cover landing

The Girl from Outer Space

By Shabrina Agatha


Dalam lingkup semesta, takdir merupakan bagian dari jamuan waktu yang pasti meski tidak terprediksi. Dan, sering kali menerjemahkan dirinya ke dalam bentuk pertemuan-pertemuan yang tidak di sengaja terjadi.

 

Jam baru menunjukkan pukul 06.15 pagi, karenanya suasana sekolah masih sangat sepi.  Bahkan Pak Dar—penjaga sekolah, baru saja membukakan kunci pada setiap pintu ruangan kelas dan juga beberapa ruangan lainnya. Namun sudah ada satu sampai tiga orang murid yang terlihat di area sekolah. Salah satunya adalah seorang murid laki-laki yang tengah berjalan santai menuju lapangan indoor

Namanya Sora Pradipta, sesuai deretan huruf yang tertulis pada nametag yang digunakannya. Laki-laki yang memiliki proporsi tubuh tinggi dan tegap itu terlihat sangat asyik memainkan bola basket yang yang ada di jari telunjuk pada tangan kanannya.

Sepanjang langkahnya di lorong sekolah, Sora hanya memainkan bola basket miliknya tanpa banyak berekspresi. Wajah tegasnya sedang tidak bersahabat, sehingga terlihat lebih menyeramkan dari biasanya. Sebetulnya, Sora memiliki garis wajah yang nyaris sempurna. Ditambah lagi dengan sorot mata dengan iris berwarna cokelat, sehingga memberikan kesan dingin sekaligus menenangkan dalam waktu yang sama. 

Meski memiliki kontur wajah yang memesona, sayangnya Sora juga dikenal dengan kepribadiannya yang dingin, ketus, kasar, dan tidak suka berinteraksi dengan banyak orang. Intinya Sora memiliki kepribadian yang sangat menyebalkan. Bahkan ketika ada orang yang mencoba berinteraksi dengannya, Sora akan langsung menunjukkan sikap kasarnya. Seolah sikapnya itu adalah bagian dari proteksi dirinya. Karenanya orang-orang yang sudah lama mengenal Sora, akan lebih memilih untuk tidak berurusan dengan Sora. Tapi, sekalipun Sora menyebalkan, tetap saja ia menjadi sosok yang dikagumi banyak murid perempuan di sekolahnya. Ia bahkan masuk ke dalam jajaran murid-murid populer, sekalipun ia sendiri menolak dengan tegas.

Sora suka basket, baginya basket bukan hanya sekadar olahraga. Basket merupakan sesuatu yang bisa membantunya berada sampai pada detik ini. Basket adalah sahabatnya, passion-nya, dan juga dunianya. Sebab itu, Sora tidak pernah absen untuk latihan basket setiap harinya.  

 Hari ini, seperti biasa. Sora hendak melakukan latihan rutinnya setelah sebelumnya ia disibukkan dengan pertandingan kejuaraan antar sekolah dalam tingkat nasional, di mana ia harus puas berada di posisi runner up. Dan kekalahan tersebut membuat mood baik Sora hilang sejak pertandingan usai, kemarin.  

Memasuki lapangan indoor yang baru saja dibukakan oleh Pak Dar, Sora lantas melempar tasnya ke sembarang arah, dan tanpa membuang waktu ia langsung men-dribble bola dan melakukan lemparan dari jarak yang cukup jauh. Hingga bola itu melayang melewati ring.

“Argghh!” geram Sora kesal.

Gambaran kegagalannya melakukan lemparan  three point kemarin masih terbayang di kepalanya, dan hal tersebut sangat mengganggu Sora. Meski bukan kekalahan pertamanya, namun kekalahan timnya kali ini tidak lain karena ulahnya. Oleh sebab itu, tidak mudah bagi Sora untuk menerima kekalahannya kali ini.

