cover landing

Shades in You

By mrsundaynight


Nafsu yang menggelora memenuhi sore di kamar seorang gadis yang sedang asyik bermesraan dengan kekasihnya. Buah dada besar nan indah itu digerayangi dengan lembut. Di atas sofa yang cukup lebar itu mereka saling memangku berhadapan. Bertelanjang dada, dan hanya celana panjang yang menempel pada tubuh mereka. Ciuman-ciuman ganas terlontar begitu penuh nafsu, saling berbalasan, sembari lidah mereka beradu membasahi bibir.

Gadis itu tidak bisa menahan nafsu saat berada di atas pangkuan kekasihnya. Tangan Gadis itu menopang kuat pada leher dan pundak sang pria saat kedua putingnya dihisap kuat. Kegelian sekaligus kenikmatan dirasakannya seiring dengan nafsunya yang mengalir membuat pinggulnya bergerak tidak terkendali untuk saling bergesekan. Lenguhan pelan pun keluar dari bibir manis gadis itu.

Pria itu pun sekuat tenaga menahan dorongan nafsu kekasihnya. Tangannya kini beralih kepinggul gadis itu untuk menyeimbangkan gerakan liar selangkangan mereka yang beradu. Merasakan hangatnya rangsangan ‘milik’ mereka yang dibatasi celana tebal.

Tok! Tok! Tok!

“IMMMEEEIII!!!” panggil seorang pria dari depan pintu kamar Imei yang di kunci. “Imei, lo di dalem kan?”

Imei dengan panik melompat dari pangkuan kekasihnya. Ia memandang sekelilingnya untuk mencari bra yang entah dibuang ke mana. Sedangkan kekasihnya sibuk mengenakan kaos yang ia letakkan di lantai. “Katanya rumah lo kosong, Mei?”

“Mana gue tau! Tiba-tiba aja Koko dateng!” jawab Imei yang menemukan bra di atas kursi dan dengan cepat mengenakannya dengan panik. Ia mengambil jaket dan merapikan rambut. “Ben! Buka gih!”

“Serius lo?”

“IMMMEEEIII, ngapain sih lo?!”

“Bentaaarrr!!!” jawab Imei setengah berteriak.

Benny menuju pintu lalu membukanya. “Lu ngapain di kamar adek gue?” tanya kakak Imei.

“E…” Benny bingung lalu memandang Imei.

“Bukan urusan lo! Kenapa sih, Ko! Gangguin orang aja,” sahut Imei kesal.

“Kemarin Papi kasih duit ke lo kan?”

Imei mendengus kesal. “Kan gue udah kasi Koko pinjem! Balikin dulu duit gue!!!”

“Iya, bereslah! Cepet, Mei! Bandar gue nunggu nih, nanti gue nggak kebagian barang!”

“Ko! Lo kapan sih mau tobat? Itu kan barang terlarang!”

“Ah! Sok suci lo! Cepet! Ato gue laporin Papi lo udah ngapain aja sama Benny! Lo pikir gue nggak tau?!”

Benny yang was-was  merogoh kantongnya lalu menyerahkan 3 lembar uang sepuluh ribu rupiah. “Ini cukup kan, Jem?”

“Segini doang?!” kata Jemmy dengan senyuman sinis tanda meremehkan.

Imei mendengus kesal lalu mengambil dompetnya dan menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah. “Ini yang terakhir gue punya!”

“Nah gitu dong!” Jemmy pergi meninggalkan Imei dan Benny yang dengan kesal memandangnya.

“Lo bego banget sih, Ben! Ngapain lo kasih? Dia nggak akan tobat kalo gitu!”

“Udalah, Sayang… kita main aman aja,” tukas Benny sambil memegang pundak Imei. “Di ruang tamu aja yuk.”

Mereka berjalan menyusuri ruangan di rumah yang tidak begitu besar itu. Tembok putih yang sudah kusam menambah kesan rumah yang sudah tua yang dipenuhi kalender. Benny dan Imei duduk di ruang tamu sambil menonton acara sore. Sembari menunggu ayah Imei pulang dari rumah sakit jiwa menemani istrinya.

Nasib yang kurang baik menimpa Imei sekeluarga. Tragedi Reformasi 1998  membuat keluarga mereka terpaksa mengurung diri di rumah selama beberapa bulan. Lengsernya pemerintahan Orde Baru membuat massa semakin beringas menekan kaum keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Khususnya di Jakarta, hampir semua dari mereka dikejar, disiksa, banyak juga yang diperkosa dan dibunuh. Ibu Imei saat itu sedang berada di jalan, mobilnya dihadang dan ia melihat kakaknya (paman Imei) dibunuh di hadapannya. Ditarik paksa keluar dari mobil saat kerusuhan dan kepalanya di hantami pipa besi dan balok kayu oleh pria-pria yang menggunakan masker hitam. Tidak cukup sampai di situ, anak paman Imei pun ditarik keluar dari mobil dan entah apa yang dilakukan pada gadis malang itu oleh pria-pria biadab yang datangnya entah dari mana. Ibu Imei yang terguncang mentalnya melarikan diri ke dalam gang dan diselamatkan oleh seseorang warga keturunan yang sedang berlindung.

