cover landing

Tintingan

By Nirania


Senyuman manis terukir di bibir sang gadis. Lesung pipinya terlihat indah. Dia sedang berdiri di pinggir jalan. Meski ramai oleh lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki, fokusnya tertuju pada satu titik. Dia merogoh tas, mengambil ponsel, kemudian mengarahkan kamera ke arah titik yang dipandanginya.

Beberapa meter di depan, seorang laki-laki tengah berbagi makanan. Dia duduk di samping seorang nenek penjual manisan, tepat di sebelah dagangannya. Sesekali dia mengangkat manisan tersebut dan menawarkan pada pejalan kaki yang lewat. Entah apa yang mereka bicarakan sampai tawa keduanya begitu lepas.

Ziani, gadis berambut sebahu yang diam-diam mengambil gambar dua manusia beda generasi itu, tertular kebahagiaan mereka. Dia tersenyum dengan hati yang mengembang bahagia. Sudah dua bulan lebih dia menjadi penguntit. Mengikuti kegiatan laki-laki yang sedang tertawa bersama nenek penjual manisan itu. Galeri ponselnya penuh dengan hasil bidikan diam-diam.

Entahlah, Ziani sendiri tidak mengerti hatinya. Pertama kali dia tertarik menjadi penguntit saat melihat laki-laki itu menolong seekor kucing yang tertabrak. Laki-laki itu menangis sambil mengusap-usap badan kucing penuh darah yang tak lagi bernyawa. Orang-orang menatapnya aneh, tetapi Ziani terpesona.

Hari itu, Ziani mengikuti ke mana laki-laki tersebut melangkah. Dia memperhatikan dari jauh, laki-laki berambut ikal gondrong itu masuk ke salah satu rumah di sebuah kompleks perumahan. Tak lama dia keluar bersama seorang ibu. Di tangannya sudah ada cangkul. Si ibu menunjuk tanah kosong di depan rumah. Kemudian si gondrong menggali lubang. Ibu itu memberikan selembar kain untuk membungkus kucing.

Si gondrong merunduk hormat dan berterima kasih pada ibu tersebut setelah menguburkan kucing. Dia pun pamit. Ziani masih memperhatikannya sampai dia naik ke taksi. Ibu itu pun melakukan hal yang sama. Ziani mendekat dan bertanya pada si ibu apa dia mengenal laki-laki tadi.

"Iya. Semua orang di sini mengenal Ilash. Dia suka membantu warga."

Sejak saat itu, Ziani selalu melewati jalan tersebut dan menguntit si gondrong. Setelah dua bulan, ada gelenyar aneh yang menyerang dadanya tiap kali dia melihat laki-laki itu.

Cuaca Jakarta masih terasa panas meski hari sudah sore. Ziani memasukkan ponsel ke dalam tas saat melihat laki-laki itu pamit pada sang nenek. Dia sudah hafal rutinitas laki-laki itu. Pada hari Minggu seperti sekarang, setelah berbagi makanan, dia pasti menuju gereja.

Ziani terus melangkah riang, tetap menjaga jarak. Dia belum berani menampakkan diri. Dia juga ikut masuk ke gereja, meski hanya duduk diam memperhatikan sang pujaan.

Orang-orang begitu khusyuk memanjatkan doa, termasuk pujaan hatinya. Ziani menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Orang-orang itu begitu percaya pada Tuhan. Sedangkan dirinya tidak tahu, Tuhan itu seperti apa. Tak ada satu agama pun yang dia ketahui, meski di KTP yang baru setahun lalu dia miliki, tercetak kata “Islam” di kolom agama.

Ziani tahu, orang tuanya memiliki paham kebebasan. Mereka membebaskan anak-anak memilih agama mana saja yang diyakini benar. Toh, mereka juga dalam masa pencarian. Kata ayahnya,  Islam di kolom agama hanya identitas. Sampai detik ini, Ayah masih ragu akan keberadaan Tuhan. Mengikuti jejak ayah-ibu, Ziani dan dua saudaranya pun tak peduli pada Tuhan.

Mata Ziani terpejam. Angannya melayang, memikirkan eksistensi Tuhan dalam hidup manusia. Apakah setelah ini dia harus memikirkan keberadaan Tuhan? Haruskah dia mengakui salah satu agama dari sekian banyak agama di dunia ini?

