cover landing

The Ugly Romance

By Fala Amalina


Jakarta, 2005.

Carmen belia menekuk wajahnya berkali-kali. Ia menatap bosan pekarangan rumah kakeknya yang luas—spot kesukannya—yang kini disulap dan dihias dengan lampu-lampu malam, pot-pot bunga lily, meja-meja bertaplak putih berenda Perancis, dan gelas-gelas berkaki tinggi—gelas-gelas wine. Beberapa pekerja rumah tangga dan pria berseragam hitam dengan bordir sebuah perusahaan event organizer mondar-mandir di hadapannya.

Carmen duduk di bangku kayu panjang. Pintu kaca besar di belakangnya terbuka, menghubungkan rumah kakeknya dan halaman belakang. Punggung Carmen melengkung ke depan, kedua tangannya menopang tubuh di sisi-sisi bangku dan bola matanya aktif mengikuti manusia yang berseliweran menyusun pot-pot bunga, lampu-lampu, serta gelas-gelas kosong dan prasmanan di atas meja. Kolam renang yang biasanya selalu menjadi arena bermainnya kini dipenuhi lilin-lilin di atas piring kecil, begitu pula tepian kolamnya.

Hari semakin sore, petang akan segera datang, sebentar lagi pria-pria dalam balutan kemeja formal dan wanita-wanita dengan sasakan tinggi akan bermunculan memenuhi halaman luas di depan Carmen. Hari ini ada pesta kecil perayaan ulang tahun kakeknya, Jatniko Adinata sang pengusaha sukses kaya raya ke-65. Pesta kecil versi kakeknya berarti acara makan malam cantik bersama beberapa kerabat bisnis Adinata Group.

Carmen senang kedatangan tamu karena itu berarti rumah kakeknya yang hampir selalu sepi akan terasa ramai. Sayangnya, ia tak terlalu senang dengan pesta-pesta penuh basa-basi dan orang tua seperti ini. Membosankan. Tidak akan ada yang berniat mengobrol seru dengannya. Mengobrol seru berarti membahas film The Chronicles of Narnia yang sedang hits baru-baru ini dan konser Avril Lavigne di Jakarta.

Sebagai gadis belia berusia sebelas tahun, Carmen hampir tak pernah menemukan teman sebaya untuk diajak mengobrol setiap acara semacam ini berlangsung. Gadis-gadis seusianya sudah tak berminat mengikuti acara-acara orang tua seperti ini. Mereka lebih memilih menonton MTV atau pergi ke bioskop dengan teman-teman mereka. Kalau bisa memilih, Carmen juga ingin mengurung dirinya di kamar saja dan menelepon Molly—tetangganya di seberang rumah yang tak bisa hadir karena sedang berlibur ke Bangkok.

Carmen menarik napas panjang. Ia bangkit dan berjalan masuk ke dalam malas-malasan. Kakeknya sudah memintanya untuk mengganti seragam sekolahnya—kemeja berwarna biru terang dan rok span biru kotak-kotak—sejak ia pulang tadi pukul empat sore.

Carmen menatap pantulan dirinya di depan bingkai cermin berbentuk matahari yang dipajang di dinding sekat antara bar mini dan ruang keluarga. Wajahnya kusam, sedikit kemerahan karena terbakar matahari setelah bermain baseball—kegiatan ekstra kurikulernya di sekolah. Rambutnya yang lurus sepundak terlihat lepek, tubuhnya bau matahari.

Carmen mendengus dan buru-buru kabur ke kamarnya. Kakeknya benar, ia perlu bersih-bersih. Bukan karena ia harus bersiap menghadiri pesta kecil ulang tahun kakeknya, tapi lebih karena ia tak tahan melihat pantulan dirinya sendiri di cermin.

Sengaja Carmen berlama-lama merendam tubuhnya dengan busa-busa tebal beraroma mawar dan cherry. Pestanya sudah hampir dimulai beberapa menit lagi. Carmen tahu. Musik-musik jaz pelan mengalun lembut sampai ke kamarnya. Carmen tidak punya masalah dengan musik jaz, tetapi ia lebih memilih mendengarkan lagu-lagu Westlife di Ipod-nya, bersenandung pelan sambil memejamkan mata.

Carmen sedang seru-serunya menyanyikan lagu Up Town Girl ketika Mbok Sum—pekerja rumah tangga sekaligus pengasuhnya sejak ia tinggal di rumah kakeknya—mengetuk pintu kamar mandi.

"Non, ditunggu Tuan Jatniko. Acaranya sudah mau mulai."

Carmen menyentak kabel earpods di telinganya dengan ogah-ogahan. "Nanti, Mbok. Aku lagi mules," kilahnya lalu hendak memasang kembali earpods tersebut di telinganya.

Tak lama berselang, belum selesai Carmen memasang earpods-nya kembali, suara derap langkah samar-samar terdengar di luar pintu. Carmen hafal betul langkah kaki kakeknya.

"Carmen, kalau kamu nggak keluar dalam waktu lima menit dan siap-siap, Kakek akan suruh Mbok Sum dan Mbak Ati dobrak pintu kamar mandi kamu. Cepat bersih-bersih dan turun. Acaranya nggak akan dimulai sampai kamu turun."

Setelah itu, terdengar lagi derap langkah Jatniko menjauhi pintu. Carmen mendesah keras. Kesal tingkat tinggi. Sifat pemaksa dan otoriter kakeknya membuatnya lelah. Lima tahun tinggal bersama, Carmen masih sering membantah dan memberontak setiap kali kakeknya memaksa melakukan ini dan itu.

