cover landing

Through the Purple Lenses

By Candra Soraiya


Sebuah hari yang menjungkirbalikkan dunia seseorang sering kali diawali dengan kedamaian.

Bagi Retha, sepasang mata sayu yang langsung berbinar-binar ketika melihatnya adalah salah satu contoh kedamaian yang sederhana. Begitu juga dengan garis-garis kerutan pada pipi dan sudut mata wanita lanjut usia itu yang semakin dalam. Seiring dengan senyumannya yang melebar dan menampakkan jejeran gigi yang tidak lagi lengkap, itu melegakan untuknya.

“Makasih, ya, Mbak,” kata Mbah Siti dengan suara parau. “Mbak Ayu sehat?”

Retha spontan tersenyum. Kemarin Mbah Siti memanggilnya Hana, kemarinnya lagi Nana, kemarinnya lagi Anis, tetapi Retha tidak menyalahkannya. Nama Margaretha mungkin memang agak sulit diingat, diperparah dengan daya ingatnya yang mulai memburuk karena faktor usia.

“Puji Tuhan, sehat, Mbah,” sahut Retha lembut. “Mbah Siti sendiri bagaimana? Tadi malam hujan deras, Mbah bisa tidur?”

Mbah Siti terkekeh. “Selimutan tujuh lapis.”

Retha ikut tertawa. Bagi anak muda, hujan di malam hari akan menciptakan hawa dingin yang nikmat untuk tidur, tetapi bagi lansia seperti Mbah Siti dengan tubuhnya yang sudah renta pasti tidak begitu.

“Saya lanjut keliling dulu, ya, Mbah,” katanya. “Sehat-sehat.”

Mbah Siti mengucapkan doa panjang yang intinya semoga keluarga sehat selalu, rezeki lancar, dan selalu dalam lindungan berkat-Nya. Setelah mengaminkan dengan sungguh-sungguh, Retha langsung menaiki motor peninggalan ayahnya untuk melanjutkan pekerjaannya: mengantarkan pesanan katering.

Anak Mbah Siti adalah salah satu pelanggannya. Tinggalnya di luar kota, jarang pulang kampung, tetapi meluangkan sedikit biaya untuk memastikan kebutuhan ibunya terpenuhi di sini. Mulai dari perawat lansia, ART, hingga ketersediaan pangan tiap pagi yang diwujudkan melalui Retha.

Hawa dingin sisa hujan masih terasa pada wajahnya ketika Retha menjalankan motor. Langit masih remang-remang khas fajar, tetapi hawa kehidupan mulai bangkit merayapi kompleks perumahan kecil itu.

Retha melempar senyum dan anggukan untuk menyapa ibu-ibu yang sibuk mencuci dan menjemur baju di depan rumah yang dilewatinya. Retha lalu menghentikan motor tepat di depan rumah paling besar di perumahan itu. Perumahan itu memang bukan perumahan kumuh, tetapi rasanya Retha seperti memasuki sebuah dunia baru ketika melewati gerbang dan memasuki halamannya yang berumput.

Retha pikir akan ada seorang wanita paruh baya yang menyambutnya dengan rol di rambut dan gemerincing gelang di tangannya seperti biasa. Namun, sosok yang muncul di balik pintu justru seorang pria bertelanjang dada. Meski usianya sudah paruh baya, tetapi perawakannya masih gagah tanpa perut buncit.

“Eh, Pak Damar,” sapa Retha sambil mengulurkan kantong plastik berisi tujuh kotak makan. “Ini, pesanan Ibu.”

Pria itu menerima kantong itu, sementara Retha merogoh-rogoh saku jaket untuk mengambil nota dan menyerahkannya. "Totalnya jadi segini, ya.”

Pak Damar mengambil kertas itu dan bertanya dengan nada santai, "Sudah ada yang baru belum, Mbak?"

“Apanya yang baru, Pak?"

"Pacar lah," kata Pak Damar, sementara Retha melongo. "Mbak Retha baru cerai kemarin, 'kan?"

Hah?

Retha membutuhkan waktu beberapa saat untuk meyakinkan diri bahwa dia tidak salah dengar, dan lebih lama lagi untuk mencerna perkataan itu, karena … serius? Dari segala macam topik yang bisa dibicarakan, bapak ini malah memilih itu?

"Setahun yang lalu, Pak," kata Retha. "Bukan kemarin."

“Saya sama istri masih suka heran, lho, Mbak,” lanjut Pak Damar, sama sekali tidak mengacuhkan koreksinya. “Pasangan kayak Mas Daniel sama Mbak Retha kok bisa cerai, padahal selama ini kalian kelihatan rukun. Apalagi nikahnya belum ada lima tahun, ‘kan, Mbak?”

“Yah, enggak cocok, Pak,” kata Retha ingin mengakhiri obrolan ini secepatnya.

 Namun, tumpahan rasa penasaran Pak Damar ternyata belum usai.

"Dengar-dengar, Mas Daniel sudah punya yang baru, ya?" tanyanya lagi. "Kata orang-orang daerah sana, kadang-kadang ada cewek mampir ke rumah!"

Sudah tak terhitung berapa kali Retha memendam kebencian karena berada satu kompleks dengan mantan suami plus memiliki tetangga-tetangga ajaib yang super kepo. Bisa-bisanya mereka merasa perlu untuk melaporkan segala aktivitas mantan suaminya  kepadanya.