Masih banyak tanya yang bergelayut, membuatnya larut dalam angan. Ketika dia membuka mata, pujaan hatinya tak lagi terlihat. Dia berdiri, melongok ke depan, ke samping kiri dan kanan, tetap saja tak menemukan sang pujaan.

Kepalan tangannya meninju ruang kosong di sisi kanan. Menyesal karena larut dalam lamunan. Dia berlari keluar, berharap masih menemukan laki-laki yang telah memorak-porandakan hatinya.

Motor Suzuki Satria masih terparkir di tempat, tetapi pemiliknya tak terlihat. Ziani memanjangkan leher, menengok kanan-kiri, tetap saja tak menemukan yang dicari. Barangkali masih di dalam, pikir Ziani penuh harap. Dia pun membalikkan badan hendak masuk lagi ke dalam gereja. Namun, tubuhnya mendadak kaku saat mendapati orang yang dicari tengah bersandar di tembok samping pintu masuk. Dua kakinya disilangkan. Tangannya pun melingkar di dada. Memandang Ziani yang mendadak salah tingkah.

Ziani cengar-cengir. Dia memperbaiki letak kacamata, menutupi rasa gugup. Tak ingin terlihat bodoh, dia mengangguk pelan dan berbalik. Dia mempercepat langkah, tapi tangannya ditarik.

"Kamu bukan pencuri, kan?"

Ziani menggeleng cepat. Ada sedikit rasa kecewa saat si gondrong menuduhnya sebagai pencuri.

"Bukan Zia yang pencuri, tapi situ, kali." Tak ingin terlihat bodoh di depan sang pujaan, Ziani memberanikan diri mengucapkan kalimat ambigu itu. Saking ambigunya, laki-laki yang masih menahan tangan Ziani tersebut kebingungan. Alisnya terangkat, berharap Ziani menjelaskan makna perkataannya, tetapi si gadis berkacamata masih diam membisu.

"Kenapa kamu menuduh aku pencuri?" tanya si gondrong, tak bisa menahan rasa penasaran.

"Kakak duluan yang nuduh Zia pencuri."

"Oke, lupakan. Sekarang aku mau tanya. Kenapa kamu menguntitku?"

Mulut Ziani terbuka hendak menyangkal, tetapi si gondrong mengangkat jari telunjuk sebagai isyarat diam. "Aku tahu kamu mengikutiku selama ini. Nggak usah menyangkal. Apa maksudmu melakukan itu, Anak Kecil?"

"Enak aja manggil ‘Anak Kecil’. Anak kecil nggak mungkin keliaran."

Si gondrong mendengkus. Gadis yang berdiri di depannya memang masih muda, tetapi mungkin sebutan anak kecil agak salah.

"Berapa usiamu?" Si gondrong kembali bertanya, kali ini intonasi suaranya lebih ramah.

"Cieee, kepo. Mau tahu aja atau mau tahu banget?"

Ilash mengelus dada. Berhadapan dengan gadis muda seperti ini memang butuh stok kesabaran.

"Jawab atau aku gigit?"

Bukannya takut, gadis muda yang tangannya masih dicekal itu terbahak.

"Ih, Kakak nggak cocok jadi pemeran antagonis. Zia udah tahu kok, Kakak itu orang baik."

"Bagaimana kamu bisa menyimpulkan itu?"

"Kan, Zia diam-diam mengikut—" Ziani menutup mulutnya karena keceplosan mengakui perbuatannya. Ilash menaik-turunkan alis. "Iya, deh. Zia ngaku udah buntuti Kakak selama ini. Abisnya pesona Kakak buat Zia jatuh cinta."

"Jatuh cinta? Yang benar saja." Ilash melepaskan cekalan tangannya. Dia melangkah menjauhi Ziani. Namun, gadis itu itu masih mengikutinya.

"Kenapa? Emang Zia nggak boleh jatuh cinta sama Kakak?"

"Aku udah punya istri," jawab Ilash tanpa berhenti melangkah. Dia segera naik ke motor, ingin cepat-cepat menjauh dari gadis muda yang mengaku jatuh cinta padanya. Namun, Ziani tak mau menyerah. Dia berdiri depan motor, menahan setang hingga Ilash tidak bisa berkutik.

"Kakak bohong. Kata Pak Pendeta, bohong itu dosa. Jangan kira Zia nggak tahu tentang Kakak. Kakak tinggal bareng mama-papa, nggak ada istri, nggak ada pacar. Punya satu sahabat setia, namanya Ari dari Ambon. Kalau sedang berdua suka adu kentut, kan?

