cover landing

Too Young

By Rae


Cukup!

Sudah cukup selama ini Gavin menahan kekesalannya terhadap Citra, gadis yang selalu mengganggunya selama kurang lebih satu tahun ini. Gadis yang tidak henti-henti mengejar cintanya. Padahal Gavin sudah tegaskan kepada gadis itu bahwa sampai kapan pun ia tidak akan pernah menerima cintanya. Terlebih semua orang sudah tahu ada hati yang harus ia jaga perasaannya di belahan bumi lain.

Hari ini adalah puncak kekesalannya. Citra sudah sangat keterlaluan, mengumpulkan seluruh siswa SMA Garuda di lapangan, kemudian dibantu beberapa orang melebarkan spanduk bertuliskan pernyataan cinta. Lebih parahnya lagi, cewek itu menyatakan perasaannya melalui alat pengeras suara.

Perbuatan Citra sudah sangat mempermalukan serta merendahkan harga dirinya. 

Jika penegasan darinya tidak mempan, maka maaf saja, hari ini ia akan melakukan sedikit ‘kekerasan’ terhadap gadis itu. 

Gavin menyeret Citra dari kerumunan orang-orang yang menyaksikan aksi memalukan itu. Ringisannya tak ia hiraukan, emosi sudah menguasai dirinya hingga tak peduli bahwa sekarang ia sedang menyakiti gadis itu. Gavin bisa saja menolak pernyataan cinta gadis itu di hadapan orang banyak, tetapi itu bukan gayanya. Lagi pula, cara itu sepertinya juga tidak akan ampuh untuk Citra. 

Toilet paling ujung yang ada di sekolah mereka cukup sepi karena eksistensinya kurang diketahui. Tempat paling cocok untuk memberikan pelajaran kepada gadis itu. 

Gavin menghempaskan kasar tangan Citra hingga tubuhnya yang tak sebanding itu sedikit terhuyung. 

"Lo masih belum ngerti juga omongan gue kemarin-kemarin?" tanya Gavin penuh penekanan. Matanya tajam menatap Citra seperti singa yang ingin menangkap mangsa.

"Gue cinta sama lo, Vin!" Dibanding menjawab pertanyaan Gavin, Citra lebih suka mengutarakan perasaan. Rasa cintanya yang terlampau besar membuat gadis itu mengesampingkan rasa malunya.

Ia benar-benar mencintai Gavin, benar-benar ingin memilikinya detik ini juga.

 Gavin mengalihkan tatapannya, helaan napas kasar terdengar menderu seiring dengan kepalan tangannya yang semakin menguat. Jika tidak mengingat bahwa ibu serta adiknya seorang perempuan, sudah pasti kepalan tangan itu sudah melayang sedari tadi menghantam tubuh Citra. Namun, ia tidak segila itu untuk melukai fisik seseorang.

"Denger, ya, Cit!" Gavin menjeda dengan menarik napas dalam seraya kembali menatap gadis di depannya. "Seperti yang udah gue bilang sebelum-sebelumnya, kalau gue enggak akan pernah nerima cinta lo!"

"Satu lagi, lo bukan tipe gue. Lo terlalu murahan dengan terus ngejar-ngejar orang yang udah jelas-jelas enggak suka sama lo!" imbuh Gavin.

Katakanlah bahwa Gavin jahat, tetapi ia tak peduli. Sudah cukup selama ini Citra membuatnya risi. Ia tak ingin masa-masa sekolahnya menjadi masa-masa terburuk karena diikuti psikopat. Bagaimana tidak? Setiap perempuan yang berteman dengannya, selali Citra ancam, bahkan tak segan-segan merisaknya. Itu yang membuat Gavin semakin tidak menyukai gadis itu. Tidak masalah baginya tidak memiliki teman perempuan, tetapi ia hanya kasihan dengan orang yang menjadi korban Citra.

Ketika hendak berbalik untuk meninggalkan Citra, suara benda jatuh membuatnya menengok ke sumber suara. Seorang gadis lain ternyata sedang menguping sedari tadi.

"Ngedengerin percakapan orang lain secara diam-diam itu namanya enggak sopan!" Setelah berbicara sinis, Gavin meninggalkan kedua gadis itu. 

Kini, giliran Citra yang menatap gadis itu sinis. "Ngapain lo masih di sini?" tanyanya. "Pergi!"

