cover landing

Undo Love You

By sandarsaka


Selama tiga puluh lima tahun hidup sebagai wanita, Sore tidak pernah menyangka sebatang penis akan tumbuh di selangkangannya. Kenapa bisa begini? Ini tubuh siapa? Kenapa mendadak Sore bisa berada di toilet bau pesing ini?!

Belum sempat kekagetan Sore luntur, pintu kamar mandi digedor. Sebuah suara memanggil dari luar, “Ganda! Udah belom beraknya? Yang lain udah mulai pemanasan!”

Ganda? Mendengar nama itu, Sore refleks melirik dada kiri seragam yang melekat di badannya. Tanda pengenal bertuliskan nama Ganda tertera di sana. Berkat itu, fokus mata Sore pun ikut menangkap badge sekolah di lengan kiri seragam.

Eh? Sore terjebak di tubuh remaja SMA, dan sekolah ini adalah SMA-nya dahulu!

“Ganda, cepetan!” Tidak digedor lagi, pintu cubicle toilet bergetar kena tendang.

“I-Iyaaa, bentaaar!” Sore menjawab, tapi yang keluar adalah suara sember ala ABG baru baligh. Sore jadi menelan ludah, berdehem-dehem.

Menyadari tubuhnya adalah tubuh anak di bawah umur, Sore segera waspada untuk tidak pegang-pegang sembarangan. Meski tidak tahu alasan kenapa ia terbangun di tubuh Ganda, Sore tetap tidak ingin dirinya terlibat pelanggaran undang-undang pelecehan terhadap anak di bawah umur. Tapi … Ganda belom cebok!

“Eww! Ewwh! EWW!” Sore bergidik.

Suara peluit panjang terdengar dari kejauhan. Bersama itu, tempo gedoran pintu makin rapat. Sore buru-buru membersihkan diri, menarik celana abu-abu, lantas membenahi seragam OSIS-nya. Sebelum kawan tak sabaran itu menjebol pintu toilet, Sore yang kesulitan bergerak dalam cubicle karena tubuh bongsor Ganda cepat-cepat keluar.

“Astagaaa …. Kenapa belom ganti baju? Udah ditungguin dari tadi juga! Pak Bagus udah niup peluit, tuh!”

Sore gagal memprotes panggilan tak sabar anak lelaki itu. Alih-alih kesal, kebingungan Sore bertumpuk hingga memberati rahangnya. Sore menganga.

“Wi-Widi …? Kok kamu ….” Sore menatap sosok siswa yang sudah mengenakan seragam olahraga dan tampak berkeringat sudah pemanasan itu.

“Kok kamu balik jadi anak SMA?”

“Apaan, sih ...?” Widi mengerutkan kening, tak mengerti kenapa Ganda menatapnya naik turun.

Sore yakin benar, ia sedang bermimpi. Kalau tidak, mana mungkin ia berganti tubuh secara tiba-tiba begini. Lagi pula, harusnya Widi sudah dewasa seperti Sore, bukan lagi anak SMA.

Eh … Jangan-jangan … Sore sedang melompati waktu ke masa lalu!

“Aku duluan. Buruan ganti baju. Sesuai perjanjian, kalau hari ini aku yang mecahin rekor lari 100 meter, kamu yang harus nanggung makan siangku selama satu minggu.”

Berlari kecil, Widi remaja meninggalkan Ganda yang lemas bersandar pada gawangan pintu toilet. Apa yang terjadi pada Sore?

 

***

 

2022, Present Day.

Thank God It’s Friday. Sepertinya ungkapan itu tidak berlaku untuk karyawan Arsiteja minggu ini. Kalau biasanya mereka akan giat menuntaskan pekerjaan agar bisa terhindar dari lembur di akhir pekan, kali ini berbeda. Setiap divisi sibuk mengemas barang-barang mereka. Entah itu dokumen, barang elektronik, hingga furniture. Sejak pagi sampai matahari memekik di puncak langit, mobil bak terbuka yang biasa mengangkut material bangunan sudah sibuk mondar-mandir memuat barang-barang dari dalam kantor.

