cover landing

Seven Days With You

By Oepha Im


 

 

Rhea menengadah, mengalihkan pandangan dari deretan huruf di hadapannya lalu menatap sekeliling. Kelas mulai ramai. Beberapa siswa yang tidak dikenalnya duduk di kursi yang sudah diatur oleh panitia Penilaian Akhir Semester. Ia sendiri duduk di kursi paling belakang, paling pojok, dan dekat dengan jendela. Tempat yang cocok untuk menghindari pertanyaan teman-teman tidak dekatnya yang malas berpikir dan hanya menginginkan jawaban miliknya. Yeah, gadis itu tidak antipati dengan menyontek, tetapi sangat malas jika diconteki oleh teman-teman yang kurang akrab dengannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Waktu menghafalnya hampir habis dan bel masuk akan segera berbunyi. Tapi teman sebangkunya belum juga datang. Rhea melirik name tag  itu untuk kesekian kali.

Hurufnya tetap sama.

Ronal Rasendra.

XI IPS 3.

Kakak kelas.

Rhea mendesah kecewa. Ia tidak ingin satu bangku dengan seorang laki-laki, baik itu kakak kelas ataupun teman satu angkatan. Ia benci laki-laki. Baginya, semua laki-laki itu sama saja. Brengsek. Rhea mencoba mengabaikan kanyataan tersebut dengan kembali membaca buku di hadapannya.

"PAS kali ini gue sial banget," celetuk Raden Wena Prameswara, sahabat Rhea, sambil menoleh ke belakang.

Rhea mengangkat kepala, menatap gadis yang duduk tepat di depannya dengan alis bertaut. "Kenapa gitu?"

"Gue sebangku sama Kak Zikran! Ketos yang disiplinnya tingkat tinggi, dingin, dan pastinya nyebelin!" katanya menggebu-gebu.

Rhea terkikik pelan. "Pastinya susah nyontek tuh," ledeknya.

Wena mengembungkan pipi lantas mendengus. "Sial banget." rutuknya. "Terus lo sama siapa?"

Rhea melirik name tag di atas meja. "Baca aja sendiri."

Wena mengintip, lalu sedetik kemudian matanya terbelalak. "Wah, sama cowok!" pekiknya keras. "Cieee! Pasti lo makin kaku."

Rhea mendelik. "Kaku apanya. Gue nggak kaku."

"Elah. Gue tahu lo anti banget sama cowok."

Kali ini Rhea memasang tampang sebal sekaligus sedih. Sahabatnya itu tahu saja. "Semoga bukan cowok aneh."

"Semoga cowok aneh," timpal Wena cepat.

Rhea mencibir sambil memukul tangan Wena. Membuat sahabatnya itu memekik dan menjauhkan tubuhnya. "Lo kok gitu!"

"Kan biar samaan. Lo sama cowok aneh, gue sama cowok galak," jawab Wena sambil terkekeh pelan.

Rhea mencibir dengan beberapa sumpah serapah tanpa suara keluar dari bibirnya. Tawa Wena semakin meledak dan berhenti ketika ada seorang laki-laki duduk di sampingnya. Wena menelan saliva lantas melirik kaku laki-laki itu.

Kak Zikran!

Wena spontan berbalik sekilas, menatap Rhea dengan tatapan horor. Tapi Rhea hanya menjulurkan lidah lalu membaca bukunya lagi. Membiarkan Wena mati kutu bersama Zikran.

Teng!

Bel masuk berbunyi. Kelas langsung terdengar riuh. Siswa yang sedang belajar memekik heboh dan mempercepat membaca buku. Begitu pula Rhea. Hingga saat pengawas masuk, mereka semua langsung memasukkan buku ke dalam tas dan menyimpannya di belakang kelas.

"Pagi, anak-anak."

Salah satu pengawas menyapa. Namanya Bu Warni. Semua murid membalas sapaan wanita tua yang katanya akan segera pensiun itu dengan ramah.

"Pagi, Bu..."

Tidak lama, Bu Tia menyusul masuk dengan wajah dingin yang langsung membuat senyum anak-anak pudar, diganti dengan decakan kecewa. Ada tambahan satu pengawas lagi yang membuat semua murid tak berkutik. Semua sudah tahu kalau Bu Tia itu guru killer. Sama killer-nya dengan mata pelajaran yang sedang diujikan sekarang: Kimia dan Ekonomi.

Walaupun banyak siswa yang mengeluh, Penilaian Akhir Semester nyatanya tetap berlangsung. Pembacaan doa, peraturan, serta pembacaan salam dilaksanakan dengan tertib. Rhea sendiri heran kenapa teman sebangkunya belum juga datang. Teman sekelasnya pun tidak ada yang tahu ke mana makhluk yang bernama Ronal. Hingga kemudian sebuah celetukan singkat seseorang datang dan dibalas celetukan lainnya, saat pengabsenan siswa berlangsung.

"Dia bolos kali, Bu. Kayak biasanya."

"Atau mungkin males ikut PAS."

Kening Rhea mengernyit.

Ronal pasti termasuk siswa nakal. Ah, membayangkannya saja membuat Rhea merasa sebal. Jika pemikirannya tentang Ronal benar, maka hari-harinya mungkin akan terasa buruk. Tapi semoga saja tidak.

Semoga.

