cover landing

The Bad Guy

By ami_shin


Prolog

 Wartawan tampak berkerumun di depan Polres Metro Jakarta Selatan. Begitu lima orang laki-laki dengan kedua tangan yang terpasang borgol dan wajah yang babak belur keluar secara bergiliran dari dalam mobil Van dan di kawal oleh beberapa polisi, kerumunan wartawan itu serentak berlarian menuju mereka. Kilatan blitz mulai mengarah ke wajah-wajah kelima orang tersebut hingga masing-masing dari mereka menunduk untuk menyembunyikan wajah.

Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari setiap wartawan yang saling berebut mencari informasi dari kasus tersebut. Salah satu polisi meminta mereka bersabar dan meminta waktu sebelum melakukan konferensi pers mengenai kasus narkoba yang sedang marak di perbincangkan masyarakat saat ini, di mana kelima pelaku sudah berhasil di tangkap.

Sebuah mobil kembali berhenti di belakang mobil Van yang tadi membawa kelima pelaku, lalu keluarlah sosok laki-laki berkemeja putih dan celana denim hitam dari mobil tersebut. Raut wajah tegasnya terlihat sangat dingin saat dia hanya melirik sekilas pada kerumunan wartawan yang membuat kelima pelaku yang baru saja dia ringkus bersama timnya kesulitan untuk melangkah.

Laki-laki itu memberikan kode keras dari tatapannya pada salah satu anak buahnya yang langsung mengangguk mengerti dan cepat-cepat membawa kelima pelaku untuk segera masuk ke kantor.

Dia adalah Leo Hamizan. Seorang perwira yang biasa mengurus kasus-kasus besar di bawah perintah Komandan Basri. Leo dikenal sebagai si Jenius kesayangan Basri karena keberhasilannya menyelesaikan banyak kasus besar. Dia gesit, cerdik juga rapi dalam menyelesaikan semua kasus-kasus yang dia tangani. Dengan tampang rupawan dan gaya cool yang memesona, dia hampir mencapai kata sempurna untuk seorang perwira andai saja dia juga sangat mentaati aturan.

Leo melangkah cepat melewati kerumunan itu, beberapa wartawan hanya meliriknya saja tanpa mau meminta informasi padanya karena percuma. Seluruh wartawan sangat tahu bagaimana perangai Leo Hamizan yang selalu enggan berhadapan dengan mereka. Setiap kali ditanya, dia hanya akan mengatakan kalau anggotanya akan memberikan keterangan. Hanya itu. Selebihnya dia akan menutup rapat mulutnya dan melemparkan tatapan dinginnya yang tampak sangat terganggu dengan seluruh orang yang mengerubunginya. Maka itu, seluruh wartawan sudah tidak pernah lagi mau mencoba mewawancarainya.

Sombong? Biarkan saja, pikirnya. Dia tidak hidup dan makan untuk si pemburu berita melainkan, untuk meringkus penjahat-penjahat sialan yang membuat resah masyarakat.

Dering ponsel di sakunya membuat Leo mengambil benda pipih itu dan mencebik pelan melihat nama seseorang di layar ponselnya. “Halo?”

[Kamu gak apa-apa?]

Pertanyaan bernada cemas yang sudah sering Leo dengar itu membuat Leo ingin memutar matanya. “Aku gak apa-apa.”

[Gak ada yang luka, kan? Aku baru lihat berita, itu mereka sampai babak belur pasti tadi kamu berantem sama mereka. Aku tau kamu jago berantem tapi—]

“Re, aku sibuk. Nanti aja kalau mau telfon.” Leo memutuskan sambungan telepon. Dia tahu, Rere, tunangannya itu tidak akan menelepon lagi kalau dia sudah mengatakan kata sibuk padanya.

Leo hampir saja mencapai undakan tangga di depan kantor saat tiba-tiba seorang perempuan yang tampak lusuh dengan keringat di wajahnya menghadang langkahnya. Alis Leo mengernyit terganggu menatap perempuan yang lumayan dia kenali itu.

Dwi Almira. Seorang wartawan dari salah satu stasiun televisi yang paling menyebalkan bagi Leo. Almira memang Wartawan yang paling dikenal di negara ini sejak dua tahun terakhir. Dia berani memberikan statement tajam untuk pejabat penting sekalipun.

Tidak gentar dengan banyak kontra dan ancaman yang ditujukan padanya. Usianya masih cukup muda, dua puluh lima tahun, berbeda dua tahun dari Leo. Almira pernah kembali memunculkan satu kasus besar kepermukaan yang sengaja ditenggelamkan oleh oknum-oknum badan penegak hukum.

Almira ini satu-satunya wartawan yang masih berani meminta Leo untuk diwawancarai. Berkali-kali mendapatkan perlakuan dingin Leo tidak membuat Almira jera.

“Pak, bisa minta waktunya sebentar?” tanya Almira. Tangannya sudah mengulurkan voice recorder kehadapan Leo.

Leo menatapnya dingin. “Nanti ada konferensi pers.”

Almira mengangguk mengerti. “Saya tau, tapi saya butuh informasi langsung dari Bapak.”

