cover landing

UCUP

By krkawuryan


Prolog

Hai, namaku Ucup, seorang karyawan swasta biasa di perusahaan multinasional. Posisiku enggak tinggi-tinggi amat, lumayanlah punya bawahan lima ekor.

Saat ini aku tinggal di apartemen yang kucicil delapan tahun. Kenapa pilih apartemen? Karena posisinya yang hanya dua ratus meter dari kantor, aku gak perlu keluar ongkos lagi.

Di sela-sela kesibukanku, aku juga aktif main bola. Aku terdaftar sebagai pemain futsal di liga amatir Jakarta. Sekadar cari keringat saja.

Setiap Jumat, setelah jam kantor, aku nge-band bareng teman-teman. Kita udah punya dua album indie yang enggak laku-laku amat, tapi lumayanlah, bikin kita sering dipanggil untuk isi acara atau main di kafe.

Kalau lagi ada libur panjang, aku selalu berusaha travelling ke tempat-tempat baru. Biasanya sih, luar negeri. Tentunya dengan budget seminimal mungkin. Atau, aku akan naik moge yang kubeli bekas dan masih dalam cicilan, mendatangi kota-kota sepanjang Jawa dan Bali.

Namun,

Itu semua hanya khayalan saja, cita-cita waktu aku SD.

*

1

 

Percaya atau tidak, terkadang kualitas kebahagiaan seseorang bisa dilihat dari seberapa senang dirinya melihat kembang api di malam pergantian tahun. Warna-warni yang mencerahkan gelap dan letusan yang saling sambung seharusnya membuat setidaknya senyum kecil di bibir seseorang.

Namun, apa jadinya kalau ada yang beranggapan sebaliknya, yang berpikir kalau malam tahun baru itu tidak lebih dari malam-malam biasanya, bahkan malah terganggu dengan meriahnya.

Ya, aku yang beranggapan begitu.

Di malam pergantian tahun ini aku tetap sibuk sendiri dan tidak sedetik pun merasakan ada yang spesial. Titik jenuh alam sadarku sudah di tahap akut, sampai-sampai menganggap kalau dentum kembang api ini tak lebih dari polusi suara dan kombinasi warnanya adalah pencemaran cahaya. Ini yang terjadi kalau level depresimu sudah satu tingkat di atas level dewa.

Semesta ini punya hukum yang agak menyebalkan untuk orang-orang sepertiku, yang dongkol saat orang lain bahagia. Ia akan dengan tidak sopannya menambah kadar dongkol kita dan menekannya hingga ke titik kronis. Jadi tidak aneh kalau sudah dongkol begini, lalu muncul ‘hal lain’ yang bikin tambah gregetan dan membuat kita ingin bunuh diri secepatnya.

Adalah Ujang, seseorang berwajah bodoh dengan perut membuntang dan tidak pernah kuanggap teman sama sekali. Dia adalah ‘hal lain’ yang kumaksud.

“Kamu pernah dengar Hukum Murphy, Cup?” tanya Ujang di sela-sela aktivitas ngupilnya. Pertanyaan barusan adalah salah satu caranya mengganggu hidupku. Salah duanya adalah dia datang tengah malam, acak-acak lemari buku, menghabiskan makananku, mempertanyakan segala hal yang baru dia baca, dan tetap sambil ngupil.

Setelahnya, upil hasil galiannya akan ditempelkan ke semua perabotanku, paling sering di bawah meja. Ujang baru akan pulang kalau sudah bosan, sudah kenyang, atau disabet sapu lidi.

"Aku lagi sibuk, Jang!"

"Ngelem sol sepatu dan mengutuk orang yang bakar kembang api itu bukan kesibukan, Cup. Itu namanya kenyinyiran." Ujang nyengit.

Aku tak peduli.

“Jadi, Cup, Hukum Murphy bilang kalau sesuatu berpotensi salah, maka ia akan menjadi salah. Dan jika sesuatu yang salah dilakukan, maka ia akan seterusnya salah dan merugikan. Ujang melanjutkan, menegakkan duduknya, menaruh buku yang baru dia baca, bersiap berfilosofi.

“Misalnya begini, saat kancingmu putus tak sengaja, kamu memutuskan untuk manjadikan peniti buat gantinya. Murphy bilang kamu pasti sulit menemukan penitinya. Dan itu pasti terjadi.  Tapi saat gak dicari, kamu bisa menemukan peniti di mana aja. Lalu kamu kesal. Padahal kamu yang salah karena tidak siap peniti di kantong,tambah Ujang tanpa diminta.

