cover landing

The Heart Comes to You

By marinayudhitia


“Kamu mau married?” tanya Abang saat menerima kartu undangan dari tanganku. Warnanya perpaduan biru dan abu-abu. Pria bernama asli Bisma Sadana, yang juga bertindak sebagai atasanku di perusahaan, memasang raut wajah penuh teliti.

“Sementara ini masih jadi tamu dulu, Bang,” aku tertawa pelan, “Itu undangan dari teman saya.”

“Oh gitu, oke.”

Abang menyesap kopi dari cangkirnya. Aroma khas menguar ke udara.

Aku terduduk di hadapan Abang, terpisahkan meja kayu panjang. Saat itu hanya ada kami berdua di pantry kantor lantai tiga. Sudah jadi kebiasaan, CEO bertubuh gempal itu menghabiskan waktu jelang istirahat siang di luar ruang kerjanya. Kali ini giliran pantry milik divisi internal—divisi kerjaku—yang ia kunjungi. Mumpung tempat itu masih kosong sebelum karyawan berdatangan. Padahal bisa saja ia meminta dibawakan minuman kepada sekretarisnya, tetapi itulah Abang, lebih senang turun langsung meracik kopinya sendiri, sekalian jalan-jalan katanya.

“Jadi boleh, Bang?” tanyaku meminta kejelasan.

“Boleh apa, Lanita?” Abang menoleh, kacamata bingkai bulatnya tersaput uap panas dari cangkir kopi.

“Minta izin, Bang, menghadiri resepsi teman saya itu tadi.”

“Oh, bilang dong, saya kira kamu cuma mau pemberitahuan aja kalau temanmu nikah,” sahut Abang menyeringai, “Berapa hari?”

“Hmm … Tiga?” jawabku sambil mengacungkan jari-jemari, “Maunya lebih sih, Bang, lima hari boleh nggak?”

“Lho, kok lama sekali, di mana ini acaranya? Mauritius?”

Kebiasaan lain sang pimpinan, juga gemar berkelakar dengan wajah yang tetap datar.

Aku terkekeh, “Di Bandung, Bang, udah lama-

“Bandung?”

Kalimatku terpotong saat sebuah suara menimpali. Seseorang melangkah masuk dari arah pintu.

“Abiyasa Putra.” Abang menyambut kedatangan salah satu bawahan kepercayaannya dan menunjuk ke arah samping tempatku duduk, “Silakan, silakan, kemari gabung .…”

Pria yang mengenakan name tag bertuliskan ‘Abiyasa – Artist Manager’ itu menghampiri dan duduk tepat di sisiku.

“Dari studio latihan, Bi?” sapaku.

Abi mengangguk.

“Jadi siapa yang mau ke Bandung tadi?”

“Aku.” Telunjukku mengarah ke wajah.

“Ini,” Abang meletakkan kartu undangan dari tangannya ke atas meja, lalu menggesernya ke hadapan Abiyasa.

“Ini bukan nama kamu yang ada di sini kan?” Abi menyunggingkan bibirnya lebar-lebar.

Aku memutar bola mataku. Kadang-kadang selera humor Abi dan Abang memang satu frekuensi.

“Rima sama Pram, sahabat lama aku di Bandung, acaranya weekend besok,” jawabku lalu kembali berpaling pada Abang, “Jadi boleh kan, Bang, ya?”

“Gimana menurut kamu, Bi, Lanita minta izin lima hari ke Pantai Gading.” Abang mulai lagi.

Abiyasa tergelak melihat ekspresiku. Kupikir dia akan membalas dengan jokes serupa, tetapi Abi meredakan tawanya dan berkata lebih serius.

“Lanita udah lama nggak pulang, Bang, ke Bandung .…”

“Hm, I see ….” Abang manggut-manggut.

Aku melirik Abiyasa yang tengah memandangku dengan tatapan penuh pengertian.

Sebelum sempat menanggapi, sebuah panggilan halus terdengar lagi dari arah pintu masuk pantry. Sisil, sekretaris Abang tersenyum dan mengangguk sopan.

“Bang, sepuluh menit lagi con-call sama Direktur Kim dimulai ya.”

“Ah, ya, betul juga, di Korea sana sudah selesai jam makan siang,” gumam Abang.

“Oh ya, Sil,” panggil Abang kepada sekretarisnya sebelum beranjak, “Tolong siapkan formulir izin buat Lanita, nanti saya tanda tangan, ya!”

“Baik, Bang.”

“Empat ya,” Abang menggeser duduknya dan menoleh sesaat pada Lanita, “Empat hari.”

Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Empat hari rasanya cukup untuk menghadiri resepsi Rima dan Pram serta melepas rindu pada kota kelahiranku.

