cover landing

The Forbidden Forest

By Zeandra_Qalila


Nanana ... nanana ... nana ... nana ... nana ... na ... na ... na ... na ....

Desauan nada tak kukenal mempercepat lariku. Semakin lama, semakin keras volume yang terdengar. Bisikan-bisikan halus mulai menganggu indra pendengar. Dengan napas yang tersengal, aku menjejakkan langkah panjang agar keluar dari hutan ini. Namun, sepertinya aku hanya memutari tempat yang sama. Seakan tak ada jalan keluar.

Tahu-tahu tubuhku tersentak dan mulai condong ke depan, terhuyung cepat hingga terjerembat pada tanah basah yang kupijak. Akar pohon tua yang mencuat di permukaan mengganjal perjalananku. Untung saja, wajahku tak sampai mencium batu besar yang letaknya hanya sejengkal. Segera meski tertatih, aku  bangkit dari posisi menyakitkan ini. Beberapa memar kudapatkan pada lengan dan paha. Aku pun meringis saat merasakan perih pada pergelangan kaki yang kupaksa tetap bekerja.

Hawa dingin makin menggerogoti tulang rusukku. Gelapnya malam membuatku seakan berada di bawah langit berbeda. Aku makin kesusahan melangkah di antara pohon yang rapat. “Selamatkan aku ... tolong aku!” lirihku di sela-sela rapalan doa yang keluar dalam benak. Sungguh, aku ingin segera keluar dari hutan terkutuk ini.

Lagi-lagi aku terkesiap, saat mataku mengerling ke arah kanan. Sebuah tangan merangkak pada bebatuan yang ditumbuhi lumut. Tangan itu bersimpah darah di sela jemarinya yang tak lengkap. Hanya jari manis dan kelingking yang tersisa. Dua jari yang berjalan bagaikan kaki. Tanpa siku dan lengan, hanya tulang hasta dan pengumpil yang terbalut daging.

Tangan itu makin dekat, dari lima meter menjadi empat meter … tiga meter dan makin mendekat. Aku masih berusaha melarikan diri. Namun, kakiku tiba-tiba terasa berat untuk melangkah. Helaan angin dingin menampar leherku, menambah tegaknya bulu kuduk.

“Kau tak akan bisa lari,” desis suara tak kasat mata di telinga kiriku. Tubuhku berguncang hebat. Desiran jantungku makin menguat. Apalagi saat kurasakan ada sesuatu menepuk pundak. Aku tidak berani memalingkan wajah. Sungguh tidak berani. Aku menggeleng sembari memejamkan mata, “Aku ingin keluar ... pergi!”

Agak lama, kuberanikan membuka mata ...

 “Arrggghhhh!” Sesosok wanita dengan hanbok* putih dan rambut panjang menutupi wajah, muncul seketika di hadapanku. Kubekap mulutku dan mulai memundurkan langkah. Wanita itu berjalan menghampiriku, perlahan ia membuka sedikit rambutnya yang lebat. Wajahnya terlihat sedikit demi sedikit, sebuah hidung sempurna serta dua bola mata melotot dengan bibir yang robek panjang dan menganga lebar. (*Pakaian tradisional Korea)

“Tuhan, bila memang ini akhir hidupku, maafkanlah aku yang masih lalai dengan-Mu.” Kelopak mataku mulai jatuh. Tubuhku merosot, dan semuanya gelap.

***

Seberkas cahaya memasuki retinaku. Bintik kuningku memberikan respons dengan membuka netraku perlahan sembari pupilku menyesuaikan sinar yang datang. Sebuah dinding berwarna biru navy menyapa penglihatanku. Lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit menjadi objek penglihatanku selanjutnya. Sebuah lukisan pantai tercermin berikutnya. Aroma mawar pun menusuk indra penciumanku.

Kupikir, tadi aku berada di hutan terlarang dan aku menemukan berbagai sosok yang benar-benar menakutiku. Aku ingat, aku menjadi tidak sadarkan diri setelahnya. Kini aku berada di sebuah ranjang empuk dengan selimut yang membungkus sebagian tubuhku. Bagaimana bisa aku berpindah di kamar mewah ini?

“Sudah bangun?” Suara bariton terdengar cukup asing di telingaku. Kugerakkan netraku. Di sisi kiri, seorang lelaki berwajah tegas dengan sorot mata tajam sedang menatapku lembut. Ia duduk di samping ranjangku sembari memamerkan sederetan gigi putihnya.

