“Bisa, ‘kan, Freya?” Seorang laki-laki berkemeja biru laut yang dipadukan dengan celana panjang hitam memandang Freya sejak tadi sambil bersandar di kursinya di ujung meja meeting room.
“Freya?” panggilnya sekali lagi. Kini dia menegakkan punggung, karena si pemilik nama tidak merespons panggilannya sama sekali.
Perempuan bernama Freya itu masih memandang kosong ke arah layar proyektor. Fila yang duduk di sampingnya mau tak mau menyikut lengan Freya yang menempel pada meja, berusaha mengembalikan kesadaran Freya yang pergi entah ke mana. Freya yang merasakan siku Fila sejak tadi menyentuh lengannya pun lantas berbicara melalui isyarat mata. Fila hanya membalas dengan lirikan ke arah laki-laki di depan mereka.
“Eh, bagaimana, Pak?” jawab Freya gugup.
“Kamu bisa bantu saya, ‘kan?” tanya laki-laki itu lagi.
Freya yang seorang gadis baik hati, tidak sombong, serta suka menolong pun segera menjawab dengan lantang. “Bisa, Pak.” Padahal dia sendiri tidak mengerti harus melakukan apa.
“Baiklah, sudah diputuskan bahwa Freya yang akan pergi ke Kumbolo Amarta untuk mencari informasi tentang formula produk mereka,” kata laki-laki itu menegaskan. Lima orang yang duduk di dalam meeting room bertepuk tangan dan tersenyum senang karena bukan mereka yang harus pergi.
“Hah? Apa, Pak? Bagaimana? Saya harus ke Kumbolo Amarta?” ucap Freya terkejut dengan kedua bola mata bening yang melebar maksimal.
Freya masih mengutuk dirinya sendiri yang menjawab pertanyaan David—Manager Research and Development di Xander King Ice Company—tanpa berpikir panjang. Dia menyesal, bahkan sampai beberapa kali menjambak rambut bagian depannya sebagai pelampiasan kebodohannya.
“Mati gue, mati, mati, mati,” rutuk Freya sambil memukul kepala.
“Lo masih hidup kali, masih bernapas juga nih,” sahut Ryan sambil memencet hidung Freya.
“Heh, lepasin!” Sontak Freya menepis tangan Ryan yang membuatnya susah bernapas. “Gila ya kalian semua, bener-bener deh! Masa gue yang dijadikan tumbal.” Freya melotot ke lima temannya satu per satu. Bukannya takut, mereka justru cekikikan.
“Harusnya lo bersyukur, Frey. Lo bisa rehat sementara dari benda-benda memuakkan yang ada di sini,” sahut Fila dengan menunjuk alat laboratorium yang berjejer di atas meja keramik.
“Ini pekerjaan yang resikonya gede, Fil. Gimana kalau gue ketahuan jadi mata-mata di Kumbolo Amarta? Terus gue dijeblosin ke penjara seumur hidup atau gue diculik dan dibunuh sama mereka?” Freya bergidik ngeri.
“Nggak seekstrem itu juga. Lo aja yang overthinking,” ujar Ryan. “Tinggal lihat laboratorium mereka, rekam baik-baik di otak lo, kalau udah beres tinggal kita di sini yang ngembangin formulanya. Lo langsung resign deh dari Kumbolo Amarta,” lanjutnya.
“Nggak segampang itu ….” desah Freya putus asa.
“Frey, kalau lo berhasil dapet formula mereka, lo naik jabatan gantiin Pak David. Pak David juga bakal naik jabatan jadi Direktur Cabang. Lo akan dikenal sebagai pahlawan penyelamat perusahaan. Pastinya gaji lo berlimpah tumpah-tumpah,” tutur Fila panjang lebar.
“Terus kenapa nggak lo aja yang pergi?’ sindir Freya.
“Yah, lo tahu, kan, formula gue belum final, sedangkan formula lo tinggal nunggu trial produksi. Gue nggak bisa, lah, ninggal kerjaan belum kelar tapi udah ketumpuk kerjaan lain.”
“Nggak usah alasan, deh.” Freya melirik Fila sinis.