Sora memejamkan matanya dan menarik dalam-dalam napasnya sebelum memulai latihan. Kali ini ia benar-benar akan memanfaatkan dengan baik setiap detik dari waktu latihannya pagi ini, setidaknya ia harus bisa kembali menemukan rasa percaya dirinya yang hilang sejak pertandingan kemarin di Surabaya.

Latihan pagi ini Sora mulai dengan melakukan lay up shoot, kemudian dilanjutkan dengan melakukan footwork selama 10 menit dan mengakhirinya dengan melakukan jump shoot. Namun, lagi-lagi bola itu tidak mendarat mulus memasuki ring, justru memantul keluar sisi ring.

Merasa kurang puas, Sora kembali melakukan lemparan dengan menggunakan teknik lain. Dimulai dari lay up shoot, kemudian slam dunk shoot, sampai dengan three point shoot. Hasilnya, hampir semua lemparannya gagal kecuali lay up shoot.

Rasanya Sora ingin marah, latihannya pagi ini terasa begitu menyebalkan. Dari sekian banyak lemparan yang ia lakukan ke dalam ring, hanya segelintir lemparan yang bisa ia lakukan dengan baik. Sora kehabisan cara, ia bahkan tidak tahu harus bagaimana saat ini.

Seperti burung yang kehilangan sayapnya untuk terbang, itulah yang Sora rasakan kali ini. rasa kecewa yang dirasakannya membuat kenangan buruk di dalam kepalanya terus menerus terputar tanpa henti, hingga ia sulit melepaskan diri dari rasa khawatir yang semakin mencekiknya.

Kali ini, Sora menatap ring yang berada beberapa meter di hadapannya dengan sungguh-sungguh. Beberapa kali ia melakukan dribble sambil berkonsentrasi penuh terhadap bola yang kini ada di tangannya. Setelah dirasa siap, Sora mulai mengambil posisi namun sayangnya hal itu urung Sora lakukan.

 Sebuah decakan meremehkan terdengar dari arah pintu masuk lapangan indoor, dan membuat perhatian Sora teralihkan.

“Mau sampai kapan pun, kalau cara kamu melempar bolanya kaya gitu. Bola itu enggak akan pernah masuk.”

Sora terkejut, karena tiba-tiba saja muncul sesosok makhluk tak dikenal sedang berdiri di ambang pintu. Penampilan murid perempuan itu terlihat tidak biasa, lebih jelasnya tidak seperti murid perempuan pada umumnya.   

Murid perempuan bertubuh jangkung itu kemudian berjalan mendekati Sora dengan langkah penuh percaya diri sambil membawa keranjang berisi alat-alat kebersihan. Rambut keriting mengembangnya mengayun – ayun mengikuti langkah kakinya. Begitu juga dengan rentetan bunyi ‘krincingan’ yang mengikutinya tepat setelah tubuhnya bergerak, dan senyum simetrisnya yang tidak pernah memudar dari  kedua bibirnya.

“Seharusnya, memasukan bola ke dalam ring itu adalah sesuatu yang mudah. Tapi, kamu malah membuatnya terlihat jadi susah.”

Tanpa merasa canggung sedikit pun, perempuan dengan rambut mengembang itu berbicara dengan nada santai untuk ukuran orang yang baru sekali bertemu. Penampilannya sangat nyentrik, dan siapa pun yang menyadari keberadaannya akan memiliki anggapan yang sama dengan Sora. Bahwa sosok yang ada di hadapannya ini bisa saja bukan manusia pada umumnya.

Kaca mata hitam, jaket parasut berwarna hijau army yang kebesaran, belum lagi dengan rambut hitam kriting mengembangnya yang sengaja di gerai, juga headphone berwarna pink yang melingkar di leher dengan kabel kusut, dan stocking belang-belang berwarna kuning beserta sepatu lusuh berwarna pink yang sudah tidak terlihat lagi warna pinknya. Benar-benar selera yang aneh.

“Aku pinjem bolanya, ya.” Perempuan yang tidak dikenal tersebut, lantas mengambil bola milik Sora yang masih memantul di bawah ring. Kemudian mengambil posisi menyamai posisi Sora, lalu melemparkan bola basket itu tanpa perhitungan dan aba-aba.

