cover landing

Ucup Dua

By krkawuryan


Di tepinya sungai Serayu

Waktu Fajar menyingsing

Pelangi merona warnanya

Nyiur melambai-lambai

Alunan keroncong membelaiku, membawaku ke nostalgia masa silam, dan entah mengapa aku seperti tersihir untuk membuka mata dan menatap remang ke luar jendela. Syahdu sekali. 

Dari dulu, selalu seperti ini tiap kali memasuki stasiun Purwokerto. Ada sensasi buaian yang merambati hati dan pikiran, membuatku berada di antara tetap tidur atau memaksa bangun hanya untuk menaruh tatapan ke stasiun yang sedikit menjingga karena disapa matahari sore yang tegak lurus menghadap kereta api. Tentu saja aku memilih untuk bangun.

Aku, serupa dilengkungi kesadaran bahwa Jogja akan hadir dalam dua jam lebih sedikit lagi. Rasanya masih tak jauh beda dengan masa kuliah dulu, pundak terasa ringan, napas terasa mudah. Semua beban terlepas, tertinggal seiring laju cepatnya kereta. Belum sampai saja sudah begini, apalagi begitu sudah tiba. Sekilas aku yakin keputusanku meninggalkan Jakarta adalah keputusan yang tepat. 

Jika ingin tinggal, tinggal selamanya, jika ingin pergi, pergi saat ini juga. Itu pikiranku saat akhirnya menerima pekerjaan dari Cullen. Tak boleh berlama-lama berpikir, karena terkadang, keputusan yang cepat adalah keputusan yang terbaik karena Ia adalah pesan dari semesta, bukan buah pemikiran manusia yang sering kali tak mampu memecahkannya. 

Kata Ujang, terlalu lama berpikir membuatmu ragu, ragu membuat jalan terang menjadi redup, redup membuatmu tersungkur, akhirnya seumur hidup tak pernah membuat keputusan yang benar. Tutup hati dan pikiran sesekali, cukup melihat dan mendengar saja, lalu segera buat keputusan. Sesekali hidup seperti itu tak ada salahnya. Meskipun akibatnya seperti diriku ini, tak lagi dianggap keluarga karena lagi-lagi kabur dari Jakarta dan menolak menjadi aparatur negara lewat jalur pengalihan deposito ayah ibu. Kata mereka, “Susah hidupmu di masa depan, Cup!” 

Untunglah aku sedang tak hidup di masa depan.

Agak sulit kutegakkan kepalaku karena tidurku sudah bermula sejak kereta lepas dari stasiun Cirebon. Aku memantapkan pandanganku di antara kilauan cahaya matahari di sudut mata. Lalu tiba-tiba, dengan sedikit mengerling aku menyadari satu hal. 

Sluuurrrp!

Ternyata aku tertidur terlalu lelap hingga ileran. Entah sudah sampai mana itu iler, tapi aku butuh waktu agak lama untuk menyesapnya lagi.

Saat sedang asyik-asiknya mengecap kembali ilerku, aku tersadar kalau ada seorang perempuan yang duduk tepat di sebelahku, menatapku ketakutan. Ia sampai memundurkan tubuhnya, ekspresinya gabungan dari dua hal, takut dan terkejut.

“Ada apa?” tanyaku.

Ia menunjuk bibirku tanpa berkata-kata, memberi tahu kalau aku tadi ileran.

“Iya, aku tahu. Tapi, kan, sudah tidak lagi,” balasku.

Ia lalu mengarahkan telunjuknya ke bawah, ke arah dengkulku.

“Sampai situ ilerku?”

Ia mengarahkannya ke bawah lagi.

“Sejauh itu?”

Ia mengangguk mantap.

Sial, pantas saja ilerku barusan agak-agak asin, ternyata sempat menyentuh lantai sebelum kutarik kembali. Ini akibat begadang semalam, aku jadi tidur terlalu pulas. 

Semalam aku terjaga hingga adzan subuh karena si Jamet kembali naik ke atap meskipun sudah kuberitahu berulang kali kalau Silvi sudah tidak open BO lagi. Namun Jamet tidak percaya dan bertekad menunggu sampai ayam berkokok. 

Menunggunya sih, bukan masalah. Suara karaoke dadakannya yang jadi masalah. Ia menyetel dan menyanyikan seluruh lagunya Kufaku dengan suara yang mirip lolongan anjing habis lihat hantu. Kebayang, kan, betapa tersiksanya aku tadi malam.

Gadis di sebelahku masih memasang wajah ketakutan. Agaknya ia trauma melihat iler yang begitu panjang melintang hingga ke dasar, tanpa terputus. Belum saja ia kenal dengan Asu, yang ilernya bisa membasahi seluruh lantai kantor.

"Maaf ya, membuat kamu takut. Aku cuma seorang pria yang tidur telalu pulas karena keletihan." Aku berusana menenangkan. Ia hanya membalas dengan anggukan kecil tanpa suara.

"Kalau kamu masih takut, aku pindah saja, " sigap aku berdiri dan berusaha menggapai tas di rak di atasku.

"Eh, ndak usah pindah. Di sini saja." Sergahnya tiba-tiba. Suaranya terdengar halus, pelan, dan ada logat Jawa manis terselip di dalamnya. "Ndak pa pa, kok. Aku cuma terkejut saja tadi. Belum pernah kulihat iler sefenomenal itu.”

 Aku agak malu ia membahas ilerku.

"Silakan duduk lagi, Mas." Tangannya menyilakan. 

Aku menggeleng. Udah kadung malu, aku bersikeras pindah.

"Jangan, duduk saja di sini. Aku takut sendiri."

Kenapa malah jadi merajuk?

"Aku ndak berani duduk sendiri. Pria itu sejak tadi memperhatikanku, Mas,” ujarnya sembari menunjuk ke seseorang di kursi dekat sambungan gerbong.

Aku memicingkan mata untuk mencari tahu. Ternyata tidak seperti yang gadis ini kira. “Mbak, dia bukan sedang memperhatikanmu. Tapi memang matanya yang enggak kompak. Lihat saja, yang kiri ke arah sini, tapi yang kanan ke arah jendela.”

"Tetap saja aku takute, Mas."

"Tapi, kan—"

"DUDUK!" sentaknya dengan raut ganas.

“I...iya iya saya duduk.” Aku langsung mengerut. 

"Maaf aku teriak." Nadanya berubah seketika, raut ganas pun berganti lembut dalam sekedip mata. Kali ini ia malah terlihat canggung dan malu-malu.

Ini orang kenapa, sih?