“Kamu siapa?” Aku berusaha bangun dan menghindarinnya. Lelaki itu malah meraih pundakku agar mendekat kepadanya.

“Kai, aku Kai.”

“Kamu tidak perlu takut,” ucapnya lagi. Lelaki yang mengaku bernama Kai pun memegang pelipisku, mengusapnya pelan menuju suraiku yang panjang. Mungkin, ia bermaksud untuk menenangkanku, tapi justru ketakutan kurasakan. Refleks, aku kembali menghindar. Melihat responsku, dia pun kembali tersenyum.

“Aku menemukanmu pingsan di hutan, makanya aku membawamu ke sini.” Suaranya kembali menggaung. Rasa takutku perlahan memudar. Kurasa dia lelaki baik yang akan menyelamatkanku dari hutan terkutuk ini.

“Terima kasih… tapi….“ Suaraku terbata, meskipun ingin terus menatap kehadirannya, aku ingin kembali ke rumah sekarang.

“Heum, tunggulah sampai kau sembuh, baru kuantar pulang,” tuturnya lembut. Sepertinya ia tahu apa yang ingin kusampaikan. Lantas ia membantuku untuk duduk bersender pada papan ranjang. Sungguh perlakuannya sangat manis, membuat jantungku yang sudah dari tadi berdetak, semakin kencang berjalan.

“Sekarang, makanlah terlebih dahulu.” Ia mengambil piring berisi nasi dengan bulgogi* di atasnya. Aku mengangguk pelan. Cacing-cacing di perut rasanya bergejolak, aku yakin sudah dua hari, perutku tidak terisi makanan. (*Olahan daging khas Korea)

Ia menyendok nasi beserta bulgogi, mengulurkannya, dan menyuapiku. Campuran nasi dan bulgogi tersebut memenuhi rongga mulutku. Kupotong dengan gigi seri, tersobek oleh gigi taring dan terkunyah oleh gigi gerahamku. Rasa bulgogi tersebut segera menyebar, rasa enak yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sungguh, rasanya begitu menakjubkan, membuatku terbang ke atas awan.

Tanpa terasa sepiring penuh makanan itu telah bersih. Perutku seakan merengek minta diisi makanan terlezat itu. “Sepertinya kau masih lapar, tapi kurasa cukup untuk hari ini!” Kai menampakkan sebuah senyuman yang kujamin bisa membuat siapa pun meleleh.

“Apa aku bisa memakannya lagi? Ini makanan terlezat yang pernah kurasakan!” ucapku jujur. Aku heran pada diriku, bagaimana bisa aku merengek minta makanan pada lelaki ini?

“Tentu saja, sekarang istirahatlah, nanti malam kau akan mendapatkan makananmu lagi.” Dia kembali menidurkanku, menyelimutiku hingga sebatas leher. Setelah memastikan keadaanku dengan mencium keningku sebagai pamungkasnya, ia pun beranjak pergi dari kamar besar ini. Aneh, aku seakan lumpuh pada lelaki ini.

Aku kembali mencoba untuk menikmati waktu istirahatku dengan tertidur. Kugulingkan tubuhku ke kanan, mencari kenyamanan. Sayangnya, mata ini justru sudah lelah menutup, badanku juga terasa sedikit pegal. Kuputuskan untuk menyibak kembali selimut yang baru dipasangkan oleh Kai. Dengan segenap tenaga, aku meraih sisi ranjang untuk menjadi topanganku agar bangun. Kakiku mulai menyentuh lantai dingin. Tidak ada sandal, aku bertelanjang kaki menapaki petakan keramik putih. Arahku hanya satu, sebuah jendela yang berada di sisi kananku. Jendela besar dengan gorden biru yang menutupinya.

Kudapati pemandangan pepohonan rimbun setelah membuka gorden biru. Sebelumnya ada tanah berumput hijau yang dihias beberapa bunga berwarna merah dan putih. Sebuah ayunan dan perosotan terbangun di antaranya. Kuarahkan pandanganku ke arah lain. Hanya beberapa kembang yang tumbuh dengan jalan setapak di tengahnya. Dari sini aku bisa menaksir, bahwa aku berada di lantai dua.

Tok tok tok….

