cover landing

Strangers in the Night

By StanzaAlquisha



New York terlalu padat. Sungguh terlalu padat.

Crystal sontak menahan napas kala udara musim dingin menyambutnya di ambang pintu gedung apartemen. Salju tengah turun hampir sederas hujan. Dia langsung menyesal tidak membeli payung baru untuk menggantikan payungnya yang rusak beberapa hari yang lalu. Bahkan, merapatkan mantelnya sampai ke dagu pun tidak mendamaikan tubuhnya yang menggigil.

Gadis itu menuruni undakan di depan pintu masuk, sambil memastikan dia tidak menginjak retakan menganga yang berada di dasar. Retakan itu sudah memakan setidaknya dua orang korban, salah satunya adalah tetangga sebelah Crystal. Terakhir kali Crystal berpapasan dengannya ketika hendak mengambil surat di lantai dasar, tetangganya itu masih berjalan terpincang-pincang akibat kakinya yang keseleo. Mr. Turnsmith, si Pak Tua pemilik apartemen, sudah berjanji sejak musim panas tahun lalu untuk memperbaiki retakan pembuat celaka ini. Namun, sampai musim dingin tahun ini masih saja belum dia lakukan. Mau tidak mau, Crystal harus mafhum. Tidak mungkin dia mengharapkan fasilitas mewah di apartemen sebobrok ini. Dengan gaji sederhananya sebagai seorang guru kursus piano di salah satu kota termahal di dunia, tidak mungkin pula dia menyewa tempat tinggal semewah rumah masa kecilnya dahulu.

Langkahnya membawa gadis itu melewati berbagai toko dan kedai di pinggir trotoar, masing-masing dengan warna neon yang berbeda dan pemilik yang berasal dari negara yang berbeda. Bahasa mereka mengalun keluar dari pintu-pintu yang setengah terbuka, menemani Crystal dalam kesibukan benaknya. Meski ramai dan kumuh, tetapi Crystal tidak menyesal memilih sudut Chinatown, Manhattan, untuk menjadi rumahnya selama empat tahun terakhir ini. Keragaman penduduknya membawa kehangatan tersendiri, membuat Crystal tidak lagi merasa sendiri. Betapa berbeda dengan rumahnya dahulu yang, meski nyaris seluas istana, hanya menawarkan gamang dan sepi.

Kaki Crystal mendadak terhenti saat menyadari pantulan bayangannya di kaca restoran bebek peking. Butiran salju yang jatuh di kepala membuat rambut cokelat gelapnya terlihat seperti dipenuhi ketombe. Sambil menggerutu, Crystal mengibaskan rambutnya agar serpihan-serpihan menyebalkan itu hilang. Dia meraih topi rajut yang dia simpan di dalam kantong mantel. Topi itu sebenarnya selalu membuat kepalanya gatal, tetapi dengan situasi seperti sekarang, dia tidak punya pilihan lain.

Ya Tuhan, betapa Crystal membenci musim dingin. Hingga sekarang pun dia masih heran jika ada orang yang mengatakan mereka menyukai salju. Meskipun dia lahir di tengah-tengah Desember, tetap saja dia tidak bisa mengingat satupun kejadian menyenangkan yang terjadi di musim ini.

Terutama sejak dua belas tahun yang lalu.

Ketika itu, usianya baru menginjak sepuluh tahun. Adiknya, Melody, yang empat tahun lebih muda darinya, memaksa Crystal untuk menemaninya bermain di taman rumah mereka yang luar biasa luas. Papa mereka baru akan pulang malam hari. Crystal ditugaskan untuk mengasuh Melody hingga ayahnya pulang, karena pelayan-pelayan mereka banyak yang cuti selama liburan Natal. Salju tengah turun tanpa belas kasihan. Seluruh permukaan taman diselimuti salju yang licin dan menyilaukan. Tadinya, Crystal enggan menginjakkan kaki keluar rumahnya dalam cuaca seperti itu. Namun, adiknya merengek dan menjerit-jerit dengan sangat menyebalkan hingga Crystal tidak punya pilihan lain kecuali menyanggupi permintaan Melody. Crystal hapal benar, jika  kemauannya tidak dituruti, Melody akan langsung mengadu kepada ayah mereka.

Crystal menyadari bahwa sang ayah jauh lebih sayang kepada Melody.

Ayahnya tak pernah henti memuji anak keduanya itu. Menyebutnya ‘jenius’, ‘anak hebat’, ‘luar biasa berbakat’, dan sejenisnya. Memang benar, dalam usia yang masih sangat muda, Melody sudah mampu menguasai komposisi musik klasik rumit yang bahkan Crystal sendiri pun nyaris tidak sanggup mainkan. Dia hanya bisa duduk dalam diam dan menyaksikan Melody memainkan lagu yang anak-anak seusia adiknya itu bahkan belum pernah dengar, sementara sang ayah menghadiahinya tepuk tangan dan seruan “Nah, itu baru anak papa!” Ayahnya tidak pernah bertepuk tangan untuknya. Kata-kata paling mendekati pujian yang pernah terlontar untuknya hanya “Kamu tidak terlalu mengecewakan”. Itu saja. Tidak pernah ada tepukan lembut di kepalanya, apalagi pelukan hangat yang sering Melody dapatkan dengan mudahnya.

