cover landing

Simfoni Siak

By Leyla Hana


Setiap saat, setiap aku memandang ke mana arah mata memandang, aku dapat menyaksikan rimbun pepohonan dan mencium aroma kayu yang menguar di udara. Tuhan telah menjadikanku spesies yang beruntung merasakan hidup di tengah alam, menghirup udara segar, dan terlindungi dari campur tangan manusia. Semua tahu, aku rajanya. Tak ada yang dapat mengusik tanahku, sampai kabut itu datang.

Dia serupa kabut, tetapi berbau. Dia meracuni pernapasanku, membuatku pontang-panting melarikan diri. Tetapi, aku terkepung. Gemetar dalam persembunyian. Mataku panas, tercemar kabut asap. Sekitarku terang menyala-nyala, sebab api sudah mengelilingiku. Tak ada yang mendengar raunganku. Tak hanya aku yang pontang-panting. Gajah, tapir, beruang, dan spesies lainnya, sibuk menyelamatkan diri. Kami berlari mengikuti insting, meski itu berarti kami harus memasuki wilayah manusia. Lari atau mati.

Siapakah mereka yang telah merebut daerah kekuasaan kami? Dengan bersenjatakan api, mereka terlihat bak iblis dari neraka. Tertawa-tawa menyaksikan penderitaan kami. Setahuku dulu, manusia tak seganas itu. Setahuku dulu, mereka mau berbagi tempat dengan kami. Setahuku dulu, mereka tak membakar rumah kami dengan semena-mena. Apakah mereka begitu serakah menguasai hutan tempat tinggal kami?

Kawan, aku menantikan kepedulian kalian. Bantu aku agar bisa kembali menguasai tanahku. Aku hanya butuh tempat tinggal dan makanan. Bantu aku agar bisa kembali menghirup kabut alami dari pepohonan, bukan kabut asap dari api yang melingkar.

Jika Anda peduli kepada kami, bergabunglah denganku dalam kampanye damai BUMI, di depan kantor Kementerian Kehutanan, tanggal 11 Maret 2014.

Tertanda,

Si Maung.

 

Arimbi menghela napas panjang, usai jemarinya mengetikkan materi kampanye damai yang akan disebarkan di situs BUMI, LSM lingkungan hidup, tempatnya mengabdi selama tiga tahun belakangan. Matanya menoleh sebentar, ke arah maskot si Maung, simbol kampanye BUMI  untuk penyelamatan hutan dari kebakaran, sebuah boneka berbentuk harimau. Ia menutup file-nya, yang segera digantikan oleh situs berita online yang menayangkan kasus kebakaran hutan di Riau. Sementara lini masa di twitternya pun ramai oleh hastag #SaveRiau dan #PrayforRiau.

Hari ini libur karena kabut asap menutup jalan. #SaveRiau

Tenggorokan sakit, mata merah kena asap. #SaveRiau

Tolong kami, wahai penguasa. Biarkan Riau kami bebas dari asap. #SaveRiau

Arimbi menggeleng-gelengkan kepala. Tak terbayang bila ia juga harus menghirup asap dari kebakaran hutan di Riau. Ada 145 titik api yang menyebar ke beberapa wilayah. Jarak pandang terus berkurang, hingga hanya sejauh 200 meter. Kualitas udara sudah masuk ke tingkat berbahaya, dan sudah ada sekitar 41.589 orang terkena penyakit pernapasan, ISPA. Status Riau sudah mengkhawatirkan. Kebakaran hutan itu sudah tak bisa ditoleran.

“Kebakaran hutan ini akibat perilaku masyarakat di sini juga. Mereka memang suka membakar hutan ketika akan membuka ladang,” polisi setempat, mengatakan.

“Mereka punya aturan. Para pendatang yang mengikuti cara mereka, tapi melanggar adat,” perwakilan dari masyarakat, membantah.

Arimbi masih serius membaca berita-berita yang berseliweran di layar laptopnya, hingga bosnya memanggil. Dengan langkah cepat sesuai gayanya yang tomboi, Arimbi memasuki kantor bosnya yang didominasi dengan cat hijau pupus dan furniture hijau lumut. Telinganya langsung mendengar intruksi bosnya yang matanya belum beralih dari layar laptop.

“Mbi, besok kamu ke Riau ya. Coba cari tahu apa penyebab kebakaran hutan di sana untuk bahan kampanye kita.”

Mata Arimbi melebar. Riau? Berangkat ke Riau?

Ia tak ada masalah dengan mobilitas, tetapi Riau menyisakan kenangan yang pahit untuknya. Kenangan yang belum bisa enyah dari pikirannya, meskipun sudah bertahun-tahun lalu. Ia pernah menginjakkan kaki di Riau, demi orang itu. Bukan sebuah pengalaman yang menyenangkan.

“Ada, Mbi? Kok kamu diam?” Bosnya, seorang lelaki bertubuh gempal, dengan pilihan pakaian yang santai: kemeja kembang-kembang dan celana pendek di bawah lutut, memandangnya dengan ekspresi bertanya. “Kamu gak ada jadwal lain, kan?”

“Jadwal apa? Fokus kita sekarang kan Riau. Tentu saja saya mau.” Arimbi menjawab.

“Oh, saya pikir kamu mau plesiran ke mana….”

Arimbi tersenyum tipis. Itu semacam sindiran. Selama ini, kegiatan travellingnya selalu berkaitan dengan pekerjaannya sebagai sukarelawan BUMI. Yah, kadang-kadang ia menikmatinya, tapi lebih banyak seperti semacam petualangan James Bond.

            “Baiklah. Saya akan segera bersiap-siap.” Ia hendak meninggalkan ruangan bosnya.

“Hati-hati, Mbi. Kamu tahu kan kamu akan berhadapan dengan siapa?” suara bosnya, kembali menghentikan langkahnya.

Arimbi mengangguk. Selama menjadi sukarelawan BUMI, tugasnya tak pernah mudah.

***