cover landing

Too Sexy for My Rival

By Belladonna Tossici


Yo arek-arek sarik (teman-teman cantik), balik lagi ke channel-nya Dokter Stef," ucap Stefani pada penonton setianya.

Sehari-hari Dokter Stefani Luminar bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah tipe B. Sesungguhnya dia berharap diangkat sebagai aparatur sipil negara alias ASN alias PNS seperti para senior. Apa daya nasib mujur belum berpihak. Tes CPNS sekarang susah. Selain berbasis komputer, betul-betul jujur dan anti orang dalam. Stefani tidak sendirian. Dokter seluruh tanah air rupanya mengincar posisi yang sama. Maklumlah, ASN adalah salah satu pekerjaan bonafide incaran mertua. Asal pakai seragam lalu datang melamar pacar, kemungkinan dapat lampu hijau sudah 99.9%. Di tengah keputusasaan, RS. Lovelette, membuka lowongan dokter kulit untuk klinik estetisnya. Dari Jakarta, Stefani berangkat ke Malang untuk melamar.

Ada ungkapan yang beredar di kampus, semakin genius seseorang, maka semakin aneh dirinya. Bisa jadi itulah yang terjadi pada direktur RS Lovelette. Beliau adalah laki-laki bergelar S3, selain doktor betulan, S3 adalah kependekan dari ‘Sudah Separuh Sepuh’. Spesialis bedah syaraf dan konsulen menambah panjang gelar yang terpajang di kartu nama beliau. Bayangkan berapa puluh tahun dihabiskan untuk bersekolah dan rambut mana saja yang gundul karena kebanyakan berpikir. Stefani tidak tahu pasti jin macam apa yang membisiki direktur, tapi dia senang saat diterima tanpa tes, hanya wawancara saja. Ternyata tidak buruk juga. Selain waktu kerjanya longgar, Stefani bebas mencoba hal baru. Seperti jadi YouTuber misalnya.

"Kali ini kita nggak bahas kosmetik berbahaya, dan beracun, tapi aku mau review kafe baru yang lagi hits di Malang. Letaknya di jalan Ahmad Yani, tepatnya dekat pengadilan negeri. Aku udah masuk gerbangnya nih, mau cari parkiran dulu. Tungguin ya!”

Pada pagi yang cerah ini, ketika burung sibuk terbang mencari makan dan matahari terbit malu-malu di ufuk timur, Stefani memutuskan rehat sejenak dari kejulidan. Musuhnya banyak meskipun belum ada yang berakibat fatal, mengantarkan ke meja hijau. Tidak ada salahnya sesekali menayangkan video berbeda, bukannya protes pada produsen rakus uang yang memakai bahan berbahaya untuk menangguk untung. Kebetulan ada kafe baru buka, pas dijadikan konten vlog. What the heck, baru pukul tujuh saja, mobil sudah berjajar memenuhi parkiran. Stefani mengira dengan sengaja datang pagi-pagi, dia bisa memarkir mobil dengan tenang.

Fuuuhhh!

Stefani meniup poni. Ada sisa waktu setengah jam lagi. Seharusnya sempat merekam video minum kopi dan makan bubur ayam. Ya sudahlah, sayang kalau mesti putar balik. Honda Brio kuning mencolok Stefani berhenti sejenak, menunggu barangkali ada pengunjung kafe yang mau keluar. Benar saja, pintu kafe terbuka. Seorang bapak membawa gelas kopi dan kantong kertas dari jauh mengarahkan remote membuka kunci mobil. Stefani senyum-senyum. Orang sabar dompetnya, eh parkirannya lebar. Stefani sudah memindahkan perseneling bersiap meluncur mengisi parkiran kosong yang ditinggalkan si bapak, tetapi dari arah berlawanan sebuah Mitsubishi Xpander hitam menyejajari Honda Brio.

Sepertinya pemilik Xpander menguji batas kompetitif Stefani. Tidak, Stefani tidak akan mengalah. Dia menginjak pedal gas kuat-kuat, fokus bagaikan elang mengincar tikus sawah. Moncong Brio dan Xpander nyaris berciuman kalau saja pengemudinya tidak sama-sama menginjak rem. Stefani memakai masker lalu membuka pintu untuk turun. Oh ya, dalam segala situasi dia ingat protokol kesehatan. Begitu pump shoes Jimmy Choo yang membungkus kaki jenjangnya menyentuh conblock, Stefani mengetuk kaca Xpander. 

