cover landing

The Place You are not Belong

By fujasagita


“Olin, gue mau minta tolong. Boleh jelasin lagi tentang isomer, nggak?” Tanya seorang cewek berambut ikal. Cewek itu berjalan mendekati Olin diikuti beberapa orang lainnya.

“Isomer itu senyawa kimia yang rumus molekulnya sama tapi strukturnya beda.” Olin menatap satu per satu teman-teman kelas yang sedang mengelilinginya membentuk setengah lingkaran.

Nama lengkapnya Moza Orlianda, orang-orang memanggilnya Olin. Begitulah keseharian Olin di sekolah saat jam istirahat tiba. Setiap istirahat, Olin harus menyisihkan sekitar sepuluh atau lima belas menit untuk teman-temannya yang bertanya soal pelajaran. Olin akan dengan senang hati menjawab pertanyaan teman-temannya tersebut.

“Bukan itu yang mau gue tanyain.” Cewek itu menggeleng. Ia menarik kursi kosong di hadapan Olin. “Sebenarnya buat apa sih belajar isomer? Gue heran, kenapa kita harus belajar isomer.”

“Buat dapetin nilai bagus pas ujian,” celetuk Siska, teman sebangku Olin. Cewek berambut sebahu itu tampak menyengir kuda.

“Apa hubungannya?” Sahut seorang cowok yang sedang menautkan kedua alisnya.

“Pas ujian pasti ada soal tentang isomer, makanya kita harus belajar isomer. Kalau bisa jawab soalnya kan lumayan, bisa dapat poin terus nilainya bakalan bagus.” Siska menarik kedua sudut bibirnya. Ia memperlihatkan deretan giginya kepada orang-orang di sekeliling.

“Yeh, semua orang juga tahu kalau itu mah,” sahut si cewek yang bertanya tadi.

“Gini ya, gue pernah baca. Kalau isomer itu kan strukturnya berbeda. Terus dalam isomer dikenal juga stereoisomer. Stereoisomer ini dibagi menjadi dua, yaitu enantiomer dan diastereomer.” Olin menjelaskan pelan-pelan.

“Duh, pusing dengernya.” Siska menepuk dahinya.

“Sebenarnya kita belum jauh belajar ke sana. Pokoknya gini, ada obat yang namanya thalidomide yang bisa digunain buat mengatasi mual ibu-ibu hamil. Nah, thalidomide ini punya dua enantiomer. Enantiomer yang satu dapat mengatasi mual, tapi—“

“Enantiomer yang satunya lagi bisa jadi penyebab bayi-bayi lahir cacat,” sela seorang cowok yang baru saja tiba di antara lingkaran manusia tersebut.

“Karena itulah, pas tahun 1960-an banyak bayi yang lahir cacat.” Olin mengangguk seraya mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.

“Itulah salah satu kegunaan belajar isomer,” sahut Siska menjentikan jemari di udara.

Teman-temannya langsung mengangguk. Biasanya, dengan tahu alasan atau kegunaan sebuah materi, belajarnya akan lebih rajin. Olin akan merasa senang jika bisa berbagi ilmu atau pengetahuan yang ia dapatkan dari membaca. Itulah yang menjadi alasan kenapa Olin banyak disenangi oleh orang-orang di sekolah, terutama di kelasnya.

“Gue pergi dulu, ya.” Olin segera berdiri. Jika Olin sudah berdiri, itu artinya tidak boleh ada yang bertanya lagi karena Olin membutuhkan waktu untuk istirahat.

Sesaat setelah berdiri, teman-temannya langsung menyebar menyisakan seorang cowok tampan yang berdiri di hadapan Olin. Cowok itu Marva, pacar Olin. Mereka baru jadian seminggu yang lalu. Marva melangkah mendekati Olin seraya memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

“Aku nggak bawa bekal,” ucap Olin seraya menggelengkan kepalanya pelan.

“Beli makan di kantin aja, aku yang traktir.” Marva memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

“Yee, ayo ke kantin sekarang!” Olin hampir saja meloncat kegirangan, matanya langsung berbinar. Ia melirik ke samping dan sedikit menunduk. “Sis, mau ikut nggak?”

“Nggak, ah. Gue mau ngerjain dulu proposal buat ulang tahun sekolah.” Siska menggeleng. Tatapannya tertuju pada layar laptop yang baru dibuka beberapa menit yang lalu.

“Ok, deh.” Olin menyatukan ujung telunjuk dan jempolnya membentuk huruf ‘o’.

Olin segera melangkah beriringan dengan Marva. Kedua orang itu sama-sama menduduki kelas 12 IPA, hanya berbeda kelas saja. Olin kelas 12 IPA 1 sedangkan Marva kelas 12 IPA 3. Olin sangat pintar, ia sering menjuarai perlombaan di berbagai tingkat. Prestasi Olin di kelas pun tidak perlu diragukan lagi. Ia sangat pintar, tetapi tidak pernah mendapat peringkat 1 di kelas. Peringkat 1 di kelas selalu dipegang oleh Fidela Padmini atau biasa dipanggil Adel—saudara sepupu yang serumah dengan Olin. Sebenarnya yang layak mendapat peringkat 1 itu Olin, hanya saja Adel selalu menang.