Sebagai firma Arsitektur, kontraktor, dan developer bangunan yang sudah beroperasi puluhan tahun, Arsiteja cukup sibuk. Seiring dengan lingkup pekerjaan yang mulai banyak, karyawan Arsiteja makin berjubel pula. Gedung kantor tua Arsiteja sudah mencapai batas kapasitas. Syukurlah, pertengahan tahun kemarin Arsiteja sudah bisa membangun gedung kantor baru. Bangunan tiga lantai yang cukup besar itu berjarak lima ratus meter saja dari gedung lama. Tepat di depan perumahan yang banyak ditempati karyawan Arsiteja, salah satunya Sore.

“Kak Re, dokumen proyek tahun 2015 masih mau disimpan atau dihancurin, nih?” Jenna, desainer interior dalam tim Sore, hari ini tampak berdebu. Ia bertugas membongkar lemari arsip dan memilah dokumen.

Mata Sore masih lekat ke layar komputer, satu-satunya benda elektronik yang masih bertahan di ruangan ini setelah yang lain dipreteli dan dipindah duluan ke kantor baru. Untuk jaga-jaga kalau ada pekerjaan genting yang membutuhkan komputer, misalnya membalas e-mail klien tak sabaran seperti yang dilakukan Sore sekarang.

“Kalau masih lima tahun ke belakang, simpan dulu aja, Jen. Pastikan dokumen legal sudah kamu amankan, ya. Untuk dokumen desain segala macam, harusnya kita sudah punya backup di komputer.”

Mendengar jawaban Sore, Abi si drafter terkekeh geli, “2015 itu tujuh tahun yang lalu, Mbak Re. Hahaha, Mbak Sore pikun.”

“Astaga! Iya! Aku lupa, kirain sekarang 2019!”

“Ya emang 2020 sampai 2021 rasanya kayak ke-skip, sih …. Tapi kayaknya kalau Mbak Sore time slip ke masa depan pun, tetep ngerasa masih umur dua-dua, deh. Kelakuannya suka takabur, lupa umur!”

Segepok sticky notes hijau neon melayang, menyambit Abi yang cengengesan. Komentar pedas Sore menyusul kemudian. “Sebagai orang yang gajinya nggak nutup biaya perawatan anti-aging-ku, nggak usah banyak komen kamu, Bi.”

“Duh, iya. Ampun, Nyonya!”

Sore tersenyum menang. Jenna dan Abi kembali fokus membereskan barang-barang dalam ruangan tim mereka. Tak ingin membuat suasana membosankan, Sore menyetel musik dari komputer. Juragan Empang - Nella Kharisma, favorit Abi, supaya anak itu berhenti meledeknya dan nyanyi-nyanyi saja.

Ketika Abi baru asik head-bobbing mengikuti gebukan drum di intro lagu, suara ketukan terdengar bersama kemunculan sesosok lelaki di ambang pintu. Kemeja hitam yang ia kenakan sama kusutnya dengan tiga orang lain di dalam ruangan. Ia memanggil Sore sambil mengelap keringat, “Re, Papa minta kamu milihin buku di rumah buat ditaruh di lounge kantor baru.”

 "Cieeee! Papaaa!" koor panjang pecah di ruang kerja tim Sore, membuat dengusan geram wanita berambut long bob itu lolos begitu saja tanpa bisa ditahan.

Ini, nih ... yang membuat hidup Sore di kantor suka kurang nyaman. Laki-laki ini— entah karena tidak peka dengan situasi atau memang terlalu masa bodoh dengan omongan sekitar—selalu saja berhasil menempatkan Sore jadi korban ledekan.

Dia adalah Widia Nuraga Suteja. Dari nama belakangnya yang homofon dengan nama perusahaan, bisa dipastikan dia orang penting di sini. Jabatannya, sih, sama dengan Sore. Sama-sama project manager, tapi memimpin tim yang berbeda. Kalau tim Sore fokus ke proyek rumah tinggal, bangunan komersial, dan heritage, tim Widi lebih banyak menangani proyek-proyek lanskap dan tata kota.

