cover landing

Surrogate Mother (Ibu Pengganti)

By MeliseisDhemewa


Prolog

 

Laurie berdiri menatap pantulan dirinya di cermin. Tubuh tinggi dan langsingnya dibalut dengan gaun hitam rancangan seorang desainer terkenal, yang menyebabkan dirinya tampak menggoda dan memesona di waktu bersamaan. Ia tersenyum masam. Memejamkan matanya lelah, sementara telunjuk dan jempolnya memijat ujung hidungnya pelan. Stiletto merahnya masih melekat di kedua kakinya yang indah. Ia menghela napas dalam-dalam. Namun tiba-tiba, ia tersentak karena merasakan elusan tangan seseorang di pundak telanjangnya. Kemudian, disusul dengan embusan napas yang menggelitik tengkuknya juga.

Laurie mendadak membuka mata. Tatapannya langsung terpatri pada lelaki di belakangnya. Ia tersenyum. Merasakan sentuhan tangan Tom yang selalu ia rindukan saat dirinya berada jauh darinya. Namun, tubuhnya seketika menegang, saat ia melihat tangan Tom sudah berpindah mengelus perutnya yang rata. Hal yang dilakukan oleh suaminya itu bukanlah kali pertama atau kedua, tapi sepanjang usia pernikahan mereka. Tiga tahun tepatnya dan Laurie belum bisa mewujudkan keinginan suami tercintanya.

Kontrak kerja sebagai model adalah salah satu alasan kenapa ia tidak mau hamil dulu. Tetapi, ketakutan akan berubahnya bentuk tubuh adalah alasan yang paling utama. Karena ia pernah dengar bahwa wanita yang sudah pernah melahirkan akan kesulitan menurunkan berat badan, dan itu akan berdampak buruk bagi karier yang tengah dirintisnya saat ini. Lagi pula, ia masih terlalu muda untuk memiliki bayi.

Katakanlah ia terlalu egois. Bahkan, sekadar bercinta dengan Tom pun ia belum pernah melakukannya. Entah apa yang ia pikirkan, padahal bisa saja ia atau Tom memakai alat kontrasepsi.

Jika orang luar sampai tahu bahwa Laurie masih perawan di usianya yang ke-23 tahun dan Tom masih bertahan mempertahankan rumah tangga, maka mereka pasti akan menyuruh Tom untuk mencari wanita lain yang lebih baik dan lebih cantik daripada harus terus-menerus bersama Laurie. Namun Tom tidak melakukannya.

Bodoh. Mungkin kata itu yang paling tepat untuk Tom.

Laurie tersentak. Tangan Tom kembali mengelus perutnya, kali ini dengan ritme yang lebih pelan, tapi membuatnya kembali merasa bersalah. Ia meringis. Menggenggam tangan Tom untuk menghentikan gerakan itu, lalu berbalik menghadapnya.

“Maaf,” ucap Laurie. Air matanya tak bisa lagi ia bendung. Pun isak halusnya tak bisa ia bungkam. “Jika kau mau, kita bisa membatalkan pernikahan kita dan kau bisa mencari wanita yang lebih baik,” katanya. Ia merasa tenggorokannya kering setelah mengatakannya.

Tom menggeleng. Menatap Laurie lekat-lekat. “Tidak ada wanita yang lebih baik daripada dirimu, Honey,” ujarnya. Kemudian, ia mengecup bibir Laurie dengan sangat hati-hati, seakan-akan bibir itu bisa saja pecah sewaktu-waktu seperti boneka porselen. “Aku akan tetap menunggu sampai kau siap. Bukannya usia kita masih muda?” Ia kembali berkata, lalu terkekeh renyah. Dikecupnya bibir merah jambu itu sekali lagi.

Kecupan-kecupan ringan itu perlahan-lahan berubah menjadi lumatan-lumatan yang memabukkan. Erangan-erangan liar pun terdengar dari keduanya. Namun, seperti ada alarm yang memperingatkan Laurie, wanita itu menghentikan cumbuan Tom secara sepihak. Mendorong dada lelaki itu dengan kasar. Kemudian, ia berbalik meninggalkan kamar mereka tanpa menengok ke arah Tom lagi.