Suara pintu yang diketuk terdengar nyaring. Aku menatap ke  arah pintu besar berwarna cokelat yang berada di sisi kiriku. Aku mengerenyit, tapi kuputuskan untuk menghampiri pintu.

Tok tok tok…

Kurasa siapa pun yang berada di luar pintu ini sudah tidak sabar menungguku. Sesampainya di depan pintu, kuraih gagang pintu yang berwarna keemasan. Menarik engselnya, lalu membukanya. Tidak ada siapa pun yang  berada di depan pintu. Kulongok ke kanan dan ke kiri, tidak ada satu pun yang terlihat.

“Kakak mau bermain dengan kami?” Tiba-tiba sebuah suara datang dari arah depanku. Saat kupalingkan pandanganku, bisa kulihat seorang gadis cantik dengan hanbok merah delima tersenyum padaku. Jujur, kehadirannya mengagetkan, membuatku diam seperti patung.

“Kakak mau bermain dengan kami?” Lagi, kata-kata yang sama muncul dari mulutnya.

“Eh?” responsku kaget.

“Kakak mau bermain  bersama kami?” Untuk ketiga kalinya, kalimat itu meluncur dari bibirnya. Aku mengangguk mengiyakan ajakannya. Lantas, gadis itu memegang tanganku, menyeretku dengan langkah riangnya. Kami berjalan menuruni tangga. Beberapa kali kakiku hampir tergelincir karena tak bisa mengimbangi langkahnya.

“Jangan cepat-cepat,” ucapku, memperingatkannya, gadis kecil itu berhenti, lalu memandangku dengan wajah masam, tanda tak suka. Mendapati tatapannya itu, membuatku merinding. Astaga!

“Ba… ba… ik… lah!” ujarku terbata. Kurasa diam adalah pilihan terbaik. Sambil terus mengawasi keadaan sekitar, aku berharap akan baik-baik saja bermain dengan gadis itu. Sebab, aku tak tahu permainan apa yang akan kami mainkan.

***

Aku terhenti di belakang rumah yang ternyata bergaya eropa. Rumah ini cukup megah dengan dominasi warna putih tulang dan cokelat. Di tempatku berdiri, sudah ada delapan anak kecil termasuk gadis kecil yang menyeretku tadi. Tiga di antara mereka adalah bocah laki-laki. Dua anak masih mengenakan pakaian khas orang Korea, sedangkan satunya mengenakan model pakaian modern berupa celana pendek dan kaos belang biru. Sisanya adalah bocah perempuan yang dua di antaranya mengenakan rok pendek berwarna pastel, sedangkan tiga lainnya masih mengenakan hanbok.

Kedelapan bocah ini mengelilingiku dengan sebuah lingkaran besar. Mereka bergerak ke kanan dengan menyenandungkan sebuah lagu,

Nananana Hutan pinus bergigi tajam

Nananana danau asin di tengah hutan

Beri tahu kami jalan pulang!

Mereka mengulangi lirik ini sampai tiga kali.

Pengantin raja jawab pertanyaan kami

Siapa namamu?

Mereka berhenti, mendelikkan bola mata secara bersamaan untuk mengunci pandanganku. Aku tergugup melihatnya. Pasti, ini isyarat agar aku segera menjawabnya.

“Krys … Krys … Krystal,” jawabku terbata-bata.

Nananana Hutan pinus bergigi tajam

Nananana danau asin di tengah hutan

Beri tahu kami jalan pulang!

Mereka mengulangi lagi lagunya, tapi dengan tempo yang lebih cepat.

Pengantin raja jawab pertanyaan kami

Apa yang kau makan bersama raja?

Kini tiba waktuku menjawab. Apa yang kumakan bersama raja? Apa maksudnya? Mungkinkah, makanan yang baru Kai suapi tadi?

“Bulgogi,” jawabku kembali. Tiba-tiba bocah lelaki yang mengenakan baju modern itu memutuskan genggaman tangannya. Ia berteriak keras, suaranya memekik. Aku berusaha menghampirinya, Aku memegang pundaknya. Entah apa yang terjadi dengannya. Tubuhnya bergetar keras.

Pluk ....