Waktu itu Imei ingat betul saat ia ada di rumah. Ayahnya sangat cemas. Pintu-pintu di tutup, jendela-jendela pun dipasangi palang. Ia terpaksa makan mie instan selama beberapa minggu hanya untuk bertahan hidup. Saat malam jauh lebih mencekam, banyak orang berlalu-lalang di depan rumahnya. Membawa golok, tongkat atau senjata tumpul apa pun untuk menyakiti. Ayahnya hanya sibuk menelpon sambil ketakutan. Setiap saat setelah ayah Imei selesai menelpon, orang-orang itu pun perlahan pergi. Sampai kondisi kembali stabil. Imei tetap tidak begitu berani keluar rumah. Ia berhenti kuliah, sedangkan kakaknya melanjutkan kecanduannya akan obat-obat terlarang.

Kenangan itu terus ada di benak Imei sampai pada waktu berhenti saat ini. Saat ia duduk dan dipeluk oleh Benny kekasihnya. Tahun ini adalah 1999, tahun di ujung millennium baru yang meninggalkan banyak sejarah kelam bagi dirinya, keluarga, ataupun bagi bangsa Indonesia.

Imei adalah gadis keturunan yang cantik. Dulu ia adalah bintang kampus sekaligus bintang SMA. Matanya bundar kecil, bibirnya pun terbilang mungil dan membentuk lengkung manis yang membuat pesonanya semakin indah saat ia tersenyum. Pipinya bulat seperti bakpao, putih, dan sangat mulus. Hidung Imei pun kecil tetapi cukup mancung. Kecantikannya ditambah dengan rambut lurusnya yang panjang sampai sepinggul serta tubuh seksinya yang sangat indah. Tubuh yang terkadang membuatnya kesal karena pria selalu memandang pada payudaranya terlebih dahulu sebelum memandang wajah Imei. Payudara indah dengan ukuran jauh di atas rata-rata yang membuatnya amat sulit mencari bra.

“Sayang…” kata Benny tiba-tiba.

“Ya?”

“Itu kayaknya Om datang.”

Imei beranjak dari kursinya lalu membuka pintu. Ia melihat ayahnya yang dengan lesu menutup pintu gerbang. Wajah sedih itu selalu ia lihat setiap pulang dari rumah sakit jiwa.

“Papi capek?” tanya Imei sekadar untuk peduli.

“Yah lumayan, Nak,” jawab ayah Imei sambil tersenyum.

“Om…” sapa Benny dari ruang tengah.

“Eh, ada Nak Benny…” sahut ayahnya, “Sudah makan, Nak Ben? Ini Om bawakan cap-cay sama fuyung hay, makan yuk!”

Benny beranjak dari kursinya lalu mengambil jaketnya., “Nggak usah, Om, terima kasih. Saya makan di rumah saja. Untuk Imei saja, dia kan makannya banyak,” kata Benny menghibur.

“Eh, ngejek lu!” Imei memukul gemas lengan Benny.

Ayah Imei cukup terhibur dengan candaan itu. “Itu Imei makannya banyak tapi tidak tinggi-tinggi.”

“Ih, Papi ikutan ngejek ih!” Tinggi Imei kurang 10 cm lagi untuk menjadi seorang Model yang standarnya adalah 170 cm untuk wanita.

“Aku anterin Benny dulu ya, Pi?”

“Iya, Papi siapin makannya dulu.”

Imei dan Benny berjalan ke garasi, kemudian Benny duduk di atas motor Suzuki RGR berwarna ungu. “Gimana? Lo nggak lanjut kuliah lagi?”

Imei hanya menggeleng “Mau lanjut gimana? Hidup kita aja masih was-was gini. Nanti kalau semuanya normal gue mau nyari kerjaan aja.”

“Mau kerja apa lu?”

“Nggak tau lah, Ben. Yang jelas nggak jualan nomer kayak Papi atau jadi bandar judi.”

Benny hanya tersenyum menanggapi pernyataan itu. “Ya udah, gue pulang dulu.”

Imei hanya mengangguk, setelah itu ia menyambut ciuman Benny sebelum pria itu berlalu menuju jalan depan rumah. Setelahnya Imei memandang motor itu hilang saat berbelok di persimpangan sambil menutup pagar. Kemudian ia bergegas menuju dapur tempat ayahnya sedang membereskan meja.