Yesthree point!” serunya. “Kamu lihat kan, tanpa perlu aba-aba sama perhitungan. Bola itu meluncur mulus masuk ke dalam ring.”

“Maksud lo apa?” ujar Sora yang merasa tersinggung.

Perempuan aneh itu tersenyum, “Untuk bisa memasukan bola itu ke dalam ring, kamu cuma perlu melakukannya tanpa harus memikirkan apa pun. Intinya, beban yang ada di kepala kamu membuat mindset kamu jadi jelek. Akhirnya, eksekusi yang kamu lakukan jadi enggak maksimal.”

“Jangan sok tau, deh,” celetuk Sora kesal.

“Aku memang bukan pemain basket, tapi sedikit-sedikit aku tahu lah tentang basket. Aku cuma mau kasih tahu aja sama kamu, dalam hidup terkadang kita terlalu memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi terlebih dahulu. Padahal kita saja belum memulai apa pun. Seharusnya kita cukup berusaha melakukan yang terbaik, dengan begitu hasil yang kita peroleh pun tidak akan jauh berbeda dengan usaha yang sudah kita lakukan. Sama kayak basket. Kamu cukup bermain dengan baik tanpa harus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi, dengan begitu aku yakin semua lemparan yang gagal kamu lakukan tadi akan berhasil nantinya,” jelasnya.   

Meskipun ucapan perempuan nyentrik itu ada benarnya, tapi Sora tidak bisa mengesampingkan rasa kesalnya. Ia masih merasa tersinggung, karena secara tidak langsung perempuan berambut sarang burung itu menghinanya.

Well, kenalin. Nama aku Mahal, aku murid baru pindahan dari Bandung.” Ia mengulurkan tangannya tepat ke hadapan Sora, sambil terus menyunggingkan senyum simetrisnya.

Sora memandangnya tanpa minat, ia sama sekali tidak berniat untuk membalas uluran tangan tersebut. Dan, seperti biasa Sora berlalu begitu saja mengambil bola basket miliknya dan meninggalkan perempuan asing itu tanpa kata.

Namun, baru beberapa langkah Sora menjauh. Perempuan itu lagi-lagi membuat Sora kesal dengan ucapannya.

“Hei, kayaknya kamu enggak pernah diajarin sopan santun ya. Kamu tahu nggak, meninggalkan orang tanpa pamit dalam sebuah pembicaraan itu namanya tidak sopan,” ujar Mahal dengan suaranya yang cukup lantang.

Sora tetap melanjutkan langkahnya, ia berusaha tidak peduli dengan kata-kata menyebalkan yang keluar dari mulut perempuan menyebalkan itu. Tapi semakin Sora mengabaikannya, perempuan itu seperti tahu isi hati Sora dan kembali mengusiknya dengan deretan kalimat yang tidak kalah menyebalkan.

“Aku yakin, kita pasti akan ketemu lagi,” teriaknya.

Dan Sora tetap berlalu tanpa mempedulikan satu pun ucapan perempuan aneh itu.

***

Sial!

Keluh Sora dalam hatinya. Andai ia masuk kemarin, ia tidak akan membiarkan siapa pun menempati tempatnya. Tapi sialnya, kemarin ia tidak masuk sehingga Pak Hantoro dengan semena-menanya menyuruh murid lain menempati kursi kosong yang ada di sebelahnya.

Sebetulnya bisa saja Sora mengajukan protes, seandainya bukan dengan Pak Hantoro ia harus berurusan. Bukan karena Pak Hantoro terkenal sebagai guru yang sangat disegani di sekolah, tapi karena Sora malas saja berurusan dengan guru macam Pak Hantoro. Orang yang selalu melebih-lebihkan masalah. Mencari masalah dengan Pak Hantoro, sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Tidak akan ada habisnya!