 “Sama seperti kehidupan, Cup. Misalnya jodoh, semakin kita berharap malah semakin tidak ketemu. Saat putus asa justru ada yang datang.

Bodo amat!

“Persis penantian bis di sebuah halte, Cup. Saat dinanti tak kunjung datang. Saat menyerah, bis justru datang." Ujang kembali menjelaskan. Gelagatnya benar-benar bak pujangga. Tangannya terangkat menggapai langit, matanya menerawang ke eternit, mulutnya serius berkomat-kamit, persis dukun-dukun kesurupan yang suka mengaku ‘aing macan.’

Jang, gak usah pakai perumpamaan tunggu bis. Tukang tahu gejrot juga begitu sifatnya. Saat lagi gak pingin, dia berkeliaran depan rumah seenaknya. Tapi saat kita kepingin, jangan harap dia hadir.”

“Tukang tahu gejrot gak puitis, Cup.”

"Terserah! Kamu mending pulang! Aku nanti shift pagi," usirku dengan cara tidak halus. Sebab cara halus tidak akan mempan saat kambuhnya sudah di tahap ini.

Terkadang aku bahkan harus menyiapkan sapu lidi agar Ujang mau pulang. Dia sangat takut kalau aku sudah mengacungkan sapu lidi tinggi-tinggi. Agak-agak mirip kucing dapur memang.

"Sebentar dulu, Mas Bro, banyak hal yang perlu kita diskusikan malam ini,sergah Ujang

JANG, PULANG!" Nadaku meninggi. Kalau Ujang manusia normal, dia pasti bisa menangkap ada aura ingin makan orang di balik kalimatku.

"Aku hanya ingin ngobrol!"

“Ngobrol sama kamu gak pernah jelas!"

"Sebutin, obrolan mana yang gak jelas!" Ujang nyengit, tak terima materi obrolannya direndahkan.

“Jadi menurutmu, pembicaraan tentang sapi kemarin jelas?” Aku berusaha mengingatkan kembali obrolan kami dua malam lalu. Tentu saja Ujang yang memilih topiknya.

“Enggak ada yang salah tentang itu, Cup.”

“Memang enggak. Sampai dua jam berikutnya kamu ngotot ngomongin kenapa sapi gak bisa turun tangga!”

“Terus salahnya di mana?”

Ujang benar, tidak ada yang salah dengan mengobrolkan sifat sapi yang enggak bisa turun tangga. Tapi masalahnya adalah ide yang muncul setelahnya, saat dia meyakini kalau dalam dua puluh tahun ke depan, para sapi ini akan tinggal di kandang vertikal layaknya rumah susun. Lalu dalam lima puluh tahun, mereka akan mulai jual beli properti.

Aku terdiam. Lagi-lagi kalah debat dengan orang yang katanya SMP tak tamat. Tong kosong memang jangan dipukul, karena pasti nyaring bunyinya.

Akhirnya aku memilih membiarkan Ujang bermain dengan khayalannya dan menciptakan teori setelahnya. Kalau sudah begini, waktu mendadak menjadi musuh utamaku. Ia seketika melambat dan aku seperti sedang memandang Ujang yang sedang berdiri di pinggiran gargantua. Cepat baginya, seumur hidup bagiku.

Setelah hampir dua jam kepalaku diisi oleh teori tidak warasnya Ujang, akhirnya masa yang dinanti tiba juga. Masa kepulangan Ujang. Dia memang hanya akan pulang jika sudah dalam dua kondisi ini. Pertama saat jarum panjang sudah di angka tiga, atau saat aku sudah stres lalu mengancamnya pulang dengan sapu lidi. Yang mana duluan saja.

"Kamu lihat sendalku?" Ujang terlihat sibuk mencari sandal jepitnya yang sebelah kanan.

"Enggak!"

"Hukum Murphy.” Ujang berbisik.

Ya Tuhan!"

Percakapan dua insan yang aneh barusan memang baru saja terjadi di kontrakan paket hematku ini, yang berada di tengah-tengah kampung dempet wilayah Tebet dan memiliki gang yang bercabang-cabang bak labirin. Dijamin kalau kamu masuk tanpa GPS, kamu baru akan keluar setelah Tuhan menghendakinya.

Ujang, yang entah muncul dari mana dan sejak kapan ini, memang hobi sekali berpiknik ke kontrakanku. Menurutnya, kontrakanku adalah tempat bermain terbaik karena terdapat banyak buku yang merupakan peninggalan tidak berhargaku selama kuliah dulu.