“Mas, tolong mundur. Saya yang lihat parkiran ini duluan.”

Kaca film hitam itu turun perlahan, menampakkan seorang pria berwajah oriental. Bukan seperti engko-engko Glodok penjaga lapak DVD bajakan, yang cover depannya bergambar Tayo si bus kecil ramah ternyata setelah diputar isinya sepasang manusia bergulat penuh semangat bermandi keringat. Mas yang ini lebih mirip oppa Korea. Rambutnya tidak cepak, tetapi rapi dengan bagian depan ikal. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Tampang luarnya tampak berakhlak. Warga negara panutan yang akan direkrut dirjen pajak untuk jadi bintang iklan layanan masyarakat.

“Maaf, saya tidak melihat Anda. Ini parkiran khusus pengunjung kafe. Siapa cepat, dia dapat.” Si laki-laki menjawab super kalem.

Bolehkah Stefani membuka radiator dan menyiramkan air panas ke wajah tampannya? Astaga, sikap barbarnya yang suka menyelesaikan masalah dengan otot terkadang muncul. Stefani harus mengingatkan dirinya agar sadar bahwa dia kini adalah seorang dokter kontrak yang setiap saat dapat dipecat, maka tidak boleh lagi bersikap seenak jidat.

“Apa buktinya Anda lebih cepat?” Stefani berdoa dalam hati hanya agar diberikan kesabaran ekstra. Mas rasa oppa ini menguras waktunya. Stefani hampir terlambat masuk rumah sakit. Sebentar, kalimatnya ambigu. Stefani bukan jadi pasien. Dia bertugas di sana dan jam masuknya tinggal beberapa menit lagi. Kenapa Tuhan malah memberikan cobaan berat pada saat yang tidak tepat?

Laki-laki itu melepaskan kacamata hitam lalu turun. Hal pertama yang Stefani perhatikan adalah sepatu pantofel hitam mengilap. Baiklah, Stefani mengakui selera fashion ‘saingannya’ ini lumayan monoton. Kemeja putih, celana panjang abu-abu, dan dasi abu-abu silver. Rapi, tapi biasa banget. Bagusnya, model pakaian tadi memetakan lekuk tubuhnya dengan baik sekali. Jangkung dan semampai, yang kalau kemejanya dibuka mungkin saja menawarkan pemandangan roti sobek nan menggiurkan. Agaknya dia tipe yang menjaga kebugaran tubuh.

Stefani lantas melirik pergelangan tangan si laki-laki. Rolex Oyster Perpetual melingkar ganteng di sana. Kata Raditya Dika, Rolex tidak menjual produknya ke sembarang orang. Pakai waiting list pula.

“Mobil saya berada di depan Anda sepuluh sentimeter,” kata si laki-laki seraya menunjukkan bumper depannya. Bibirnya terangkat, menyunggingkan senyum kemenangan. “Ini fakta yang bisa jadi bukti, kan?”

Kalau tidak ingat bahwa dirinya bisa saja diberhentikan kapan saja, Stefani sudah pasti berbuat barbar, misalnya dengan menarik dasi laki-laki ini lalu mengacak-acak rambut rapinya hingga kusut.

“Hei, gue cuma butuh kopi, bukan mau lapor polisi. Ngapain lo pakai ngomongin bukti segala macam Hotman Paris!” Kalau sudah mengeluarkan logat khas Jakarta, artinya emosi Stefani mencapai ubun-ubun.

“Tadi Anda yang minta.”

Fuuhhh!

Stefani ingin meniup poni lagi, tetapi terhalang masker. Iya sih, memang tadi dia yang minta, tapi kan, bukan artinya dia minta sungguhan. Ah sudahlah, barangkali laki-laki ini semacam murid patuh pada Pancasila dengan nilai PKN yang bagus semasa sekolah.

“Pokoknya space parkiran ini buat saya. Kalau Anda laki-laki sejati, silakan mundur.” Stefani bersedekap keras kepala. Senjata pamungkasnya adalah membawa-bawa gender.

“Maaf, laki-laki dan perempuan sudah setara sekarang. Tidak ada ceritanya laki-laki harus mengalah pada perempuan. Saya juga butuh kopi.” Laki-laki menyebalkan ini juga bersedekap. Dia meniru bahas tubuh Stefani.

“Heh, gue ini dokter. Kalau ada pasien gue meregang nyawa karena gue terlambat menolong, lo ikut menanggung dosa.”

