cover landing

Oma Fran and The Widow Wadidaw!

By Franciarie


Punya tetangga janda muda itu bikin resah.

Sorry. Oke, aku ralat.

Punya tetangga calon janda muda itu bikin resah. Apalagi calon janda mudanya punya tubuh montok mirip babi guling—menonjol di tempat tertentu, berlemak, dan haram. Iya, calon janda muda ini haram bagi para pria beristri. Baru calon janda lho ini, belum resmi menjanda, apalagi jadi anak didiknya Abu Janda.

"Perkenalkanh namah akuh Anih," kata tetangga baruku di hari pertama dia datang.

Suaranya... bukan salah telingaku, kan? Dia ngomong sambil... mendesah?

Kupandangi wujud Ani dari atas sampai bawah. Rambut panjangnya bergelombang dengan warna cokelat yang cantik banget. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari aku. Cara berpakaiannya menunjukkan dia punya selera fashion yang nggak remeh. Aku memang nggak paham merek barang ternama, tapi aku tahu mana pakaian yang belinya di kaki lima atau di negara tetangga, Timor Leste misalnya.

"Frannie. Panggil aja Oma Fran," sahutku sambil menjabat tangannya erat, tanda selamat datang.

"Inih anakh akuh, Luveh." Dia memperkenalkan gadis kecil di sampingnya. "Ciumh tanganh Budeh duluh, Sayangh," perintahnya.

Benar. Dia mendesah. Gila! Telingaku harus dirukyah secepatnya.

Luve? Bukan. Bukan nama tim sepak bola di Itali, tapi salah satu merek selotip.

Luve itu lucu. Usianya masih dua tahun, lagi aktif-aktifnya. Pipinya tembam, mirip sama pipi emaknya. Rambutnya keriting gantung sedikit kemerahan, akibat kebanyakan main layangan. Kalau tertawa suaranya mirip tikus kejepit.

"Eh, panggilnya jangan bude. Kakak aja. Kakak Fran. Umur kita nggak jauh beda, kok," protesku. Kupamerkan senyum paling manis yang kumiliki. Gigi putihku sampai terlihat. Anak kecil itu kan suka sama yang manis-manis. Senyumku ini nggak kalah manis dari permen atau cokelat. Dia pasti suka.

"Nenek," celetuk Luve sambil menunjuk mukaku. Suara tikus berdecit terdengar dari bibir kecilnya. Dia benar-benar berbunyi cicit cicit, menggelikan.

Duh, kalau bukan bocah, sudah aku tendang sampai Pluto dia. Ah, salah. Nggak ada orang yang bisa terbang sampai Pluto. Kalau gitu, aku tendang bocah ini sampai ke Palestina aja. Siapa tahu dia bisa membantu meredakan penjajahan di sana. Jadi, hidupnya bisa lebih bermanfaat.

Kulit masih kencang gini dipanggil nenek. Sabar sabar. Obat darah tinggi mahal.

Katanya, sih, umur tetangga baruku itu baru 23 tahun. Tapi, mukanya terlihat lebih tua dari aku yang baru saja ulang tahun ke tiga puluh bulan kemarin. Ini pasti efek kebanyakan makan ayam yang disuntik hormon. Jadi, tampilan fisiknya dewasa duluan dibanding umur aslinya. Dia pasti menstruasi di umur delapan tahun.

Makanya aku hampir nggak pernah jajan ayam goreng tepung itu. Selain berbahaya, alasan pastinya karena mahal. Sepotong ayam goreng bapak tua berkacamata itu sama harganya kayak beli ayam mentah buat sekali makan tiga orang anggota keluargaku. Ayam goreng tepung masak sendiri lebih irit. Emak-emak itu harus pintar mengatur duit, bukan cuma karena pengin terus semua dibeli. Boros!

Eh, atau alasan sebenarnya adalah aku terlahir dengan wajah yang manis banget. Ini kenapa orang-orang memanggilku Oma, singkatan dari Orang Manis Amat. Aku punya alis tipis yang kalau dicukur baru bisa numbuh dua tahun kemudian. Bibirku kecil dan mungil. Hidungku juga minimalis, bukan pesek, ya. Ini bukti aku bukan orang yang serakah. Degan hidung minimalis ini aku nggak bisa menghirup oksigen banyak-banyak. Jadi, aku menyelamatkan dunia dari krisis oksigen yang sekarang udah banyak tercampur polusi.

Di Kampung Berbudi Luhur ini udah banyak orang terkena diabetes, karena terlalu sering melihat wajah manisku. Nggak ada yang bisa menyaingi peringkatku sebagai orang paling manis di sini, bahkan mungkin di dunia. Coba aja sebut siapa wanita paling manis selain aku. Nggak bisa, kan?

