cover landing

Susu Beruang dan Rahasianya

By ISNAMULU


Kris nggak pernah tahu kalau sebenarnya ada seseorang yang diam-diam menyukainya. Diam-diam memberinya susu beruang dengan iklan naga yang berisi susu sapi itu ke dalam laci mejanya. Kris cuma tahu kalau orang yang sering memberi minuman hambar tersebut adalah seorang perempuan.

Bagaimana Kris bisa tahu? Jelas banget Kris bakalan tahu. Karena di botol susu beruang itu ada tulisan Buat Masa Depan memakai spidol permanen papan tulis.

Kan nggak mungkin banget kalau yang nulis seorang laki-laki, Kris masih lurus, tahu!

Bee yang duduk di sebelah Kris yang lagi berdiri, cuma bisa mesem-mesem karena temannya itu selalu mendapat susu dengan gratis setiap hari. Lumayan irit duit, katanya.

Duduk satu meja dengan Kris memang sesekali menguntungkan karena cowok itu cukup dikenal di kalangan para guru dan siswa. Sikapnya yang luar biasa konyol—di mata Bee—membuat cowok itu pun tidak pedulian pada omongan orang lain. Dia selalu melakukan apa yang mau dia lakukan.

"Enak banget, sih, dapet susu tiap hari," celetuk Bee.

Keadaan kelas sudah ramai padahal masih jam setengah tujuh pagi. Memang terkadang anak kelasnya terlalu rajin datang pagi. Sesekali Bee memperhatikan teman kelasnya yang kebanyakan memilih menelungkupkan kepala di atas meja sambil menunggu bel masuk berbunyi, sebagian lagi memilih mengobrol dengan teman dekat masing-masing. Kris yang sejak tadi berdiri di sebelah Bee pun ikut duduk di bangkunya.

"Enaklah. Gratis." Kris ketawa ngakak.

Bee ikut ketawa. Kris memang nggak tahu diri! Sudah dikasih susu tapi masih nggak mau mencari tahu siapa yang memberinya. Dia selalu memberi alasan nggak logis setiap kali Bee menanyakan alasannya.

"Gua kan dapet susu gratis. Nggak perlulah nyari siapa yang kasih. Kalo dikasih setiap hari gua mesti alhamdulillah banget, dong!"

"Emang lo nggak penasaran?"

"Kagak. Buat apa juga gua penasaran. Mager banget!" Kris ketawa lagi.

Bagi Kris, mendapat sebotol susu di pagi hari adalah rezeki yang Tuhan kasih lewat perantara yang sama sekali Kris nggak tahu siapa orangnya. Toh, yang penting dapet gratisan.

"Tapi gue penasaran, tau!" Bee masih belum menerima. Perempuan bertubuh gempal itu melirik serius Kris yang masih tertawa.

"Nggak usah penasaran, Bee. Nanti lo malah kurus."

"Bagus, dong, kalau gue kurus." Bee mendelik sebal.

"Jangan dong, Bee!" Kris tergelak. Menatap Bee nggak percaya. "Kalau nanti lo kurus, gua nggak bisa bedain mana gajah mana galah."

"Kurang ajar lo!"

Kris tertawa semakin ngakak. Dia memberikan susu beruang itu kepada Bee. Kris tahu kalau Bee sangat menyukai susu palsu itu. Dengan senang hati Bee menerima pemberian Kris dan langsung meminumnya. Kris cuma bisa geleng kepala melihat tingkah temannya.

"Heran. Susu palsu kok diminum."

"Apanya yang palsu, sih? Kocak lo."

"Susu yang lo minum itu ... palsu." Kris berkata dengan gestur tubuh seolah orang paling tahu. "Namanya susu beruang, iklannya naga, tapi isinya susu sapi. Kurang palsu apa lagi, coba?"

Bee mendelik sebal lagi. Ingin menampar wajah Kris tapi sayang, nanti jadi rusak. Sudah jelek malah makin nggak kebentuk. Kris itu nggak ganteng, tapi tubuhnya jangkung dengan tinggi 175 cm. Warna kulitnya saja sawo matang, tingkahnya juga konyol dan bodoh. Wajahnya berbentuk oval dengan mata bulat. Rambutnya sedikit bergelombang dengan poni yang kayak Superman. Bibirnya seperti orang kebanyakan, yang bagian bawahnya sedikit tebal. Hidungnya mancung, alisnya juga tebal. Belum lagi mulut Kris minta dirobek kalau saja dia nggak memberikan susu beruang miliknya tadi kepada Bee. Memang, sih, kalau lagi senyum, cowok itu bisa kelihatan manis. Tapi, tetap saja Kris itu nyebelin.

