cover landing

The Fill-In CEO

By Eve Natka


Eden melempar ponsel ke atas meja lalu meremas rambutnya kuat-kuat. Emosinya naik sampai ke ubun-ubun.

Sudah dua kali dia diajak ke sebuah lahan di daerah Kebayoran Lama. Pemiliknya seorang pengacara paruh baya yang awalnya ingin membangun restoran waralaba. Lima hari kemudian, orang itu berubah pikiran. Kembali dia meminta Eden menemani ke lahan seluas tiga ratus meter persegi itu dan mereka berdiskusi. Kala itu si pengacara memutuskan membangun tempat main biliar. Eden telah memberikan masukan-masukan berdasarkan pengalamannya membuat tempat serupa di Australia. Ekspresi senang dan puas di wajah pengacara itu membuat Eden yakin bahwa proyek ini akan gol.

Dan baru saja dia mendapat telepon dari sang pengacara: lahan tidak jadi dibangun karena mereka punya keperluan lain! Sialan, kan?!

Eden mengembuskan napas keras-keras. Dalam benaknya terpampang saldo tabungan yang bagi banyak orang masih termasuk besar, namun baginya sudah masuk dalam kategori darurat. Sudah empat bulan ini dia memakai tabungan pribadi untuk biaya hidup dan operasional, belum lagi untuk membayar jasa iklan di media sosial. Sebagai pemain baru dalam dunia konsultasi jasa arsitektur, Eden belum punya nama – kecuali dia mau memakai nama besar ayahnya, Romyn.

Sesuatu yang tidak mau dia lakukan.

"Napa sih, Ed?" tanya seorang perempuan yang sedang berbaring di sofa. Dari pinggang ke atas, dia tidak memakai apa-apa kecuali sepotong bra hitam yang—hampir— menutupi sepasang bagian tubuh yang paling besar. Celananya juga luar biasa pendek, entah apa bedanya dengan celana dalam. Kelopak matanya tertutup setengah sementara dia menatap Eden yang duduk di seberangnya. "Bobok aja yuk, Babe ..." keluhnya manja.

Begitulah Vanessa – atau yang Eden panggil 'Vee', seorang model majalah dewasa yang tidak mengerti satu kata pun tentang arsitektur, punya lemari pakaian sendiri di rumah Eden, dan yang telah berhubungan dengannya selama tujuh bulan ini. Friends with Benefit, istilahnya. Teman kelonan.

"Mana kamu ngerti kalau aku cerita." Eden bangkit dari kursi menuju lemari minuman dingin di sudut ruang. Sebotol vodka dikeluarkannya dari freezer. Dibukanya tutup botol lalu diteguknya sedikit. Biasanya dia memakai seloki, tapi entah di mana gelas kecil itu disimpan. Mungkin asisten rumah tangganya belum sempat mengembalikan ke ruang kerja ini.

"Try me, Ed." Vanessa mendesah.

Eden melirik perempuan itu. Vanessa sering menjawab secara ambigu. Try me, katanya. Mau coba apa? Menjelaskan tentang masalahnya, atau mencoba rasa tubuhnya? Karena jelas sekali Vanessa sedang merayu. Posisi tubuhnya menantang. Tatapannya menggoda. Cewek hiperseks, menurut Eden.

Tapi dia sedang tidak keberatan.

Eden mendekati sofa, botol berisi cairan bening itu masih di tangannya. Ia meneteskan sedikit di perut Vanessa, lalu turun dan menjilatinya. Segera saja tindakannya itu disambut dengan cengkraman erat di rambut. Eden tersenyum miring ketika Vanessa meraih pengaman dari sudut sofa. Salah satu syarat dalam hubungan mereka adalah selalu memakai pengaman. Ia tidak mau suatu hari nanti Vanessa datang bersama anaknya. Ia tidak mencintai perempuan ini.

Selama beberapa menit, mereka berpesta di sofa, lalu menjatuhkan diri ke karpet lembut dan akhirnya sama-sama terkapar.

Vanessa menyurukkan kepala ke dada Eden yang telanjang. Jemarinya memainkan rambut halus di otot hasil body building rutin yang dilakukan lelaki itu, lalu pindah ke jambang tipis di garis rahang, lalu membelai belahan bibir yang dia puja.

Eden memalingkan wajah. Tubuh dan pikirannya sekarang sama-sama lelah. Seks memang membuat beban hidup seolah hilang, tapi nyatanya tidak, kan? Besok dia tetap harus mencari klien baru. Harus menanyakan beberapa orang yang sedang mempertimbangkan harga jasanya. Dan memperpanjang iklan. Yang terakhir ini butuh dana.