Widi, begitu lelaki berbahu lebar itu biasa dipanggil, adalah anak sulung Pak Suteja, bos besar Arsiteja. Itu sebabnya ia suka lupa, menyebut atasan mereka dengan sebutan papa. Sore sebal sekali kalau Widi keceplosan seperti itu di kantor.

"Kenapa nggak Wenandra sama Jenna aja, sih?" Sore mengeluh, praktis menoleh ke arah Jenna. Wanita berambut panjang itu baru akhir tahun kemarin resmi jadi adik ipar Widi setelah menikahi Wenandra, bungsu keluarga Suteja. Dibanding Sore, semestinya tugas itu diurus keluarga saja, kan?

"Kak Sore kan tadi minta aku sortir dokumen proyek. Mau aku tinggal, nih? Kak Re mau gantiin aku?" Jenna menunjuk tumpukan dokumen yang sedang ia rapikan di atas karpet. Beberapa sudah memenuhi kardus untuk dihancurkan.

Melihat tumpukan itu, Sore merengut duluan. Sore sebal sekali menyentuh dokumen lama. Bau!

"Wen masih di lapangan." Widi segera menambahkan, "Banyu juga. Kamu pasti mau nyuruh dia juga, kan?"

Sore melirik Widi sengit. Kehabisan kata-kata, sementara Abi dan Jenna cekikikan di pojokan.

"Udah sih, Mbaaak .... Turutin aja, nanti Papa Mertua kecewa, lhooo," ledek Abi.

"Jangan suka ngegantungin cowok gitu, ah, Kak. Kasian, tuh, Kak Widi udah nemplok di pintu dari tadi, nungguin Kak Sore."

Kali ini, giliran pulpen yang melayang cepat. Dua staff yang sudah terbiasa mendapat serangan dadakan dari Sore, tangkas berkelit.

"Tolong jaga mulut kalian, ya. Mau dibikinin SP?" 

"Ampun, Mbak!"

Tak menggubris ledekan yang gencar menggelincir sejak kehadirannya, Widi membujuk Sore lagi, "Ayo buruan. Papa percayanya cuma sama kamu."

"Papa, Papa ...," cibir Sore sambil berdiri dari tempatnya duduk.

Widi mengatupkan bibir, menyadari kesalahannya. "Pak Suteja maksudnya ...."

"Telat!" sembur Sore lalu berbalik, memperingatkan anggota timnya untuk melanjutkan kegiatan mereka. "Aku balik harus udah beres, lho! Inget, entar sore kita juga harus meeting!"

"Iyaaa, Mbak Soreee! Dah, cus, buruan. Udah ditungguin Papa Mertua," ledek Abi, yang segera diikuti cie kompak dengan Jenna.

Sore mendesis sebal, lalu memelototi Widi yang memasang muka canggung di ambang pintu. Tahu benar kalau gara-gara celetukannya, Sore jadi diledek. Lagi.

 

***

 

Ada alasan kenapa Pak Suteja lebih percaya Sore untuk pekerjaan ini. Dibanding Wenandra dan Jenna, Sore yang lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku di perpustakaan keluarga Suteja. Dulu, Sore adalah mahasiswi S2 bimbingan Pak Suteja. Dari mencari referensi, mengerjakan essay, hingga merampungkan thesis, Sore habiskan di ruangan itu. Hingga akhirnya lulus dan bekerja sebagai karyawati Arsiteja, Sore selalu menjadi orang kepercayaan Pak Suteja.

Jarak rumah Pak Suteja dari kantor tidak begitu jauh. Dari gedung kantor baru, cukup masuk ke dalam gang sedikit untuk mencapai gerbang perumahan. Masuk ke boulevard utama, melewati rumah Sore, lalu lurus mentok. Rumah luas Pak Suteja ada tepat di ujung kompleks. Bersebelahan dengan rumah mewah dua lantai berkolam renang yang dijadikan basecamp anak-anak Arsiteja.

