cover landing

The Fake Wedding

By Luckyniss


"Mei. Meisha. Meisharoh! Gue tau ya, lo ada di dalam. Mei!"

Meisha yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, berdecak kesal. Ia membanting ponsel di tangannya ke atas kasur lalu berjalan menuju pintu dan membukanya dengan kasar. Tamu tak diundang itu langsung saja masuk tanpa menunggu dipersilahkan.

"Lama banget sih, Mei!" seru pria dengan setelan seragam pabrik melekat di tubuhnya itu.

"Mau ngapain sih, Ka?" Meisha melipat tangannya di depan dada, menatap garang pria yang mengganggu waktu istirahatnya.

"Bagi foundation dong!" ucap pria bernama Raka itu, cuek. Ia berjalan masuk ke kamar Meisha lalu mulai mengacak-acak meja tempat Meisha meletakkan alat make up-nya.

"Kebiasaan! Beli dong! Nggak modal banget sih–eh Raka jangan yang itu! Lo gila, ya. Kemarin gue beli nunggu harbolnas di toko online, terus mau lo pake buat nutupin cupangan cewek lo di leher lo itu!" Meisha dengan cepat merampas foundation mahal itu. "Nih, pake yang biasa aja." Meisha menyodorkan foundation merek berbeda yang harganya dibawah sepuluh ribu rupiah.

"Pelit!" serunya lalu tetap melanjutkan kegiatannya menutupi warna merah di lehernya dengan foundation Meisha sedemikian rupa.

"Ya udah sana, minta sama cewek lo!" balas Meisha lalu kembali merampas foundation itu dari tangan Raka.

Raka yang kebetulan sudah berhasil menutupi kissmark di lehernya itu, lantas menyunggingkan senyum miring. "Kayaknya Rika nggak pakai gitu-gituan deh. Wajahnya cantik alami.”

"Terserah lo, deh!" balas Meisha tak mau memperpanjang. Lebih tepatnya menghindari perasaan sedihnya mendengar Raka membandingkan ia dengan pacarnya. "Udah sana berangkat, nanti lo telat!"

"Perhatian banget sih!" Raka mencolok dagu Meisha, menggoda gadis itu. Bukannya bergegas berangkat bekerja, Raka malah duduk di atas tempat tidur Meisha yang berkapasitas satu orang itu.

"Bukannya gitu, nanti lo telat gaji lo dipotong, kan sayang!" balas Meisha.

"Sama gaji gue aja, sayang. Sama gue, nggak sayang juga?"

Meisha memutar bola matanya dengan malas.

"Lagian gue juga sayangnya sama Rika!" seru Raka menyebalkan.

Meisha menghentakkan kakinya dengan kesal. Tiba-tiba saja ia merasa gerah setelah kedatangan Raka. Diliriknya jam dinding di kamarnya itu, rupanya jam kerja Raka masih tiga puluh menit lagi. Jadwal Raka bekerja minggu ini di shift tiga, masuk jam sepuluh malam dan pulang jam tujuh pagi. Raka bekerja di sebuah pabrik sepatu sebagai team leader.

Melihat Raka malah asik melakukan panggilan dengan pacarnya, membuat Meisha memutuskan untuk keluar dari kamar kosnya yang hanya satu petak itu. Bangunan indekosnya yang terletak di pemukiman penduduk itu memang minimalis. Kamar kosnya sendiri berada di lantai dua dengan tiga kamar berderet. Lantai bawah merupakan rumah pemilik kos yang tak lain masih saudara dengan Raka. 

Sedangkan Raka yang seperti tidak punya rumah—karena menelpon pacar di kamar kos orang lain—itu tinggal di sebuah rumah depan bangunan indekos Meisha. Pria berusia satu tahun di atas Meisha itu tinggal seorang diri, ibunya bekerja di luar negeri sebagai TKW Sedangkan ayahnya, Raka juga tidak tahu di mana ayahnya berada.

Sejak kecil Raka memang tidak mengenal ayahnya. Ia hanya tinggal bersama sang Ibu. Orang tuanya bercerai sejak Raka dalam kandungan. Penyebabnya apa, Raka juga tidak tahu. Namun, Ayah Raka tetap bertanggung jawab atas kebutuhan hidup Raka. Mengirimi uang untuk makan dan pendidikan Raka hingga Raka menyelesaikan kuliahnya.

"Ngapain Mei di luar?" tanya Raka yang sudah selesai bertukar kabar dengan Rika.

"Nggak usah ganggu!"