"Napa sih, Ed? Kok melengos gitu!"

Dasar cerewet! Apa nggak bisa diam aja, ya? Eden berbalik memunggungi Vanessa. Cara paling gampang menyinggung perasaan perempuan adalah memberi isyarat bahwa mereka tidak diinginkan setelah berhubungan intim. Benar saja. Satu tinju menumbuk punggungnya, meski dia tidak merasa sakit sedikit pun.

"Ed!"

"Hm." Eden tidak mengubah posisi. Vanessa berdecak kesal.

"Aku pulang, ah!" ucapnya, lalu berdiri dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan. Eden masih tanpa busana saat ia keluar untuk mengambil pakaian baru dari lemari khususnya. Namun saat ia kembali, lelaki itu sudah berpakaian dan berdiri di dekat meja kerja. "Apa kita makan di luar?" Dia melirik pada jam digital mungil bewarna hitam di atas meja. Pukul tujuh lewat. Belum terlalu malam bagi mereka untuk pergi ke resto Italia kesukaannya.

"Nope. Pulang sendiri sana."

Vanessa mencibir sebal. "Pinjam mobil."

Eden meraih dompet kunci dari atas meja lalu menggesernya ke ujung meja. "Balikin besok," katanya sambil mata tetap memeriksa pesan-pesan masuk.

Nggak ada yang penting. Dia mengatupkan bibir rapat-rapat. Kecewa dan marah.

Sementara Vanessa memakai sepatu, Eden menenggak seteguk vodka lagi. Kembali dadanya dialiri rasa hangat. Disimpannya kembali botol bening itu ke dalam lemari pendingin, lalu melirik pada Vanessa yang sedang merapikan rambut secara asal. Entah kenapa, meski sudah jalan bersama selama tujuh bulan, dia belum bisa jatuh cinta pada wanita itu.

"Bye, Sayaaaaang!" Vanessa mengirim kecup jauh dari pintu, yang tidak dibalas Eden. "Ah ya, aku ada sesi di Bogor, tiga hari. Don't miss me, Dear!" Ia mengedip genit, lalu menghilang di balik pintu.

Eden mendengkus geli. Boro-boro jatuh cinta, kangen Vanessa pun tidak pernah. Kalau mau ketemu, ya ketemu saja. Kalau lagi sibuk atau suntuk, tidak usah. Hanya saja Vanessa selalu datang tiba-tiba, tanpa pemberitahuan. Begitulah tidak enaknya berkantor di rumah. Dia selalu ada di rumah.

Baru saja ia mematikan lampu, ponselnya berbunyi. Eden menyambar benda pipih itu dan sambil menutup pintu, keningnya berkerut membaca nama di layar ponsel.  

Om Subrata.

Mau apa direktur keuangan Romyn Solutions menghubunginya?

***

 

"Papa sakit?" Eden mengulangi berita dari lelaki lima puluhan yang duduk di seberang meja jati persegi. Subrata adalah orang kepercayaan Alex Romyn, ayahnya. Teman sejak ospek di kampus kuning dulu, katanya. Mereka satu angkatan, beda jurusan. Ayahnya dari jurusan arsitektur, sahabatnya ini dari jurusan akuntansi.

Subrata mengangguk. Dia mengamati anak muda yang duduk di seberang. Agak kurus, pikirnya. Kalau Alex tahu keadaan putra kesayangan ini, pasti sudah diseret pulang ke rumah besar mereka. Tapi dia pun tahu Eden keras kepala sekaligus keras hati. Padanan sifat sempurna untuk membuat orang tua mana pun keki.

"Sudah seminggu Alex nggak enak badan dan cepat capek. Om sudah minta dia check up, tapi ayahmu nggak mau dengar. Dua hari lalu terkena serangan jantung."

Subrata berhenti untuk melihat reaksi Eden, tapi yang dia dapat hanya tampang tak peduli dan sorot mata santai, seperti bukan baru saja mendengar berita tidak enak. Jangan-jangan Eden benar-benar tidak peduli lagi pada Alex? Subrata berharap dugaannya salah.

Eden menguap dengan sengaja, lalu menyandarkan punggung. Ditatapnya pria yang mulai beruban itu dengan pertahanan diri yang luar biasa kuat. Dia tidak ingin menunjukkan kepedulian apa pun. Toh, ayahnya tidak pernah memedulikan perasaannya.

