cover landing

Tangis Senyap di Balik Kerudung

By Elya Ra Fanani


Langit biru. Awan putih. Sinar mentari musim semi yang berwarna emas. Juga lekukan bayang-bayang pohon gynko yang menaung di atas trotoar jalanan kota Seoul. Aku menapakkan kaki menginjaki bayang-bayang pepohonan yang berdiri sepanjang trotoar. Menikmati udara segar di musim semi. Bersama alunan musik dari band indi yang sedang memeriahkan pelaksanaan festival musim semi di depan gedung raksasa stasiun televisi terbesar Korea, stasiun televisi SBS (Seoul Broadcasting System) yang terletak di Mokdong.

Tak terasa sudah hampir empat tahun aku berada di negeri penuh warna-warni ini. Dan yang paling sering kurasakan adalah kerinduan. Benar. Aku merasakan kerinduan. Merasakan sebelenggu rasa yang berpaut dalam memori. Rasa inilah yang menemani tahun-tahunku di Korea Selatan. Teman dalam setiap mimpi-mimpi dan ilusi. Temanku bersemayam di kala sang dewi malam datang memelukku dalam batas kenangan yang tak pernah padam.

Kurindukan kampung halaman. Kurindukan Indonesia yang menjadi tempatku lahir dan dibesarkan. Kurindukan pelukan Abi. Kurindukan masakan Umi. Kurindukan tutur lembut saudara lelakiku, Mas Zaidan. Tak lupa, kurindukan sedikit waktu yang kuhabiskan sebagai mahasiswa Kampus Garuda. Dalam waktuku yang sebentar di sana itu, dua sosok lelaki hadir layaknya pelangi cerah di tengah mendungnya awan dan gemuruh siang.

Itu semua menjadi ingatan yang gemilang. Waktu singkatku di Kampus Garuda. Menjadi kenangan yang akan abadi bersama mimpi-mimpi yang melambung di andromeda. Yang menjadikanku seperti sekarang. Yang mengawali perjalanan panjangku ke negeri ginseng dengan sebelenggu kisah yang kutapaki.

Semua ingatan yang terlintas itu membuat langkahku terhenti. Kusandarkan punggungku pada batang pohon gynko yang tinggi dan kokoh. Kurasakan segenap perasaan rindu yang datang menghampiri. Kunikmati kerinduan itu. Kunikmati rasa yang hadir dalam kalbuku. Membuat kedua pelupuk mataku terasa dingin. Seakan-akan aku melihat orang-orang yang kurindukan menari-nari di depan mataku dengan menguntai senyuman indah bak mentari. Ahh, aku sedang berhalusinasi. Penyakit rindu yang kurasakan ini membuatku sering menghalu.

Itu hanyalah ilusi. Abi, Umi, Mas Zaidan, dan seseorang itu yang tampak menari-nari di depanku hanyalah ilusi belaka karena aku sangat merindukan mereka.

Seperti sebuah kebiasaan, setiap kali aku teringat rumah, satu ingatan lagi terlintas. Kubuka smartphone-ku. Sekali lagi, aku memeriksa email. Memeriksa pesan-pesan email sudah menjadi semacam rutinitasku di negeri pengasingan ini. Aku ingin memeriksa saja apakah pesan email yang kukirimkan pada seseorang empat tahun lalu mendapat balasan atau tidak.

Balasan email itu yang aku tunggu-tunggu. Bersama kerinduanku. Bersama rasa sesal dan segelimang rasa yang tak dapat kudeskripsikan. Aku mengharapkan balasan email itu. Hari-hari aku beharap dan menunggu. Selama lebih dari empat tahun kutunggu balasan email darinya. Namun, yang kurasakan hanya perasaan kecewa. Nyatanya pesan email yang kukirimkan empat tahun lalu tak kunjung mendapat balasan. Aku bahkan tak mendapat tanda-tanda apakah email-ku itu pernah sampai padanya.

Sekali lagi napas panjangku berembus. Kumasukkan kembali smartphone ke dalam tas bahu. Kemudian kuambil sebuah buku di dalam tasku.

Ini buku diariku. Buku yang menjadi saksi semua perjalananku sampai di negeri ini. Sekaligus buku yang bersedia menampung segala keluh kesah yang kurasakan.

Kubuka buku diari itu. Kubaca setiap goresan pena di atas kertas warna kuning kecoklatan dalam buku diariku. Membaca setiap lembarnya. Bernostalgia bersama cerita dalam buku diari yang membuat ingatanku menari-nari gemulai. Membuatku tersenyum merekah begitu melihat dua nama lelaki yang sering kutuliskan dalam buku diari ini.

Mimpi. Harap. Cita-cita.

Seperti awan mendung, suara gemuruh, rintik hujan, dan busur pelangi.

Tak apa aku bermimpi tinggi-tinggi. Karena jatuh, aku yang tanggung sendiri.

Aku telah melalui sejerumus luka yang menyiksaku dalam melodi hujan. Luka akibat mimpi-mimpiku yang terpatahkan. Luka akibat harapanku yang melampaui bintang.

Namun,  aku bukan domba betina yang akan menyerah begitu saja ketika tak diberi makan. Aku adalah perempuan yang memiliki keteguhan hati dan kemantapan pikiran. Aku adalah Yumna, anak Abi dan Umi yang telah membesarkanku dalam setiap doanya.

Aku berani bermimpi meski pada akhirnya terjatuh dengan teramat pilu. Aku berani memulai bermimpi lagi saat semua harapanku mengembang layaknya sinar rembulan.

Tuhan mengizinkanku tuk bermimpi. Tuhan mengizinkanku tuk berjuang. Tuhan, selalu menyertai di setiap langkah perjuanganku. Menemaniku berkelana dalam khayalku akan sebuah mimpi melampaui bintang. 

Dua pangeran mimpi menjadi temanku yang daim. Menjadi temanku berkelana. Menembus batas cakrawala yang tak terurai luasnya.

Kisah panjangku dimulai di Kampus Garuda. Kampus yang mempertemukanku dengan dua lelaki bak panglima tak bersamurai. Panglima yang tak lagi berperang menggunakan pedang panjang. Tetapi menggunakan kekuatan berpikir dalam sebuah paradigma kontekstual. Yang berperang menggunakan prestasi. Yang bertarung dengan stigma sosial yang teramat miris. Kedua panglima itu adalah....

“Yumna!”

Seruan itu sontak membuatku menoleh. Kudapati sesosok lelaki dengan senyum menawan bak pangeran. Yang tampilan rambutnya menyerupai boygroup BTS. Lelaki itu sedang berjalan ke arahku dengan senyumnya yang bermekaran.