cover landing

Sexy Seductress

By Ry-santi


When you go, would you even turn to say

I don't love you, like I did yesterday

Alunan musik My Chemical Romance terhenti usai memarkirkan mobil Honda Jazz merah. Menurunkan sedikit kaca spion tengah yang memantulkan raut tirus dengan mata cat eyes ala Kendall Jenner. Setelah merapikan diri, dia keluar dari mobil dengan anggun di atas flat shoes Zara nude seraya melempar lirikan sinis kepada orang-orang yang melihatnya dari atas ke bawah.

“Eh, itu dokter baru yang kemarin jadi gosip di grup WhatsApp, kan?” bisik salah seorang koas yang berdiri tak jauh dari sosok yang kini melangkah mendekatinya. “Pagi, Dokter Inez.”

Inez, dokter internis baru di rumah sakit Lovelette, hanya membalas sapaan pagi itu dengan senyum simpul tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Gendeng ... mripatku seger iki, Bro, (gila ... mataku jadi segar ini, Bro,)” timpal lelaki yang rambutnya sedikit gondrong. “Stase penyakit dalam, I'm coming!”

Seraya menjejaki lorong rumah sakit, Inez mengecek kembali gawainya yang beberapa saat lalu ada sebuah pesan dari perawat ruang Cempaka. Salah seorang pasien lansia yang masuk dari UGD semalam mendadak mengalami hipoglikemia (kondisi ketika kadar gula di dalam darah berada di bawah normal) akibat menelan obat anti-diabetes tanpa pengawasan keluarga.

Sayangnya, pagi ini Inez mendapati angka 520 yang tertera di WhatsApp membuat kepalanya nyut-nyutan seketika. Sambil menghela napas, jempol kanannya menekan ikon panggil untuk memberi advice langsung kepada perawat yang sedang jaga di sana sekarang.

“Halo, Mbak,” panggil Inez, “pasiennya sudah diet tanpa nasi, kan?”

“Sudah, Dok, tapi kemarin sama cucunya dibelikan bubur, buah mangga, sama teh manis. Katanya, neneknya lemes kalau enggak makan yang manis.”

“Astaga ... ya sudah, Mbak, sementara regulasi cepat insulin Novorapid empat unit tiap jam sampai empat kali, terus cek darah ya. Saya mau ke poli lalu visite ruanganInfusnya diganti saja, 'kan kemarin infus dextrose lima persen, sekarang pakai ringer laktat saja tujuh tetes per menit.”

“Baik, Dok. Nanti kami laporkan lagi ya, Dok, hasil gula terbaru.”

“Iya, makasih, ya, Mbak,” ucap Inez lalu menutup sambungan telepon

***

“Siang, Dok,” sapa Inez sopan, mendapati seorang lelaki berkemeja biru tua yang dilapisi snelli dan name tag dr. Ruri Narendra, Sp.PD menggantung di dada kanan.

“Dokter baru?” tanya Ruri seraya menulis di rekam medis, bibirnya menyunggingkan seulas senyuman dengan sorot mata yang memperhatikan penampilan dokter internis itu dari atas ke bawah.

“Iya, baru hari ini mengisi jadwal buat menggantikan dokter Jasmine yang resign,” jelas Inez yang duduk di sisi kiri Ruri, membaca beberapa data pasien yang telah ditangani oleh internis sebelumnya, lantas beranjak mengambil stetoskop. “Saya duluan ya, Dok!”

“Silakan,” ucap Ruri mengamati lekukan tubuh Inez yang dinilainya cukup enak dipandang.

Pintu kayu berpelitur cokelat terbuka yang disambut dengan seorang wanita berusia senja. Dia terbaring lemah menatap layar televisi yang menampilkan acara drama Bollywood dengan suara cukup kencang. Inez meraih remote control menurunkan volume suara hingga pasiennya menoleh dan menyunggingkan seulas senyum.