Ketika pintu itu tertutup di belakang punggungnya, Laurie menjatuhkan dirinya. Tangisannya kembali pecah, tapi tanpa suara. Punggungnya bergetar hebat, lalu suara isakan pelannya mulai terdengar kembali.

Sementara Laurie menangis di depan pintu kamarnya, Tom mematung di balik pintu. Menimbang-nimbang apakah ia akan membuka pintu itu untuk menyusul Laurie. Namun, mendengar isakan wanita itu membuatnya mengurungkan niat, sebab ia tahu betul kalau wanita itu akan lebih menjauhinya.

 

BAB 1

Jodoh Pasti Bertemu?

 

Lauire West memicingkan mata. Ia melihat sosok yang sangat dikenalinya, Jhon— suami kakaknya, Cathy—tengah berjalan di kerumunan dan mengarah ke arahnya. Jhon yang usianya sebaya dengan Tom tampak lebih tua dari terakhir mereka bertemu, dan Laurie sudah bisa menebak penyebabnya. Hannah kecil dan juga segudang pekerjaannya di kantor. Jhon adalah sosok lelaki idaman untuk kebanyakan wanita. Cathy sangat beruntung memilikinya, pun sebaliknya, Jhon juga sangat beruntung memiliki Cathy—sosok yang sempurna sebagai istri dan ibu anak mereka.

Lauire mendekat. Senyuman lebar terlukis di bibirnya. Kemudian, binar matanya makin bersinar tatkala melihat makhluk kecil yang berada dalam gendongan lelaki itu. Dia Hannah, putri kecil Cathy dan Jhon yang usianya baru menginjak tiga bulan. Hannah kecil begitu mirip kedua orang tuanya. Rambut cokelat terangnya diwariskan dari Cathy, sementara mata dengan iris abu-abunya dari Jhon. Mata bulat itu tengah menatap Laurie dengan tatapan polos yang menggemaskan.

Laurie baru sempat mengunjungi kemenakannya itu. Terlebih, setelah kejadian beberapa malam lalu, yang membuat Laurie memutuskan untuk menghindari Tom sementara waktu. Dan ia berakhir di sini, terbang dari Los Angeles ke Pacific Grove, salah satu kota pantai, tempat Cathy dan Jhon tinggal.

Laurie menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan bayangan suaminya yang seharusnya tidak pernah ia pikirkan saat ini, ketika ia sudah memutuskan untuk kabur dari lelaki itu. Kembali Laurie memusatkan pandangannya pada makhluk mungil di depannya. Menatapnya lekat-lekat, lalu mengulurkan kedua tangannya.

“Di mana Cathy? Dia tidak ikut menjemputku? Jahat sekali dia,” tanya Laurie, ketika ia mencoba menggendong Hannah. Memosisikan makhluk mungil itu senyaman mungkin dalam gendongannya.

“Kau yakin mau menggendong Hannah?” tanya Jhon, sambil melirik ke arah pantat bayi itu yang terlihat mengerikan. “Hannah basah, Laurie. Kau pasti akan merasa jijik setelahnya. Sebaiknya kembalikan dia padaku,” ujarnya.

Laurie mengernyit dan menggelengkan kepala. Ia tersenyum masam, lalu kembali memusatkan pandangannya pada Hannah yang sekarang berada dalam gendongannya.

“Aku tidak keberatan. Terlebih saat kemeja kesayanganku sudah kotor sebelum aku menggendong gadis kecil cantikmu ini, Jhon,” ucap Laurie yang terdengar kesal. “Jadi, di mana Cathy? Apakah dia benar-benar tidak ikut menjemputku?”

“Tentu saja Cathy ikut ke sini, hanya saja Hannah membuatnya harus membersihkan diri terlebih dahulu,” timpal Jhon, sambil tersenyum penuh arti.

Namun, mendengar nada suara Laurie yang kesal membuat Jhon mengerutkan dahi. Meneliti setiap inci pakaian yang dipakai wanita itu. Kemeja putih tersembunyi di balik jas mahal berwarna hitam, sementara bawahan yang dikenakan Laurie adalah rok hitam sebatas lutut. Sekilas tidak ada yang aneh, kecuali jas hitam mahal itu yang kurang cocok untuk dikenakan oleh seorang wanita.