Laki-laki itu melirik kaca mobil Brio yang terbuka. Jas putih Stefani disampirkan membungkus sandaran kursi.

“Sepertinya Anda dokter gigi. Saya belum pernah dengar pasien meregang nyawa karena sakit gigi,” balas si laki-laki.

“Lo salah, makanya jangan sok tahu.” Stefani terbahak meremehkan. “Gue ini dokter kulit.”

“Berarti Anda tidak perlu terburu-buru, kan? Tidak ada masalah kulit yang darurat, kan? Justru saya yang terburu-buru.” Laki-laki ini tidak menyerah.

Ya, ya, ya, Stefani belum pernah mendengar ada orang meninggal karena bisul meledak. Ada penyakit seperti Chronic Bullous Disease of Childhood-CBD rentan menyebabkan sepsis yang mengakibatkan kuman masuk menginfeksi hingga menyebabkan kematian, tetapi tetap saja kasus semacam ini jarang Stefani temui selama menjadi dokter kontrak di RS Lovelette.

Astaga, ada ya laki-laki melayani adu mulut dengan perempuan, sepertinya tidak mau kalah sekali. Stefani berdecak kesal. Otomatis dia melirik ke kaca depan XPander. Stiker PERADI—Perhimpunan Advokat Indonesia—tertempel di sana. Masa iya laki-laki ini pengacara? Tampangnya tidak ada seram-seramnya. Ataukah memang ini senjata andalannya, wajah tampan yang membuat hakim perempuan jatuh cinta lantas jadi lupa diri? Mengabulkan gugatan si ganteng tanpa tahu sebab musababnya?

“Mas, dengar ya, saya ini YouTuber yang mau me-review kafe ini. Coba cek akun Doctor Stef.”

Alis laki-laki itu menukik. “Dan?”

“Dan, kalau saya mengulas kafe ini, maka subscriber saya yang kebetulan singgah di Malang akan datang ke sini untuk mengisi perut. Bayangkan berapa keuntungan yang pemilik kafe dapatkan?”

Dibandingkan Javier yang cuma membeli segelas kopi, keberadaan Stefani jelas lebih menguntungkan bagi kafe. Kalau laki-laki ini tahu diri, setidaknya dia harus angkat kaki.

“Sebagai pelanggan, saya juga bersedia merekomendasikan kafe ini kepada teman-teman saya. Tahukah Anda bahwa promosi dari mulut ke mulut sangat berpengaruh bagi kelangsungan bisnis?” tanya si laki-laki balik.

Tidak, Stefani tidak mungkin meladeni perdebatan buang-buang waktu ini. Pasien menunggunya dan detik berjalan terus. Daripada memperpanjang keributan, dia memilih melengos lalu masuk mobil. Dibukanya kaca jendela saat hendak meninggalkan lokasi.

“Minum tuh kopi, habisin seember kalau perlu. Gue sumpahin nggak bisa tidur!” Stefani menyumpah lalu memundurkan mobil.

Ada apa gerangan hari ini? Sepertinya Tuhan mengambil jatah berkatNya lantaran Stefani terlalu julid. Mungkin juga produsen kosmetik yang selama ini tersakiti menyewa dukun paling sakti untuk mengisap keberuntungannya.

Laki-laki menyebalkan itu tidak mundur barang satu sentimeter pun. Sabar menunggu sampai Honda Brio kuning cerah itu benar-benar meninggalkan parkiran. Mas rasa oppa Korea malah bersandar di badan mobil. Tangannya terlipat di depan dada dan kakinya tersilang. Matanya terarah lurus pada Stefani dengan tatapan mengejek seakan-akan memang sengaja ingin meledakkan emosinya.

Kekanak-kanakan memang, tetapi Stefani membenci kekalahan sekalipun hanya untuk hal sepele. Ide lumayan sadis menyeruak dalam benak Stefani saat dari spion melihat sepatu hitam mengilap. Peduli setan dengan stiker PERADI. Peduli setan jika laki-laki itu sungguh pengacara atau mungkin punya saudara pengacara. Stefani menggenggam tongkat perseneling, memajukan mobil dengan kecepatan penuh. Dilindasnya ujung sepatu si laki-laki sebelum kemudian keluar dari gerbang kafe. Stefani tertawa jahat saat menengok ke belakang dan menyaksikan saingannya meringis kesakitan sembari mengangkat sebelah kaki.

***