Sepanjang jalan naik mobil hingga turun, Sore masih cemberut. Widi sadar diri, ia sudah membuat Sore kesal karena jadi bahan ceng-cengan. Bahkan ketika membukakan pintu perpustakaan untuk Sore, Widi tetap disalahkan.

"Nggak harus bukain pintu juga sih, Wid. Kamu itu suka nambahin bahan omongan aja, sih! Aku jadi .... Ih!" gerutu Sore kesal. Ia sampai kehabisan kata-kata untuk mengomeli Widi yang kesadaran sosialnya suka tumpul.

"Kenapa?"

Sore menghela napas. Sambil melangkah memasuki ruangan yang nyaman oleh senyap itu, kedua matanya menyapu jajaran buku di rak paling kiri. Sore berkacak pinggang, menyadari pekerjaannya kali ini mungkin akan memakan waktu lama. Kepalanya sibuk mengingat kapasitas rak buku di lounge kantor baru. Sore sampai lupa kalau Widi, yang kini sudah berdiri di balik rak yang sama, masih menunggu jawabannya.

"Kenapa? Aku tanya ...." Widi bahkan mengulangi rasa ingin tahunya.

"Kamu itu apa nggak nyadar kalau anak-anak hobby banget ngecengin kita? Males banget, Wid ... Asli ...." keluh Sore, blak-blakan.

Sama seperti Widi yang rasa ingin tahunya harus dipenuhi, Sore juga tidak bisa menyembunyikan uneg-unegnya dengan terlalu banyak kalimat sopan santun yang keriting.

Mendengar jawaban Sore, Widi diam saja. Dari tempat Sore berdiri, ia bisa mendengar suara buku-buku ditumpuk di lantai. Widi memilih fokus dengan tugas dari papanya, alih-alih menanggapi keluhan Sore.

"Nggak usah didengerin ...," respons Widi akhirnya, setelah memilah respons yang tepat untuk kekesalan Sore.

"Emangnya kamu nggak keganggu?"

Gumaman panjang terdengar. Widi tak segera merespon lagi. Lelaki itu malah menelusuri rak kedua dari atas sambil memiringkan kepalanya, membaca judul-judul di punggung buku sementara mengingat-ingat apa isinya.

"Kayaknya enggak, ya .... Kamu orangnya cuek banget, sih." Sore mendengus jengah, menyimpulkan sendiri. Ia mulai menurunkan buku-buku yang menarik perhatian dan mengumpulkannya di lantai, di dekat sudut rak.

"Kalau aku bilang keganggu, nanti kamu yang tersinggung .... 'Berani-beraninya Widi ngerasa keganggu dijodohin sama cewek sehebat aku!' Gitu ...." Kali ini suara Widi terdengar agak geli.

Benar saja …. Saat buku tebal di rak ketiga Widi turunkan, Sore bisa melihat laki-laki itu tengah mengulum senyum hingga lesung pipi di dua sisi wajahnya membayang. Sore langsung mengernyitkan kening melihat ekspresi aneh Widi. Widi yang menyadari wajah tak mengerti Sore jadi tertawa kecil.

"Kalau aku bilang keganggu, nanti kamu merasa aku nggak mengapresiasi kamu sebagai perempuan independent, keren, dan sebagai— apa istilahnya? Yang sering Banyu bilang buat kamu?"

"Alpha woman?"

"Nah ... itu ....," Widi tertawa pendek. "Perempuan tukang bolos."

"Itu alpa, Pak." Sore memutar bola matanya. Mulai deh, candaan bapak-bapaknya. Widi makin terkekeh bodoh, baru sadar kalau candaannya garing.

Setelah itu keduanya diam saja. Keluhan Sore tak berlanjut. Mau dilanjutkan juga paling Widi hanya menimpali sekadarnya. Bikin capek dan buang tenaga saja berkeluh kesah dengan duda newbie ini.

