cover landing

The Perfect One

By AludraSa


Venezuel Respati Weber selalu memilih kelab malam sebagai tempat untuk mencari hiburan. Entakan musik, gadis-gadis cantik, serta alkohol selalu berhasil membuat tubuhnya terasa rileks. Zuel memilih salah satu bar stool di paling ujung untuk duduk. Temannya malam ini berupa gelas kosong bekas minuman beralkohol, serta gadis-gadis berpakaian kurang bahan yang duduk di kanan dan kirinya. Meski begitu, tidak satu pun gadis itu menarik minatnya. Pikiran Zuel telanjur penuh dengan gadis lain. Satu-satunya gadis cantik yang ia harapkan kedatangannya malam ini.

Di ambang batas kesadaran, Zuel masih bisa merasakan ponsel pintar di tangannya bergetar. Senyuman terbit di wajah campuran Prancis-Indonesia miliknya. Nama gadis yang satu jam lalu diteleponnya tertera di layar. Sebelum benda hitam tersebut berhenti bergetar, diterimanya panggilan suara tersebut.

"Buruan ke parkiran!"

Zuel tergelak. Perasaan hangat memasuki dirinya. Ia selalu suka mendengar suara perempuan itu. Meskipun lebih sering terdengar galak daripada bersahabat.

"Lo masuk dong sini!" Zuel balas berteriak, berusaha menyaingi bisingnya musik. Tawanya kembali pecah saat perempuan itu mengomel lagi, menasihati betapa alkohol tidak baik untuk tubuh.

Usai rentetan omelan, sambungan diputus secara sepihak. Zuel turun dari tempatnya duduk. Setengah sempoyongan ia melangkah keluar kelab dan menuju ke tempat parkir, tempat perempuan yang mencuri hatinya itu menunggu.

Sebuah mobil hitam menghampiri Zuel, kemudian berhenti di sebelahnya. Dari balik kemudi, keluar perempuan yang langsung mengomel, "Hobi banget mabok, sih?!"

Wajah Aini—sahabat sekaligus perempuan yang mencuri hati Zuel sejak bertahun-tahun yang lalu—membayang di penglihatan Zuel. Gadis itu memelotot galak. Wajahnya tampak luar biasa jengkel.

“Nyusahin aja!” gerutu Aini seraya membantu Zuel masuk ke kursi penumpang.

Embusan udara dingin menerpa wajah Zuel, membuatnya merasa ngantuk. Alih-alih mengikuti keinginan matanya untuk terpejam, Zuel memosisikan wajah agar menghadap ke arah Aini. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk memandangi wajah Aini puas-puas selama perjalanan.

Ketika akhirnya tiba di pelataran parkir apartemen beberapa saat kemudian, Aini bertanya, “Bisa jalan sendiri nggak?”

Zuel mengerjapkan matanya. Ia berusaha keluar dari mobil. Tidak sampai satu detik berdiri, tubuhnya oleng. Tangannya berusaha menggapai mobil untuk mencari pegangan tapi gagal. Tubuh tingginya sukses jatuh tanpa halangan.

Melihatnya, Aini mengacak rambut frustrasi. Kenapa juga sih gue ngeiyain jemput lo, gerutunya dalam hati.

"Mbak Aini,” sapa sebuah suara. “Mau dibantu, Mbak?"

Ternyata Agus, petugas keamanan gedung apartemennya. Melihat seragam yang membalut tubuh tegapnya, Aini mengambil kesimpulan bahwa lelaki ramah itu hari ini kebagian jam kerja malam. Dibandingkan Aini, tubuh Agus jelas lebih dari mampu untuk memapah Zuel hingga sampai ke unit Aini.

“Boleh, Pak,” jawab Aini.

“Mabok lagi ya, Mbak?” tanya Agus.

Aini nyengir sebagai jawaban atas pertanyaan Agus. Saking seringnya Zuel bertandang ke apartemen Aini, para penjaga keamanan sampai hafal. Soalnya, kunjungan Zuel sudah tidak hanya sekali dua kali. Itu pun, tidak jarang dalam kondisi mabuk seperti sekarang.

“Terima kasih, Pak,” kata Aini ketika Agus pamit usai menggeletakkan Zuel di atas sofa ruang tengah apartemen Aini.

