cover landing

The Crown of The Heart

By Myka Fadia


“Wisudawan wisudawati terbaik dan tercepat dengan predikat cumlaude menempatkan diri. Persilakan tampil ke depan untuk menerima peghargaan.”

Acara sakral yang tadinya hening tiba-tiba menjadi riuh karena tepuk tangan dari wisudawan wisudawati yang hadir di gedung auditorium berlantai dua itu. Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati berpredikat cumlaude dipanggil oleh sang pembawa acara.

Tak terkecuali, gadis berparas rupawan dengan balutan kebaya modern serta baju toga yang membuatnya tampak semakin anggun. Sedari tadi, gadis itu tak henti-hentinya merapalkan doa untuk mengurangi nervous-nya. Meskipun, ini bukan pertama kalinya ia mendapat predikat cumlaude, tetapi tetap saja rasa gugup nan gelisah masih mendekap perasaannya. Berkali-kali, ia mengusap pelipisnya yang mengeluarkan keringat dingin, lalu menghela napas panjang, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk menenangkan perasaannya.

“Mutiara Putri Ambarawati S. AB., program pascasarjana Magister  Admnistrasi Bisnis.”

Mendengar namanya dipanggil, gadis bernama Mutiara itu bergegas maju dan segera menempatkan diri di depan podium untuk mendapatkan penghargaan khusus, setelah berhasil menyelesaikan pendidikan strata duanya selama satu tahun lebih. Senyumnya tiada henti ia sunggingkan untuk mengurangi rasa gugup.

***

Setelah acara wisuda berakhir, wisudawan wisudawati berbondong-bondong keluar dari gedung auditorium. Wajah mereka tampak semringah menyambut hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua mahasiswa. Di mana mereka dinyatakan lulus dan berhasil menyelesaikan tugas akhir yang begitu menyesakkan.

Tiara mengedarkan pandangan. Tersenyum samar tatkala melihat beberapa wisudawan wisudawati tengah asyik berswafoto atau berfoto bersama teman dan kedua orang tuanya. Ada kebahagiaan yang terpancar di mata mereka. Gadis itu menghela napas sejenak. Rasa iri diam-diam merayap ke dalam hatinya ketika melihat wisudawan wisudawati datang bersama kedua orang tua mereka. Sebenarnya, ia juga ingin merasakan bagaimana rasanya didampingi oleh orang tua ketika melewati hari yang sangat bersejarah dalam hidup ini. Namun, mengingat posisinya saat ini, semua itu terasa mustahil.

“Tiara!” Suara berat milik seorang pria yang muncul dari kerumunan wisudawan wisudawati membuat Tiara mengalihkan pandangannya seketika.

Dahi gadis itu mengernyit. Menajamkan penglihatan ketika mendapati seorang pria paruh baya tengah berjalan menghampirinya. “Papa?”

Wajah Tiara tampak semringah. Senyumnya mengembang tatkala melihat orang yang paling ia nantikan akhirnya datang ke acara yang sangat bersejarah dalam hidupnya. Pria itu masih sama seperti biasanya, tampak tampan nan wibawa dengan setelan jas hitam dan sepatu berwarna senada yang selalu mengkilat.

Tiara menghambur ke dalam pelukan pria tersebut. Ia tak mampu membendung air mata yang telah ditahannya sejak tadi. Sedangkan, sang ayah mengecup puncak kepalanya berkali-kali, seolah-olah mengatakan bahwa ia sangat bangga melihatnya lulus dengan nilai yang dapat dikatakan hampir mendekati sempurna.

Tiara melepas pelukannya. Menerima sebuket bunga yang diberikan oleh Adhy, kemudian menghirup aromanya dalam-dalam. Ia menatap lekat netra dengan iris hitam milik sang ayah yang diwariskan kepadanya. “Papa datang ke sini?” tanyanya tak percaya. Semua terasa seperti mimpi bagi gadis yang usianya akan genap dua puluh empat tahun itu.

Selama ini, Adhywiyatsa Bratawijaya—pria paruh baya itu—berusaha menyembunyikan keberadaan serta identitas Tiara agar tak terendus oleh media. Bahkan, saat wisudanya setelah menempuh pendidikan S1 setahun lalu, Adhy tidak datang. Namun, hari ini, secara terang-terangan, pria itu datang ke acara wisuda dan menyerukan namanya dengan lantang, seakan-akan di sana hanya ada mereka berdua.