“Lagian kalau lo berangkat ke Kumbolo Amarta, lo bakal sering telepon-teleponan sama si bos buat laporan dan ketemu dia di luar kantor. Jadikan kesempatan emas ini buat dapetin hatinya si eksekutif muda,” bisik Ryan.
Freya terdiam, tersenyum sebentar tapi kemudian menggelengkan kepala. “Ngaco, ngaco. Sampe jungkir balik juga Pak David nggak bakal suka sama gue, itik buruk rupa macem begini.”
“Wah, merendah untuk lompat jauh nih anak. Cantik lo tuh effortless kali.” Fila masih berusaha meninggikan hati temannya
“Kalau lo dandan dikit aja minimal pake rok pendek, gue mau jadi pacar lo, Frey,” sahut Ryan membuat staf lain tergelak.
Freya memukul lengan Ryan keras, membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Freya adalah gadis berdarah Manado-Belanda, kulitnya putih seperti cece-cece yang berseliweran di PI. Rambut sepunggung berwarna dark brown miliknya jarang dibiarkan tergerai. Hidung Freya mancung, matanya tidak terlalu bulat tapi juga tidak terlalu sipit. Namun, mata tersebut memiliki iris bening yang membuat siapa saja terpikat ketika bertatapan dengannya.
Sayangnya, kata Ryan, Freya anti rok dan anti high heels. Lagi pula, bagaimana bisa menggunakan keduanya jika saat bekerja di pabrik mereka wajib menggunakan seragam berwarna biru laut dari atas hingga bawah. Rambut para pekerja juga harus disembunyikan di balik hairnet dan wajah juga tertutup masker. Freya sudah merasa sangat nyaman dengan penampilannya sebatas itu setiap hari. Dia hemat bedak, lipstik, dan sebagainya.
“Frey, Kumbolo Amarta lagi buka lowongan kerja nih. Gue kirim lamaran lo ke mereka ya,” kata Arum, salah satu staf research lainnya.
“Bagian research, ‘kan? Atau paling nggak bagian quality lah, Rum.” Freya berjalan menuju meja Arum.
“Yah, mereka lagi nggak butuh orang buat research atau quality, Frey,” ujar Arum lagi.
“Bagian apa dong?” tanya Fila penasaran.
“Sekretaris,” jawab Arum singkat.
Tiba-tiba ruangan menjadi hening. Tiga detik kemudian mereka saling pandang lalu tertawa kencang. David memang menyerahkan semuanya kepada Freya, termasuk bagaimana cara Freya dapat bergabung ke Kumbolo Amarta. Jadi, cara satu-satunya tentu melalui open recruitment yang diadakan oleh si perusahaan kompetitor itu, dan Freya harus lulus untuk dapat menjadi pegawai di sana.
“Double kill!” Ryan mengarahkan jarinya ke leher membuat isyarat bahwa Freya benar-benar mati untuk kali ini.
Empat hari kemudian, Freya dengan Stiletto hitam setinggi tujuh sentimeter berjalan terhuyung di lobi kantor Kumbolo Amarta. Berkali-kali dia mengumpat pelan, mengapa harus mengalami hal konyol seperti ini hanya untuk menyelamatkan Xander King Ice Company dari ancaman kebangkrutan karena sepinya pasar.
Belum lagi rok span pendek hitam yang dia pinjam dari Tamanna—sahabatnya―benar-benar meruntuhkan dunia. Freya kesulitan berjalan, berharap menggunakan safety shoes dan seragam seperti biasanya. Baginya, pagi ini seperti neraka.
Zhafira yang juga sahabat Freya sejak sekolah menengah, datang ke apartemennya pagi-pagi buta demi memoles wajah Freya yang akan menghadiri interview.
“Ini posisi sekretaris eksekutif, jadi lo harus terlihat punya brain, brave, and good behavior,” kata Zhafira sambil menepuk pipi Freya menggunakan spons beauty blender.
“Lo kira, gue mau ikutan ajang Miss Indonesia,” timpal Freya yang sejak tadi terbatuk-batuk karena bedak tabur yang menumpuk di kulitnya.