Dia bisa saja menjawab, "ya iyalah, udah ada yang baru, dia kan udah mulai PDKT dari sebelum cerai," tapi mengatakan itu terasa seperti mempermalukan dirinya sendiri. Seperti mengumumkan kekurangannya ke seluruh dunia. Dia akan dicap sebagai istri yang gagal mempertahankan suami hingga suaminya memilih wanita lain.

Akhirnya, Pak Damar mengulang pertanyaan intinya: "Kalau Mbak Retha gimana? Belum ada siapa-siapa?"

"Oh … belum ada, nih," Retha menjawab, tidak lupa dengan bumbu tawa garing yang disertai harapan agar Pak Damar peka terhadap kerisihannya.

Sayangnya, harapannya terlalu muluk—atau otak Pak Damar yang terlalu tumpul.

"Kok bisa?" tanya Pak Damar lagi. "Mbak Retha masih muda, loh. Pasti ada dong, barang satu dua laki-laki yang mau sama Mbak. Saya aja mau, hahaha.”

Kali ini, Retha tidak bisa tertawa. Mudah saja Pak Damar bicara begitu. Kenyataannya, jika suaminya saja tidak menginginkannya, mana mungkin ada laki-laki lain lagi yang mau?

Karena diburu waktu, Retha langsung berkata, “Maaf, Pak, saya buru-buru, nih. Kalau gak ada tunai, saya bisa catat bon, kok.”

Namun, Pak Damar mengibaskan tangan meremehkan. Dia mengambil dompet dan menarik sejumlah uang. Lembaran-lembaran kertas berwarna merah menyapa matanya, tetapi anehnya, jiwa matre Retha tetap tidak terbangkitkan.

“Nikah sama saya tuh makmur, lho, Mbak,” kata Pak Damar, dengan nada seperti sales asuransi yang menawarkan produknya, sambil menghitung lembaran uang di tangannya. “Mbak Retha ingin apa saja bisa langsung beli. Main ke luar negeri, gampanglah, bisa diatur. Anak mau disekolahin ke mana aja, aman …."

Retha menahan godaan untuk langsung menyambar uang itu, melempar kembaliannya, lalu kabur secepat kilat dari sini.

"Wah, puji Tuhan," katanya datar. "Senang, ya, jadi Bu Damar."

Perkataan itu sama sekali tidak ditujukan dengan niat dengki atau apa, tetapi Pak Damar justru mengangkat dagu dengan raut congkak. "Nah," lanjutnya. "Mbak mau, nggak, jadi Bu Damar kedua?"

Hening sesaat. Saking syoknya, Retha hanya bisa bengong dengan mulut membuka dan menutup berkali-kali seperti ikan koi.

"Tiap bulan, saya bisa kasih dua digit," ujar Pak Damar lagi. "Tambah rumah juga. Tapi, nggak di sini, sih. Bisa ribut besar, hahaha. Saya sudah ada incaran di perumahan daerah utara sana, kan lebih enak lagi kalau ada istri muda nungguin—"

Enak, kepalamu! Retha berpikir geram. Justru karena sifat pria yang tidak pernah puas semacam Pak Damar inilah, dia menjadi seorang janda sekarang. Seandainya dia menerima menjadi istri kedua, apa yang bisa menjamin bahwa dia tidak akan menjadi janda lagi ketika Pak Damar sudah bosan dengannya, seperti Daniel yang bosan hanya dalam tiga tahun pernikahan?

"Nggak, deh, Pak," kata Retha dengan sabar, meskipun sesungguhnya satu-satunya yang dia inginkan hanyalah menjerit murka. "Saya belum minat berkomitmen lagi."

Pak Damar berdecak, seakan keputusan Retha merugikannya secara langsung.

"Daripada susah-susah jualan gini, mendingan nikah lagi, tho?" ujarnya. "Sudah ada yang mau menafkahi, kepengin apa tinggal bilang. Kok ya milih jalan susah?"

Retha tidak ingin mendengar lebih jauh. Dia langsung merogoh saku, mengambil beberapa lembar uang sejumlah kembaliannya, lalu menyerahkannya pada Pak Damar. “Ini kembaliannya, Pak.”

Namun, yang tidak dia duga, Pak Damar justru memegang tangannya yang menyodorkan uang itu dan menariknya kuat. Keseimbangannya goyah.

Karena Retha sama sekali tidak ingin menabrakkan hidung ke dada berbulu itu, dia menyorongkan tangannya yang bebas dan menahan tubuhnya agar tidak menimpa tubuh Pak Damar. Telapak tangannya yang bersentuhan dengan kulit telanjang bapak-bapak ini terasa seperti sebuah dosa, dan dia spontan menarik diri begitu memperoleh kembali kendali dirinya.

Persetan dengan sopan santun. Retha menyambar dua lembar uang seratus ribu  dari tangan Pak Damar dan langsung mengusap-usap telapak tangannya ke celana dengan jijik. Tanpa menoleh atau mengucap salam, dia langsung berlari ke motornya dan meninggalkan tempat itu.

Jantungnya masih berdebar-debar. Seluruh tubuhnya menggigil hingga giginya bergemeletuk. Entah takut atau marah, dia tidak yakin, mungkin keduanya. Namun, yang jelas, dia berharap ini akan  menjadi kali terakhir dia bertemu dengan Pak Damar.