Tanpa disuruh dua kali, gadis itu memungut benda miliknya yang terjatuh, kemudian pergi meninggalkan gadis yang dikenal sebagai teman seangkatannya. 

Setelah gadis itu pergi, Citra benar-benar sendiri. Tangis tak bisa ia bendung lagi. Gavin memang tidak melukai fisiknya, tetapi benar-benar sudah melukai hatinya.

"Awas aja lo, Vin!"

***

Erika membetulkan kacamatanya yang melorot, kemudian menatap teman yang berjalan di sebelahnya. Mereka berdua dari kantin untuk mengisi perut, tetapi sekarang ia malah ingin buang air.

"Lo duluan deh, Ai. Gue mau ke toilet dulu!"

Aira mengacungkan jempol tanpa menatap Erika karena fokus menatap ponsel. Membuat Erika menggelengkan kepala khawatir kalau temannya itu terjatuh atau menabrak sesuatu. Erika merasakan perutnya semakin sakit, ia kembali pada tujuan awalnya, yaitu toilet. Hanya toilet itu yang paling dekat dengan posisinya. Erika dengan terpaksa masuk ke sana. Padahal, toilet itu cukup menyeramkan karena posisinya ada di ujung sekolah dan cukup sepi. Bahkan yang melintas di sana bisa dihitung dengan jari.

Beberapa menit kemudian, urusannya dengan pertoiletan sudah selesai, ia hendak keluar saat bentakan demi bentakan terdengar sampai ke indra pendengarannya. Membuatnya urung beranjak karena posisi pintu toilet dengan dua orang yang sedang bercakap-cakap itu saling berhadapan. Erika juga tidak enak kalau harus mengganggu obrolan yang terdengar sangat serius itu.

 

Erika tahu bahwa tak sopan mendengarkan pembicaraan mereka secara diam-diam, tetapi akan lebih tidak sopan lagi kalau ia berjalan melewati mereka begitu saja di saat genting seperti ini. Erika mengembuskan napas berat ketika dengan terpaksa harus bersembunyi di balik tembok demi kenyamanan mereka. Ia akan pura-pura tak mendengar saja apa yang mereka bicarakan.

“Satu lagi, lo bukan tipe gue. Lo terlalu murahan dengan terus ngejar-ngejar orang yang udah jelas-jelas enggak suka sama lo!”

Erika sedikit tersentak oleh apa yang didengarnya, menurutnya itu sedikit keterlaluan. Ia tahu siapa yang mengucapkan hal itu dan untuk siapa. Mereka adalah teman seangkatannya; Gavin dan Citra. Sudah menjadi rahasia umum kalau Citra sangat menyukai Gavin, bahkan saking menyukainya, Citra sampai tidak suka jika ada orang lain yang mendekati laki-laki itu.

"Sok ganteng banget, sih!" gerutu Erika. Menurutnya, walaupun Gavin tidak menyukai Citra, seharusnya cowok itu bisa menolaknya dengan cara yang lebih halus, karena bagaimanapun sikap Citra selama ini, ia merupakan seorang perempuan yang sudah pasti hatinya sensitif.

Saking ikut kesalnya mendengar ucapan Gavin, Erika sampai menjatuhkan jam tangannya yang tadi memang sengaja ia copot agar tidak kena air. Bodohnya Erika, ketika ia hendak memungut jam tangan, kepalanya menyembul hingga dilihat oleh Citra.

"Ngedengerin percakapan orang lain secara diam-diam itu namanya enggak sopan!"

Erika mengurungkan niatnya yang ingin mengambil jam, ia berdiri canggung menatap Citra yang tengah menyindirnya. Gavin pun pergi begitu saja.

"Ngapain lo masih di sini?" tanya Citra sinis. "Pergi!"

 

Erika menekan bibirnya hingga berbentuk garis lurus, ia memungut jam tangannya kemudian pergi dari sana. Tanpa Citra suruh pun ia akan pergi, memangnya siapa yang betah berlama-lama di kamar mandi? Lagi pula, bel tanda waktu istirahat sudah selesai akan segera berbunyi.

***

Erika pikir, ia akan telat masuk ke kelas setelah insiden tadi, tetapi tetap saja kelas masih terlihat kosong karena seperempat penghuninya belum masuk. Ia sedikit lega jadinya karena guru yang akan mengajar pada mata pelajaran selanjutnya pun belum masuk.