Adhy tersenyum simpul. “Tentu saja. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagi putri kebanggan papa. Bagaimana mungkin papa tidak datang?” Adhy membelai lembut pipi Tiara. Wajah sang putri tampak berseri-seri melihat kedatangannya, mengingatkan ia kepada wanita yang sampai saat ini masih bersemayam di atas singgasana hatinya. “Hitung-hitung, ini sebagai ganti karena papa tidak pernah datang di acara kelulusan kamu selama ini.”

Tiara kembali memeluk tubuh Adhy yang terbilang masih kekar, meski usianya hampir menginjak kepala enam. Ia membenamkan kepalanya ke lekukan leher sang ayah, mencoba menyalurkan rasa rindu yang telah ia pendam selama berminggu-minggu, tanpa memedulikan tatapan bingung, terkejut serta menyelidik yang dilayangkan oleh orang-orang di sekitar mereka. Tentu saja, mereka sangat tahu siapa pria yang sedang berpelukan dengan seorang wisudawati pascasarjana peraih predikat cumlaude itu. Mungkin mereka bertanya-tanya, ada hubungan apa gadis itu dengan direktur utama Bratawijaya Group.

***

“Papa sudah memutuskannya.” Adhy mengembuskan napas panjang. Mengalihkan tatapannya ke arah Tiara yang duduk di kursi samping kemudi.

Tiara mengernyit, bingung dengan arah pembicaraan sang ayah. “Maksud Papa?”

“Papa akan mengajak kamu untuk tinggal di rumah papa dan…” Adhy mengusap lembut rambut sang putri yang masih tersanggul rapi, “Mengenalkan kamu sebagai putri papa. Setelah itu, kamu bisa bekerja di Bratawijaya Group.”

Gadis itu mengulum senyum lebar, membuat parasnya semakin menawan. Matanya tampak berkaca-kaca, tak kuasa menahan haru. “Benarkah, Pa?” Tiara hampir saja melonjak saking bahagianya. Akhirnya, penantian yang dia lakukan selama delapan belas tahun tak terbuang sia-sia. Sedikit lagi. Ya, sedikit lagi dia akan membalas rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh mendiang ibunya.

Adhy tersenyum simpul. Tak pernah sekali pun ia melihat wajah Tiara sebahagia ini. “Apa kamu sangat bahagia?”

Tiara mengangguk semangat. “Tiara sangat bahagia, Pa,” ujarnya antusias. Senyum gadis itu tak memudar barang sejenak.

Adhy merengkuh tubuh Tiara ke dalam pelukannya. Mengecup puncak kepala putri kesayangannya berulang kali. Mereka tak sadar bahwa ada seseorang yang mengamati setiap gerak-gerik mereka sejak tadi.

***

Seorang pria jangkung dengan setelan jas hitam tampak berjalan tergesa-gesa memasuki sebuah gedung pencakar langit di bilangan Jakarta Pusat. Bahkan, sapaan karyawan yang berlalu-lalang tak ia hiraukan sama sekali.

Daffa Agustin Firmansyah—pria jangkung itu—memasuki sebuah ruangan yang terbilang besar di perusahaan tersebut, setelah sebelumnya mengetuk pintu terlebih dahulu dan mendapat izin dari sang empunya ruangan.

“Ada apa, Daf?” tanya seorang pria di balik kursi kebesarannya. Meskipun tahu bahwa ada seseorang di dalam ruangannya, pria itu tak kunjung memutar kursinya yang saat itu tengah membelakangi pintu. Tampaknya, ia tengah menatap lalu-lalang kendaraan di bawah sana dari jendela besar.

“Lo harus lihat ini, Var.” Daffa mengangsurkan sebuah amplop berwarna cokelat di atas meja kaca itu.

Perlahan, kursi itu berputar menghadap ke arah Daffa, menampakkan sesosok pemuda jangkung yang tak kalah tampan dengannya. Pria itu melirik sekilas ke arah sekretaris sekaligus sahabatnya itu sebelum meraih amplop tersebut. “Apa ini?”

“Buka saja. Nanti, lo akan tahu sendiri.”

Alvaro Putra Bratawijaya—pria itu—berdecih pelan, lalu membuka amplop tersebut. Matanya membeliak sesaat ketika mengetahui isi di dalam amplop cokelat tersebut. Amplop itu berisi beberapa lembar foto. Foto yang menujukkan papanya tengah memadu kasih dengan seorang gadis belia.

Varo meremas foto-foto tersebut dengan geram, lalu melemparnya ke sembarang arah. Rahang kukuhnya tampak mengeras, menahan emosi yang menggebu-gebu di dalam dada.

“Cari informasi tentang wanita ini secepatnya dan jangan katakan apa pun tentang wanita ini kepada mama. Sebentar lagi, ulang tahun pernikahan mereka. Gue enggak mau merusak kebahagiaan mama.”

***