Aku tak menyalahkan rasa ingin tahunya yang kelewat besar, tapi masalahnya adalah dampak setelahnya, saat dia mulai mendapat gagasan untuk dibicarakan. Rasa ingin tahunya memang tidak hanya akan membunuh seekor tyrex, tapi juga membunuhku dan satu keluarga kecoa yang bermukim di kontrakanku ini.

Dulu, aku memutuskan untuk membawa semua buku-buku kuliahku itu karena berasumsi bahwa akan ada masanya aku kepepet tidak punya uang, dan semua buku itu bisa aku kiloin. Tapi ternyata tak sebernilai itu. Terakhir kali aku kiloin, hasilnya cuma bisa untuk beli nasi goreng, tapi tanpa telur, tanpa daging dan nasinya tidak digoreng.

***

Pukul 3.15 hawa dingin pagi mulai merambat, bunyi kembang api pun turut berkurang. Meskipun masih ada satu dua petasan kecil terdengar, tapi tidak menganggu kesunyian yang mulai mengambil tempatnya.

Kesunyian, inilah temanku.”

Aku pun memulai petualangan dengan pikiranku, memulai setiap khayalan dengan kata ‘mengapa.’ Kebiasaan ini sukses membuatku terjaga hampir setiap malam, membuat tidurku hanya berlangsung selama dua tiga jam per harinya. Dan juga berhasil menggerus lemak badan yang memang sudah kronis sebelumnya. Kecuali bagian perut.

Selain itu, bonus dua buah mata panda pun berhasil dibuat, menggantung hitam di bawah mata yang kuyu bak orang ketagihan putau.

Tapi apa mau dikata, malam adalah waktunya. Kalau kata anak sekarang, ini waktunya me time. Hanya saja aku melewati me time tanpa luluran, pijat refleksi, atau memfoto paha dengan latar belakang pantai.

Aku hanya butuh segelas teh, beberapa batang rokok, serta teropong binokular bekas yang kubeli di toko barang loak Jogja. Me time untukku adalah menikmati tenangnya malam bersama rokok ketengan(ecer), dan gelas teh yang terkadang beralih fungsi menjadi pengganti gayung cebok.

Selang sepuluh menit, aku sudah duduk manis di atap teras kontrakanku. Sebuah kebiasaan yang akhirnya membuatku menjadi lincah memanjat teras meskipun tangan kananku memegang gelas dan mulutku tersumpal rokok.

Dari atas sini, segalanya berubah tenang. Pikiran kembali ke asalnya, jiwa dan hati kembali bersinergi. Benar-benar sebuah momen sempurna di sela-sela kehidupan yang agaknya penuh duka.

Tapi tak sampai sepuluh menit, momen sempurna ini mendadak berubah saat binokularku mengarah ke jendela rumah janda paling favorit di kampung ini. Gordennya yang terbuat dari kain sarung dan temaram bohlam kuning di dalamnya memberikan efek siluet lekuk tubuh di baliknya, meliuk macam kelok sembilan.

Siluet itu bergerak dengan halus dan sedikit erotis, dan dengan sangat perlahan dia bergerak mirip orang yang sedang membuka pakaiannya.

"Ga…Ganti baju?"

Tapi, untuk seseorang yang ganti baju, gerakannya terlalu berbahaya. Pasalnya dia meliuk-liuk bak ular kadut tersiram air panas. Dan lagi, kenapa baju penggantinya tidak kunjung dipakai? Otak laki-lakiku pun mulai merespons aktif, binokular ini kugenggam dengan sangat erat, seerat genggaman siluet itu terhadap bongkahan depannya.

“Akhirnya bermanfaat juga nih, teropong.”

Setelah keringat dingin pertama hampir menetes, mendadak sebuah adegan membuat keringat tidak lagi sebuah tetesan, tapi mengucur serupa talang bocor. Ada seseorang yang memeluk si janda dari belakang, siluetnya jelas dan tegas. Aktivitas tangannya keras dan memeras.

Dalam sekejap saja, suasana di rumah itu berubah terlalu panas, tidak terdeskripsikan lagi. Pokoknya suami istri ini benar-benar bikin keringetan.

"Tunggu? Suami istri? Tapi kan, dia janda?”

Belum selesai aku berpikir, teriakan seseorang di bawah membuyarkanku.

"Woy, Cup! Lagi ngintip, ya!"

***