Ilash tak bisa berkedip. Sungguh tak menyangka gadis ini benar-benar tahu semua hal-hal pribadinya. Dia mengembuskan napas setelah beberapa detik ditahan. Kemudian dia turun, menarik tangan gadis itu mengikutinya. Keduanya duduk di tangga depan gereja.

"Terus kamu mau apa sekarang?"

"Maunya Kakak jadi milik Zia. Biar bisa meluk Kakak tiap hari."

Ilash menggaruk kepala. Pusing. Kenapa Tuhan mempertemukannya dengan gadis unik ini? Dia tahu, segala kejadian pasti telah ditentukan Tuhan, bukan kebetulan semata. Termasuk pertemuannya dengan gadis ini.

"Kamu berapa tahun sekarang? Masih sekolah, kan?"

"19 tahun, Kak. Undang-undang pernikahan sudah membolehkan. Zia udah kuliah. Kalau kita nikah kan Kakak bisa antar Zia ke kampus."

"Jadi kamu nyari suami atau tukang ojek?"

"Ish, suami bukan tukang ojek. Mengantar istri ke mana-mana itu romantis, tau! Jadi, Kakak mau nggak nikah sama Zia?"

Lagi-lagi Ilash menarik napas. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti permainan sang gadis.

"Memangnya kenapa kamu ingin menikah muda dan kenapa harus aku? Kamu yakin bisa bahagia sama aku?"

Pertanyaan beruntun itu disambut Ziani dengan tawa pelan. Kemudian dia menjawab tanya itu dengan penuh percaya diri. "Nggak ada yang salah dengan nikah muda. Yang penting itu kesiapan mental menjalani kehidupan setelah nikah. Zia milih Kakak karena udah kadung jatuh cinta. Zia juga yakin bisa bahagia sama Kakak. Karena kucing aja disayang, apalagi Zia yang cantik dan imut memesona begini. Masa nggak disayang?"

Ilash mengulum senyum. Entahlah, jawaban gadis muda ini menghadirkan berbagai rasa di hatinya. Ada haru, ada bangga, dan ada kelucuan dari caranya menjawab.

Seorang pendeta menuruni tangga, memperhatikan keduanya. Ilash merunduk hormat. Dia sudah mengenal baik pendeta tersebut.

"Maaf, Pak. Numpang duduk sebentar."

"Ilash, kamu pacaran dengan anak kecil? Depan gereja lagi."

Ilash tertawa mendengar pendeta menyebut Ziani sebagai anak kecil. Sementara bibir gadis itu mengerucut.

"Pak Pendeta, Zia bukan anak kecil. Sebentar lagi Zia mau nikah sama Kak Ilash. Kalau menurut Bapak, kami bisa bahagia, kan?"

Pak Pendeta tersenyum tipis.

"Nak, saya ini pendeta, bukan tukang ramal. Tapi, kamu sama Ilash memang serasi. Bapak doakan, semoga kalian selalu bahagia."

"Serasi dari mananya, Pak?" Ilash tidak terima. Menurutnya pasangan serasi itu seumuran, bukan berbeda umur seperti dia dan Ziani.

"Mata batin Pak Pendeta nggak mungkin salah. Kakak aja yang terlalu pesimis."

"Tidak usah bertengkar. Bahagia atau tidak, serahkan pada Yang di Atas." Pak Pendeta menghadap ke arah Ilash. "Sudah malam. Kamu tidak ingin pacarmu dipukul papanya karena pulang malam, kan? Saya permisi."

"Makasih, Pak Pendeta," ucap Ziani sembari membungkuk seperti kebiasaan orang Jepang.

"Sama-sama. Jangan lupa berdoa, ya."

Setelah Pak Pendeta tak lagi terlihat, Ilash menarik Ziani naik ke motor. Menanyakan alamatnya dan motor pun melaju.

"Makasih, Kak," ujar Ziani begitu motor berhenti di depan rumah. "Udah tahu rumah Zia, kan? Nanti datang lamar Zia bareng papa-mama."

"Kamu masuk, berdoa sungguh-sungguh pada Tuhan. Semoga Dia mengizinkan aku datang melamar kamu. Satu lagi, berhenti membuntutiku."

"Baiklah, aku akan berdoa sepenuh hati."

Padahal aku juga nggak ngerti bagaimana cara berdoa pada Tuhan.