Luve sering bermain bersama anakku, Zainudin. Panggil anakku Zain, jangan Udin. Nanti dia dikira member Udin Sedunia. Bisa apa memangnya sekumpulan Udin itu? Mereka mau membebaskan dunia dari wabah virus mematikan? Halah, nama Udin Sedunia saja meredup sekarang. Gitu sok mau mengguncang dunia? Dikira gampang apa? Tuh, lihat, Korea Utara di bawah pimpinan Kim Jong Un yang punya nuklir aja belum berhasil melumpuhkan Amerika. Apalagi Udin, yang cuma modal petasan banting seharga sepuluh ribu dapet empat bungkus.

Zain dan Luve umurnya cuma selisih satu setengah tahun. Zain suka banget sama Luve. Dia sering cium pipi Luve, mengusap rambutnya, atau mendorongnya sampai jatuh. Ya, namanya juga anak-anak, belum paham mana yang boleh dan nggak boleh dilakukan. Makanya orangtua harus mengawasi anaknya. Nggak mau kan anaknya lepas dari pengawasan sebentar aja terus udah jadi bandar narkoba?

"Akuh tinggalh hanyah bersamah Luveh. Akuh sedangh dalamh prosesh ceraih denganh suamihkuh," cerita Ani saat aku bertanya tentang suaminya. Nggak mungkin dong dia punya anak, tapi nggak ada suaminya? Luve nggak lahir dari pecahan batu meteor kayak Kera Sakti, kan?

Aku nggak pernah menyangka di umurnya yang masih muda, dia akan jadi janda. Jangan-jangan dia menikah karena hamil duluan? Pikirannya belum dewasa, tapi dia udah sering melakukan adegan dewasa. Giliran punya anak mereka bingung. Mereka menikah bukan karena siap, tapi cuma paksaan. Mereka menikah hanya karena menutupi aib, demi harga diri dan nama baik.

Wajah sedihnya membuatku nggak tega mengulik masalah dalam rumah tangganya. Biar dia lebih tenang dulu. Lagi pula, kami baru kenal. Malas aku ikut campur urusan orang lain.

Demi memenuhi kebutuhan hidupnya, Ani yang pintar masak berjualan makanan di teras rumah kontrakannya. Ani memilih pecel sebagai makanan yang dijualnya, lengkap dengan aneka gorengan buatan sendiri.

Aku akui makanan yang dia buat enak. Nggak tau dia pakai pesugihan macam apa. Mungkin sempak bekas yang dipakai malam hari dijadikan campuran bumbu masakannya. Lihat aja di jemuran yang ada di depan rumahnya, nggak pernah ada sempak dan kutang. Nggak mungkin, kan, dia nggak pernah pakai sempak dan kutang? Masa, sih, dia dagang tanpa pakaian dalam? Kalau ngulek bumbu kacang bisa gondal-gandul, dong.

"Omaahhh." Suara mendesah dan sok manja ini selalu membuatku pengin meremas bibirnya. Pagi begini Ani sudah rapi dengan setelan kemeja merah muda dan rok beraksen ruffle warna merah marun. Ani sengaja nggak mengancingkan satu kancing paling atas kemejanya. Gumpalan lemak di dadanya mengintip. Nggak cuma telingaku yang butuh rukyah, mataku juga. Aku baru saja melihat barang haram. Astaghfirullah.

"Lo ngapain pakai baju gitu, sih? Lo itu cuma jual nasi pecel, bukan mau kerja kantoran." Otak jeniusku nggak paham dengan pikiran aneh Ani.

"Sengajah. Biarh akuh merasah kayakh kerjah kantoranh," jawabnya dengan senyum malu-malu, yang sebenarnya menjijikkan.

Aku tersenyum menatapnya. Biar aja dia diabetes sampai mampus melihat senyum manisku.  

"Nitiph Luveh yahh, Omah. Akuh mauh keh pasarh duluh," pinta Ani.

"Bisa nggak kalau lo ngomong nggak usah pakai h di setiap akhir kata? Lo mau bikin gue sange sama suara lo itu? Nggak bakal! Yang ada juga gue malah muntah. Sakit ini telinga gue dengerin suara begitu." Kesal juga mendengar setiap kata yang keluar dari bibir tebalnya.

Wajahnya berubah sendu. "Maafh, Omah," katanya lirih.

Aku menghela napas berat. Perkara sulit ini.

"Udah. Sini Luve sama Kakak," ajakku pada Luve yang pagi ini sudah mandi dan memakai banyak bedak di muka. "Ini anak bedakan tebel bener. Nggak jauh beda dia sama donat gula halus yang isinya cokelat."

"Cewekh harush bisah dandanh, Omah," sahut Ani.

"Tapi nggak diajari dandan menor gini juga. Badut didandani menor aja cuma buat diketawain. Ajari dia merawat kulit. Kalau kulitnya cakep, nanti nggak pakai make up juga tetep cakep ini anak." Sebagai orang yang lebih dewasa, aku coba memberi nasihat padanya.

