cover landing

Tahun Baru Kedua

By Rara Indah NN


Bus kopaja trayek jurusan Blok M-Pasar Minggu-Cipedak melaju lamban. Mengantarkan beberapa penumpang yang tidak terlalu padat memenuhi kursi penumpang sore ini, menuju tempat pemberhentian mereka. Di kursinya, Khinanti duduk sendiri.

Rumah Khinanti ada di daerah Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Yang jika dia turun dari bus kopaja nanti, ia masih harus naik angkutan umum sekali lagi. Sebenarnya, ada rute angkutan umum yang lebih mudah dilalui untuk sampai ke rumah. Hanya saja, ia punya kebiasaan untuk menjajal semua angkutan umum yang bisa dinaiki untuk pulang ke rumah.

Sore ini, Khinanti memilih menikmati langit sore dari kaca jendela bus kopaja. Mungkin besok ia akan pulang ke rumah naik bus Transjakarta yang trayeknya searah dengan bus kopaja.

Entah sudah berapa kali, bus kopaja berhenti menaik-turunkan penumpang. Kursi kosong di sebelah Kinanthi bahkan sudah terisi oleh seseorang. Dan, ia masih tetap asyik memandangi aktivitas di luar jendela, seraya berkali-kali menyelipkan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga.

Kinanthi menghela napas. Teringat dengan Raihan, mantan pacarnya. Hampir setiap pulang sekolah sendirian seperti sekarang, pikirannya pasti mentok di Raihan lagi-Raihan lagi.

Padahal, mereka putus setahun yang lalu, bukan baru beberapa hari atau pun minggu. Seharusnya satu tahun adalah waktu yang cukup untuk move on, tetapi hingga detik ini, Kinanthi belum bisa benar-benar melupakan Raihan. Ia merasa ada banyak rasa yang tertinggal dalam hatinya, terperangkap, dan ternyata sulit untuk dilepaskan.

Sialnya, perasaan yang kadang-kadang menahan banyak rindu pada Raihan ini, nyatanya hanya berjalan satu arah. Khinanti cukup buang-buang waktu untuk cinta sendiri. Raihan-nya malah sudah jadian dengan cewek lain di sekolah.

Huh, semudah itu, ya, cowok melupakan mantan pacarnya? batin Khinanti sambil menghela napas.

“Kiri, kiri!”

Seseorang yang duduk di sebelah Khinanti tiba-tiba bersuara lantang. Menghentikan laju bus kopaja.

Khinanti melirik. Ia baru sadar yang duduk di sebelahnya adalah seorang pemuda, mungkin mahasiswa. Tatapannya mengikuti langkah laki-laki itu hingga turun dari bus kopaja. Lalu, laki-laki berkaus hitam, jaket hoodie abu-abu yang ritsletingnya terbuka, dengan tas selempang hitam bertengger di punggung menyebrangi jembatan yang langsung mengarah ke sebuah rumah berpintu gerbang abu-abu.

Hmm, dia tinggal di situ, batin Khinanti tanpa sadar begitu bus kopaja mulai kembali melaju. Bahkan sempat agak ngebut dan mengerem mendadak beberapa meter kemudian. Tubuh Khinanti bahkan sampai setengah terlempar ke depan karena bus kopaja tiba-tiba berhenti, lalu naiklah beberapa penumpang.

“Duh, si Abang, nyetirnya nggak bener amat, sih,” gerutu Khinanti sambil membenarkan posisi duduknya. Untung ia sigap berpengangan dengan kursi di depannya, sehingga bisa menahan tubuh agar tidak terpental atau keningnya terbentur.

Sebentar lagi tujuan pemberhentian Khinanti akan tiba.

“Mbak, itu dompetnya jatuh!” ujar seorang ibu-ibu yang tengah berdiri bersiap-siap turun.

Khinanti menoleh ke arah yang ditunjuk oleh ibu tadi. Ia mendapati sebuah dompet hitam bertengger manis di kursi kosong sebelahnya. Tanpa ragu, ia mengambil dompet itu dan melihat isinya, meski ia tahu dompet itu bukan miliknya.

***

“Nyari apaan, sih, Mas?” Ratri yang tengah menyuapi Kei, putranya yang baru berusia tiga tahun, melihat Raka keheranan. Sejak beberapa jam lalu, Raka mondar-mandir mengelilingi sudut-sudut rumah mencari sesuatu.

“Dompet, Mbak,” jawab Raka tanpa melihat kakak perempuannya. Tangannya sibuk mengangkat-angkat bantal sofa dan tumpukan buku-buku, mengintip kolong meja dan kursi, sementara matanya sibuk mencari dompet yang entah sejak kapan tidak ada bersamanya. “Mbak Ratri nggak lihat dompet aku?”

“Kamu taruhnya di mana? Aku dari tadi nggak lihat ada dompet di sekitaran sini,” jawab Ratri sambil setengah berlari mengejar Kei yang mulai lari-larian lagi.

