cover landing

Tomorrow I Will Die

By Erwingg


Aku duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan perasaan letih. Aku tidak tahu bagaimana bentuk bibirku saat ini namun aku mampu merasakan betapa keringnya bibirku, mungkin aku terlihat seperti mayat hidup sekarang. Aku sekarat dan didiagnosis mengidap Multiple Myeloma bulan lalu.

Mungkin sudah tiga tahun lebih aku merasakan gejala penyakit itu namun baru didiagnosis belum lama ini. Jika kamu tidak tahu penyakit apa itu, kamu bisa mencarinya di Google. Mereka akan memberitahumu kalau Multiple Myeloma adalah salah satu jenis kanker darah.

Multiple Myeloma yang aku alami adalah keturunan dari kakekku. Dokter bilang kanker yang menggerogotiku ini cukup langka. Pada umumnya dialami saat berusia 18-40 tahun namun aku mengalami lebih muda dari itu. Sekarang aku 16 tahun dan dokter bilang sekitar tiga tahun lalu, berarti saat aku berusia 13 tahun.

Aku mimisan tiba-tiba. Aku mengelap darah yang mengalir keluar dari hidungku. Aku melihat sekelilingku dan beberapa orang menatapku dengan tatapan bulat seolah aku aneh, mungkin memang aneh. Aku tersenyum kepada salah satu dari mereka namun mereka mengalihkan pandangan seakan aku bukan manusia. Itu sangat menyakiti hatiku namun aku berusaha memaklumi—beginilah kehidupan penderita kanker.

Mungkin aku terlalu jorok mimisan di depan mereka? Aku tahu itu tapi aku juga tidak menduga kalau aku akan mimisan. Ini efek dari penyakitku dan aku tidak pernah meminta ini semua.

Aku masih mengelap darah di bawah hidungku dengan menggunakan tisu ketika seorang ibu mendekat dan bertanya padaku, "Adek sakit apa?" Aku mengamati serius wanita yang memakai tas jinjing itu. Sebenarnya aku tidak suka menjelaskan penyakitku kepada orang lain seolah aku menyukai penyakit ini.

"Kanker darah, Tante," kataku. Lebih mudah mengatakan kanker darah ketimbang menyebutkan Multiple Myeloma.

Ibu itu terlihat kaget. "Kasihan sekali. Sekarang di sini sedang apa? Berobat?" tanya dia lagi. Aku mengangguk. Dia duduk di sampingku lalu mengamati diriku. "Perkenalkan nama Tante Wirda Ayu. Tante bergabung di sebuah komunitas Peduli Kanker Indonesia, siapa tahu adek tertarik untuk bergabung." Aku tidak menjawab.

Ibuku datang, aku berdiri dan pamit kepada ibu yang bernama Wirda itu. Namun dia memegang tanganku. "Komunitas kami akan membantu kamu, Dek. Bergabunglah," ucapnya.

Ibuku menoleh ke arahnya. Ibuku selalu semangat jika seseorang ingin menyembuhkan aku. "Ada apa ini? Maaf saya tadi mendengar Anda ingin membantu putriku?" Ibu bernama Wirda itu tersenyum lalu memberikan kartu nama ke ibuku.

"Nama saya Wirda. Saya dari komunitas peduli kanker Indonesia, Bu. Kami akan membantu anak Ibu di sana. Menumbuhkan semangat hidup bagi penderita kanker itu sangat penting dan kami siap membantu," jelas Tante Wirda.

Ibuku mengangguk mendengar penjelasan Tante Wirda. "Nama anak Ibu siapa?" tambahnya. Aku membuang tisu yang tadi kupakai mengelap darah mimisanku ke tempat sampah yang tak jauh dariku.

"Amanda," jawab Ibuku. Tante Wirda mulai menjelaskan lebih dalam mengenai komunitas tempat dia bergabung. Aku diam saja karena sebenarnya aku tidak tertarik, aku hanya akan merasa semakin sakit jika masuk ke dalam komunitas seperti itu. Aku tidak suka sakit, aku benci sakit seperti ini. "Kapan anak saya bisa berkunjung ke komunitas Ibu?" tanya ibuku.