Imei dan ayahnya makan dengan seadanya. Semenjak ibunya tidak di rumah, mereka hanya menjalani hari dengan kesunyian. Tiap bulan Imei selalu diberikan uang oleh ayahnya. Uang yang sengaja ia simpan untuk memenuhi kebutuhan rumah.

"Nak, sudah berapa lama kamu jalan dengan Benny?" tanya ayahnya.

"Kurang tau, Pi, dari tahun baru tahun 1997 kira-kira. Mau dua tahunan," jawab Imei santai.

"Kamu inget sama keluarga Pak Darsono? Bapak yang selalu datang pas kerusuhan kemarin."

"Yang anak buahnya sering nganterin makanan itu?"

"Iya, Nak. Bapak itu. Kalau tidak ada keluarga mereka, kita sekarang pasti sudah tinggal nama. Untung mereka menyelamatkan kita pas peristiwa kemarin."

"Iya, Pi, kenapa memangnya?"

"Anaknya, Reynaldi pingin kenalan sama kamu. Keluarga Pak Darsono kan anak-anaknya sudah menikah semua. Tinggal Rey aja yang belum."

Imei memandang ayahnya dengan pandangan gusar. "Maksud Papi Imei mau dijodohin sama dia?"

"Nggak gitu juga. Tapi nggak apa kan kalian kenalan dulu. Sebenarnya itu sih terserah kamu." Ayah Imei memandang anaknya dengan pandangan memelas, "Maafin Papi, Nak. Bisnis Papi memang bisnis ilegal, tapi tanpa koneksi ke aparat. Hidup kita tidak mungkin bisa sebaik sekarang. Papi tidak memaksa, tapi coba Imei pikirkan dulu."

***

Keesokan malamnya Imei dan ayahnya datang ke sebuah rumah besar. Di sana berkumpul satpam yang lengkap membawa senjata api dan laras panjang. Imei turun dari mobil Corola hitam, dan sesaat mengagumi rumah besar itu. Ia berjalan menuju rumah besar yang serba putih, melewati pilar yang sangat tinggi. Kemudian seorang paruh baya datang menyambut mereka berdua.

"Selamat malam, Bung Henny!" Pria itu menyalami ayah Imei.

"Malam, Pak Darsono"

"Wow, malam yang sangat indah kita bisa berjumpa lagi." Pak Darsono memandang Imei, "Hei, Gadis Cantik... Siapa namanya?" Pak Darsono menjulurkan tangannya pada Imei.

"Saya Imei, Pak."

"Oh... Anda cantik sekali." Pak Darsono menoleh ke belakang, "Reynaldi!!! Adik Jemmy datang..."

"Mei! Dateng juga lo!" Tiba-tiba Jemmy muncul dari ruang tengah. Diikuti oleh seseorang yang bertubuh tegap dan rambut klimis disisir ke belakang. Wajah pria itu terlihat tenang dengan kumis tipis yang ada di bibirnya. Wajahnya mirip dengan Pak Darsono.

"Ko Jem! Lo kenal sama anak Pak Darsono?"

Jemmy dengan bangga merangkul Reynaldi. "Ada bisnis kita!"

"Bisnis?" Wajah Imei terlihat bingung. Jika memang seperti itu berati Reynaldi adalah seorang pecandu sama seperti kakaknya.

"Tapi gue nggak makek! Sontoloyo lu!" Reynaldi tertawa sambil melepas rangkulan Jemmy. "Nggak, Mei, gue cuma bagian nyogok aparat, ya biasa lah... uang tutup mulut. Gue Reynaldi."

"Saya Imei..." sahut Imei sambil ragu-ragu.

"Wah sepertinya anak kita cocok ya," kata Pak Darsono.

"Silakan kalian ke taman jika ingin berbincang, Jemmy ikut Om, kita mau rapat. Dan Reynaldi jangan lupa jam setengah sembilan giliranmu."

"Siap, Bos!" Reynaldi menghormat.

***

Reynaldi berjalan beriringan dengan Imei di taman belakang rumah yang luas. Kemudian mereka melewati kolam renang dan duduk di dekat kolam ikan koi. Reynaldi memberikan kotak makanan ikan pada Imei. Kotak itu dibuka lalu dengan sendok plastik Imei menaburkannya di atas kolam. Ikan-ikan itu langsung berhamburan untuk menyantap makanannya.

"Jadi lo udah berhenti kuliah?"

"Iya, Kak. Keadaan makin sulit pas kita semua masuk ke krisis moneter," jawab Imei pelan.

"Hmm... memang, nggak ada yang namanya kekuasaan absolut. Sekarang sudah zaman Reformasi. Tapi nggak tau juga ke depannya, bakal lebih baik atau buruk."