“Iya itu dia, aku lupa taruh di mana,” gerutu Raka. Ia jadi kesal sendiri karena tak bisa menemukan dompetnya. Ia berhenti mencari, mengempaskan tubuh ke sofa depan TV, memejamkan mata sambil menutup wajah dengan lengan.

Apes bener, sih. Males banget, kan, kalau harus urus kartu-kartu yang hilang. Besok kuliah dari pagi sampe sore pula. Ck, keluh Raka dalam hati. Tak lama dari itu, ia terlelap karena kelelahan mencari dompetnya.

*** 

Latihan upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda baru saja bubar. Para anggota paskibraka menepi ke pinggir lapangan, duduk meluruskan kaki, beristirahat.

Sejak naik ke kelas XII, Khinanti tak lagi aktif jadi petugas pengibar bendera di sekolah. Anggota paskibra yang sudah naik kelas XII hanya bertugas menjadi pelatih adik-adik junior. Itu pun tidak wajib karena mereka harus lebih fokus pada persiapan try out dan ujian menjelang kelulusan.

Khinanti duduk bergabung di pinggir lapangan, meneguk air dari botol minum miliknya. Tanpa sengaja tatapannya terhenti di satu sudut sekolah. Ia menghela napas berat ketika mendapati Raihan dan Marsha berjalan bersisian, bergandengan tangan, tertawa bersama.

“Udah, jangan dilihatin.” Ines berbisik seraya menyikut lengan Khinanti.

“Siapa yang ngelihatin,” tukas Khinanti sambil menunduk, tetapi kemudian curi-curi kesempatan menatap Raihan lagi. 

“Tuh, kan, dilirik lagi! Masih mau ngeles nggak ngelihatin?” cibir Ines.

Khinanti menghela napas kesal. Raihan sudah menghilang di kejauhan sana. Pemandangan terakhir kali yang tertangkap matanya adalah tangan Raihan tengah merangkul bahu Marsha dengan mesra. Hampir setiap hari selama enam bulan terakhir, ia sering kali melihat mantan pacarnya mesra-mesraan dengan pacar barunya.

Rasanya tak rela, ingin tarik Marsha agar jauh-jauh saja dari Raihan.

Namun, siapa Khinanti? Ia bisa apa kalau nyatanya ia hanya mantan pacar Raihan yang berlalu begitu saja. Mungkin sebelum pacaran dengan Marsha, Raihan sempat berpacaran dengan cewek lain—tetapi luput dari penglihatan Khinanti. Entahlah.

Sekarang, Khinanti baru sadar—lebih tepatnya semakin sadar—kalau mantan pacarnya memang betulan famous di kalangan siswi-siswi di sekolah.

“Susah banget, ya, Khi, buat move on dari Raihan?” tanya Ines terheran-heran.

Khinanti mengedikkan bahu. “Gue juga bingung. Gue yang mutusin, tapi gue juga yang nyesel.”

“Ckckck. Raihan pernah nggak, sih, ngajakin lo balikan, Khi?”

Khinanti menggeleng. Seingatnya, Raihan tak pernah mengajaknya untuk pacaran lagi. Mereka bahkan jarang chattingan setelah putus. Hampir tidak pernah malah. Seolah kisah yang pernah mereka lewati bersama, menguap begitu saja.

“Kalau Raihan ngajak lo balikan, lo mau nerima dia lagi, Khi?”

Khinanti tersenyum sinis, putus asa. “Nggak yakin gue kalau Raihan bakal mau putus sama Marsha. Sekarang aja pacarannya nempel-nempel mulu kayak perangko,” gumamnya sambil menatap sepatunya sendiri. Sepatu yang ia beli bersama Raihan waktu baru sebulan jadian.

“Hmm, dulu pas lo pacaran sama Raihan, nggak nempel-nempel gitu emangnya, Khi?” tanya Ines penasaran.

“Yang lo lihat dulu gimana?” Khinanti balik tanya, setengah sebal. Ines hanya tertawa. “Ya gimana mau nempel-nempel, sih, Nes? Dianya dulu lebih sibuk ngurusin OSIS daripada pacaran sama gue.”

***

Sama seperti kemarin, Khinanti pulang naik bus kopaja lagi. Ia turun beberapa menit lalu. Sekarang langkahnya sudah membawanya berdiri di depan pintu gerbang abu-abu. Dari sela-sela tralis gerbang, ia bisa melihat sebuah rumah tingkat bernuansa cat putih dan abu-abu.

Mata Khinanti mencari-cari bel di dinding pagar. Rupanya rumah ini tak punya bel. Melihat pintu gerbang hanya terkunci slot tanpa gembok, ia segera membukanya dengan hati-hati. Ia memasuki carport rumah tersebut sambil berharap ada seseorang yang mendengar sapaannya.