Erika berjalan ke kursi tempat biasa ia duduk, tetapi sekarang sedang diduduki Aira yang sedang menyalin pekerjaan rumah. Gadis itu sedang menyalin PR yang seharusnya dikerjakan seminggu yang lalu. 

"Pas gurunya udah mau masuk, baru ngerjain," sindir Erika seraya duduk di bangku yang berhadapan dengan Aira. "Dimarahin Pak Ghandi tahu rasa lo!"

"Enggak akan, Er!" jawab Aira sembari fokus pada apa yang sedang disalinnya. Erika hanya bisa mencibir atas kepercayaan diri Aira kalau ia tidak akan dimarahi oleh guru sejarahnya, padahal ini adalah jamnya beliau untuk mengajar. Tak lama lagi pasti Pak Ghandi akan datang.

"Lo pasti enggak cek GC, ya?" Aira menghentikan kegiatannya sejenak untuk memandang Erika, sementara Erika mengangkat bahunya tak acuh karena apa yang diucapkan Aira memanglah benar. Buat apa repot-repot membawa ponsel yang batrainya nyaris habis. 

"Udah gue duga!" ucap Aira sembari merogoh saku roknya untuk mengambil ponsel, kemudian menyodorkannya kepada temannya. Erika yang mengerti kemudian membuka aplikasi pesan dan membuka grup kelas yang ada di sana.

 

"Kenapa, sih, lo jarang buka HP, enggak punya kuota?" cerocos Aira sembari melanjutan kegiatannya yang tertunda. "Periksa HP itu penting! Mana tahu ada info apa gitu yang belum lo tahu. Juga, gue selalu kesusaan waktu mau hubungin lo buat minta PAP tugas! Ah, elah. Enggak peka banget, sih, lo Er!!"

Erika terkekeh mendengar omelan Aira. Kalau dipikir-pikir, Aira ini multitalenta sekali karena bisa melakukan dua kegiatan berbeda dalam waktu yang bersamaan, yaitu mengomel dan mencatat.

Erika mengembalikan ponsel milik Aira setelah mengetahui apa yang tertulis dalam grup pesan tersebut, ternyata ada informasi bahwa jam ke lima, ke enam dan seterusnya akan kosong karena ada rapat guru. Pantas saja teman-temannya belum kembali ke kelas, guru tidak akan masuk rupanya.

"Tumben amat ngerjain tugas sekarang? Santuy aja kali Ai, orang guru-gurunya juga enggak bakal masuk," ujar Erika merasa heran mengapa Aira mau repot-repot mengerjakan tugas, sementara gurunya tidak akan masuk. Biasanya Aira ini paling santai menghadapi tugas-tugas sekolah.

"Males lah kalau minggu depan tugasnya ditanyain lagi. Mending ngerjain sekarang, kan, biar bisa santuy-santuy di rumah!"

Erika berdecak. Ia tak mengerti dengan pola pikir Aira. Aira masih bisa berleha-leha di rumah, sementara ia harus belajar kembali untuk mempersiapkan ujian masuk ke perguruan tinggi. Atau mungkin saja cara Aira menghadapi ujian-ujian dengan hal yang berbeda? Bagaimanapun juga, ia tak bisa menyamakan hidupnya dengan hidup temannya itu yang jelas-jelas sangat berbeda. 

Teman-teman yang lain silih berganti memasuki kelas, hingga tak tersisa bangku yang kosong. Karena tidak diberikan tugas apa pun oleh guru mata pelajaran, suasana kelas menjadi tak teratur. Tidak ada satu orang pun yang membuka buku pelajaran, mereka sibuk dengan gawainya masing-masing. Para siswa sibuk main game online, umpatan-umpatan terdengar dari arah mereka. Sementara anak perempuan sibuk dengan aplikasi belanja online-nya. Ada juga yang sekadar menyambangi media sosial masing-masing.

Hanya ada dua orang yang berbeda di sana, yaitu Erika yang sedang membaca novel serta Gavin yang sedang mendengarkan musik dan mengamati media sosial seseorang. Mereka seolah tidak terganggu oleh kebisingan yang ada.

Satu jam kemudian, mereka mulai bosan. Bahkan sampai ada yang keluar kelas untuk ke toilet atau ke kantin untuk membeli camilan. Ada yang tidur, juga ada yang bernyanyi-nyanyi tak jelas.