Sesuatu tercopot dari tubuhnya. Aku yakin itu lengan kanannya yang terjatuh. Saat pandanganku ke bawah, aku baru menyadarinya. Itu adalah lengan kanannya. Kini lengan itu mulai mendekatiku bersama kelima jemarinya. Lengan itu mulai menyentuh kuku kakiku yang telanjang ini. Segera kuhempaskan sejauh mungkin agar bisa terlepas dari kakiku

Aku mundur, sedangkan lingkaran bocah ini malah bergerak makin cepat memutariku. Bocah laki-laki yang baru saja kehilangan satu lengannya itu, masih berteriak keras. Wajah bengisnya bisa kurasakan. Satu per satu bocah yang memutariku ikut berteriak. Bisa terlihat dengan jelas, satu per satu organ tubuh mereka copot. Kaki kanan, telinga, bola mata, lengan,  jari, semuanya yang copot langsung menyerbuku. Hanya satu yang bisa kulakukan, aku harus berlari, menerobos lingkaran yang bocah-bocah ini buat. Menerobos mereka bukanlah hal mudah, dua kali aku terjerembap jatuh. Untungnya, percobaan ketigaku berhasil.

Teriakan demi teriakan dapat kudengar dari arah mereka bermain. Suara mereka benar-benar memilukan. Entah apa yang terjadi pada mereka, yang jelas kini aku hanya harus berlari, berlari dari mereka. Bahkan dari Kai, yang menolongku. Aku ingin pulang.

Langkahku kembali membawaku pada ribuan pepohonan yang berjejer tak rapi. Beberapa ranting membentuk lingkaran ke bawah, menancap dan ditumbuhi lumut. Aku menoleh ke belakang, rumah bergaya eropa tadi sudah mulai lepas dari pandanganku.

Napasku mulai tersengal, aku butuh oksigen lebih banyak. Aku memutuskan berhenti untuk mengatur peredaran oksigen di dalam tubuhku. Aku yakin, jantungku sudah kelelahan memompa darah. Aku bersandar pada sebuah pohon pinus yang rimbun. Mega merah telah tergantikan oleh awan hitam. Mentari yang tadi menyapaku, kini mulai terbenam di antara rimbunan pohon-pohon.

Satu hal yang kusesali, kenapa aku menerima ajakan ibu angkatku untuk menyegarkan pikiran di hutan ini? Padahal nenek selalu melarangku bermain ke hutan yang letaknya hanya tiga ratus meter dari rumahku. Aku pun tak mengira, ibu angkatku akan meninggalkanku sendiri bertemu kematian di sini. Ibu angkat memang tak menyukaiku, tetapi tak seharusnya ia bertindak begitu kejam padaku.

 Nananana pengantin raja jawab pertanyaan kami.

Sayup-sayup nada dan lirik lagu itu terdengar. Bulu kudukku kembali berdiri tegak. Debaran dadaku makin tak menentu. Aku berusaha mencari dari mana arah suara tersebut. Tidak kutemukan sama sekali bocah-bocah kecil tersebut.

Nananana pengantin raja jawab pertanyaan kami

Suara itu makin terdengar mendekat. Sesuatu tiba-tiba menggelitik leherku. Bergerak pelan menyentuh kulitku yang meremang. Kakiku … kakiku bergerak di tempat tanpa komando.

Nananana pengantin raja jawab pertanyaan kami

Sepersekian detik, saat aku berkedip, bocah-bocah berbadan tak lengkap itu sudah mengerubungiku begitu saja. Mereka berputar dengan jemari masih tertaut satu sama lain. Mereka tak berdaging, hanya tulang belulang yang mengenakan kain terakhir mereka. Aku pun bisa mendengar suara tulang saling bergesekan.

Nananana pengantin raja jawab pertanyaan kami

Suara perempuan dewasa terdengar begitu jelas di telinga kananku berpadu dengan lengkingan-lengkingan bocah-bocah itu. Tangan pucat dengan kuku panjang pada jemarinya melintang di pundakku. Saat kugerakkan korneaku, bisa kutemukan rambut panjang tergerai di ceruk leherku.

Sedikit demi sedikit kutolehkan wajahku. Aku tersentak. Sepasang bola mata yang hampir keluar dan sebuah senyuman lebar berdarah menyambutku. Kulit dinginnya mulai melingkari perutku. Air mata yang berusaha kutahan pun tumpah seketika.

“Kumohon, lepaskan aku!” lirihku, mataku terpejam ketakutan. Ini takdirku, bila aku harus berakhir sekarang, maka biarkanlah aku tidak merasakan kesakitan.

