cover landing

Tudung Kelabu

By ririnayu


Deniz selalu mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Mungkin orang lain akan bilang kalau anak itu kreatif dan imajinatif. Ada juga yang mengatakan mungkin kelak dia akan jadi seorang seniman berbakat atau ilmuwan hebat melebihi Aziz Sancar dengan segudang penelitian dan hadiah nobel di tangan. Bahkan ada yang lebih gila lagi, tetangga dekat rumah meyakinkanku kalau Deniz mungkin akan jadi astronot dan pergi ke galaksi yang jaraknya jutaan tahun cahaya dari bumi. Ya, semua orang bebas berkhayal. Apalagi halusinasinya tidak merugikan masyarakat sekitar. Namun, aku lebih memilih pola lain. Aku lebih suka bilang kalau adikku memang gemar berbohong. Dia gemar meracik dusta lalu menceritakannya pada semua orang. Ditambah lagi sering setengah memaksa agar semua orang percaya pada racikan kebohongan itu. Dia ingin orang lain menerima saja tanpa bertanya dan tentu tidak mencoba meragukan.

Jangan bilang kalau aku asal tuduh. Tentu argumenku itu diperkuat dengan diagnosis Dokter Emre. Pria itu mengatakan kalau Deniz menderita mythomania. Jenis penyakit yang membuat penderita terus-menerus berbohong dalam waktu yang lama, padahal tindakan itu bisa jadi tidak ada manfaatnya sama sekali. Menurutku bahkan berbohong sampai tahap seperti itu malah merugikan. Hal ini berlaku pada Deniz. Dia memang terus berbohong dan memercayai kebohongannya sendiri meski orang lain—aku contohnya—tidak percaya sama sekali padanya. Mungkin kalau ada DNA yang mengkode kebohongan, maka di tubuh Deniz pasti lebih banyak dibanding orang lain.

Hal yang tidak kupahami adalah dia tidak bisa menahan dorongan untuk tidak berbohong, semacam sudah terlalu mendarah daging. Padahal, dustanya sama sekali tidak menguntungkan baginya dan orang lain tidak lagi termakan semua kata-katanya. Aku mungkin seorang kakak perempuan yang kejam, tapi aku rasa definisi itu tepat untuk menggambarkan sosok adik laki-lakiku.

Terserah kalian mau bilang apa. Soalnya kalian tidak tahu betapa konyolnya dustanya itu. Contohnya, Deniz bilang kalau beberapa waktu lalu dia bermain ke dunia cermin yang ada di kamarnya. Saat dia mengatakan itu, sejujurnya aku ingin sekali tertawa. Deniz mungkin terlalu banyak membaca buku fantasi atau menonton film kartun, kebohongannya benar-benar terlalu berlebihan.

Tentu saja Deniz belum menyerah. Lain hari, adikku itu mengatakan kalau dia bertemu makhluk aneh bernama Tudung Kelabu, makhluk itu katanya memakai kerudung berwarna kelabu yang menutupi seluruh wajahnya. Aku membayangkannya agak mirip dengan Tudung Merah atau Siyah Hayalet, hantu hitam yang sering digambarkan sebagai malaikat pencabut nyawa. Meski saat mendengarkan cerita itu sangat konyol, tetapi bisa jadi makhluk yang diceritakan Deniz memiliki penampakan semacam itu.

Ceritanya juga membuatku ingat kalau beberapa hari sebelumnya aku sempat menonton film tentang La Llorona dan dia bergelayut di lenganku saat adegan wanita bertudung muncul di layar televisi. Namun ketika Deniz terus meyakinkanku kalau Tudung itu nyata, membuatku langsung tersadar kalau imajinasiku memang tidak ada gunanya saat menghadapi dia. Ya, Deniz lagi-lagi meyakinkanku betapa nyatanya khayalannya itu dan berharap aku percaya padanya.

Ayah kami tentu punya pendapat lain. Pria itu selalu tidak pernah ada di kapal yang sama denganku jika membahas soal Deniz. Jadi, aku tidak kaget lagi kala Baba(ayah) berdeham pelan saat aku hendak menertawakan cerita adikku itu. Namun, setelahnya aku paham kenapa Baba begitu antusias mendengarkan cerita bodoh itu. Itu semua disebabkan karena Deniz bercerita dengan senyuman mengembang sambil mengatakan kalau tangan milik Tudung itu besar dan halus, tidak mirip tangan Baba atau tanganku, jadi Deniz menyimpulkan kalau tangan itu mirip dengan tangan Anne(ibu). Hal yang membuatku menggigit bibir karena Deniz sama sekali belum pernah memegang tangan ibu kami. Mungkin Baba juga merasakan perih yang sama ketika cerita soal Anne diungkit kembali. Bisa jadi Baba masih mencoba untuk melupakan peristiwa itu, sama seperti aku.