Di saat-saat seperti itu, Crystal sangat merindukan sang ibu yang meninggal di saat umur Melody baru delapan bulan. Sejauh yang Crystal ingat, sang ibu memang selalu sakit-sakitan. Dan ketika hari terakhir ibunya di dunia ini tiba, Crystal bahkan tidak pernah punya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Di hari itu, sepulang sekolah, Crystal meminta Matthews, sopir pribadinya, untuk mengantarkannya ke tepi sungai kecil dekat rumah. Crystal menikmati berlama-lama di sana, mengamati aliran sungai yang tenang, dan menyatu dengan suara gemericik air di sana. Meski sopir pribadi merangkap bodyguard-nya itu tidak henti mengawasinya, sesuai instruksi sang ayah tentu saja, Crystal tetap merasa damai di sana. Tidak seperti ketika di rumahnya, yang hanya membuatnya ingin melarikan diri sejauh yang dia bisa. Dia juga tidak merasa harus cepat-cepat pulang. Crystal tahu, orangtuanya pasti sedang sibuk memanjakan adik perempuannya yang masih bayi itu.

Crystal akhirnya tiba di rumah pukul empat lewat. Semua pelayan, bahkan si tukang kebun, tengah berkumpul di ambang pintu kamar orang tuanya. Wajah mereka semua mendung, membuat Crystal bingung. Malah ada yang tengah terisak. Crystal berlari ke dalam kamar dan menemukan ayahnya tengah terpaku di sebelah ranjang, sementara ibunya terbaring dengan mata menutup. Crystal ingat berusaha bertanya kepada sang ayah apa yang telah terjadi, tetapi hanya mendapatkan tatapan beku sebagai balasannya. Crystal tidak mengerti. Bukankah ibunya hanya sedang tertidur pulas?

Ruangan sebelah sungguh bising. Melody sedang menangis, menjerit-jerit, sembari berusaha ditenangkan oleh salah satu pengasuhnya. Crystal mengulurkan tangannya untuk membangunkan sang ibu agar dia bisa menggendong Melody. Namun ketika jemarinya menyentuh pipi sang ibu, dia tersentak karena menyadari betapa kulit sang ibu begitu dingin dan kaku.

Sang ayah bergumam, “Kamu dan mamamu memang sangat mirip.”

Crystal mendongak. Berharap. Sekadar penghiburan atau penjelasan saja cukup, meski hanya sedikit.

“Kalian sama-sama terlalu lemah.”

Kalimat itu menorehkan cakarnya ke dalam benak kanak-kanak Crystal dan bercokol di sana sampai detik ini.

Sepeninggal sang istri, ayahnya semakin memanjakan Melody dan melupakan Crystal. Lama-kelamaan, Crystal berhenti berusaha mendapatkan perhatian yang sama. Dia memilih untuk menarik diri dari dunia di sekitarnya. Dia mengubur setiap kata-katanya, karena dia tahu ucapannya hanya akan diabaikan jika tidak sekaligus dicemooh. Sunyi menjadi kawan akrabnya. Hanya pianolah satu-satunya yang dia rasa bisa mengerti dirinya. Bagi Crystal, piano tidak pernah menuntutnya untuk lebih kuat, lebih pintar, atau lebih lihai memainkan nada.

Jadi, ketika Melody memaksanya untuk bermain di bawah guyuran badai salju di kala itu, Crystal tahu dia tidak punya kuasa untuk melawan, karena sang ayah sudah pasti akan memihak adiknya. Sambil merasakan udara dingin yang menggerogoti tulangnya, Crystal mengawasi Melody yang melesat ke sana kemari, tertawa-tawa riang di atas permukaan tanah yang licin.

“Lihat! Kolam koi Papa sampai beku! Ikan-ikan di dalamnya masih hidup tidak, ya?”

“Melody,” ujar Crystal di antara gigi yang bergemeletuk. “Bisakah kita kembali masuk saja?

Namun, Melody malah berseru, “Ayo balapan ke kolam! Kalau kamu bisa menyusulku, baru aku akan ikut masuk ke dalam lagi.”

“Me-Melody .… Please ….”

Melody menghentikan langkahnya dan menatap Crystal tepat di mata. Sorot matanya terlihat terlalu dewasa untuk anak kecil seusianya.

“Kalau kamu tidak ikut balapan, aku akan bilang ke Papa kamu tidak mau main denganku.”

Aku akan bilang ke Papa. Melody mengeluarkan kalimat andalannya.

Crystal menghela napas. Berusaha mengabaikan jari-jari kakinya yang mulai kebas dan salju yang mulai semakin menumpuk di tanah, dia pun mulai berlari untuk mengejar adiknya.

Dia sampai lupa bahwa dia masih mengenakan sandal rumah.

Gerakan Melody terlalu cepat bagi Crystal. Dia berkelit tepat ketika tangan Crystal hampir menyambar bahunya. Akibatnya, Crystal kehilangan keseimbangan. Tangannya mengapai-gapai udara, mencari sesuatu untuk bisa menjadi pegangan. Nihil. Kakinya terpeleset sebelum menghantam salah satu batu hias di taman. Tubuhnya pun terempas ke tanah dengan wajah mendarat duluan.

Hidungnya memar dan mimisan. Pergelangan kakinya keseleo, dan tulang keringnya retak. Tidak lama kemudian, sang ayah pulang. Dia melihat kondisi Crystal dan berkomentar singkat, “Untung tangan kamu masih bisa dipakai main piano.”

Matthews, yang kebetulan tidak sedang cuti, memberikan pertolongan pertama untuk Crystal dan membawanya ke rumah sakit. Seharian penuh, air mata Crystal tidak berhenti mengalir. Bukan karena rasa sakit di kakinya, tetapi karena kata-kata sang ayah yang terus terngiang-ngiang di telinganya.

Sejak saat itu, Crystal menjadi seorang pembenci salju.

***