Marva, cowok itu tampan tetapi tidak terkenal. Tidak terlalu pintar juga, nilainya di kelas pun pas-pasan. Bukan kapten basket, bukan pula atlet yang digemari banyak cewek. Marva memang hanya manusia biasa yang ditakdirkan untuk menjadi kekasih Olin.

Olin menjaga jarak sekitar satu jengkal dari Marva, meski mereka berpacaran tetapi Olin selalu menjaga diri agar tidak terlalu dekat dengan Marva. Bukan karena Marva tidak terkenal, bukan karena gengsi, hanya saja Olin benar-benar tidak mau disebut lem yang menempel terus. Tidak lebih dari itu.

“Seneng deh punya pacar yang pintar, baik hati, tidak sombong—“

“Dan rajin menabung,” potong Olin. Ia melirik ke sebelahnya, sedikit menengadah untuk melihat wajah Marva.

Marva menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kantin. “Bukan. Harusnya, dan mau-maunya jadi pacar Marva. Padahal aku kan bodoh, dekil, jelek—“

Olin ikut menghentikan langkahnya. Ia mengerucutkan bibir. “Marva, stop! Aku nggak suka kalau kamu ngerendahin diri seperti itu.”

“Kalau dipikir-pikir, Taksa lebih baik daripada aku,” Marva mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya tak menatap Olin. Ekspresi di wajahnya datar.

“Marva! Tolong jangan bawa-bawa nama mantanku!” Olin memutar arah kakinya.

“Kalau mau berantem tahu tempat dong, jangan di depan kantin seperti ini!” celetuk suara cempreng yang sudah tidak asing lagi.

Olin mengurungkan niat untuk melangkah saat melihat Adel yang berdiri tepat di hadapannya. Ujung mata Olin menangkap Taksa berdiri di samping Adel. Saat matanya mengarah pada Taksa, mata mereka bertemu. Namun Olin segera menyadarkan dirinya kembali. Mata Olin turun ke arah lengan Taksa. Olin langsung bergidik, melihat lengan Adel yang bergelayut di sana.

“Lho, siapa yang berantem?” jawab Marva. Ia sudah berada di sebelah Olin. “Kita cuma lagi latihan buat ujian praktik bikin drama nanti.”

“Halo! Ujian praktiknya masih lima bulan lagi.” Adel menatap tajam pada Marva.

“Lah? Nggak ada salahnya nyiapin dari sekarang, kan?” sahut Olin, ia melipat kedua tangan di depan dada.

“Cintaku, Sayangku, ayo kita masuk. Aku udah laper, nih. Udah nggak tahan disuapin sama kamu.” Marva menatap intens pada Olin. Ia mengedipkan sebelah matanya.

Olin melirik ke sebelahnya seraya menarik kedua sudutnya dan mengangguk mantap. “AyoCintaku!”

Meladeni ocehan Adel tidak akan ada habisnya. Jadi, daripada menghabiskan waktu percuma, lebih baik pergi menjauh saja. Itu pilihan yang tepat.

***

Olin menuruni motor yang ditumpanginya. Ia melepaskan helm di kepalanya dan menyodorkannya pada Marva. “Makasih, ya.”

Ini adalah hari pertama Marva mengantar Olin pulang ke rumah. Setelah beberapa hari menjadi kekasih Olin, Marva baru berani ke rumah Olin hari ini.

Marva meraih helm di tangan Olin. Ia menaikkan kaca helmnya, matanya mengarah pada Olin. “Nanti malam mau main, nggak?”

“Malam minggu nggak bisa, Va. Aku ada perlu, kalau mau ngajak main pokoknya nggak boleh malam minggu.” Olin menurunkan bahunya. Andai saja malam minggunya tidak ada 'ritual aneh', pasti ia bisa menikmati malam minggu bersama orang yang dicintainya.

Marva menggangguk pelan. Matanya beralih pada bangunan megah di belakang Olin. Rumah itu sangat besar dan berwarna putih. Rumah tersebut terdiri dari tiga lantai, di setiap lantai rumah tersebut ada balkon yang mengarah ke halaman depan.

“Pantesan kamu tinggal sama keluarga Adel juga nenek kamu, rumahnya gede banget,” celetuk Marva. Ia melepaskan helmnya.

“Kamu mau ketemu sama Mama aku?” ucap Olin mengalihkan pembicaraan. Ia tidak suka kalau nama Adel disebut dalam pembicaraan mereka.

Pandangan Marva langsung tertuju pada Olin, matanya membulat. Ia tersenyum, sebelah tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Boleh, deh.” Marva memelankan suaranya.

Pandangan Marva tertuju pada rumah yang ditempati Olin kembali. Tiba-tiba saja matanya bertemu sosok wanita lansia yang berdiri di jendela dekat pintu di lantai satu. Meski dalam jarak lima belas meter, tetapi Marva bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Tatapan wanita itu sangat tajam seolah menusuk hati Marva, bukanya lebay tetapi kenyataannya memang seperti itu.

“Lain kali aja, Olin.” Marva memakai kembali helmnya. Ia memutar kunci motor. Tangannya sudah memegang pedal gas. “Salam buat mama, papa, nenek, tante, dan om kamu. Pokoknya salam buat semuanya, kecuali Adel.”

Olin mengangguk. Ia melambaikan tangannya pada Marva yang sudah melajukan motor ke luar gerbang.

“Maaf Marva, sebenarnya Taksa memang lebih menarik dibandingkan kamu,” gumam Olin pada dirinya sendiri.

***