“Kau tidak akan menemukannya, Jhon, karena Hannah telah benar-benar menutupinya,” ujar Laurie seakan-akan mengetahui isi kepala kakak iparnya. “Dan jas ini tentu saja bukan milikku,” ia menambahkan.

Jhon semakin mengerutkan dahi. “Lalu itu milik, Tom? Bagus kalian ke sini untuk berbulan madu. Di mana suamimu sekarang?”

Wajah Laurie terlihat makin kesal. Tanpa menjawab pertanyaan Jhon, ia telah berjalan menjauhi lelaki itu dengan meninggalkan koper miliknya. Sementara Jhon yang kaget mematung di tempat, baru tak lama setelahnya ia mengejar Laurie.

Entah kenapa Jhon tidak bisa membuatnya sedetik saja melupakan Tom. Untungnya di depan sana Cathy tengah berjalan ke arahnya. Senyuman kakak perempuannya itu selalu membuatnya menemukan rumahnya kembali. Ya, Cathy satu-satu keluarganya yang tersisa setelah kedua orangtuanya meninggal karena kecelakan waktu mereka masih remaja, dan Cathy sudah seperti ibu penggantinya saat ini. Walau kenyataannya jarak usia mereka hanya terpaut lima tahun, baginya sifat wanita itu melebihi usia yang sebenarnya.

Cathy memeluk Laurie erat, tidak peduli bila dalam gendongan gadis itu ada putri mungilnya. Ia melepaskan pelukannya lalu menatap Laurie dari atas sampai bawah, kemudian berakhir pada jas hitam mahal yang dikenakannya.

“Bukan milikku, Cat.” Sambil mendengus sebal Laurie memutar kedua bola matanya. “Ada lelaki gila yang menabrakku di bandara dan sialnya menumpahkan kopi dingin ke kemeja kesayanganku. Dan, kau bisa menebak apa yang dikatakannya?” Laurie tidak sedang bener-benar bertanya, karena ia kembali berkata,Maaf,’ sambil melepas jasnya dan memakaikannya padaku, lalu meninggalkanku tanpa sedikit pun merasa bersalah.”

Cathy mengulum senyum. Ia tahu betul bagaimana sifat adiknya yang akan sangat marah jika seseorang mengusiknya, apalagi telah merusak barang kesayangannya. Tapi anehnya kenapa Laurie mau memakai barang orang asing?

“Hei, katakan kenapa kau mau memakai jas itu sementara yang kutahu kau paling anti memakai barang orang lain?” tanya Cathy, dengan mengerutkan dahinya.

Laurie kembali memutar kedua bola matanya, lalu menyipitkan mata. “Kopi itu tepat mengenai tempat yang paling tidak tepat. Kau tahu, kan maksudku?”

Tanpa harus dijelaskan lagi, Cathy sudah mengerti apa yang dimaksud, karena setelahnya ia tertawa. Ia menepuk punggung Laurie pelan. “Lalu, bagaimana caranya kau mengembalikan jas mahal milik orang gila itu?” tanyanya.

“Dia bilang, ‘Jika kita berjodoh, pasti suatu saat akan bertemu kembali.Lelaki itu memang sudah tidak waras!” omel Laurie sambil mendengus tidak senang. Lalu ia berjalan meninggalkan Cathy, tapi setelahnya, ia kembali menghentikan langkah. “Omong-omong di mana mobilnya?”

***

            Udara hangat langsung menyambut ketika Laurie turun dari mobil hitam milik kakak iparnya. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak sesantai ini. Pilihannya datang ke Pacific Grove adalah keputusan yang tepat, pikirnya.

Rumah Cathy tampak memukau. Rumah itu bergaya Victoria dengan atap yang bagian puncaknya seperti kerucut dilengkapi cupola, mengingatkan Laurie pada menara istana yang pernah dibacanya di buku dongeng ketika kecil dulu. Sementara di halaman rumah terdapat beberapa pot yang ditumbuhi bunga yang tengah bermekaran. Laurie tersenyum. Menikmati suasana baru dengan suara ombak terdengar dari kejauhan. Pelariannya kali ini mungkin akan membuatnya lupa dengan permasalahan rumah tangganya.

Merasa ada yang menepuk punggungnya, Laurie menoleh. Seketika, kedua bola matanya yang beriris hijau membulat sempurna. Laurie mengerjap dan melangkah mundur memberi jarak.