“Kamu bisa tanyakan pada anggota saya di sana.”

“Sudah ada rekan saya juga kok Pak di sana. Tapi yang saya butuhkan ada di Bapak. Bapak yang memimpin tim untuk kasus ini. Yang ingin saya tanyakan, apakah gembong narkoba—

“Kamu gak dengar tadi saya bilang apa?” suara dingin Leo terdengar semakin tajam hingga Almira mengatup mulutnya lagi. “Minggir!

Mira memberenggut. Lalu menepi ke samping dan mengamati Leo yang melewatinya dengan gaya tenangnya yang menawan. Perempuan bertubuh lumayan pendek dengan rambut sebatas bahu itu mengembuskan napasnya kuat hingga poni di dahinya bergerak ke atas. Kedua matanya menyipit kesal menatap punggung Leo yang mulai menjauh. “Dasar pelit!” umpatnya pelan.

***

 

BAB SATU

 

 Leo naik ke ruangannya yang berada di lantai dua. Sebuah ruangan persegi yang lumayan luas untuk dia dan timnya. Ada sebuah ruangan khusus milik Komandan Basri. Satu meja khusus tersendiri untuknya, empat kubikel, satu meja dengan tiga kursi yang sering digunakan untuk meminta keterangan pada pelapor maupun terlapor dan satu meja panjang yang digunakan untuk meeting.

Begitu dia berada di sana, Komandan Basri langsung memanggilnya ke ruangan.

“Gimana?”

“Aryo masih belum tertangkap, Ndan.”

“Ah, tai lo!” maki Komandan Basri. “Lo sendiri yang bilang kalau operasi kali ini gak bakalan gagal!” Komandan Basri menghempaskan dirinya ke atas kursi dengan wajah geram. “Lo tau, kan, media lagi pada ribut sama kasus ini? Kita gak bisa ngulur waktu kaya gini, Leo! Bisa makin abis nama kepolisian di mata masyarakat.”

Leo menarik napas panjang. Leo tahu, akhir-akhir ini kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum memang sangat minim. Apalagi kasus yang dia pegang saat ini sedang ramai-ramainya diperbincangkan.

Aryo Pratama, salah satu anak pejabat yang ternyata menjadi gembong narkoba terbesar di Jakarta sudah menjadi buron sejak dua minggu yang lalu. Aryo sangat licin, banyak oknum yang akan menutupi keberadaannya. Desas-desus mengenai Aryo sudah lama berembus di kepolisian, tapi tidak ada yang berani memprosesnya. Apa lagi belum ada laporan. Leo pun tahu tentang itu, saat dia bertanya pada Komandan Basri, atasannya itu hanya bilang tetap diam, kecuali ada laporan, Komandan Basri meminta Leo menahan diri karena tahu seperti apa orang-orang yang berada di balik Aryo.

Leo menurutinya. Kemudian muncul sebuah laporan mengenai kasus Aryo, membuat kepolisian ribut dan juga tegang. Komandan Basri ingin menolak kasus dan melimpahkannya pada tim lain. Sayangnya, Leo tidak setuju dan meminta tim merekalah yang mengurusnya.

“Ada informasi yang bocor kali ini,” cetus Leo.

“Masyarakat gak ada yang peduli sama alasan itu. Mereka cuma mau Aryo tertangkap dan kita bisa membuktikan gak tebang pilih nyeret orang ke penjara. Lagian kenapa lo bisa seceroboh ini sih? Kita udah koar-koar ke media kalau Aryo pasti dapat hari ini, yang lo bawa malah anjing-anjingnya. Buat apa? Penjara gak menyediakan daging busuk buat mereka!”

“Oke, gue minta waktu lagi, Ndan.”

“Waktu terus yang lo minta tapi gak ada yang bisa lo kasih sama gue. Capek gue nerima telfon terus dari tadi gara-gara lo.”

“Kali ini gak akan gagal.”

“Apa jaminannya?

“Gue.”

Komandan Basri mendengus. Mengumpat sekali lagi karena dia tahu, menjadikan Leo jaminan sama saja seperti dia yang harus merangkak di kaki Leo karena tidak mau kehilangan anak buah kesayangannya itu.

 “Dua hari. Lo cuma punya waktu dua hari. Kalau lo gak bisa juga beresin kasus ini selama dua hari, lo harus keluar dari kasus ini.”

“Oke.”

“Keluar lo! Urusin anjing-anjingnya si Aryo, males gue lihat muka mereka.” Basri melirik ke luar. Ruangannya memang disekat kaca yang membuatnya bisa melihat keluar di mana kelima pelaku sedang berdiri berjajar dihadapan tiga anak buah Leo dan empat petugas lainnya.

Begitu keluar dari ruangan komandan Basri, Leo bergegas menghampiri kelima pelaku bertubuh tegap yang berdiri dengan wajah sombong menatapnya. Leo mendengus lalu duduk dipinggir meja menghadap mereka, tangannya bersedekap selagi matanya mengamati satu per satu dari mereka semua.