Dua jam telah berlalu, namun Sora masih enggan sekalipun menoleh ke arah Mahal yang mulai hari ini menjadi teman sebangkunya. Padahal sejak tadi Sora tahu, jika Mahal selalu melihatnya dengan tatapan dan ekspresi wajah yang begitu semringah. Seperti seekor kucing kecil, yang berharap akan dibawa pulang oleh orang yang menemukannya.

“Ngggik….ngiiik..” Sambil memiringkan kepalanya ke arah Sora, secara tiba-tiba saja Mahal  bergaya seperti sebuah robot.   “Hai, we meet again,” sapa Mahal dengan menirukan nada bicara sebuah robot.

Sora memutar kedua bola matanya, sambil menghela napas jengah.

Mahal tersenyum lagi ke arah Sora, senyum yang sama seperti yang diberikannya pagi tadi. “Benar kan, apa aku bilang. Kita pasti akan ketemu lagi. Karena sekuat apa pun kamu berusaha menghindari aku, ketika takdir kita ada di arah yang sama, maka semesta akan selalu mampu mempertemukan kita,” tandas Mahal.

Melihat dan mendengar apa yang yang baru saja Mahal ucapkan, sudah membuat Sora gerah dan ingin pindah andai mata pelajaran selanjutnya bukan Pak Hantoro yang mengisi. Sora pun mengubah posisinya, dari yang semula menelungkupkan kepalanya di atas lipatan kedua tangannya di meja, menjadi posisi duduk yang tegak.

Tanpa bosan, Mahal terus memerhatikan tiap gerak-gerik Sora. Dan seperti mati rasa, Mahal tidak sedikitpun merasa lelah dengan mengendurkan senyum yang di tunjukkannya untuk Sora.

Sampai tiba-tiba….

My name is Mahal. M-A-H-A-L. Aku yakin, nama aku enggak terlalu sulit untuk di ingat,” ujarnya dengan sangat jelas. Lalu ia mengulurkan tangannya lagi ke hadapan Sora. “Dan mulai hari ini, kita akan jadi teman sebangku yang hebat.”

Lama kelamaan, Sora merasa senyum yang disunggingkan Mahal terasa seperti toxic. Yang secara terus menerus menempel di kepalanya, dan membuat kepalanya mulai terasa pening.

“Sora,” jawab Sora sekenanya, dan lagi-lagi tanpa membalas uluran tangan Mahal.

Sora melihat ada raut wajah kecewa pada diri Mahal ketika perempuan itu harus kembali menarik uluran tangannya lagi untuk kesekian kali, walaupun perempuan dengan tinggi ideal itu berusaha menutupinya dengan sangat baik.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut teman sebangkunya setelah itu, semuanya kembali normal. Mahal tidak lagi banyak berbicara, ia terlihat seperti tengah melamun memikirkan sesuatu. Sedangkan Sora, ia menyibukkan dirinya dengan bermain game di handphone-nya sambil menunggu guru mata pelajaran selanjutnya datang. Sampai, sesuatu yang tidak pernah sekalipun disangkanya terjadi.

Sebelumnya, tidak ada orang waras yang nekat melakukan hal bodoh semacam itu kepada Sora. Bahkan untuk mereka yang sudah mengenal Sora sejak lama pun adalah pilihan yang sangat tolol melakukan apa yang tiba-tiba saja  dilakukan oleh Mahal. Tapi, Mahal dengan mudahnya menerobos batas-batas tersebut dengan tanpa banyak berpikir.

Suasana kelas mendadak hening, tidak ada suara sedikit pun ketika semua murid mulai menyadari situasi yang sedang terjadi. Masing-masing terpaku dengan posisi mereka, begitu juga dengan Sora. Ia benar-benar membeku ketika sebuah pelukan yang secara spontan melingkar pada  tubuhnya.

 “Karena kamu enggak mau bales uluran tangan aku, jadi aku harus kasih pelukan ini sama kamu. Aku cuma mau bilang. Terima kasih ya, Sora, udah mau jadi temen aku,” bisik Mahal pelan kepada Sora.

***