cover landing

The Untouched Wedding Dress

By oktaehyun


Chapter 1

Sore itu Minji melangkah dengan hati yang gembira. Tidak memedulikan salju yang mulai turun, ataupun hawa dingin yang memenjarakan tubuh.  Alasannya sangat jelas–karena dia akan bertemu Park Jimin.

Omong-omong Park Jimin, pria itu sudah mencuri hati Minji sejak lama. Mereka menjalani hubungan yang seringkali membuat para kerabat terdekat merasa iri. Jimin seorang yang bisa diandalkan. Kalau dilihat dari sisi pekerjaan, dia adalah pria mapan yang matang. Selain menjadi supervisor di sebuah perusahaan telekomunikasi, Park Jimin mempunyai studio tari yang sangat terkenal di kawasan Busan.

Tiga puluh delapan menit berlalu, Choi Minji sudah menapakkan kaki di butik gaun pengantin yang ramai dibicarakan media. Semua orang butuh waktu untuk memesan gaun di sini, apalagi setelah salah satu desain di butik ini digunakan oleh solois terkenal–Im Junhee–dalam sebuah penghargaan musik bergengsi di Seoul. Namun bagi Minji, dia hanya membutuhkan waktu tak lebih dari seminggu. Semua itu dia dapatkan karena perancang sekaligus pemilik butik ini adalah sahabat baiknya.

"Kau sepertinya kehilangan berat badan. Well, bagus, sih. Tapi terlalu kurus juga tidak baik. Kalau bisa, jaga ukuran tubuhmu agar seperti ini," katanya sambil memperingatkan. Minji mengangguk, kemudian meletakkan tas di sofa, tepat di samping Min Yoora. Netranya menatap sekitar kemudian memutuskan untuk mengecek ponsel. Minji tersenyum masam begitu tahu tidak ada kabar dari Jimin semenjak pagi tadi—tepat setelah dia bilang bisa bertemu.

"Kau sedang menunggu seseorang?" Yoora menghentikan pegawainya untuk membawakan baki yang diisi dua cangkir cokelat panas, menghidangkan kemudian duduk di hadapan Minji.

Dia menjejalkan kembali ponselnya di dalam tas, sambil mengangguk ragu. "Park Jimin. Dia bilang akan menemaniku hari ini. Kurasa dia penasaran dengan gaun yang kupesan. Aku selalu mengajakknya ke sini–mengantarku dan memberikan sebuah pendapat," ujar Minji bahagia. Yoora menaikkan sebelah alisnya, kemudian meletakkan cokelat panasnya di atas meja.

"Serius? Si Pendek itu penasaran dengan gaun pengantinmu?" sahut Yoora sengit. Ada alasan di balik rasa tidak sukanya pada pria itu. Memang dia baik setengah mati dan sangat pengertian. Namun sayangnya, pria itu seringkali tidak tepat waktu.

Minji mendengkus. “Jangan terlalu ketus dengannya seperti itu,” katanya membela Jimin sambil menyesap cokelat panas. “Jimin kan calon suamiku. Sudah pasti dia peduli terhadap apa yang kupakai saat menikah nanti,” lanjutnya lagi.

Yoora terkekeh pelan. "Yah, aku kan hanya bertanya. Siapa tahu kau kembali dengan dia."

Minji menegakkan tubuh, kemudian memandang Yoora sengit. Tidak ingin membahasnya lebih jauh, tapi tampaknya Yoora tidak menangkap hal itu dari tatapan tajam Choi Minji.

"Dia kan baru pulang dari Indonesia. Kau tahu? Ah—dilihat dari matamu yang terbelalak, kuyakin kau baru tahu," ujarnya santai, kemudian menyesap cokelat panasnya lagi. Minji cukup penasaran bagaimana dia bisa tahu keberadaan pria itu. Tapi, dia memutuskan untuk bungkam. Bersamaan dengan itu, Jimin masuk ke ruang tunggu yang saat ini mereka duduki. Rambut hitamnya terlihat berantakan, ada sedikit peluh di pinggir dahi dan napasnya tersengal.

"Maaf telat, Sayang," ujar Jimin begitu dia memeluk singkat Minji. Pria itu juga bersalaman dengan Yoora setelahnya.

Minji merangkul lengan pacarnya dan tersenyum lebar. "Tidak masalah, aku juga baru sampai. Benar begitu, kan, Yoora?"

Kedua bola mata Min Yoora memutar dengan malas. Namun, cepat-cepat dia mengangguk dan tersenyum ketika tatapan Jimin tertuju padanya.

"Yah, setiap orang punya toleransi waktu yang berbeda-beda. Mungkin setengah jam plus lima belas menit kita mengobrol barusan, adalah waktu yang singkat bagi Minji." Yoora menyeringai kemudian berlalu di balik tirai yang akan menjadi tempatku mencoba gaun nanti. Hal tersebut mengundang decakan kesal Minji. Gadis itu masih saja kejam—seperti kakak laki-lakinya, batin Minji.

Sepersekian detik berikutnya, sorot mata Jimin memelas memandang satu-satunya gadis yang berdiri di hadapannya. Tatapan pria itu menembus jantung Minji, sehingga dia merasa sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Tidak apa-apa," ujar Minji menenangkan. "Lebih baik kau duduk di sofa ini sambil menungguku mencoba gaun. Pastikan kau melihatku saat tirai dibuka, ya." Buru-buru Minji mengalihkan pembicaraan, membuat Jimin kembali mengatupkan mulutnya untuk tersenyum.

