cover landing

Take Over Mantan

By Aditarifa RP


Jarum jam sudah menunjuk angka dua belas malam, dan hujan masih setia turun sejak sore tadi. Sekarang tinggal rintik-rintik, tetapi udara justru bertambah dingin. Aresha duduk dengan gelisah di sofa ruang tengah sambil menyesap teh hangat. Menunggu kepulangan Revan, sang suami.

Tidak biasanya Revan pulang hingga tengah malam begini. Kalaupun akan terlambat, dia biasanya menghubungi. Memberi tahu dengan jelas dia di mana, sedang apa, dan kapan akan tiba di rumah.

Aresha sudah beberapa kali menghubungi Revan, tapi tidak ada jawaban. Benaknya yang kalut sempat memutar kemungkinan Revan kecelakaan atau dijahati orang, tapi ditepisnya cepat-cepat. Baru saja Resha ingin kembali menelpon Revan saat suara deru mesin mobilnya terdengar.

“Ya ampun, Mas, aku udah khawatir bukan main. Aku pikir Mas kenapa-napa,” berondong Resha setelah menjawab salam yang diucapkan suaminya. 

Wanita tiga puluh empat tahun itu bergerak mendekat, mengusap bahu Revan yang sedikit basah dan membantu menanggalkan blazer semi formal dari tubuhnya. Resha mengambil tas kerja Revan lalu membimbingnya untuk duduk di sofa.

“Aku ambilin teh anget, ya. Mas mau ditambahin jahe?”

Revan mengangguk, bergerak membuka sepatu dan kaos kakinya. Tak lama kemudian Resha kembali dengan secangkir teh hangat dengan sirup jahe. Mengangsurkan kepada Revan yang disambut suaminya dengan senyuman.

“Kenapa malam banget pulangnya?” tanya Resha sambil mengutip baju, kaos kaki dan sepatu Revan lalu membawanya ke belakang. 

“Ada kerjaan mendadak, ya? Makanya Mas lembur?” tanya Resha lagi saat sudah kembali ke ruang depan. “Mas sudah makan?” tanya Resha lagi saat Revan hanya menjawab pertanyaan sebelumnya dengan anggukan.

“Sudah, Sayang,” jawab Revan. Mendadak pria itu mengernyit dan meneguk lagi teh jahenya. 

“Mas mandi, ya? Instalasi air panas kita sudah diperbaiki tukang tadi siang. Jadi Mas udah bisa mandi air hangat lagi,” tutur Resha. Revan menggumam singkat dan berdiri, lalu berjalan ke lantai dua, tempat kamar tidur dan kamar mandi pribadi mereka berada.

Setelah mandi, bersih-bersih dan memakai bathrobe, Revan keluar. Mendapati Resha telah duduk bersandar di headboard sambil membaca novel. Senyum wanita cantik itu terkembang sempurna dan dia sigap bangkit dari duduknya. Mengambilkan baju Revan di lemari.

“Mas mau langsung tidur? Capek banget? Atau mau aku pijat dulu?” tanya Resha sambil mengiringi Revan yang naik ke tempat tidur. 

Lelaki itu menarik selimut dan masuk ke dalamnya. Resha mengikuti, dan Revan menariknya agar mereka tidur menyamping bersisian, saling berhadapan. 

“Aresha,” panggil Revan pelan setelah berdehem. Tangannya mencari-cari jemari Resha dan menggenggamnya erat. “Aresha Fawzia, aku mencintai kamu. Sangat mencintai kamu,” lanjutnya. Pandangannya pelan-pelan merayap naik dari tautan jemari mereka ke wajah cantik Resha yang terlihat agak mengantuk.

“Iya, tahu. Aku juga sangat mencintai kamu, Mas,” jawab Resha.

“Kamu sangat setia, sangat baik padaku. Mau nemenin aku di semua situasi selama sebelas tahun ini,” gumam Revan.

“Kayak iklan deodoran aja, ya? Setia setiap saat,” ucap Resha bercanda. Namun, Revan tidak menanggapi candaannya. Membuat Resha terdiam.

“Aku tahu aku bukan suami yang baik. Kadang-kadang aku bisa sangat cuek, terlalu larut dalam pekerjaan dan membuat kamu menunggu seharian. Aku juga sering lupa tanggal anniversary kita. Lupa belikan kamu oleh-oleh sepulang kerja, kayak sekarang.”

“Nggak masalah,” ucap Resha sambil tersenyum. “Asal Mas selalu pulang ke aku.”

“Aku juga belum bisa ngasih keluarga kita ... anak.”