Aini mengempaskan tubuhnya di bean bag. Tubuhnya terasa sangat letih. Pekerjaannya sebagai dokter di salah satu rumah sakit swasta di Kota Depok menuntutnya untuk selalu siap tenaga. Bukan hanya untuk menangani pasiennya, tapi juga terkadang pasien rekan kerjanya. Tidak tahan lagi dengan rasa kantuknya, Aini membiarkan dirinya hanyut dalam alam mimpi.

***

Empat jam kemudian Zuel terjaga dengan kepala pening. Matanya tertumbuk pada sosok Aini yang terlelap di bean bag dekat sofa tempatnya berada. Ia mendekat. Diperhatikannya wajah Aini yang dihiasi iler. "Dokter macem apa yang jorok kayak lo sih, Ai," Zuel bergumam geli. Disibaknya poni panjang yang menutupi sebagian wajah manis Aini. "Bisa-bisanya lo tidur santai di sini. Gue kan cowok juga, Ai, bisa khilaf."

Seperti yang sudah-sudah, Zuel memindahkan tubuh ramping Aini ke tempat tidur berukuran single yang terletak di satu-satunya kamar yang ada. Netranya lantas mengamati Aini. "Haduh, pengen ikutan kan gue jadinya. Sayang kasur lo sempit," kata Zuel.

Meninggalkan Aini di kamar, Zuel beralih ke kamar mandi yang berada di sebelah dapur. Sebagai pengunjung tetap—nyaris permanen, kalau saja Aini memberi izin—Zuel tidak sungkan wara-wiri di apartemen Aini, termasuk mandi dan menginap. Bahkan, saking seringnya ia menginap di apartemen Aini, Zuel sampai menyetok alat mandi sekaligus baju.

Zuel tersenyum geli teringat Aini yang menyerah mengusirnya. Bibir menggoda Aini yang melontarkan beragam omelan, bungkam begitu mendengar alasan Zuel.

“Kalau gue pulang dalam keadaan mabuk, gue bisa dicoret dari kartu keluarga sama Mama.”

Hal tersebut benar adanya. Zuel hanya tidak mengatakan kalau ia punya tempat lain untuk menjadi tempat bermalam—seperti di kantor, contohnya. Sengaja, supaya ia bisa berlama-lama memandangi Aini selama berada di apartemen gadis itu.

Suara azan berbunyi nyaring dari ruang tengah. Tepatnya, dari aplikasi ponsel Aini. Suara tersebut terdengar hingga ke kamar Aini yang pintunya tidak ditutup. Aini mengerjap, menarik tubuhnya hingga duduk, kemudian menggeliat pelan demi meredakan pegal.

Sambil mengusap mata, Aini melangkah keluar kamar. Ia lantas berpikir keras ketika melihat keadaan apartemennya. Sofa yang acak-acakan jelas bukan perbuatannya. Mendengar suara air dari kamar mandi, ia baru teringat bahwa apartemennya memang kedatangan tamu.

"El?" Aini mengetuk pintu kamar mandi.

Tidak lama kemudian Zuel keluar, hanya mengenakan celana santai selutut dengan handuk tersampir di bahu lebarnya. Ia melempar pandangan pada Aini yang melangkah melewatinya, masuk ke dalam kamar mandi. Jangankan terjebak pesonanya, gadis itu bahkan tidak meliriknya sama sekali.

Sambil mengenakan baju yang diambilnya dari lemari plastik dekat pintu kamar mandi, Zuel melangkah ke arah ponsel Aini. Tanpa bertanya lebih dahulu pada sang empunya, Zuel membuka kunci pengaman ponsel tersebut dengan enam digit angka—tanggal kelahiran Aini.

"Salat dulu kali," komentar Aini beberapa saat kemudian. Gadis itu melangkah keluar dari kamar mandi dengan beberapa bagian tubuh yang basah karena wudu. Ia menghilang sesaat ke dalam kamar untuk mengambil sajadah dan mukena. Melihat Zuel masih asyik dengan ponselnya, Aini tergelitik untuk bertanya, "Billy ada ngehubungin gue nggak?"

Fokus Zuel buyar. Tidak sampai tiga detik kemudian tulisan game over memenuhi layar. Dalam kondisi terbakar cemburu tapi tidak punya hak untuk cemburu, tulisan itu terbaca sebagai “Kasian deh, friendzone” oleh Zuel. Ia lantas melempar ponsel Aini ke sofa.

"Heh, gue beli pakai duit itu, FYI kalau lo lupa!" Aini memelotot galak.