Terpaksa, Carmen menyudahi acara konser mini kamar mandinya dan lekas mengeringkan tubuh. Di kamarnya, Mbok Sum dan Mbak Ati sudah menunggu dengan beberapa pilihan gaun menggantung di depan walk-in closet.

"Aku pakai kaus aja," sela Carmen sebelum Mbok Sum bersuara.

Carmen beranjak menuju lemari pakaian, mengeluarkan sebuah celana jeans biru terang, tanktop merah jambu, dan kardigan sewarna dengan tanktop-nya. Setelah mengeringkan rambut—dibantu Mbok Sum—Carmen turun hanya beralaskan sandal Surfer Girl ungu. Tak peduli beberapa kerabat kakeknya meliriknya bingung ketika Carmen memasuki area halaman belakang. Carmen langsung menyelonong ke bagian bar mini buatan di bagian gazebo.

"Jus jeruk satu, ya," pinta Carmen kepada seorang pelayan bar berambut kucir kuda dengan potongan rambut klimis. Pelayan tersebut hanya melirik sekilas kemudian mengangguk. Tak mengerti mengapa ada anak kecil duduk di bagian bar.

Carmen memutar kursi, menatap suasana pesta dengan perasaan hampa. Belum apa-apa ia sudah merasa jenuh. Kakeknya sedang berbicara dengan seorang ibu-ibu dalam balutan encim merah dan sanggul berhiaskan bunga mawar merah serta suaminya—dugaan Carmen melihat tangan ibu itu melingkar pada bapak-bapak di sebelahnya—dalam balutan vest abu-abu, kemeja putih, dan celana panjang senada.

Kakeknya belum melihat Carmen dan semoga tak berniat mengenalkannya kepada kerabat-kerabatnya. Carmen enggan terjebak dalam percakapan bisnis dan candaan-candaan lawas ala orang tua. Jadi, ia memilih gazebo yang letaknya di sudut temaram halaman belakang, sedikit tertutup pohon-pohon palem dan pucuk merah, namun tetap benderang dengan hiasan lampu-lampu neon kecil melilit tiang gazebo, sebagai tempat persembunyian.

"Satu jus jeruk."

Carmen langsung meraih gelas jus jeruknya setelah berterima kasih sambil memandang wajah datar sang pelayan.

Instrumen musik jaz terus mengalun pelan, lembut. Carmen membuang hiasan payung dalam gelasnya dan menyeruput minumannya dengan barbar. Ketika mulutnya dipenuhi jus jeruk campur soda dan mint, Carmen menoleh. Seorang lelaki baru saja datang ke bar dan memesan mocktail kepada pelayan bar. Lelaki itu tampan, masih muda, sekitar awal dua puluhan. Ia mengenakan setelan turtle neck putih dibalut blazer cokelat dan celana berwarna khaki.

Lelaki itu melirik Carmen acuh tak acuh. Setelah memesan minumannya, ia duduk dan memainkan ponselnya, mengabaikan suara “klutuk-klutuk” mengganggu di sebelahnya saat Carmen memainkan es batu di dalam mulut. Mendapatkan tatapan risih, Carmen berhenti memainkan es batu, meludahkan es batu di mulutnya ke tanah yang justru membuat lelaki di sampingnya semakin memandangnya jijik dan aneh.

Carmen menaruh kembali gelasnya ke bar mini. Lengannya tak sengaja menyenggol mocktail miliki lelaki di sebelahnya. Minuman itu tumpah, membasahi ponsel sang lelaki tampan yang teregeletak di atas bar mini dan juga sebagian baju dan celana lelaki itu.

Carmen terperanjat, jeritan kecil lolos dari bibirnya, tangannya terangkat menutupi mulutnya. Mata Carmen memandang bergantian ponsel dan juga ekspresi terkejut campur kesal lelaki di sebelahnya.

"Sori..." Carmen berkata pelan lalu buru-buru meraih tisu, berusaha membersihkan air-air yang terus menetes dan membasahi pakaian lelaki tampan tersebut.

Sang pelayan bar lebih sigap rupanya. Ia langsung mengelap dan mengganti minuman lelaki di samping Carmen.

Akhirnya, lelaki itu menoleh. Menatap Carmen dengan ekspresi datar. Ia menghela napas panjang.

"Terima kasih. Sekarang saya punya alasan untuk pulang lebih cepat," ujarnya datar kemudian beranjak pergi dari bar mini.

Mata Carmen terus mengekori punggung lelaki itu, kakinya menjejak tanah demi mengejar sosok tersebut. Carmen berjalan cepat, menyalip beberapa tamu dengan lincah, tapi sandalnya yang licin justru membuatnya terpeleset tepian kolam dan berakhir basah kuyup tercebur di kolam renang.

Beberapa lilin di kolam padam bahkan terbalik. Suara debuman air kolam yang pasang membuat para tamu panik menghindari cipratan air. Semua orang kini menjadikan Carmen pusat perhatian, termasuk kakeknya yang kini memandang Carmen seakan ingin membakarnya hidup-hidup.

"Carmen!" Seru Jatniko marah dan langsung meminta para asisten rumah tangga untuk membawa Carmen ke tempat yang aman.

Saat Carmen melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ia sempat melihat lelaki dalam balutan blazer di bar mini tadi tertawa kecil melihatnya. Carmen menunduk malu dan buru-buru menutupi wajahnya dengan punggung Mbok Sum. Ketika ia menoleh ke belakang lagi, lelaki itu sudah pergi.

***