Resha tertegun mendengar kalimat terakhir Revan.  “Itu bukan salahmu, Mas. Justru aku yang minta maaf. Walaupun hasil pemeriksaan kita sama-sama bagus, mungkin saja kita belum punya anak karena faktor ... dariku?” paparnya ragu pada kata terakhir.

“Ya, mungkin saja. Aku minta maaf,” imbuh Revan.

Resha mengerutkan kening. “Maksudnya apa, Mas?”

“Resha, aku minta maaf—“

“Jangan minta maaf lagi,” potong Resha. Perasaannya mendadak tidak enak.

“Aku harus minta maaf karena aku ... sangat bersalah. Sangat sangat bersalah padamu.” Revan menarik jemari Resha dan menciumnya dalam-dalam.

“A-apa ada wanita lain?” tebak Resha. Suaranya bergetar, nyaris tidak bisa keluar. Sementara air matanya sudah hampir tumpah.

Revan tidak langsung menjawab. Dia menciumi jemari Resha berkali-kali, menarik napas berkali-kali, hingga akhirnya mengangguk. “Ya. Ada wanita lain,” ucapnya pelan, lirih, tetapi menancapkan belati dalam-dalam ke jantung Resha.

“K-kenapa?”

“Aku yang tergoda padanya, Resha. Aku yang salah. Dan sekarang dia ... mengandung anakku.”

“Mas!” pekik Resha. Dengan terburu dia menarik tangannya dan menjauh dari Revan. Napasnya mendadak sesak dengan nyeri yang teramat sangat menghunjam ke ulu hati. Resha bahkan mengira dia akan mati saat itu juga.

Lalu pertahanannya jebol. Tanggul air matanya menumpahkan sakit hati, kekecewaan dan ketakutan. Resha luruh, meringkuk di lantai kamar mereka. Dia sedikit memberontak saat merasakan rengkuhan Revan di tubuhnya, tetapi lantas menyerah dan bersandar dalam tangis di dada suaminya.

“D-dia benar-benar ... memiliki ... anakmu?” tanya Resha dengan mengumpulkan seluruh kekuatan jiwanya.

“Ya,” jawab Revan pelan. “Hanya aku yang bersamanya. A-aku ... aku lelaki pertamanya.”

Resha menjerit di dada Revan. Memukuli tubuh suaminya sekuat tenaga. Lalu pukulan itu melemah, seiring raganya yang kembali lunglai. Luka di hati Resha entah seberapa besarnya, karena kini sakitnya membuat dia mati rasa. Terlalu dalam.

Revan mengkhianatinya. Entah sejak kapan, dan kini pengkhianatan itu membuahkan janin tidak bersalah. Makhluk kecil yang dirindukan Resha dalam hidupnya, yang tidak bisa dia berikan. Revan mendapatkannya dari wanita lain.

Dia tahu, pernikahannya di ujung tanduk. Posisinya akan digantikan oleh wanita itu, yang lebih sempurna, yang bisa memberikan Revan anak. Hal yang tidak bisa dia wujudkan selama sebelas tahun pernikahan mereka.

“K-kamu akan jadikan dia maduku?” tanya Resha. Pertanyaan retoris, karena tentu saja jawabannya adalah ya. Resha mulai bersiap-siap, menerima nasib yang mungkin tak elok. Namun, dia terkesiap saat Revan menggeleng.

“Mas?” Dia mengangkat wajah, menatap Revan. Mencari-cari mata teduhnya.

“Dia nggak mau, Resha. Dia nggak bersedia. Dia datang dari keluarga terpandang, dan akan jadi aib jika aku jadikan dia wanita kedua,” ucap Revan lirih, pedih. Matanya kini berkaca-kaca saat menatap Resha. Bagaimanapun, wanita ini adalah belahan jiwanya.

“Mas?!” Kini Resha merasakan tikaman di jantungnya. Membuatnya sekarat.

“Maaf, Resha. Maafkan aku. Aku nggak bisa jadi suami yang baik. Aku laki-laki bejat. Lupakan aku segera,” racau Revan. Tangannya merengkuh kepala Aresha. Menciumi ubun-ubunnya. Membenamkannya dalam pelukan paling erat, paling hangat, yang akan menjadi pelukan terakhirnya pada wanita itu.

“Aresha Fawzia, malam ini ... aku melepaskan kamu,” ucapnya dengan seluruh perih yang keluar dari pori-pori.

Aresha kini meraung tertahan, memekik pelan. Mencengkeram rambut di tengkuk Revan.

“Aresha Fawzia, maafkan aku. Malam ini ... ak-aku ... menjatuhkan talak padamu.”