“Permisi!” seru Khinanti. Pintu depan rumah itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka dari dalam. “AssalamualaikumSpadaaa? Anybody home?”

Aku hidup di zaman kapan, sih? Bertamu ke rumah orang kok bilangnya 'spada', batin Khinanti sambil memukul pelan pelipisnya sendiri.

Dan, masih belum ada tanda-tanda jika suara Khinanti terdengar sampai ke dalam rumah tersebut. Ia melangkah maju, mendekati teras hingga akhirnya berdiri di depan pintu. Tangannya mengetuk pintu beberapa kali.

“Permisi!”

“Yaaa?” Terdengar suara balasan dari dalam rumah. Khinanti lega akhirnya ada yang meresponsnya. Tak lama kemudian, seorang perempuan berambut sepunggung mengenakan terusan bunga-bunga biru selutut membuka pintu. “Cari siapa, ya?”

Khinanti tersenyum kikuk. “Hmm, Mas Raka ada?”

“Raka?” tanya perempuan itu dengan raut wajah bingung. “Adek cari Raka?”

Khinanti mengangguk canggung. “Saya mau nganterin dompet Mas Raka, soalnya kemarin---”

“Oh! Ya ampun! Mas Rakaaa! Ada yang cari, nih!” Perempuan itu langsung kembali masuk ke rumah, meninggalkan Khinanti yang belum selesai bicara.

Khinanti jadi bingung. Harus masuk atau menunggu saja di luar. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu di teras. Ia menatap jalan raya yang kelihatan dari tempatnya berdiri. Ada beberapa bus kopaja dan Transjakarta yang lewat selama ia berdiri menunggu seseorang yang ingin ditemuinya, keluar dari rumah.

“Siapa, ya?”

Khinanti menoleh saat suara berat seorang laki-laki menyapanya. Ia melihat pemuda yang kemarin duduk bersebelahan dengannya di bus kopaja, kini berdiri di ambang pintu rumah dengan setelan rumahan: kaus abu-abu dan celana chino pendek cokelat muda, sambil menggendong seorang anak laki-laki.

Oh, jadi udah nikah dan yang tadi itu istrinya, ya? Ini yang digendong pasti anaknya, pikir Khinanti tanpa sadar.

“Mas Raka, kan?”

“Iya,” jawab Raka sambil menurunkan anak laki-laki yang memberontak minta turun dari gendongan. Dengan tubuh setengah membungkuk, sebelah tangannya berusaha menahan balita itu agar tidak pergi jauh darinya.

“Saya mau kasih dompetnya Mas Raka. Kemarin jatuh di kursi bus kopaja.” Khinanti menyodorkan dompet hitam pada pemiliknya.

“Ya ampun! Ketemu! Kirain hilang,” seru Raka senang sambil menerima dompet yang sejak kemarin ia cari-cari. “Eh, eh, tunggu, Kei!” teriak Raka saat anak kecil yang dipanggil Kei itu berhasil kabur dari pengawasaannya, berlari masuk ke rumah.

Khinanti kembali bingung sambil masih sedikit tersenyum melihat tingkah Kei yang tak bisa diam, yang kemudian lepas dari gendongan Raka dan berlari masuk ke rumah. Meninggalkannya sendirian di teras karena Raka juga ikut berlari masuk setelah mengambil dompet yang ia antarkan.

“Terima kasihnya mana, ya?” gumam Khinanti pelan sambil tersenyum tipis dan getir. Ia menggaruk kepala yang tidak gatal.

Tanpa berpikir lebih lama, Khinanti putuskan segera pergi dari teras rumah itu dengan sedikit kecewa. Dari awal pun tujuannya datang ke sini memang hanya untuk mengantarkan dompet, lalu pulang. Namun, setidaknya ia tidak pulang dengan perasaan digantung seperti ini.

Apa segitu sulitnya mengucapkan terima kasih?

“Eh, kamu namanya siapa? Makasih banget, ya, mau repot-re---” Langkah Raka terhenti di depan pintu ketika mendapati teras rumahnya sepi, tidak ada siapa-siapa. “Halo? Mbak? Adek? Ke mana dia?” gumamnya bingung sambil celingukan mencari seorang cewek berseragam SMA yang sudah berbaik hati mengantarkan dompetnya.

“Yah!” sesal Raka saat tanpa sengaja matanya menemukan sosok yang ia cari-cari sudah naik bus kopaja di kejauhan sana. Sudah tak sempat Raka mengejarnya, sebab bus kopaja melaju membawa gadis itu pergi dari tatapannya.

“Gue, kan, belum bilang makasih sama dia,” gumam Raka sambil memegangi sisi kepalanya kiri dan kanan, lalu berpindah turun ke pinggang. “Buru-buru amat sih dia, langsung pergi gitu aja.”

Dan, Raka hanya mampu menghela napas panjang.

***