Kris melirik pintu kelas yang terbuka. Di sana ada beberapa teman laki-lakinya yang berdiri sambil melihat ke arah luar kelas seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Paham dengan tabiat teman-temannya, Kris pun beranjak ke ambang pintu dan ikut menunggu. Bee mendesis saat kedua matanya menangkap sosok Kris yang sudah berdiri berdampingan dengan teman-teman laki-laki di ambang pintu sambil menunggu orang itu datang.

Siapa lagi kalau bukan Naura Magentha. Sosok perempuan yang amat digemari kaum Adam. Naura atau yang biasa dipanggil Nau mempunyai bentuk tubuh yang memanjakan mata, entah di mata laki-laki maupun perempuan. Warna kulitnya kuning langsat. Tubuhnya kecil tapi berisi. Nau juga tinggi, bahkan lebih tinggi 2 cm dari Bee. Wajah Nau juga kelihatan cantik dengan bentuk bulatnya. Alisnya tebal, ditambah matanya yang besar. Rambutnya lurus panjang sebahu. Bibirnya kecil dan berwarna merah muda. Hidungnya yang mancung pun menambah daya tarik yang kuat pada sosoknya. Bee pun mengakui bahwa Nau adalah gadis cantik yang memang cantik dari lahir tanpa polesan apa pun.

Kalau dibandingkan dengan Bee, pasti terdapat banyak perbedaan. Itu pun cukup jauh. Tingginya saja hanya 158 cm, tepat 2 centi di bawah Nau yang tingginya mencapai 160 cm. Tubuhnya juga berisi namun kelihatan jadi boncel. Warna kulit Bee juga sama kayak Nau, berwarna kuning langsat. Tapi alisnya nggak tebal dan hitam pekat, malah terkesan tipis. Mata Bee juga biasa saja, kayak orang yang nggak bisa melek karena ketutup sama kelopak mata. Bibirnya nggak merah muda, pinggirannya saja berwarna hitam. Hidung Bee nggak mancung tapi nggak pesek juga. Pokoknya kalau mereka disandingkan, kelihatan jelas perbedaannya.

Tapi, Bee nggak menyukai sikap Nau yang suka seenaknya dan kerap memandang rendah orang lain.

"Nau, lo tau nggak kalau sayang sama lo itu bagaikan mengitari taman bunga?" celetuk Kris saat melihat Nau sudah sampai di depan kelas.

Kris dengan gombalan yang sama sekali nggak manjur itu terus mencoba membuat Nau melirik ke arahnya. Mungkin Nau merasa risi setiap melihat Kris yang mencoba mendekatinya dengan cara kampungan. Tapi Kris tetap saja mengikuti Nau yang berjalan masuk ke dalam kelas.

"Apa sih lo! Nggak jelas."

"Gua lagi ngegombal, tau!"

"Nggak nanya."

"Nau, lo judes banget sih sama gua." Kris mendesah panjang. Nau susah sekali didekati. Kris pun berdiri di sebelah Nau yang sudah duduk di bangkunya sambil melirik ke arah Kris dengan tatapan nggak suka.

"Iyalah! Lo sadar diri, dong! Udah jelek, item, bego, hidup lagi! Beruntung aja lo tinggi, jadi masih ada yang bisa dibanggain."

"Sialan lo!" Kris tertawa keras. Bukannya merasa tersindir atau sakit hati, Kris malah menikmati setiap ucapan Nau. Ya iyalah, omongan begitu doang mah nggak berpengaruh besar sama Kris.

Bee lihat Nau mendelik sebal. Bee tertawa dalam hati melihat reaksi dua kutub berbeda itu. Sudah tahu Kris bebel, masih saja Nau mau meladeninya. Kris, kan, nggak tahu malu.