Dari posisinya duduk, Zuel mengamati Aini yang kini khusyuk menunaikan ibadah pada Sang Khalik. Dihelanya napas dengan gusar, lantas membatin, Tuhan, kalau Aini jodoh hamba, tolong bantuin biar dia ngeh kalau hamba ini laki-laki tulen. Kalau Aini bukan jodoh hamba, atur jadi jodoh hamba bisa nggak, Tuhan?

Sampai Aini selesai berdoa usai salat Subuh pun, Zuel masih asyik menatapnya. "Heh, bukannya salat malah bengong!" tegur Aini. Ia beranjak ke arah lemari plastik, membuka laci nomor dua teratas dan mengeluarkan sarung dari dalamnya. "Salat dulu! Jangan lupa minta ampun sama Allah."

Zuel menyeret langkah tanpa protes. Diambilnya sarung dari Aini. Alih-alih memakainya, Zuel malah asyik memandangi Aini yang mulai sibuk memasak di dapur.

"Lo shift pagi hari ini?" tanya Zuel.

"Malem." Aini mengangkat pandangannya dari kangkung yang baru saja diambilnya dari kulkas. "Gue mau bikin tumis kangkung sama telur dadar. Lo mau makan di sini apa langsung ngantor?"

"Mau." Zuel mengamati Aini yang cekatan menyiapkan bahan masakan. "Coba lo jadi istri gue, kan enak tiap hari ada yang masakin."

Aini mencibir. "Lo nyari istri apa nyari koki pribadi?"

Zuel mencebik. Tidak dijawabnya pertanyaan Aini. Ngadu sama Tuhan ajalah.

***

"Kamu serius Andara yang itu?"

Zuel yang siang itu baru datang setengah jam sebelum jadwal pemotretan, berhenti melangkah tepat di depan pintu ruangan pimpinan manajemennya. Pintu berbahan jati itu sedikit terbuka, menampilkan sosok sang bos, Walter, dan model andalannya, Laura, yang sedang berbincang.

"Kenapa akhirnya cewek sombong satu itu mau gabung di sini?" Suara Laura yang masih beraksen Prancis terdengar mengejek. Kaki jenjangnya menyilang, begitu pun lengannya. Postur defensif yang selalu ia tampilkan tiap kali merasa posisinya terancam.

Zuel tak ambil pusing meskipun sebenarnya nama yang tadi keluar dari mulut Laura membuatnya sedikit terganggu. Ia kembali melangkah menuju studio pemotretan yang terletak di ujung lorong, beberapa meter dari pintu ruangan Walter.

Laura baru muncul di studio pemotretan itu lima belas menit kemudian. Wajahnya tertekuk. Beberapa kru yang menyadari kedatangannya lantas berbisik-bisik. Pasalnya, Laura dan mood buruknya akan berdampak pada orang-orang yang bertugas.

"Aduh, lo bisa nggak sih jadi hairstylist?!"

Zuel menghela napas. Melalui pandangan mata, ia menyuruh hairstylist malang yang baru saja kena semprot itu untuk berlalu. Sebelum Laura kembali meledak, ia mendekat. "Kenapa sih cranky amat?" tanyanya santai.

"Hairstylist lo bego! Lihat nggak sih ini rambut gue nggak simetris?"

"Rambut lo udah bagus, kok," komentar Zuel apa adanya. "Nggak kelihatan nggak simetris."

Laura mendelik tidak suka. Ia mengambil catokan, meluruskan rambutnya, kemudian kembali membuatnya bergelombang. Terakhir ia dengan seenaknya menyuruh Zuel untuk menyemprotkan hair spray.

Pemotretan akhirnya berlangsung juga meskipun molor setengah jam dari jadwal karena kelakuan Laura yang protes ini-itu ke kru yang bertugas. Untungnya, selama pemotretan gadis itu tidak berkomentar apa-apa.

Begitu Zuel mendapatkan foto-foto yang dibutuhkan, Laura langsung pergi begitu saja. Gadis itu bahkan tidak mau bersusah payah menunggu asistennya yang kelimpungan menyamai langkah lebarnya.

"Thanks." Charlotte, klien yang memakai Laura sebagai brand ambassador produknya, mendatangi Zuel ketika ia sibuk mengamati hasil jepretan.