Thank you, Abang!”

Bos besar itu berlalu keluar pantry, disusul oleh Sisil yang tak lupa membawakan cangkir kopi Abang ke ruangan kerjanya.

Tak berselang lama, keadaan sekitar mulai ramai. Beberapa karyawan masuk, membuat minuman dan mengambil camilan. Ada yang duduk berkelompok, ada juga yang kembali keluar, memilih menuju ke area kantin. Yang tak mungkin terlewat adalah transaksi pesan-antar makanan. Dua orang office boy membawa paket orderan dari lobi di lantai satu dan menyerahkannya pada masing-masing pemesan.

Tak terkecuali Abi. Saat namanya disebut, ia mengambil plastik berisi kotak makanan dan minuman miliknya. Ia melongok menghitung jumlah pesanannya lalu tertegun sesaat.

“Kenapa, Bi?” Aku melewatinya dan ikut mengambil jatah makananku yang dibagikan seorang rekan satu divisi.

“Kamu kelupaan pesan buat kamu sendiri ya?” tebakku seraya menengok isi plastik di tangan Abi, “Tuh kan, cuma ada empat. Kurang satu.”

Abiyasa meringis, “Anak-anak pada mau nasi padang. Tadi saya mau pesan yang lain eh keburu ke sini, jadi belum sempet–

“Nih,” Aku menyodorkan satu kotak makanan resto jepang ke arahnya, “Aku pesen dua. Aku tahu kamu bakal lupa kalau lagi sibuk nemenin anak-anak latihan.”

Abi menerimanya sambil tersenyum bajing.

Thank you, Nit .…”

Kami berdua berjalan menjauhi pantry. Abi akan kembali ke ruangan latihan band, sementara aku akan menuju ke ruanganku. Beberapa hari ini aku sedang tidak mood turun ke kantin atau cari makan keluar kantor. Alasan lainnya, ada konten yang masih harus kukerjakan sambil menyantap makan siang. Apalagi waktuku tadi sudah terpakai menemui Abang.

“Jadi kamu ke Bandung nanti,” Abi berkata antara bertanya dan membuat pernyataan.

Aku mengangguk dan menghela napas. Aku tahu, Abi tahu, sudah terlalu lama aku tak menjejakkan kaki di kota itu.

“Aku harus datang ke acara Rima dan Pram.”

Abi menghentikan langkahnya sebelum kami berpisah di tikungan koridor.

“Nit,” ucapnya, menatapku lekat-lekat.

“Ya, Bi?”

Draft interview press con anak-anak udah beres?” Sepasang mata sipit Abi mengerjap dari balik kacamatanya.

“Oh yang itu, udah aku kasih kan?”

“Ah ya, kalau susunan speech buat di stage?” tanyanya lagi.

“Udah juga. Itu aku email ke Mbak Vivi, stage director kita .…” jawabku.

Abi menerawang, “Yang lagi kamu kerjain apa?”

You sounds like Abang,” responsku, “Tenang, Bi, kerjaan aku beresin dulu sebelum ke Bandung nanti.”

Cool,” komentar laki-laki itu singkat.

Aku mengernyitkan dahi, “Kenapa, Bi?”

“Kamu ke Bandung empat hari?”

“Iya.”

“Udah pesen travel apa kereta?”

“Udah, Bi.”

“Nginepnya di mana?”

Mulutku terbuka, hendak menjawabnya lagi. Namun, sesaat firasatku berkata bukan itu yang sebetulnya ingin Abi tahu.

“Mau saya temenin?” celetuk Abi.

Kedua mataku melebar.

“Takutnya kalau sendirian, kamu nyasar,” lanjut Abi ngasal.

I’ll be fine,” Aku tertawa pelan, “It’s my hometown .…

Sepenuh hati aku berusaha mengabaikan kegelisahan. Namun, sepertinya laki-laki di hadapanku tampaknya turut merasakan apa yang kupendam.

Abi mengangkat bahunya, “Oke lah kalau gitu.”

See you later,” sahutku saat Abi melanjutkan langkahnya menuju ke depan lift. Ia akan naik ke lantai lima tempat dimana artist lounge dan studio latihan berada. “Titip say hi buat anak-anak .…”

Abi sempat menoleh ke belakang dan menggerakkan kepalanya. Kedua tangannya penuh kotak makanan dan tak bisa melambai. Aku berdiri memandangi punggung pria bertubuh tinggi itu sampai menghilang di antara kerumunan orang yang juga keluar dan masuk lift.

Batinku berbisik, It’s not like you have a free time to go with me juga kali, Bi … Aku janji, bakal baik-baik aja.