Anne meninggal setelah melahirkan Deniz ke dunia. Ah, atau meninggal sebelum itu hingga Deniz dikeluarkan secara paksa dari rahim, aku juga tidak terlalu paham soal itu. Yang jelas aku masih sulit lupa ketika melihat Anne memegangi perut gendutnya yang berlumuran darah di atas lantai. Aku hanya diam saja dan tidak mampu melakukan apa pun. Hal yang kulakukan saat itu hanya bisa menangis saat mendengar bunyi napasnya yang bisa dihitung jari. Tangan Anne yang memegang pipiku di dalam mobil ambulans. Anne yang mencoba tersenyum sebelum matanya benar-benar memejam.

Namun, simpati dan rasa bersalah itu tidak lantas membuatku ingin percaya begitu saja pada kebohongan Deniz karena dustanya tidak selesai sampai di titik mengarang kenangan soal sosok Anne. Kebohongannya kini bukan hanya ada di dunia khayalan, tetapi sudah mengarah ke fitnah karena sudah sampai ranah dunia nyata. Lain hari dia mengatakan kalau dia melihat Elmas berkencan dengan kekasihku, Firat. Padahal Elmas, Firat, dan aku sangat dekat. Saat aku mendebat, Deniz lalu mengatakan kalau mereka bertemu diam-diam di belakangku. Padahal hal itu tidak mungkin terjadi. Elmas saat ini masih menjalani pertukaran pelajar ke Inggris, sementara Firat nyaris setiap hari bersamaku.

Mungkin Deniz hanya ingin memisahkanku dari Firat karena dia tidak menyukai pemuda itu. Makanya aku tidak pernah ambil pusing dengan kebohongan konyol adikku, toh dia masih kecil. Memangnya ada hal lain yang bisa dilakukan bocah lelaki berusia sepuluh tahun selain berkhayal? Karena faktor usia ini mungkin yang membuatnya yakin kalau semua orang akan termakan kebohongannya. Padahal siapa juga yang percaya dengan hal konyol semacam itu?

Meski begitu, aku tetap berusaha menutup mulutnya kalau Firat datang. Sungguh aku tidak ingin pemuda itu tahu soal hobi aneh adikku ini. Apalagi kalau sampai Deniz mengatakan jika melihatnya berselingkuh karena Tudung Kelabu yang memberitahunya lewat cermin. Kalau sampai itu terjadi, maka aku tidak akan punya muka lagi karena aku tidak akan bisa mengatakan apa pun sebagai pembelaan. Mungkin aku harus mengakui kalau adikku menyimpan sekarung kebohongan.

“Abla!(panggilan untuk kakak perempuan)

Aku mengerjap kala telingaku berdenging, Ternyata Deniz berteriak di dekat daun telinga dan menyebut namaku. Saat kutoleh, dia memamerkan tawa lebar yang membuat giginya yang hilang satu terlihat sangat jelas. Jenis ekspresi yang menggemaskan—sebenarnya—hanya saja aku tidak bisa merasakan apa pun saat melihatnya. Semenggemaskan apa pun dirinya, bagiku Deniz hanya seorang pembohong.

“Apa?” tanyaku ketus sambil melipat buku di pangkuan, mendadak sebal dengan aksinya.

“Deniz mau request hadiah ulang tahun.”

“Huh?” Kali ini mungkin aku gagal menyembunyikan keterkejutan dalam suaraku. “Enggak salah?”

Deniz menggeleng beberapa kali, sepertinya dia menegaskan kalau dirinya tidak salah bicara. Hanya saja, aku sedang curiga kalau dia sedang memilin dusta lagi dengan mulut mungilnya itu.

“Ulang tahunmu masih tiga bulan lebih,” sahutku.

“Iya, makanya aku minta sekarang,” tukasnya cepat. Dia kembali tersenyum dan mengangguk. Kalau melihatnya yang seperti ini, rasanya benar-benar tidak percaya kalau dia suka sekali berdusta.

“Oke, kamu minta apa?” tanyaku akhirnya. “Jangan yang mahal-mahal!”

Bibir Deniz tertarik membentuk senyuman. “Anjing.”

“Hah? Kamu serius?”

“Jangan anjing deh!”

“Lho kenapa?” tanyaku. Dia benar-benar mencurigakan, sepertinya sedang meralat hadiah karena anjing tidak mahal. Awas saja kalau sampai minta hadiah yang aneh-aneh.

“Tapi, Tudung benci anjing, gimana dong?” tanyanya. “Tapi, tapi, Deniz pengen anjing, apa yang kecil saja?”