"Semoga lebih baik sih..." ucap Imei pelan.

"Seharusnya begitu," sahut Reynaldi tenang. "Lagian parah juga, korup sampai segitunya. Ah! Malah jadi ngomongin politik. Sorry nih, aku langsung tanya aja. Mei udah punya pacar?"

"Eh…” celetuk Imei kaget." Ia tak tau apa yang seharusnya ia katakan. "Sebenernya sih, sudah ada, Kak," jawab Imei jujur.

"Wah, terlambat satu langkah gue. Jujur aja, Imei, gue orangnya gentelman. Gue udah suka pas liat lo waktu gue anterin Ayah ke rumah. Waktu itu lo sering ngumpet di balik pintu. Gue fair aja, sebelum janur kuning melengkung lo masih milik umum. Jadi gue boleh dong ngajuin penawaran gantiin pacar lo?"

"Ak, aku, eh, gue, gu, gue..." gagap Imei bingung.

Reynaldi menggenggam kedua bahu Imei. "Lo santai aja, gue udah ngomong sama bokap lo dan gue juga udah ngomong sama Ko Jemmy. Lo pikirin lagi, Mei, kalo emang harus minta baik-baik sama pacar lo buat ninggalin lo. Gue siap ngomong."

Imei hanya terdiam memandang kolam, ia tak tahu apa yang harus ia jawab. Sementara itu Reynaldi pun ikut larut dalam kesunyian suara gemericik air di malam yang dingin. Suara tawa terdengar dari dalam rumah. Suara tawa para politisi dan mafia penggerus kehidupan bangsa. Di tengah krisis dalam negri itu semua orang yang dulunya terbungkam mulai keluar. Dari penjahat hingga para pembelot yang siap menggantikan posisi koruptor absolut.

"Rey!" teriak seseorang dari pintu ruangan.

"Okay!" Rey mengerti kini gilirannya untuk memberikan pesan dan kesan pada bisnis gelap keluarga-keluarga yang haus akan uang itu. "Jagain calon istri gue, Jem."

"Pasti, Bos!" balas Jemmy.

Jemmy duduk menghampiri Imei lalu memandang adiknya. Ia mengambil sepuntung rokok lalu menyulutnya. Disesapnya nikmat rokok itu sambil duduk santai. "Sepi amat lo? Ngobrol apa aja sama Reynaldi?"

"Ngobrol dikit doang, Ko..." sahut Imei lemas.

"Mei, hidup kita ini sekarang nggak punya pilihan. Satu-satunya jalan adalah hidup aman. Om Windu dibunuh, anaknya, Rita ditemuin sama relawan di kolong jembatan digilir trus sekarang gangguan jiwa. Toko-toko pada dijarahin. Kalau kita nggak bisnis gelap terus ga dapat perlindungan dari keluarganya Reynaldi, lo tau kan apa yang terjadi?"

Imei kembali terbayang akan kejadian di mana ia hanya berani memandang orang-orang seram yang berlalu lalang di depan rumahnya. "Iya, Ko, gue tau..." Tak terasa air matanya menetes. Hatinya betul-betul seperti terpukul oleh palu.

"Umur lo 23, yah usia yang pantes lah untuk nikah. Reynaldi juga umurnya 28, yah lima tahun beda nggak apa lah... Eh, lo masih perawan kan? Mantan lo nggak ada ngapa-ngapain lo kan?"

Imei memandang kakaknya kesal. "KO! Ngomong apa sih!?"

"Kali aja... Udah jebol."

Imei mendengus kesal sambil mengusap air matanya. "Gue emang sering berduaan di kamar, tapi gue tau batas, Ko. Emang gue kayak lo."

"Ya baguslah kalo gitu. Kayaknya udah mau makan. Yuk masuk!"

Imei mengikuti ajakan Jemmy, mereka masuk ke sebuah ruangan besar tempat orang-orang berkumpul untuk menyantap makan malam. Imei duduk di sebelah Reynaldi, perlahan ia memandang wajah pria itu. Reynaldi adalah pria yang cukup tampan, tubuhnya hanya sedikit lebih tinggi dari Imei. Awalnya ia kurang setuju saat pria itu menyatakan perasaannya. Namun, lambat laun ia menjadi sedikit terkesima saat Reynaldi melayaninya, menuangkan air dan mengambil gurami goreng kipas ke piring Imei. Pak Darsono dan istrinya bisik-bisik pelan saat melihat mereka berdua.

Malam semakin larut, dan hanya keluarga Imei dan Pak Darsono yang ada di meja makan itu. Reynaldi menyatakan dengan gamblang bahwa dirinya suka dengan pribadi Imei. Seluruh keluarga akhirnya berkumpul dan memberikan waktu untuk Imei dan Reynaldi melakukan pendekatan.