“Sst, diem deh, Frey. Jangan banyak gerak. Biar calon bos lo tertegun, terpesona, dan tanpa sadar nerima lo yang sooo far away from qualification ini sebagai sekretarisnya,” ucap Zhafira berlebihan.
Memang benar, Freya terlalu jauh dari kualifikasi yang dibutuhkan sebagai sekretaris eksekutif. Jurusan kuliahnya bukan dari administrasi, komunikasi, atau sebagainya yang berkaitan dengan dunia kesekretariatan. Dia nol besar tentang bidang profesi sekretaris, maka saat dia ditelepon kemarin siang untuk menghadiri interview hari ini, semua orang seperti tidak percaya.
Namun, syukurlah plan A berhasil sejauh ini. Freya dan staf lain tidak perlu bingung menyusun plan B, tinggal bagaimana hasil interview Freya karena psikotes dan tes tulis telah diadakan secara online dua hari lalu.
Freya harus berhasil berjalan menuju ruang interview, hanya itu keinginannya pagi ini. Lima meter mencapai meja resepsionis, tiba-tiba Freya kehilangan keseimbangan dia hampir terjatuh jika seorang laki-laki dengan rahang tegas tidak di sampingnya dan menahan bahu gadis itu.
“Ma-maaf,” kata Freya sambil sedikit merundukkan kepala.
“Nggak apa-apa. Hati-hati kalau jalan, sepertinya kamu kurang nyaman dengan sepatu itu,” ucap laki-laki muda itu dengan senyum ramah.
Freya membalas senyumnya, “Iya, terima kasih.”
“Sama-sama.” Lalu laki-laki meninggalkan Freya dan berjalan memasuki kantor Kumbolo Amarta.
Setelah melakukan konfirmasi kepada resepsionis dan melakukan wawancara dengan HR Department, kini Freya duduk di depan sebuah ruangan yang tertulis President Director Room. Hanya tiga orang yang berhasil hingga tahap interview langsung dengan eksekutif, dan semuanya wanita dengan penampilan tidak biasa—termasuk Freya tentunya.
Freya sedikit tersentak saat melihat calon bosnya tersenyum menyambutnya di dalam ruangan. Freya ingat, dia adalah laki-laki yang menolongnya tadi.
“Jadi, kamu kuliah jurusan chemical engineer?” tanya laki-laki yang duduk di depannya, dia adalah calon bos-nya.
“Betul, Pak.”
“Hmm … menarik. Kamu juga tidak ada pengalaman menjadi sekretaris sebelumnya, lalu kenapa memilih melamar di posisi ini?”
“Saya ingin mencoba bidang pekerjaan yang baru, Pak. Mungkin perusahaan ini dapat memberi saya kesempatan untuk melakukannya, saya akan bekerja dengan baik.”
“Kamu … menggebu-gebu sekali ya?”
Freya hanya tersenyum canggung.
“Kamu pernah bekerja di bagian research di Xander Company?”
“Betul, Pak.”
“Bosmu bernama David?”
“Iya, Pak David dulunya manager saya.”
“Lalu kenapa resign dari Xander?”
Freya diam sejenak. “Saya mencari better offer, Pak. Apalagi usia saya masih muda, mungkin ada perusahaan yang dapat memberikan penawaran lebih kepada saya.”
“Termasuk gaji?”
“Termasuk gaji, Pak.”
“Jadi, menurutmu gaji di Xander kurang?”
“Begitulah, Pak. Keinginan manusiawi untuk mendapatkan lebih.”
Laki-laki itu mengangguk-angguk, “Kamu jujur sekali ya. Kebanyakan mereka bicara nonsense tentang Kumbolo Amarta jika sedang interview, tapi kamu tidak.” Calon bos Freya menutup dokumen yang sejak tadi dipegangnya.
“Sekarang pertanyaan klise. Bisa jelaskan kepada saya, apa saja tugas dari seorang sekretaris?” tanya laki-laki dengan setelan jas Armani itu.
“Em …. mengetik, mencetak, dan fotokopi, Pak.”
Si calon bos seketika mengerutkan dahi.
****