"Sori, Laura hari ini lagi cranky," ujar Zuel tak enak hati. Gadis yang tak lain adalah sepupu jauhnya itu memang suka seenaknya. Meski begitu, posisi Laura aman sentosa. Tidak peduli banyak orang yang ingin membunuhnya hidup-hidup karena sikap menyebalkannya.

"It's okay. Lagian dia udah banyak banget ngebantu," kata Charlotte sambil nyengir. "Walaupun karena Walter yang minta, sih."

Zuel ikut tersenyum geli. Hubungan Laura-Walter-Charlotte mungkin adalah kisah cinta terkonyol yang pernah ia temui. Menurut Zuel, merupakan suatu keajaiban gadis moody dan super cemburuan seperti Laura bisa bekerja sama secara profesional dengan Charlotte—mantan pacar Walter, yang kini menjadi kekasih Laura. Laura selalu memelotot tidak terima setiap Zuel mengejeknya, dan malah balik mengejek bahwa Zuel lebih konyol karena menjadi korban friendzone bertahun-tahun.

Setelah Charlotte pamit, Zuel beranjak menuju pantry. Diseduhnya kopi yang selalu ia stok di sudut meja. Begitu suhu sudah cukup aman untuk mulutnya terima, Zuel menyesap kopi pertamanya hari itu.

"Your annoying ex kenapa tiba-tiba mau kerja di sini, sih?" Suara Laura yang tiba-tiba terdengar sukses membuat Zuel tersedak. "Lo balik sama dia?" cecar Laura.

"Gue bahkan udah nggak ada kontakan sama dia. Gimana ceritanya gue balikan sama dia?" Zuel mengelap kopinya yang tumpah mengenai meja pantry. Ia menatap Laura datar, kemudian berujar, "Gue juga baru tahu Andara mau kerja di sini dari lo."

Laura menarik kursi, mengempaskan tubuh di atasnya. "Walter nggak mau waktu gue suruh batalin kontrak sama Andara."

Zuel terkekeh. "Dia nggak sebucin lo berarti, ya?" ejeknya. "Nggak kayak lo, apa-apa nurut sama Walter."

"Hellow, siapa ya yang lebih bucin dari gue? Soalnya nih ya," Laura membuat raut wajah sebingung mungkin, "gue kenal sama satu orang. Dia tuh ya, buciiiiin banget. Has a crush ke temennya sendiri, since luamaaa sekali, tapi nggak berani nyatain."

Zuel mendengus. "Sialan," makinya, kalah telak.

***

Sebagai fotografer andalan di manajemen tempatnya bernaung, Zuel memiliki beberapa hak istimewa dibandingkan fotografer lainnya. Salah satunya berupa ruang kerja pribadi, beda dengan fotografer lain yang meja kerjanya terkumpul dalam satu ruangan besar.

Ruangan Zuel berukuran tiga kali tiga meter dan didominasi warna cokelat. Salah satu sisi penuh dengan rak gantung dan meja kerja, lengkap dengan komputer dan proyektor portabel yang sewaktu-waktu ia pakai untuk memamerkan hasil ketika ada meeting. Berseberangan dengan meja kerja, ada sofa panjang berkapasitas dua orang dan satu buah coffee table. Di sisi seberang pintu ada jendela besar yang mengarah ke taman belakang.

Zuel tengah sibuk memilah-milah hasil kerjanya di komputer ruangannya ketika ponsel yang ia letakkan di ujung meja bergetar. Foto serta nama lengkap Aini—Aini Eleanor Maharani—terpampang di layar.

"Tumben amat telepon? Kangen sama gue, ya?" sapa Zuel.

Di seberang, Aini mendengus malas. "Lo ntar balik ke apart gue nggak? Gue baliknya agak malem. Mau ketemu Billy."

Gerakan jari Zuel di atas tetikus terhenti. Keningnya berkerut-kerut gusar. Sadar tidak punya hak untuk melarang, ia hanya bisa menghela napas. "Gue nggak ke sana ntar. Balik jam berapa lo nanti?"

"Belum tahu, sih." Sesaat suara Aini terdengar jauh, sebelum akhirnya kembali bersuara, "Kalau gitu udah dulu, ya. Dah, El."

Setelah sambungan berakhir, Zuel menatap ponselnya dengan jengkel. Rasa cemburu membakar hatinya. Ruangannya yang diatur pada suhu dua puluh derajat Celsius mendadak terasa seperti bersuhu tiga puluh derajat. Panas!