Ani mengangguk. "Iyah, Omah. Udah hampirh jamh enamh. Aku siaph-siaph keh pasarh duluh, yah," pamitnya.

Sebenarnya, aku salut dengan kegigihan Ani. Dia masih mau repot kerja, meski hasilnya nggak seberapa.

Harusnya wanita mandiri itu begini, bukan malah cuma mengandalkan alat kelamin buat cari duit. Iya, sih, dapat duitnya banyak, dan dalam waktu singkat pula. Tapi, apa nggak takut kena penyakit kelamin? Kalau kena penyakit kelamin, duit hasil jual diri juga nggak akan cukup buat berobat. Sakit belum sembuh, eh, malah ditinggal sama gadun-nya. Balik jadi miskin, deh. Atau yang ada malah semakin miskin. Udah miskin, penyakitan pula. Itu pun masih dijauhi sama orang-orang. Kalau meninggal, orang juga takut tertular waktu melayat. Apa nggak nyesek?

Rumahku berubah sejak Ani datang. Selain dia sering menitipkan Luve padaku, di depan rumahku jadi lahan parkir dadakan. Orang Kampung Berbudi Luhur udah banyak yang tahu tentang masakan Ani yang mantap djiwa. Warungnya jadi banyak pembeli. Apesnya, para pembelinya ini kalau parkir sampai depan rumahku, kadang malah sampai seenaknya berhenti di depan pintu masuk. Aku sampai harus ngomel kalau mau keluar atau masuk.

Apa sekalian aku minta ongkos parkir aja, ya? Lumayan, kan, satu motor dua ribu perak. Aku hitung, sehari itu paling nggak ada tiga puluh motor parkir. Tiga puluh dikali dua ribu aja udah enam puluh ribu. Lumayan, kan. Aku bisa jajan ayam goreng bapak tua berkacamata itu.

"Pak Eko ngapain di sini?" tanyaku pada pria yang baru aja memarkir motornya di depan rumahku.

Pak Eko meletakkan helm ke spion kiri. Tangannya merapikan rambut berulang kali. "Mau beli pecel."

"Lho? Memangnya Bu Eko nggak masak?" Instingku mengatakan ada yang salah di sini.

"Nggak, ini buat bekal makan di kantor." Pak Eko buru-buru berlalu, masuk ke teras rumah Ani.

Aku kenal Bu Eko. Dia teman arisan panciku. Memang kami masih satu kampung, tapi rumahnya itu butuh waktu lebih dari lima menit untuk sini. Kalau cuma beli sarapan, Pak Eko nggak harus sampai ke sini. Di sekitar rumahnya ada banyak yang jual makanan tiap pagi. Apalagi Bu Eko itu juga orangnya rajin. Pagi-pagi banget pasti dia udah masak buat sarapan anak-anak dan suaminya.

Terus ngapain Pak Eko jajan di sini?

Mataku menangkap kerumunan yang ada di warung Ani. Warung Ani sangat sederhana. Dia hanya memakai sebuah meja sebagai tempat kerjanya. Di atas meja tertata makanan yang dijual: nasi, aneka sayuran yang udah direbus, dan nggak lupa gorengan. Sebagai tempat makan, Ani cuma menggelar tikar. Para pelanggan yang makan di tempat bisa makan sambil lesehan. Buat menghemat tenaga, Ani memilih menggunakan daun pisang yang bisa langsung dibuang setelah selesai dipakai.

Baru sekarang aku menyadari ini. Sebagian besar orang yang antre adalah pria. Parahnya, semua pria di sana udah punya istri.

Ani tersenyum lebar memberikan pesanan pada Pak Rifan. Ini juga aneh. Pak Rifan cuma membeli satu bungkus nasi pecel. Padahal dia tinggal bersama enam orang anggota keluarganya, termasuk ibu mertuanya. Masa dia makan sendiri? Anak-anak dan istrinya nggak dikasih makan? Lelaki kurang ajar namanya kalau sampai membiarkan anak istrinya kelaparan begitu.

"Bapakh belih berapah?" tanya Ani pada Pak Eko yang baru datang.

Suara Ani yang mendesah mirip siluman ular berpidato membuatku sadar. Ini buruk. Ani bisa jadi ancaman buat keutuhan rumah tangga orang lain. Ani bisa menghancurkan semua rumah tangga di Kampung Berbudi Luhur ini, termasuk rumah tanggaku. Pesona calon janda muda yang mematikan.

Nggak bisa kubiarkan ini terjadi. Kampung Berbudi Luhur nggak boleh rusak namanya, hanya karena satu wanita muda itu. Calon janda muda itu harus dikasih pelajaran.

***