Tak lama, datang seorang koas wanita dengan hijab abu-abu mendekati Inez seraya berkata, “Siang Dok, saya Putri yang mendapat tugas kasus pasien Bu Kusuma. Tadi pasien sudah mendapat regulasi insulin empat kali dan dicek kadar gula darah, terakhir hasilnya 250.”

Inez mengiakan. “Lukanya gimana?”

Putri mengeluarkan ponsel yang terbalut case warna merah, menunjukkan foto luka di atas pantat. “Ulkus dekubitus (cedera pada kulit dan jaringan di bawahnya akibat tekanan yang berkepanjangan di kulit) grade tiga, Dok. Lukanya cukup dalam, terdapat nanah lumayan banyak dan tidak ada tanda-tanda untuk regenerasi sel, justru di sini—“ Dia menunjuk atas kanan luka. “Warnanya sedikit kehitaman, tapi sudah diambil jaringan yang mati dan diberi spons busa steril buat menarik cairannya.”

Inez menyapa pasien, melakukan pemeriksaan fisik dan menanyakan makanan apa saja yang dilahap oleh wanita bertubuh ringkih itu. Aroma tidak sedap terendus di hidung lancipnya, menunjukkan bahwa borok yang ada di bagian tulang ekor harus benar-benar segera ditangani. Jika semakin buruk, bisa jadi akan dilakukan cangkok kulit. Inez menggeleng lemah, menolak ide itu karena selain faktor usia dan penyakit penyerta, tidak memungkinkan juga dilakukan operasi selama kadar gulanya tidak terkontrol baik.

Mbah, putunipun kesah dhateng pundi? Njenengan kok piyambakan? (Nek, cucunya pergi ke mana? Anda kok sendirian?)” tanya Inez mendekatkan suaranya ke telinga kiri pasien.

 Tumbas bubur, Bu Dokter, kulo luwe (Beli bubur, Bu Dokter, saya lapar)...”

Inez mendesah, lagi-lagi makanan manis yang menjadi penyebab mengapa kadar gula pasiennya tidak kunjung turun. Dia pun berkata, “Mbah, Njenengan mboten pareng dhahar manis-manis, nggeh, njenengan nurut kaleh kulo nggeh, niki borok e kajeng mantun nopo mboten? (Nek, Anda jangan makan yang manis-manis, ya, Anda harus nurut sama saya. Ini lukanya ingin sembuh atau tidak?)

Wanita renta itu setuju. “Nggeh pun, kulo manut ... nanging kulo luwe, (Iya sudah, saya nurut, tapi saya lapar) Bu Dokter ...”

 “Sabar ... kalau mau sembuh harus sabar, nggeh. Ya sudah, saya tinggal dulu nggeh.

***

Harusnya mesin pendingin di ruang konsul yang berukuran tidak seberapa besar ini mampu mendinginkan kepala. Kedua tangan kanan Inez sibuk memijit pelipis yang terasa berdenyut, apalagi saat pelayanan di poli sempat mengomeli pasien yang tidak taat obat. Sekarang, dia harus dihadapi dengan kasus yang sama.

Kedua mata lentiknya terpejam, sibuk menyusun kata-kata untuk memberi pengertian kepada penanggung jawab Kusuma. Ingin sekali bibirnya mengolok manusia tanpa akhlak yang sudah memberikan makanan manis sebagai senjata untuk membunuh pasiennya pelan-pelan.

Suara ketukan di balik pintu ruang konsul, Inez membenarkan posisi duduknya kemudian muncul lelaki bertubuh tegap dan bercambang. Dia melempar senyum tipis, menarik kursi beroda warna hitam lalu mendudukkan diri seraya bertanya, “Bagaimana keadaan nenek saya, Dok?”

“Kondisinya buruk,” jawab Inez blak-blakan membuat lawan bicaranya mengerutkan kening. “Dan semakin buruk jika Anda selalu membelikannya sesuatu yang sudah saya larang.”

“Bubur? Nenek saya kelaparan, Dok.”

