om? Gak ada pasangannya?"

Galih mendesah kuat dan menggeser anaknya turun dari pangkuannya berpindah ke samping sekretarisnya. "Tolong jaga Aden lagi, sebentar." Ucapnya lalu bangkit dan hendak berjalan pergi keluar ruangan sebelum sang sekretaris bertanya. "Mau ke mana, Bos?"

Galih tetap berjalan kembali ke arah pintu yang ia lewati sebelumnya. Ia melirik Handoko sekilas dan berkata, "Saya mau pergi ngegalau dulu. Kenapa?" Ucapnya dingin dan menghilang di balik pintu kayu itu.

Kedua orang yang ada di dalam ruang kerjanya pun saling berpandangan dengan wajah bingung. Raiden yang paling tidak tahu maksud ayahnya pun melirik Handoko bertanya, "Papa ngegalau ke mana, Om?"

Handoko menepuk keningnya sekali lagi. Ternyata keponakan kecilnya ini lebih kepo dari pada wartawan yang berdatangan kemarin sore mempertanyakan status bosnya itu yang kariernya baru saja melambung dan masuk ke dalam daftar orang terkaya di negerinya di usianya yang masih muda. Lelaki itu pun menjawab pertanyaan Raiden dengan kedua bahu diangkat ke atas, berkata, "Mungkin mau cari mama baru buat Aden."

***