"Hubungannya dengan saya apa, Om? Papa nggak minta aku pulang, kan? Atau jagain di rumah sakit? Pakai suster aja kalau mau ada yang nemenin tiap hari!" ujarnya cuek.

            Tatapan Subrata sulit sekali diartikan olehnya.

"Nggak, dia bukan mengharap itu dari kamu. Tapi soal Romyn Solutions."

"Kenapa Romyn?" tanyanya dengan alis berkerut. "Masih lancar kan proyeknya? Romyn mana pernah susah dapat klien atau proyek. Sedangkan saya," Eden mengangkat kedua tangannya, "baru aja kehilangan dua prospek." Dia tertawa miris.

"Begitu?" Subrata bersidekap, kepalanya mengangguk-angguk lambat. "Kalau gitu mungkin kamu tertarik tawaran Alex ini."

Mata Eden yang kecil itu semakin kecil saja saat ia menyipit. "Lanjut."

"Papamu sakit. Dokter melarangnya bekerja. Sementara kami Romyn Solutions, sedang punya dua proyek berjalan." Pria itu memberi jeda beberapa detik sebelum melanjutkan. "Om memegang salah satunya, tapi yang lainnya nggak bisa. Itu proyek khusus owner sama Alex. Kalau pihak owner puas dengan Viridian Hotel, Romyn akan dijadikan rekanan tetap."

Eden diam saja, masih tidak mengerti maksud kedatangan Subrata dan hubungan semua ini dengan dia.

"Viridian harus dipegang oleh orang kepercayaan Alex, yang benar-benar mewakili Romyn. Dan orang itu ya kamu."

Jemari Eden mengetuk-ngetuk lutut. "Maksud Om, saya jadi penanggung jawab Vi – apa tadi?"

"Viridian."

"Posisi saya?"

"Acting CEO."

Hanya satu kata yang terlintas di benak anak muda 27 tahun itu: Sinting!

Bagaimana mungkin Papa mengira dia akan mau meneruskan usaha keluarga setelah membuat hati anak satu-satunya ini terluka?

"No way," jawab Eden tegas.

Subrata sama sekali tidak terkejut. Dia sudah menduga reaksi si pemuda. Untunglah Alex sudah menyiapkan satu senjata pamungkas untuk membujuk putranya.

"Om tahu kamu nggak akur dengan Alex." Subrata  mencoba lagi. "Tapi ini bukan soal Alex saja. Ini tentang Romyn Solution. Owner Viridian cuma mau berurusan dengan Romyn. Dan kamu seorang Romyn."

"Saya nggak peduli. Lagian, nama aja nggak akan cukup, Om. Saya nggak tahu apa-apa soal proyek."

"Habis lulus S2 kamu sempat kerja dan dapat pengalaman di Melbourne, kan? Proyek-proyek yang cukup bagus,” kata Alex.

Eden diam. Memang betul dia cukup berhasil di ibu kota Negeri Kanguru itu, tapi sukses di negeri orang bukan jaminan bisa sukses di negeri sendiri. Dia cukup beruntung karena induk semangnya di Australia seorang arsitek. Karena itu dia sering diajak ikut dalam proyek-proyek Mr. Walter. Sedang di sini – siapa yang mengajaknya? Dia harus membuat iklan sendiri. Promosi sendiri. Jemput bola sendiri.

"Viridian harus segera jalan. Sebenarnya udah tahap finishing, tapi owner-nya sering berubah pikiran."

"Saya nggak mau besar-besarin perusahaan Papa. Mendingan saya fokus ke bisnis sendiri. Nggak ada lagi urusan saya sama Romyn dan tetek-bengeknya." Eden berkeras.

"Om tahu." Subrata diam beberapa saat, memilih kata-kata yang tepat. Kemudian ditatapnya anak muda yang duduk mengongkang kaki di sofa seberang meja. "Om tahu alasanmu marah. Tapi kamu nggak tepat sasaran, Eden."

Dengkus keras terdengar. "Om ini tahu apa? Cuma orang luar!"

"Om tahu kamu cuma mau bikin Alex marah, Ed. Tapi kamu salah sasaran." Subrata memberi tekanan pada dua kata terakhir.

"Peduli apa tepat apa enggak. Saya mau marah ya marah aja." Eden memalingkan wajah.

"Oke." Subrata menghela napas. Alex sudah bilang, Eden keras kepala. Untuk membujuk anak ini, mereka harus langsung masuk ke kebutuhan utamanya. "Oke. Kamu ingin mandiri, kan? Ingin melepas nama Romyn selamanya, katamu waktu itu ke Alex."