“Saya gak mau main kasar lagi sama kalian. Sekarang kasih tau di mana keberadaan Aryo.”

Leo diam sejenak menunggu jawaban, tapi tidak ada satu pun yang mau menjawab.

“Heh, pada punya mulut gak kalian?!” bentak Adi, salah satu anak buah Leo.

“Lo gak lihat mulut kita ada di mana memangnya, Njing?!” balas salah satu laki-laki berambut gondrong yang sebelah matanya sudah membengkak akibat pukulan.

“Eh, kurang ajar ya mulut lo!” Adi sudah akan merangsek maju tapi Leo melempar tatapan protesnya.

Saat Adi kembali ketempatnya, Leo yang beranjak dari duduknya kemudian meninju sebelah mata lelaki berambut gondrong itu yang terlihat masih normal, lalu Leo mencengkeram rahang lelaki itu. “Kamu memang gak bisa diajak bicara baik-baik kayanya! Tama, periksa di tas mereka ada apa aja.”

“Sabu sama rokok, Pak.”

“Nyalain rokoknya!”

Tama melaksanakan apa yang Leo perintahkan, lalu memberikan sebatang rokok pada Leo.

Leo berdiri di hadapan kelima orang itu, menatap mereka semua dengan tatapan tajam yang tidak besahabat. “Ini terakhir kalinya saya tanya, di mana Aryo?”

Masih sama. Mereka tetap bungkam.

Leo menyeringai kejam, lalu menarik kerah salah satu dari mereka. “Kamu juga gak mau jawab?” laki-laki itu meludah ke arah lain dengan wajah bengis. Membuat Leo tanpa berpikir dua kali mencengkeram rahang laki-laki itu dan menyentuh bibirnya dengan ujung rokok yang sudah menyala.

“Aaarrghhhh!” teriak laki-laki itu. tubuhnya meronta hingga salah satu petugas menahan tubuhnya agar tidak bergerak.

Leo menghadiahi bibir laki-laki itu dengan empat luka bakar dan satu tinjuan di hidungnya. “Masih gak ada yang mau jawab?!”

Leo meminta pemantik dari Tama, saat dia menyalakan benda itu, ketiga anak buahnya saling lirik dan menelan ludah. “Pegangin mereka!”

Adi, Tama dan Fiona menatap ragu atasan mereka. Mereka tahu Leo bukan orang yang hanya senang mengancam. Sudah sering mereka melihat banyak pelaku kejahatan yang menjerit meminta ampun pada Leo, ketika pria melakukan hal-hal gila pada mereka.

“Kalian gak dengar?!” bentak Leo.

“Siap, Pak!” jawab mereka serentak dan langsung mengambil tempat dibantu keempat petugas lainnya, memegangi masing-masing dari kelima orang tersebut.

Pemantik yang menyala itu Leo perlihatkan satu per satu pada mereka, “Kalian harus tau, gimana rasanya kehilangan keluarga karena barang haram yang kalian jual ke masyarakat.” Tangan Leo berhenti di depan salah satu dari mereka, lalu dia mengarahkannya di bawah dagu salah satu dari mereka hingga terdengar jeritan kuat darinya.

Kalau anak buahnya terlihat meringis dan memalingkan muka, Leo malah terlihat tenang dan sangat menikmati apa yang dia lakukan.

“Eh, Anjing! Gue bisa tuntut lo kalau gini caranya!” maki laki-laki berambut gondrong itu lagi.

Pemantik di tangan Leo kembali mati, saat Leo melirik tajam laki-laki itu, sedetik setelahnya menghajar laki-laki itu dengan membabi buta hingga terseok di atas lantai.

“Pa-pak, udah Pak... udah... ampun....

Bahkan rintihan laki-laki itu sama sekali tidak membuat Leo iba dan malah menjambak rambutnya agar wajahnya menengadah. Leo kembali menyalakan pemantik di tangannya. Saat pemantik itu semakin mendekati wajah laki-laki itu, dia langsung berteriak kuat.

“Jangan, Pak! Tolong... saya tau di mana bos.”

“Di mana?” tanya Leo masih dengan wajah tenangnya.

“Pe-pelabuhan Ta-Tanjung Priok. Bos mau melarikan diri ke Taiwan malam ini.”

Leo melepaskan tangannya dari rambut laki-laki itu dan mematikan pemantik di tangannya. “Urus mereka!” perintahnya pada keempat petugas yang berjaga. “Fiona, beritahu pihak pelabuhan dan minta mereka perketat pemeriksaan.”

“Siap, Pak!”

“Adi, siapkan anggota yang lain untuk operasi malam ini.”

“Malam ini, Pak?”

“Kamu bisa pulang kalau keberatan.”

“Eng-enggak kok, Pak, enggak. Laksanakan, Pak!”

“Tama, kamu pastikan gak ada yang bisa bertemu salah satu dari lima orang itu sebelum Aryo tertangkap. Selain saya, gak ada yang boleh nemuin mereka. Kamu ngerti?”

“Siap, Pak!”

Leo mengangguk puas. Malam ini bajingan itu harus berada di tangannya.

***