"Ah, anjir, gue bosen!" ucap seorang perempuan disertai dengan gebrakan meja, membuat semua atensi tertuju kepadanya. Dia adalah Anne, wakil ketua kelas 12 IPS 1. Beberapa siswa ada yang mengumpat karena terkejut oleh ulah Anne tersebut.

"Iya, njir. Tahu gini gue enggak usah sekolah!" sahut Ricky, sang ketua kelas. Mereka memang cocok jadi pemimpin, buktinya keduanya bisa membuat semua orang yang fokus pada gawai kini mengalihkan tatapan.

"Kalau di rumah, gue bisa pacaran seharian sama kasur. Kagak buang-buang duit buat ongkos sama jajan!" ujar yang lain yang diangguki oleh beberapa orang.

"Eh, guys!" ujar Anne penuh semangat, gadis itu baru ingat sesuatu yang sebenarnya sudah ia pikirkan selama beberapa hari ini. Semua orang yang ada di kelas sepenuhnya menatap Anne, penasaran dengan apa yang akan diutarakan olehnya. Biasanya Anne akan memberikan saran-saran yang keren untuk mereka.

Merasa perhatian semua orang sudah tertuju kepadanya, gadis itu menarik napas sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu, "Masih ingat, kan, sama acara kelas 12 yang setiap tahun dirayain?"

Mereka mengangguk bertanda bahwa mengingat acara tersebut. Acara yang diselenggarakan hanya untuk bersenang-senang sebelum menghadapi berbagai macam ujian sekolah, dan tidak ada hubungan apa pun dengan masalah pelajaran. Acara tersebut murni hanya untuk hiburan saja. Isinya ada pentas seni, musik, dan lain sebagainya. Yang mengisi tentu saja semua yang ingin ikut berpartisipasi, mereka juga biasanya mengundang band indie.

"Gimana kalau kita adain deket-deket sekarang, mumpung urusan sekolah belum terlalu padet!" usul Anne. "Gimana guys, setuju enggak?"

"Kalau gue, sih, setuju!" ujar Ricky. "Kayak yang lo bilang, Ann, mumpung urusan sekolah belum terlalu padet. Kita bisa refreshing dulu!"

"Pokoknya acara angkatan kita harus lebih heboh dari angkatan sebelumnya, harus lebih asyik!"

Sederet pendapat terdengar di ruangan tersebut, membuat kelas itu tak pernah sepi. Semua mengutarakan keinginannya pada acara tersebut, kecuali dua orang yang masing-masing duduk di kanan dan kiri pojok kelas. Keduanya tampak tak peduli dengan acara tersebut.

"Jadi fix, ya? Kelas kita setuju kalau acara ini diadain secepetnya. Giliran ngasih tahu kelas yang lain sama diskusi baiknya gimana sama mereka!"

Mereka mengiakan pendapat Anne. Wajah-wajah antusias terlihat di kelas itu.

"Main HP mulu lo, Vin!" celetuk seseorang cukup keras membuat beberapa orang di sana menoleh ke arah Gavin yang memang sedang fokus pada ponselnya. Merasa menjadi pusat perhatian, cowok itu mengangkat pandangannya dan menoleh ke kanan-kiri menatap orang-orang yang juga menatapnya. Kemudian, laki-laki itu menatap seseorang yang membuatnya menjadi pusat perhatian dengan tajam. Orang itu adalah Arka, sahabatnya.

"Apa, sih, Ar?" tanya laki-laki itu kesal.

"Gue cuma negor lo doang," jawab Arka sembari memberikan cengirannya. "Gue kasian karena lo enggak ada yang ngajakin ngomong."

"Sialan lo!" protes Gavin.

"Itu fakta, Bro. Kasian gue, dari tadi lo cuma mainin HP."

"Berisik!" Gavin berdiri, kemudian memasukan ponselnya ke saku celana dan meninggalkan tempat duduknya. "Cabut, yuk!" ajak laki-laki itu.

"Ke mana?" tanya Arka yang tak urung membuntuti Gavin juga.

"Ke kantin, ajakin Farel sama Alan juga." Arka lantas melaksanakan perintah Gavin untuk menghubungi dua orang lainnya. Farel dan Alan juga merupakan sahabat Gavin, hanya saja mereka berbeda kelas. Untuk urusan cabut dari kelas, keempat sahabat itu akan sangat kompak.

***