Eden tidak memberi respons. Duduknya tetap tenang, ingin tahu amunisi apa lagi yang sudah disiapkan ayahnya untuk membujuk. Enak juga di posisi ini, pikirnya. Sekarang dia bisa memutuskan setuju atau tidak. Dulu dia tidak ditanyai pendapat.

"Anggap aja ini proyek kamu. Benefitnya milikmu. Kamu bisa pakai untuk apa aja. Kalau pintar investasi, menurut Om sih kamu bisa cukup lama hidup tanpa bantuan finansial dari Alex, seperti yang kamu mau." Pria itu mencondongkan tubuh. "Selain upah setara gaji direktur, kamu bakal dikasih bonus kalau Viridian selesai tepat waktu dan tanpa komplain dari owner."

Eden mengerjap. Soal gaji sih dia sudah yakin pasti dapat. Tapi bonus?

"Bonusnya apa?"

"Uang. Dalam jumlah besar. Boleh dibilang, Alex rugi membagi bonus sebesar itu untuk deadline sependek itu. Cuma tinggal empat bulan, kok." Subrata menyandarkan punggung lebih santai. "Tapi kamu anaknya, dia bebas mau ngasih apa aja ke anaknya, kan?"

Papa lihai membujuk, pikir Eden. Dia memang ingin mandiri. Apalagi bonusnya  –

"Nilai proyek berapa?

"Tiga puluh em."

Eden bersiul. Hotel prestisius, berarti. "Bonusnya?"

"Alex bilang, tiga ratus."

Mata coklat Eden mengerjap dua kali. Tiga ratus juta untuk masa kerja empat bulan. Kapan lagi dia bisa mendapat kesempatan sebaik ini?

"Om sudah bilang, jumlahnya nggak masuk akal." Subrata menambahkan. "Tapi kamu anaknya. Saya bisa bilang apa."

Selama beberapa saat, Eden sibuk menghitung-hitung dalam hati. Tiga ratus juta. Dia bisa depositokan sebagian, lalu memakai sebagian lagi sebagai modal awal. Kalau dia beruntung, sebelum yang sebagian itu habis, dia sudah mendapatkan proyek sendiri.

"Saya punya tim, kan?" tanya Eden akhirnya setelah memantapkan hati. Tidak ada salahnya menerima. Toh ayahnya tidak akan ada di kantor. Dia hanya berhubungan dengan Subrata, sepertinya.

"Tentu. Nanti Om kenalin sama arsitek yang sejak awal memegang Viridian. Dia PM-nya. Alex percaya betul sama dia."

Pasti arsitek senior, pikir Eden. Bagus juga. Dia bisa menyerap ilmu dan pengalaman orang itu, Kalau Alex sangat percaya padanya, tentunya orang itu pandai.

"Oke."

Subrata tersenyum puas. "Emailmu masih yang lama?"

"Masih."

"Nanti malam Om kirim file Viridian. Pelajari dulu aja. Om beri waktu tiga hari. Lusa kamu ke kantor." Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar. Eden menyambut tangannya tanpa semangat.

"Selamat menjabat, CEO baru Romyn Solutions." Dia mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum ramah.

"Om jangan terlalu senang dulu. Saya cuma sementara aja, kan?"

"Tapi tetap seorang CEO, kan?"

Eden tidak menyahut. Diikutinya Subrata kembali ke mobil yang menunggu di carport. Petugas keamanan mengangguk hormat pada mereka. Saat Subrata sudah duduk di deret tengah, pria itu meminta sopirnya menunggu sebentar. Lalu ia membuka jendela.

"Kamu nggak ingin jenguk Alex, kan?"

"Nggak."

Eden pikir dia akan melihat raut kecewa, tapi dugaannya salah. Subrata malah kelihatan lega.

"Dia juga melarangmu datang sebenarnya. Jadi, syukurlah kalau kamu nggak ingin jenguk. Om nggak usah bersusah-payah melarang."

Sambil berjalan masuk ke rumah, Eden memikirkan kata-kata Subrata yang terakhir itu. Maksudnya apa, sih? Permainan psikologi? Orang cenderung melanggar larangan. Semakin dilarang, semakin dilakukan. Apakah itu trik ayahnya atau Subrata, supaya dia malah menjenguk? Atau memang Papa tidak ingin dia datang?

Persetan. Lagi pula, ini cuma permainan yang saling menguntungkan. Sebuah simbiosis mutulaisme. Dia membantu Alex mencapai target perusahaan, dan Alex memberinya uang.

Yang. Cukup. Banyak.

***