Oh, karena ini masalahnya. Sungguh, mendengar kebohongannya ini mendadak membuatku jadi berpikir kalau Tudung Kelabu ini mungkin tante-tante rumah sebelah yang hobinya nyinyir. Namun, saat melihatnya menunduk sambil memilin jemari di atas pangkuan seolah-olah sedang sedih memikirkan soal si Tudung, maka siapa pun identitas wanita bertudung ini jelas bukan tante nyinyir. Meski begitu ada hal jahil yang muncul di dalam pikiranku. Aku bisa mengerjainya. Ya, sekali-kali aku membalasnya sedikit.

“Oke, nanti Kakak carikan anjing besar buat Deniz. Tapi, kamu sendiri yang harus bilang sama Baba!” desakku tidak sabar.

 “Ta—tapi Tudung enggak suka—”

“Ya, kamu pilih anjing atau Si Tudung itu?!” ucapku ketus sambil membuka-buka lagi buku yang sempat terlupakan.

Deniz tidak menjawab. Mungkin dia sedang berpikir atau otaknya tengah berkoordinasi dengan bibirnya untuk menenun kebohongan lagi. Tingkah bocah ini benar-benar mencurigakan. Aku langsung memutar tubuh dan menatapnya. Tanganku yang semula memegang buku kini ada di bahunya. Aku senang melihatnya kebingungan, meski sejujurnya aku agak malas kalau memberikan anjing sebagai hadiah.

Memang tidak ada larangan untuk memelihara anjing asalkan tidak lebih dari tiga ekor di satu rumah. Selain itu, calon pemilik hewan (entah kucing, anjing, burung, kelinci, reptil dan lain-lain) harus berkomitmen memelihara seumur hidup dan harus melewati pelatihan dulu lalu lulus dengan sertifikat perawatan hewan baru bisa adopsi. Belum lagi undang-undang perlindungan hewan di negara ini yang merepotkan dan hukumannya yang mengerikan. Namun, entah mengapa aku ingin menuruti permintaan Deniz yang ini karena dengan memiliki hewan peliharaan mungkin adikku akan sibuk dan berhenti berbohong untuk cari perhatian.

“Kalau begitu kamu tanya sama si Tudung, dia mau hadiah apa dari Abla!” pintaku akhirnya.

Deniz menatapku lekat-lekat. “Serius?”

“Iya, dong. Tanya Tudung kesukaanmu itu apa yang dia inginkan sebagai hadiah?” kataku meyakinkan Deniz. Lagi pula, memangnya apa yang bisa diminta dari makhluk khayalan semacam itu.

Abla enggak boleh nolak kalau dia sebutin hadiah yang dia inginkan!” Mata Deniz masih menatapku tanpa berkedip. “Janji?”

“Iya, janji,” ucapku sambil mengangguk.

Mata Deniz terlihat berbinar ketika mendengar jawabanku. Anak laki-laki itu langsung berdiri dan bergerak menjauh. “Aku akan tanya sekarang!”

“Oke, tanya dia sekarang!”

Deniz mengangguk lalu berlari kecil ke atas. Aku melirik sebentar saat melirik sosoknya yang menapaki anak tangga menuju lantai dua. Diam-diam merasa senang karena berhasil mengerjai bocah itu. Tentu saja aku lega karena berhasil menyingkirkannya, hingga aku bisa bebas sekarang. Mungkin nanti aku akan berhadapan dengan dusta yang lain. Bisa jadi Deniz akan menyebutkan hadiah yang diinginkan Tudung Kelabu. Sungguh, aku menanti hari itu datang.

Aku menatap ke lantai dua sebentar. Deniz tidak terdengar lagi setelah pintu kamarnya menutup. Bocah itu pasti butuh privasi untuk bertanya pada hantu khayalannya itu, makanya mengunci diri di dalam kamar. Ya, lebih baik begitu. Sunyi dan sepi lebih menyenangkan ketimbang pusing mendengarkan kebohongan Deniz. Namun, entah kenapa keheningan yang mendadak datang membuat bulu kudukku meremang. Aku menggeleng lalu menyentuh tengkukku yang sudah dingin. Apa pula yang perlu ditakutkan siang bolong begini, lebih baik aku membaca buku yang sejak tadi bahkan belum lewat dari bab dua. 

“Mari kita tunggu apa maunya Tudung kesayanganmu itu, aku yakin dia enggak akan berani muncul di siang hari begini,” gumamku sambil membuka kembali buku di pangkuanku.

Aku menggeleng dan mencoba untuk fokus membaca buku. Rasanya seperti ada seseorang yang mengintip dari lantai atas. Bulu kudukku kembali berdiri hingga aku harus mengusapnya berulang kali. Jantungku berdebar kencang saat akhirnya aku memberanikan diri mendongak ke atas. Ah! Tidak ada apa-apa. Namun, jantungku rasanya merosot ke lantai kala menemukan pintu kamar Deniz yang semula tertutup kini membuka.

“Ah, mungkin, Deniz yang buka pintu,” ucapku sambil terus membasahi bibirku yang keringa dan mengusap bagian belakang leherku berulang kali.

***