"Baiklah, jangan lama-lama," katanya sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Minji mengangguk, kemudian meninggalkan Jimin sendirian duduk di sofa itu.

***

"Woah, kau tampak cantik sekali."

Yoora bergumam dengan takjub, siapa pun bahkan bisa melihat mata sipitnya itu membesar. Minji merasakan wajahnya menghangat ketika dua orang pegawai Yoora juga mengatakan hal yang sama. Gadis itu mematut bayangannya di cermin. Model A-line yang menjadi gaun paling umum, karena ini cocok dengan semua bentuk tubuh. Yang membedakan adalah warnanya sedikit keabu-abuan. Juga hiasan manik yang tersebar dari dada sampai ke pinggang, tampak mengerlip karena pantulan cahaya. Sebuah tiara juga menyelip di antara rambut Minji yang terkuncir rapi. Dengan memegang buket bunga peony di tangan, kini Choi Minji tampak seperti pengantin sungguhan.

"Aku sangat menyukai gaun ini.” Minji berkata riang, sambil menatap kagum Yoora. Dia menggeleng setelah merapikan gaun di beberapa tempat.

"Jangan bicara seperti itu dulu, masih ada dua dress lagi yang akan kau coba. Sebaiknya kau siap-siap. Aku akan membuka tirainya beberapa saat lagi," seloroh Yoora yang sudah menyuruh dua pegawainya untuk berdiri di sisi kanan dan kiri tirai. Minji memegang buket bunga peony dengan erat, bahkan dia merasa sedikit gugup sekarang.

Di depan Minji, tirai yang berwarna putih tulang berderak dengan lambaian pelan. Minji merasa jantungnya akan copot karena degupan yang meningkat. Bahkan, sudut bibirnya terlalu kaku saat ingin tersenyum.

"Baiklah, Nona. Aku akan membuka tirainya." Salah satu pegawai Yoora memberikan pernyataan. Minji semakin berdegup, secara spontan kedua netranya menutup begitu saja.

"Wah, apakah aku baru saja melihat bidadari jatuh?"

Minji membuka matanya, kemudian rahangnya seperti terjatuh. Netranya melihat sekitar, tidak ada Jimin di sana. Ekspresi Minji berubah total, ditambah fakta bahwa pria di depannya adalah salah satu manusia yang paling tidak ingin dia temui saat ini.

"Ke mana Jimin?"

Pria itu menoleh, sambil menyuapkan sesendok penuh cake strawberry.

"Oh, jadi namanya Jimin. Yah, dia tadi buru-buru pulang setelah mendapat telepon," katanya sedikit masa bodoh. Minji tidak bisa percaya begitu saja. Tangannya segera meraih ponsel yang tersimpan rapi di tas untuk menghubungi Jimin. Nada hening yang disusul suara operator membuat dadanya merasa sesak. Ponsel Jimin lagi-lagi tak aktif—seperti yang sudah terjadi sebelumnya.

Saking sibuknya, Minji tidak menyadari kalau pria itu melangkah menghampiri. Posisi tubuhnya sangat dekat, sehingga sekilas binar matanya tertangkap oleh netra Minji.

"Kau cantik sekali dengan gaun ini. Apa kau akan menikah?" tanyanya dengan nada ingin tahu. Minji memandang wajahnya yang berubah sendu, tidak semengesalkan sebelumnya saat menikmati cake. Sedikit krim strawberry di sudut bibirnya membuat Minji sedikit mengulum senyum, kemudian menjawab pertanyaannya dengan sangat lancar.

"Benar, Kim Taehyung. Aku akan menikah," jawab gadis bermarga Choi itu mantap. Minji sendiri cukup terkejut dengan kegigihan yang terdengar dari caranya menjawab. Taehyung membuang pandang, sempat terdengar helaan napas darinya. Minji mengerutkan kening, merasa tidak rela menyampaikan kabar itu. Namun, seharusnya dia tidak perlu peduli. Kim Taehyung lah yang meninggalkannya tanpa kabar selama bertahun-tahun. Aku sudah menjalani lembaran baru di hidupku dan kuyakin dia juga begitu, kata Minji dalam hati. Tanpa berbasa-basi lagi, Taehyung kembali menuju sofa. Kedua tangannya kembali meraih piring kecil berisikan cake strawberry tadi, kemudian menyuruh Minji untuk ganti baju lagi.

"Karena Jimin-mu itu tidak ada, biar aku yang melihat gaya gaun pengantinmu yang lain. Tenang saja, aku akan setia menunggu di sini," ujarnya dengan senyum lebar berbentuk persegi itu.  

Minji berdecak pelan, kemudian membuang pandang. Bagaimana bisa pria itu merasa santai seolah tidak terjadi apa-apa selama ini? Pertanyaan itu memenuhi pusat pikiran Minji, lalu membuat perasaannya kembali kesal.

"Yang cantik, ya. Aku akan mengingat semua penampilanmu hari ini," teriaknya dengan sangat semangat. Minji memutar bola mata dengan malas dan tidak menggubrisnya. Dia terus berjalan dan mengabaikan Taehyung. Bagi Minji, sikapnya ini merupakan langkah yang tepat. Karena jauh sebelum pria itu kembali, hatinya sudah menetapkan sebuah keputusan–bahwa dia tidak akan peduli lagi dengan pria itu.

***