"Kami ada pertemuan setiap Kamis dan Sabtu. Karena hari ini Rabu, maka datanglah besok kalau bisa. Nanti saya kirimkan alamat kami lewat WA Ibu." Ibuku mengangguk dan memberikan nomor WhatsApp ke Tante Wirda.

Mereka mengobrol cukup banyak sampai aku dan ibuku meninggalkan Tante Wirda.

***

Saat aku berada di dalam mobil, ibuku mulai membicarakan hal itu. "Besok Ibu akan antar kamu ke komunitas mereka."

Aku menoleh, aku takut bicara jadi aku tidak memberikan komentar. "Ibu sedang bicara, Amanda. Bukankah kamu seharusnya menjawab? Ibu tidak suka sikap seperti ini." Ibuku sangat tegas dan aku tahu dia begitu mencintaiku.

"Aku tidak tahu harus bicara apa. Jika Ibu berpikir itu yang terbaik untuk aku maka lakukan saja. Kenapa harus bertanya padaku lagi." Bibirku terasa sangat kering, aku merasa lelah seperti baru saja keliling lapangan sekolah sebanyak seratus kali. Tulang belakangku pun terasa sakit.

Ibuku tidak bicara lagi. Mobil kami melaju ke rumah. Ibu mengendarai mobil itu dengan hati-hati. Ibuku menghela napas lalu mengambil ponsel. Dia menelepon seseorang.

Aku tahu dia berbicara dengan siapa ketika Ibu berkata, "Amanda butuh uang seratus juta untuk berobat. Kamu harus mengusahakannya, Pras. Itu pengobatan untuk kemoterapi Amanda selama sebulan." Itu ayahku. Ibu dan ayahku berpisah sebelum aku didiagnosis terkena kanker darah. Lima tahun yang lalu.

"Uang sebanyak itu bisa aku dapat dari mana? Sudah sinting kamu, ya. Kamu tahu aku punya anak selain Amanda dan Amelia. Seharusnya Amanda sudah menjadi urusanmu." Meski ibuku tidak mengaktifkan mode speaker ponselnya, aku masih bisa mendengar kalimat itu. Aku menoleh keluar jendela sambil mengelap air mataku. Aku tidak suka menjadi beban orang tuaku. Aku benci menjadi orang sakit.

"Tega ya kamu Pras bicara begitu sama anak kamu. Amanda itu darah dagingmu juga. Kamu merasa bahagia jika dia meninggal?" Ibuku berteriak. Aku merasakan getaran dalam suaranya. Dia tidak terima ucapan ayahku.

"Bukan begitu, Anita. Aku peduli terhadap Amanda. Aku menyayanginya. Tapi aku harus bagaimana? Gajiku sebulan tidak bisa cukup untuk pengobatan Amanda. Kau tahu keadaanku dan kau masih saja memaksaku." Aku berusaha memahami ayahku tapi tidak bisa.

Seharusnya jika dia seorang Ayah yang baik, dia harusnya melakukan apa saja meski dia punya istri baru dan anak selain dari ibuku. Dia pasti rela meminjam uang demi aku bukan dengan mengatakan hal yang menyakiti hatiku.

"Kamu selalu punya alasan. Kamu selalu sibuk dengan keluarga barumu. Jika terjadi apa-apa dengan Amanda, aku tidak akan memaafkanmu." Ibuku mematikan panggilan telepon mereka.

Aku masih belum menatap ibuku saat dia berkata, "Ayahmu akan mengusahakan uang. Dia memang selalu begitu tapi yakin saja dia akan mengusahakan uang pengobatanmu." Aku membalikkan tubuhku lalu memeluk ibuku.

Aku berbisik, "Aku tidak berharap sembuh, Bu. Aku hanya ingin melakukan hal menyenangkan sebelum akhirnya pergi. Pengobatan apa pun tidak akan membuatku sembuh. Itu hanya akan membuatku semakin sakit jika tahu aku menyusahkan kalian semua."

Ibu menghentikan mobil di pinggir jalan seraya betutur, "Kamu akan sembuh. Kamu harus mengalahkan penyakit itu." Aku tidak menjawab, aku tidak mau berdebat akan sesuatu yang aku tahu hasilnya seperti apa. Aku jelas tidak bisa sembuh. Mobil kami sampai di rumah saat jam menunjukkan pukul tiga sore tepat.