“Justru itu, Pak ...” Inez melihat data lelaki itu di lembar permintaan rawat inap, “Dimas, saya sarankan untuk sekali ini saja turuti apa yang saya perintah. Jika Anda atau keluarga Anda masih tetap memberikan nasi, bubur, mi, buah, susu, ketela, kentang dan apa pun yang isinya karbohidrat beserta turunannya, maka sama saja saya melakukan hal sia-sia.”

“Tapi, buktinya kemarin nenek saya pingsan, Dok,” bela Dimas merasa melakukan hal benar.

“Ya, saya tahu. Kadar gula lima puluh untuk pasien terlalu rendah karena selalu tinggi dan kemarin sempat salah dosis, kan? Lagi pula, saya sudah beri infus yang ada gula dengan aturan tertentu. Tapi, justru tadi pagi gulanya tiba-tiba melonjak tidak karuan dan itu membuat lukanya semakin terinfeksi," cerocos Inez panjang lebar.

“Maaf, kemarin nenek saya memang salah obat karena dikira obat darah tinggi, enggak tahunya obat diabet. Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok? Saya juga enggak tega lihat nenek saya enggak makan apa-apa,” keluh Dimas.

“Anda bisa belikan apa pun asal tanpa nasi. Ini luka dan penyakitnya enggak main-main, loh! Kalau terus-terusan bisa tembus tulang, terus ada komplikasi, apalagi ada riwayat darah tinggi, penyakit jantung, gagal ginjal akut juga. Apa Anda enggak kasihan?”

Dimas mengangguk merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukan kepada neneknya. “Baik, saya paham, Dok.”

“Saya minta tolong. Kalau Anda masih peduli sama Nenek Kusuma, jangan turuti apa yang dia minta,” titah Inez.

Dimas mengangguk-angguk memahami penjelasan yang diberikan. Lalu dia kembali bertanya, “Kalau roti, Dok?”

Astaga ... bandelnya ya ampun!

“Tidak! Pokoknya tidak ada karbohidrat!” jawab Inez dengan gemas ingin melempari cucu Kusuma dengan buku diet untuk diabetes.

***

Aroma anyir beradu dengan nanah seketika menguar, memenuhi ruang VIP itu kala Putri menarik spons busa yang penuh dengan cairan kuning kental di bagian tulang ekor Kusuma. Inez meraih botol infus yang berisi cairan saline, menyemprot area luka sebelum mengambil jaringan mati yang menempel di sudut-sudutnya.

“Huek ....

Refleks Inez menoleh ke arah koas tak sopan itu, sementara kedua mata bulat Putri memerah dan berkaca-kaca seakan tidak sanggup lagi menahan gejolak di perut kosongnya. Dia menggeleng, berusaha kuat di depan Inez dan menjaga etika selama proses pembersihan luka.

“Huek ...” Putri kembali mual, sudah tak sanggup menghidu aroma borok pasien. “Dok, izin ke kamar mandi,” pamitnya.

Inez mengangguk, membiarkan Putri berlalu meninggalkannya seorang diri menyelesaikan rawat luka. Beberapa saat, Inez dan Dimas saling berpandangan dengan tatapan tak dapat dibaca.

“Sudah, enggak apa-apa, Dok,” ujar Dimas seperti tahu isi pikiran kalut Inez.

“Makasih ya, Bu Dokter,” ungkap Kusuma lantas melambaikan tangan ke arah sang cucu kesayangan. “Mas, Dimas, kamu enggak ingin kenalan sama Bu Dokter ta, Mas?”

Seketika air muka Dimas berubah, ada rasa malu dalam dirinya sampai tidak berani menatap dokter neneknya. Kusuma berpaling ke arah Inez dengan pelan, lalu bertanya, “Bu Dokter belum menikah, kan?”

Lah maksudnya? batin Inez ingin segera pergi dari sini. Dia hanya bisa tersenyum tanpa menanggapi permintaan yang selalu dilayangkan oleh pasien yang ingin sekali menjadikannya sebagai calon istri untuk anak maupun cucu mereka. Tak perlu berlama-lama, Inez segera menutup luka itu dengan plester putih kemudian membereskan alat-alat rawat luka ke dalam wadah kotor.