***

“Jangan pernah mendekati hutan itu, Krys!” larang nenek sambil menunjuk hutan yang tak jauh dari rumahku. Aku yang masih berusia lima tahun pun mengangguk pelan. Sudah berulangkali nenek memperingatkanku tentang hal ini.

“Karena aku akan dimakan oleh raja hutan di sana, iya kan Nek?” jawabku, sebelum nenek kembali mengulang perkataannya. Nenek selalu melarangku ke hutan itu, bahkan untuk melewatinya saja, aku dilarang. Kata nenek, banyak anak-anak yang ke sana dan tak pernah kembali. Padahal, sepupuku yang pernah mendekati hutan itu, kembali ke rumah dengan selamat.

Nenek menyentuh kepalaku, mengelusnya pelan sembari berkata, “Zaman dahulu, pengantin raja diculik kembali oleh orang tuanya setelah mengetahui siapa sebenarnya sang raja. Hal ini membuat raja marah dan menangkap orang-orang yang datang ke hutan, lalu menjadikannya hidangan makan malam. Krystal mau jadi makanan raja?”

“Tentu tidak Nek ... tapi apakah sang raja menemukan pengantinnya?”

“Tidak, karena sang pengantin disembunyikan hingga ia meninggal. Namun, raja masih menunggu reinkarnasi dari sang pengantin.”

“Nek, memangnya wujud asli raja itu seperti apa?”

“Raja adalah makhluk abadi pemakan manusia. Dia adalah iblis penjaga hutan. Makanya, orang tua sang pengantin berusaha menyelamatkan putrinya.”

“Lalu, kenapa sang pengantin mau menikah dengan sang raja?”

“Karena sang pengantin mencintainya bahkan setelah tahu siapa raja itu. Kata orang, setelah berpisah, ia dikurung agar tidak melarikan diri dan bertemu raja.”

Ada rasa kasihan menyeruak dan datang entah dari mana. Aku yang masih kecil pun menggeleng tidak paham akan benakku, lalu mengikuti nenek masuk ke dalam rumah. Hanya saja, sebelum menutup pintu, aku menengok ke arah hutan terkutuk itu. Ada perasaan aneh tak terdefinisi.

***

“Apakah kamu sudah tidak sabar menunggu makananmu, pengantinku?” Suara bariton memabukan itu terdengar kembali. Aku membuka mata, lantas menyunggingkan bibirku ke atas. Ia mengulurkan tangan kanannya padaku. Aku menerima uluran tangannya. Jemari kami saling tertaut. Ia pun membantuku berdiri.

“Merindukanku?” Pria berkulit tan itu menatapku dengan intens. Tidak ada padanan kata untuk menjawab kerinduan sebab tak bisa bersama dengan yang terkasih selama hampir seribu purnama. Aku mengangguk pelan.

Bibirnya membentuk lengkungan bulan sabit. Kedua telapak tangannya mengusap rambutku berangsur menangkup pipiku. Aku yakin dia juga merasakan buncahan rindu padaku. Perlahan ia mengeliminasi jarak, menempelkan keningnya dengan keningku. Sembari menyatukan jemari kami dan ia membawaku dalam dekapannya. Ia melepas keningnya, beralih menempatkan bibirnya di ceruk leherku. Atmosfer rindu itu menguat. Aku merindukan rajaku.

Cukup lama, ia pun melonggkarkan pelukannya. Kai, memberi kode untuk kembali sembari menautkan tangan kirinya pada tangan kananku. Ia agak berjongkok meraih sesuatu. Kemudian kami melangkah bersama di tengah hutan penuh semak belukar.

Sret … Sret … Sret ….

Dapat kudengar bunyi gesekan benda dengan tanah hutan. Aku menengok ke tangan kanannya yang memegang sebuah tangan lainnya. Tangan itu tersambungkan pada sebuah tubuh. Tubuh itu terseret pelan. Rambut pendek milik seorang wanita ber-coat hijau menyembul. Raut muka wanita itu tampak samar, tapi membuatku berbinar.

 “Ini akan menjadi makan malam terbaik untukmu, pengantiku.” Kai menaikkan sudut bibirnya, seakan tahu bahwa aku akan menyukai apa yang dibawanya. Aku pun membalas dengan anggukan kebahagiaan.

 “Ibu angkat, terima kasih telah mengirimku pada rajaku.” Akhirnya aku akan makan bulgogi yang enak itu lagi.

***