Aku masuk kamar, mengunci pintu kamarku. Aku memutar lagu keras-keras kemudian menangis di dalam kamar di bawah selimut. Aku membayangkan kata-kata ayahku, membayangkan hidupku yang sangat tidak berguna ini. Aku tidak membantu orang tuaku, yang kulakukan hanyalah menyusahkan mereka. Aku menangis sampai tertidur.

Aku bangun saat malam telah tiba. Aku keluar dari kamarku, ibuku sedang membuat makan malam. Dia sedang memasak sayuran hijau dan tersenyum saat melihatku. "Wirda mengirimkan foto mengenai komunitas mereka. Ibu sangat suka komunitas itu. Tempatnya sangat bersih dan terlihat sangat membantu penderita kanker," ungkap ibuku.

Dia mematikan kompor, memindahkan sayur ke dalam mangkuk besar. Lalu mengambil ponselnya. Dia memperlihatkan foto-foto komunitas itu. "Itu bagus," komentarku meski aku tidak suka. Aku tidak mau menghancurkan semangat ibuku. Dia sudah melakukan banyak hal demi kesembuhanku.

"Ibu tahu kau tidak mengatakan yang sebenarnya. Mungkin kau tidak suka tapi Ibu yakin kau akan suka jika sudah ada di sana. Cobalah satu sampai dua hari. Kau bisa keluar dari sana jika tidak suka. Komunitas ini baik untukmu," nasihat ibuku. Mengapa dia bisa menebak apa yang kurasakan? Aku mengambil makan malamku. Ada sayuran hijau, minyak ikan, dan daging tanpa lemak. Ibuku sudah menyiapkan segalanya yang bisa kumakan. Makanan sehat untuk menyehatkan aku.

Kami hampir selesai makan ketika Amelia datang. Amelia adalah saudara kembarku. Dia lebih cantik dari aku, dia populer di sekolah kami dan memacari semua cowok tampan di sekolah. Dia juga sangat pintar.

Terkadang aku iri dengan kehidupan sebagai Amelia. Dia pasti sangat bahagia mendapatkan kehidupan baik seperti itu. "Dari mana saja kamu, Amelia. Ayo sini makan dulu," kata ibuku. Amelia mendekat ke arah kami.

"Tadi aku mengerjakan tugas di rumah teman," balas Amelia. Dia membuka tasnya kemudian mengeluarkan sebuah buku bersampul berwarna hijau, ada gambar Cole Sprouse dan Haley Lu Richardson di atas sana, itu novel favoritku. "Aku tahu kau sangat suka film ‘Five Feet Apart’, tadi aku ke toko buku. Aku pikir kamu akan suka versi bukunya juga," lanjut Amelia sembari memberikan aku novel itu.

Aku menutup mulutku karena tidak percaya bisa mendapatkan hadiah dari Amelia. "Bagaimana kamu tahu aku sangat suka novel ini? Terima kasih ya Mel sudah beli novel ini." Aku mengambil novel Five Feet Apart dan memeluknya. "Aku mau ke atas. Aku mau baca buku ini." Aku pamit. Dan berlari menuju kamarku seperti gadis kecil yang baru saja mendapatkan es krim kesukaannya.

Aku membaca novel Five Feet Apart saat berada di dalam kamar. Novel ini mewakili perasaanku sebagai orang yang sekarat. Penyakit kami memang berbeda namun tingkat kematiannya sama. Aku berharap bisa bertemu cowok yang punya penyakit yang sama seperti aku, yang bisa memahami aku. Aku mulai berpikir jika karakter Stella Grant mungkin masih menjadi cewek sekarat yang beruntung karena memiliki Will Newman di sekelilingnya.

Amelia masuk ke kamar saat aku menangis membaca betapa sulitnya Stella Grant bernapas. Aku lupa kalau aku juga sedang mengidap kanker darah yang mungkin sama parahnya dengan gangguan paru-paru seperti yang dialami Stella Grant.

"Apa ceritanya sesedih itu?" tanya Amelia. Aku mengangguk. "Mungkin karena aku juga cengeng." Waktu ibu dan ayahku masih bersama aku sangat manja dengan ayah. Dan aku yakin aku mungkin anak manja dulunya.