"Kris, lo nggak tahu malu banget, sih. Gue udah nolak lo berulang kali, harusnya lo sadar diri." Nau mengibaskan tangannya, menyuruh Kris pergi.

Tapi bukan Kris namanya kalau nurut. Cowok itu malah semakin gencar bukan kepalang untuk menggoda Nau.

"Harusnya lo bangga, dong, karena setidaknya masih ada satu manusia normal yang suka sama lo."

"Ih! Maksud lo gue nggak laku? Kurang ajar banget sih lo!"

"Gua nggak bilang begitu." Kris melengos meninggalkan Nau. "Kepedean juga nggak bagus, tau, buat kesehatan."

Kris tahu Nau bakalan marah besar setelah dia berkata seperti itu.

Lagian siapa suruh bersikap seolah dia paling cantik dan diperebutkan banyak laki-laki. Memang wajahnya manis, bersih, dan cantik tanpa polesan apa pun, tapi sikapnya itu bikin siapa saja nggak betah. Kalau bukan buat menghibur diri, Kris juga nggak bakalan mau menggoda Nau.

***

Setelah mendengar bel istirahat berbunyi nyaring, Kris mengajak Bee untuk pergi ke kantin. Mereka pun keluar kelas berduaan dan berjalan berdampingan menuju kantin yang letaknya berada di ujung gedung. Mereka melewati koridor yang sudah ramai.

"Tau nggak, lo udah kelewatan tadi."

Bee mendesah panjang. Kris memang keras kepala. Bee bukan mau menghakimi Kris yang berkata kasar kepada Nau tadi pagi. Tapi melihat wajah Kris yang murung membuat Bee nggak mau membahas masalah itu saat ini. Mungkin dia akan menyinggungnya nanti kalau Kris sudah mendingan. Itu pun kalau Kris adalah orang normal, sayangnya nggak.

"Kalo kelewatan muter balik."

Kris terkekeh, wajahnya berubah lagi. Barusan murung tapi beberapa detik kemudian langsung ceria. Apalagi saat sampai di kantin, cowok itu langsung menghampiri temannya yang lain. Meninggalkan Bee yang mendengus nggak suka.

"Kebiasaan." Bee berdecak mengikuti langkah Kris.

"Bee! Lo duduk sebelah gua, ya. Mau makan apaan? Tapi bayar sendiri. Gua bakalan lebih berterima kasih kalau lo dengan senang hati jajanin gua."

"Ogah! Lo punya duit, abisin dong! Jangan kayak orang susah."

"Lo tahu, Bee, kalau gua tuh lagi nabung buat masa depan gua yang udah secerah wajahnya Raisa?"

"Raisa nggak cerah."

"Tapi, nggak sebuluk lo." Kris tertawa.

"Ngaca! Lo juga item. Nggak tahu malu banget, sih!" cemooh Bee.

"Ngapain sih harus malu? Gua masih pake baju, tau. Kalau gua telanjang tuh, baru lo malu jalan sama gua."

"Serah lo!"

"Bee." Kris menunjukkan wajah sok manisnya. Bukannya tersentuh, Bee malah mau menamparnya saat itu juga.

"Gua janji deh, gua nggak ada duit, tau. Cukup buat beli es teh doang ini, dua rebu." Kris menunjukkan uang dari sakunya.

Benar saja. Cuma ada dua ribu rupiah. Bee mencebik, dasar Kris! Sudah bodoh, nyusahin, miskin lagi!

"Bee!"

Bee memutar matanya malas, Kris nggak tahu diri banget. Temannya yang duduk berhadapan dengan mereka cuma bisa ketawa sambil menyaksikan perdebatan keduanya. Bahkan kedua teman Kris itu asyik menonton sambil melahap bakso.

"Udah, Bee, jajanin aja. Siapa tau badan lo bisa kurus karena udah berbagi sama Kris," celetuk salah satu teman Kris.

"Jangan body shaming, Ze!" seru Kris nggak senang.

Ah, Bee selalu suka sikap Kris yang seperti ini. Selalu membelanya kalau ada yang mengatai dia gendut. Secara langsung maupun nggak.

"Cukup gua aja yang bilang dia gendut. Kalian nggak usah."

Dan Bee menarik kembali ucapannya. Dia sekarang benar-benar membenci Kris.