"Apaan lo aja cuma scroll timeline instagram aja tuh," jawab Raka dari balik punggung Meisha.

"Eh, nggak sopan ya lo ngintip-ngintip!" balas Meisha galak dan berusaha untuk menjitak kening Raka. Namun, Raka dengan cepat menghindar.

"Mei, besok pagi lo, free? Ikut gue yuk!"

"Kemana?"

"Cari alamat bokap."

"Ngapain, lo? Gue bilangin nyokap lo, mau?"

"Bilangin aja. Emang salah seorang anak pengen ketemu dengan bapaknya sendiri?" balas Raka.

"Nggak usah sok polos deh, Ka. Yang ada lo bikin rusuh di keluarga bokap lo!"

"Lagian kenapa sih mesti dilarang? Gue cuma minta hak gue kok. Kalo gue dapet warisannya nungguin doi meninggal terus kapan gue nikahin Rika, Mei?"

Meisha sudah tidak bisa menjawab lagi kala Raka berkata menunggu waktu sang ayah akan meninggal. Tidak ada bedanya dengan dirinya yang bertepuk tangan saat ayahnya ditangkap polisi dan hingga kini mendekam di penjara karena tertangkap basah menjadi pengedar narkoba. Mungkin terdengar kejam, tapi Meisha merasa ayahnya adalah titisan tokoh jahat dalam drama azab.

Meisha hanya seorang gadis perantauan dari desa. Beruntung Meisha pintar, hingga mendapat beasiswa di perguruan tinggi negeri di Jakarta. Ayahnya ditangkap polisi saat ia lulus SMA. Ia kemudian sengaja melarikan diri dari kampung halamannya, meninggalkan sang Ibu yang bertahan disana, karena masih ada rumah dan satu petak sawah yang harus dijaga.

"Ayolah Mei, nanti kalau dapat, gue bagi deh. Kata nyokap, doi kaya raya banget Mei." Raka membujuk Meisha. Matanya menatap langit-langit kamar indekos Meisha. Menerawang masa depannya yang akan bergelimang harta setelah mendapat warisan itu.

"Lo kan bisa kerja sendiri, posisi lo sekarang juga bagus. Kenapa harus mengharapkan warisan dari bokap lo. Memangnya Rika nggak mau menerima lo apa adanya, tanpa warisan itu?"

"Hey jangan sembarangan Anda bicara!" seru Raka mengetukkan jari telunjuknya ke bibir Meisha. Meisha sampai terdesak ke pegangan balkon karena terus memundurkan tubuh. "Rika nggak seperti itu. Justru gue yang mau memberikan yang terbaik buat Rika. Gue mau Rika hidup berkecukupan setelah menjadi istri gue nanti. Seperti sebagaimana orang tua dia membesarkan dia dengan baik."

Meisha mengangguk pelan seiring Raka yang juga kembali memundurkan tubuh. Rika memang sosok wanita baik, sejauh Meisha mengenalnya. Rika yang datang dari kalangan borjuis itu tidak segan bergaul dengannya. Rika sosok rendah hati yang menyayangi Raka dengan tulus. Ya, Meisha mengakui semua kebaikan Rika itu meski masih saja cemburu melihat kebahagiaan Raka dan Rika.

"Woy! Malah ngelamun!"

Meisha tersentak, begitu tersadar, wajah Raka hanya berjarak lima senti saja dari wajahnya. Dengan perasaan berdebar, Meisha mendorong wajah Raka menjauh. Namun, tanpa Meisha duga, Raka malah menahan posisi wajahnya.

"Mau kan, Mei?" tanya Raka berbisik.

Meisha merasakan wajahnya memanas. Dalam hati berharap, gelapnya malam ini mampu menyembunyikan pipinya yang mungkin bersemu. Sial! Kenapa Raka hobi sekali membuatnya salah tingkah?

"Mau, ya …." Raka memohon.

"Ma–mau apa?"

"Bantu gue cari bokap!"

"Ng–Nggak!"

"Mau!"

"Nggak Raka!" seru Meisha kemudian berhasil melepaskan diri dari Raka.

"Lo harus mau!" Raka memaksa.

 Baru Meisha akan kembali membantah, ponsel di tangannya bergetar. Sebuah panggilan masuk membuatnya tersenyum lebar. Meisha menunjukkan pada Raka layar ponselnya yang terpampang nama kekasihnya.

"Yoga telpon nih! Udah pergi kerja sana!" usir Meisha pada Raka lalu segera masuk dah mengunci pintu kamarnya.