"Kamu tidak cengeng, Amanda. Kamu kuat, kamu menangis karena kamu paham menjadi orang sakit sedangkan aku tidak bisa merasakan hal itu." Amelia mengambil posisi berbaring di dekatku. Aku menutup bacaanku lalu berkata kepada Amelia. "Bisakah kau berjanji tidak akan memperlakukanku seperti orang sakit? Aku hanya ingin menjalani hidup seperti cewek normal," gumamku. Aku tidak suka dikasihani orang-orang. Aku tahu aku sakit namun aku hanya ingin diperlakukan selayaknya orang sehat.

Amelia menatapku dengan pandangan terkejut kemudian berkata, "Baiklah." Amelia bangkit dari tempat tidur, mengambil alat make-up miliknya kemudian memegang wajahku. "Astaga kau sangat pucat. Aku rasa kau butuh beberapa sentuhan untuk tampil cantik," komentar Amelia. Dia menyisir rambutku kemudian merias wajahku. Aku menutup mata saat dia melakukan semua itu terhadapku. Aku baru membuka mata saat semua proses meriasnya sudah selesai.

"Apa itu aku?" Aku bertanya ketika melihat wajahku di cermin. Aku memegang pipiku dan bayanganku di cermin melakukan hal yang sama. Aku selalu merasa jelek selama hidupku dan aku baru menyukai diriku sekarang ini. Aku tidak tahu kalau make-up bisa membuatku terlihat seperti saudara kembarku Amelia yang cantik.

"Astaga, itu wajahmu. Percayalah sejak dulu kamu memang cantik. Kau hanya tidak mau mengakuinya," sela Amelia. Aku tidak percaya ini terjadi padaku. "Aku mau tampil seperti ini di hari ulang tahunku. Apa kita bisa mengabulkannya?" tanyaku.

Amelia merangkulku dan berjanji akan mengabulkannya.

"Apa itu mimpimu? Mari kita kabulkan semua mimpimu," ujar Amelia. Aku tersenyum. "Aku punya banyak mimpi, kau tahu. Kau tidak akan bisa mengabulkan semuanya," sahutku. Amelia memicingkan mata. Dia mengambil kertas dan pulpen lalu menantang aku menulis semua mimpiku di atas kertas.

"Tulis semua mimpimu dan aku akan mengabulkan semua permintaanmu," perintah Amelia. Aku mengambil kertas dari Amelia. Aku bingung harus menulis apa. Aku bahkan tidak tahu sebenarnya seperti apa mimpiku.

 

1. Aku mau punya pacar seperti Cole Sprouse

2. Aku mau hidup seperti Amelia

3. Meskipun mustahil, aku mau punya momen spesial bersama Ayah

4. Aku mau berbelanja bersama Amelia

5. Aku mau tampil cantik di hari ulang tahunku

 

Aku baru menulis lima dan Amelia tampak membulatkan mata. "Astaga kamu curang. Bagaimana bisa aku menemukan cowok seperti Cole Sprouse. Astaga dia sangat tampan. Bagaimana bisa, itu harus dihapus," ujar Amelia sambil berkacak pinggang.

"Astaga itu simpel sekali. Meski tidak setampan Cole setidaknya dia bisa memotret seperti Cole. Dia seharusnya tidak suka selfie," timpalku.

"Cowok seperti apa itu." Amelia tampak berpikir lalu berkata, "Astaga aku tahu dia siapa." Dia mengambil ponselnya lalu mencari sesuatu di Instagram. "Namanya Syafiq Ibrahim. Dia anak perkusi sekolah. Kau kenal dia, kan? Dia suka fotografi dan tidak suka difoto. Seminggu lalu dia sudah menembakku tapi aku menolaknya karena aku sudah berkencan dengan Rafli. Jika dia menyukaiku berarti dia akan lebih menyukaimu."

"Aku seratus persen yakin dia akan menolakku. Dia pasti tidak suka orang sakit," ucapku. Amelia menepuk bahuku. "Anggap saja ini senang-senang. Pacar bohongan, jangan anggap serius, oke? Kita hanya akan mewujudkan mimpimu di daftar ini," kata Amelia.

Benar, ini hanya untuk iseng jadi tidak apa-apa. Mungkin saja Syafiq mau menjadi pacar bohonganku. Amelia meyakinkan aku kalau dia akan mengurus semuanya dan akan menentukan jadwal kencan bohongan kami.

***