“Bu Dokter? Bu Dokter belum punya pacar,kan? Ini loh, putuku seng paling guanteng dewe (cucuku yang paling tampan sendiri)Mas ... ayo, kenalan sama Bu Dokter ...”

“Mbah ... enggak usah ... lagian—“

“Enggak apa-apa, Cah Ayu. Dimas ini enggak pernah punya pacar, dulure podo wes rabi, kari bocah iki seng durung. Bekne jodoh, Mbah isok melbu surgo (saudaranya sudah menikah semua, tinggal anak ini yang belum. Kalau jodoh, Nenek bisa masuk surga).

Akhirnya, mau tak mau Dimas mendekati Inez dan mengulurkan tangannya seraya berbisik, “Sudah turuti saja.”

Inez menurut, menjabat tangan kekar Dimas singkat.

“Loh ... begitu saja? Mas ... kamu enggak minta nomornya Bu Dokter? Mana tahu nanti butuh bantuan. Yang agresif gitu loh, Tole,” ejek neneknya yang terlihat gemas.

Rona merah tercetak jelas di kedua pipi dua insan itu. Sungguh, Kusuma sepertinya memiliki bakat alami menjadi makcomblang. Dimas mengeluarkan ponsel, menyuruh Inez untuk menuliskan nomor teleponnya di sana.

“Saya ... miscall ya, Dok,” kata Dimas malu-malu.

Selepas keluar dari kamar satu dengan jantung yang berdebar, Inez bergegas menuju nurse station mencari koas yang tidak kembali sampai tindakan rawat luka selesai. Dia berjalan ke arah wastafel, membersihkan kedua tangan dengan cepat. Lalu, netranya menilik satu per satu calon dokter yang sibuk menulis di buku catatan mereka.

“Yang tadi mendampingi saya rawat luka mana?” tanya Inez tegas.

“Saya, Dok,” jawab Putri seraya unjuk tangan kanan.

“Ikut saya ke ruang konsul!”

Mengekori jejak Inez ke ruang konsul, Putri tertunduk ketakutan. Setelah pintu tertutup, Inez berbalik dan bersandar di pinggiran meja konsul sementara Putri memilin ujung sneli dengan keringat dingin yang bercucuran. Dia sudah menebak bahwa tindakan tidak sopannya saat rawat luka akan mendapat teguran.

“Kamu sadar enggak apa yang kamu lakukan itu salah?” ketus Inez melotot.

“S-saya ... sadar, Dok. Saya minta maaf karena tadi—“

“Apa pantas kamu disebut dokter sedangkan kamu tidak bisa menahan rasa jijik di depan pasien? Bagaimana jika kamu menghadapi mayat korban kecelakaan atau bencana alam dan sikapmu seperti ini? Yang ada kamu malah menyinggung mayat-mayat itu, Put!" cecar Inez terbakar emosi. “Untung saja ya, Put, Pak Dimas tidak mempermasalahkan ini. Bagaimana jika itu orang lain yang wataknya mudah tersinggung? Mereka pasti mengirim komplain kalau dokter di sini tidak memiliki etika!”

“S-saya ... minta maaf, Dok, tadi saya tidak kuat karena lambung saya belum terisi sejak pagi,” cicit Putri hampir menangis.

“Saya enggak mau tahu, kamu belum makan atau tidak. Saya bakal laporkan ini kepada Dokter Ruri. Saya minta kamu rawat luka pasien itu setiap hari tanpa bantuan teman-temanmu atau perawat di sini. Paham?”

“Pa-paham, Dok.”

“Ya, sudah, kembali sana!” usir Inez menunjuk pintu dengan dagunya.

“Terima kasih, Dok. Saya permisi keluar,” pamit Putri melangkah keluar ruang konsul dengan isak tangis. 

***