 

***

 

Yah ... Semua lebih mudah bagi Sore sampai dengan tahun lalu. Widi masih berstatus suami dari Oceana Yasmine, influencer yang kondang berkat konten jalan-jalan dan review arsitektur bangunan. Sore bisa nyaman ke kantor dan diskusi dengan Widi tanpa latar belakang paduan suara cia-cie yang mengganggu mereka. Sore juga tidak perlu berpapasan dengan Widi setiap keluar rumah. Setelah menikah, Widi tidak lagi jadi tetangga Sore. Ia dan istrinya tinggal di rumah baru yang ... duh ... Sore yakin tabungan Widi menipis berkat itu.

Tapi sejak kabar keretakan rumah tangga Widi dan Yasmine berakhir dengan perceraian, hidup Sore tak sedamai sebelumnya. Terlebih saat ini, Sore betul-betul tak punya pacar. Brondongnya minggat dengan tante-tante yang lebih montok, baik body dan isi rekeningnya. Widi juga kembali tinggal di rumah Pak Suteja, jadi tetangga Sore lagi.

Selevel, sama-sama single, dan kompak bekerja bersama. Jadilah kombinasi itu membangkitkan habit resek orang-orang kantor untuk menjodoh-jodohkan mereka. Kalau sudah urusan Widi dan Sore, hmm ... mendadak semua orang jadi ahli cocoklogi.

"Eh, bentar, deh ...." Tiba-tiba, Sore menghentikan aktivitas menumpuk buku-buku di lantai. Perhatiannya tersita pada sebuah buku yang tergeletak di atas meja baca. Langkahnya yang waspada mengabaikan rak buku yang sudah separuh kosong, mendekati meja baca yang berada di seberang ruang.

Mendengar nada suara Sore yang bingung, Widi yang baru saja memindahkan buku-buku temuannya ke dekat meja jadi ikut memperhatikan titik yang sama. Buku yang sama.

Berbeda dengan buku bacaan lain dalam perpustakaan ini yang selalu tak jauh-jauh dari buku bertema arsitektur, buku itu sama sekali tak berjudul. Buku bersampul biru tua dengan gambar bulan dan bintang-bintang itu jelas-jelas bukan buku bacaan. Diserang memori identik yang meletup tiba-tiba, Sore dan Widi langsung tahu kalau buku itu semestinya tidak ada di sini.

"Kok buku ini ada di sini?!" teriak Sore shock.

Grep!

Bukan Sore, malah Widi yang lebih dulu berlari meluncur dan merampas buku itu dari gapaian Sore.

"WIDI?!"

"Ya?" Widi menyembunyikan buku itu di balik punggungnya. Wajahnya berusaha tampak setenang mungkin. Seolah tak pernah merenggut apa pun dari hadapan Sore.

"Itu bukuku, kan?!"

Mendengar teriakannya sendiri, wajah Sore merah padam. Ingatan lapuk mencuat tanpa ampun ketika melihat Widi memasang wajah lempeng palsu.

Meski mencoba kalem, sebetulnya Widi tak kalah terkejut. Lebih heran lagi ketika merasakan refleks tubuhnya menyembunyikan buku yang jelas-jelas Sore ingat sejarahnya itu.

Tanpa banyak pikir, Widi berkata, "Bukan. Seingatku, buku ini punyaku."

 

***

 

Memori yang sudah aus oleh waktu itu kembali muncul. Di sisi kantin sekolah yang lebih sepi, dengan retakan hati yang lebih dulu muncul berkat keberadaan gadis cantik bernama Rachel yang menggamit lengan Widi, Sore memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada Widi. Buku diary berisi sketsa dan sajak dari hatinya, Sore serahkan dengan gagah berani.

Sayangnya, Widi mengungkapkan fakta yang cukup ampuh untuk menolak cinta diam-diam Sore remaja. “Maaf … tapi aku nggak kenal kamu.”

Cinta pertama Sore puso sebelum mekar penuh. Belasan tahun kemudian, Sore bersyukur cintanya tak berbalas. Tapi kalau tahu memento kenekatan masa alay kala itu masih disimpan rapi oleh target tembak nyaris dua puluh tahun lamanya … mungkin tidak juga.

Ini memalukan!