Sepertinya kita memang berjodoh. Buktinya belum genap dua puluh empat jam, kita sudah bertemu kembali,” ucap seorang lelaki berkemeja putih. Rambut gelapnya tampak berantakan, tapi tidak membuatnya kehilangan ketampanannya. Malah sebaliknya—terlihat seksi.

Laurie mematung. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, apalagi menimpali perkataan lelaki asing itu yang terdengar tidak masuk akal. Untungnya ada Jhon yang menghampiri mereka. Pria itu tiba-tiba memeluk lelaki asing itu seperti teman lama yang kembali bertemu.

“Hei, Scott, sejak kapan kau kembali? Rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu,” ucap Jhon setelah ia melepaskan pelukannya, lalu berdiri di tengah-tengah Laurie dan Scott.

Lelaki bernama Scott itu tersenyum. “Kabar baiknya, aku akan menetap di kota ini, Jhon, dan, ya ... siapa dia?” Dia tidak mengacuhkan pertanyaan Jhon. Matanya melirik ke arah Laurie.

Seperti tahu maksud lirikan teman masa kecilnya itu, Jhon menyeringai penuh arti. “Jangan ganggu dia, Scott, atau kau akan benar-benar celaka setelahnya,” ucapnya memperingatkan.

“Sial! Apa dia istrimu?”

“Tentu saja bukan. Tapi dia adik istriku, dan jangan kau harap bisa macam-macam dengannya. Sebab, aku akan jadi orang pertama yang akan menghajarmu kelak sebelum suaminya.”

Seperti tersadar dari kegugupannya, Laurie menatap kedua lelaki itu. Setelahnya, perasaan tidak nyaman mulai mengusiknya tatkala ia memergoki lelaki asing itu menatapnya lekat, kemudian tersenyum ke arahnya.

“Jhon, aku harus menyusul Cathy,” ucap Laurie gugup, lalu berlari kecil meninggalkan tempat itu. Namun, ia masih merasa mata lelaki itu terus mengikutinya.

“Hei, jangan lupa kembalikan jasku! Aku akan menunggunya sampai kau siap! Jhon akan menunjukkan jalannya,” teriak lelaki itu yang membuat Laurie tidak ingin menoleh ke belakang.

Sesampainya di depan pintu, Cathy sudah berada di sana dengan kedua lengannya yang dilipat di depan dada. Kedua matanya yang hijau tengah memicing curiga. “Apa dia lelaki gila itu? Kau sebaiknya berhati-hati mulai dari sekarang.

Laurie mengedikkan bahu sambil memutar mata malas. Diacungkannya tangan kiri untuk menunjukkan benda perak bertahta berlian yang melingkar di jari manisnya. “Lihat. Aku wanita yang sudah menikah, Cat, dan aku tidak akan mengkhianati, Tom, suamiku,” ucapnya penuh keyakinan.

Namun, Cathy sepertinya tidak mudah percaya. Nyatanya, mata wanita itu terus saja menyipit curiga. Bahkan, ekspresi wajah Cathy yang serius tidak sedikit pun berubah. Sampai Laurie benar-benar merasa tidak nyaman harus mendapatkan perlakuan seperti itu. Seolah-olah dirinya adalah seorang pencuri yang harus diwaspadai. Ia bergidik. Berbalik, memilih meninggalkan wanita itu.

Sepanjang perjalanan menuju kamar yang biasa Laurie tempati, benaknya dipenuhi oleh kata-kata Cathy, pun sosok lelaki yang terang-terangan menggodanya itu. Kembali ia menggelengkan kepala, seolah dengan cara itu bisa mengenyahkan mereka dari pikirannya, dan beralih memikirkan Tom yang ia tinggalkan sendiri. Namun lagi-lagi, bayangan lelaki asing itu terus saja mendobrak masuk. Mengenyahkan wajah Tom seenaknya dan menggantinya dengan wajah menyeringainya.

Tom …. Benarkah ia tidak akan mengkhianati lelaki itu? Padahal selama tiga tahun pernikahannya, ia belum pernah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri. Bahkan hari ini, pikirannya dipenuhi oleh sosok lelaki asing yang baru ditemuinya. Bukannya itu termasuk gejala awal pengkhianatan?