Tepat saat itu, pintu kelas terbuka. Seorang cowok dengan penampilan urakan masuk ke dalam kelas. Bajunya dikeluarkan dengan lengan seragam yang dilipat asal-asalan. Sebuah tas hitam tersampir di salah satu pundaknya. Sementara senyum lebar-lebih tepatnya cengengesan-terbit di wajah laki-laki itu. Rhea meringis saat Ronal menyapa seisi kelas,

"Halo, semuanya. Maaf gue telat."

Krik-krik.

Sepi.

Rhea menyandarkan kepala ke atas meja. Membiarkan rambut panjangnya yang terurai menutupi wajah. Seriusan. Ia menyerah harus satu bangku dengan laki-laki tipe Ronal: percaya diri tingkat tinggi. Bisa-bisa ia kena banyak masalah.

Rhea tidak mendengar ada respons atas sapaan Ronal. Kelas tetap sepi. Tapi seseorang tiba-tiba berkata tajam. "Nggak ada yang peduli, tuh."

Ronal cengengesan. Seolah tidak peduli dengan nada tajam dari ucapan sang laki-laki yang Rhea sendiri tidak tahu. Ia malahan merespons. "Gue tahu."

Kemudian Ronal berjalan mendekati para pengawas dengan senyum manis. "Pagi, Bu. Masih bisa ikut PAS 'kan?"

Bu Tia mendesis lantas mengangguk tanpa senyuman. Ia memberikan soal dan lembar jawaban pada Ronal, lalu menyuruhnya duduk.

Ronal berterima kasih dan mengalihkan tatapannya pada salah satu siswa kelas sebelas yang duduk di barisan depan. "Bangku gue di mana, Bi?"

Perlu ditekankan!

Suara laki-laki itu tidak direndahkan sama sekali. Ia terlihat sengaja membuat suaranya tetap keras agar mengganggu semua orang.

Rhea mendesis. Pada Penilaian Akhir Semester ini sepertinya ia akan sial.

Laki-laki yang ditatap Ronal membalas. "Paling belakang plus paling pojok. Sama cewek tuh, Nal."

Rhea terbelalak lalu cepat-cepat menatap lembar jawaban agar terlihat tidak mengacuhkan laki-laki itu. Ronal menoleh ke arah Rhea lantas tertegun sejenak. Kemudian, seringai lebar muncul di sudut bibir Ronal.

"Widih! Cantik, Bi!" celetuk Ronal kegirangan.

Rhea semakin menundukkan kepala, risih. 

"Ronal! Cepet duduk! Jangan berisik!" Bu Tia menyentak sebagai balasan celetukan Ronal.

Ronal tersenyum lebar. "Ibu kayaknya nggak suka saya seneng dikit," desahnya sambil berjalan, lalu duduk di samping Rhea yang sudah menegang karena waspada.

"Hai." Ronal menyapa dengan bisikan.

Rhea bingung harus berbuat apa. Ia tidak mau merespons. Tapi jika tidak merespons, apa ia akan baik-baik saja? Gadis itu pun memutuskan melirik Ronal, lalu memalingkan wajahnya dengan cepat saat laki-laki itu mengedipkan sebelah mata.

Gila.

Rhea merinding.

"Gue Ronal Rasendra."

Tangan laki-laki itu terulur. Rhea tidak menyahut. Diam.

"Gak mau kenalan?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya.

"Bisu?" Kali ini kedua alisnya terangkat.

"Cewek aneh." putusnya dengan desahan kecewa.

Sebisa mungkin Rhea mengendalikan emosinya. Ia mencoba terus fokus pada soal saat pikirannya sedang kacau. Ronal sendiri melirik name tag Rhea, lalu mengangguk paham.

"Oh, Rhea Azkadina Syahira. Salam kenal, ya. Jangan lupa, mulai tujuh hari ke depan betah-betahin deh sebangku sama gue."

Rhea tidak membalas atau melirik Ronal sedikit pun. Lelah sendiri, laki-laki itu pun mulai menatap lembar jawaban dan soal miliknya dan mengeluarkan pensil dari dalam tas.

"Ronal Rasendra." katanya mengeja nama, kemudian menutupi bulatan yang mengandung unsur namanya dengan tinta.

 

***

 

Rhea bersumpah bahwa sekarang ia tidak bisa berkonsentrasi pada soal di hadapannya. Setelah tadi Ronal mengganggunya karena mengeja soal dengan suara keras, kali ini laki-laki itu bernyanyi pelan sambil menggambar di kertas buram yang harusnya digunakan untuk menghitung jawaban.

"Bisa diem, nggak?"

Untuk pertama kalinya, Rhea memulai obrolan. Ronal tersentak diikuti dengan gerakan tubuh yang langsung berhenti. Ia menatap Rhea dengan mata melebar. "Lo nggak bisu?"

Kali ini Rhea menatap Ronal. "Suara lo ganggu. Gue nggak bisa konsentrasi."

Laki-laki itu mengangguk lantas tersenyum senang. "Oke."

Rhea membuang napas lega kemudian membaca soal miliknya saat suara Ronal telah berhenti terdengar. Tapi dalam diam, ia merasa laki-laki itu sedang menatapnya. Dengan cepat Rhea menatap Ronal dan dengan cepat pula laki-laki itu memalingkan wajah.

Pengganggu!

Rhea mendengus. Ia salah mengira jika Ronal akan diam untuk menuruti ucapannya. Karena setelah ia mulai terbuai oleh soal Kimia yang susahnya minta ampun, Ronal malah mencolek tangannya.

Rhea menoleh. "Temen lo ada yang tanya, tuh." bisik Ronal sambil menunjuk Laksmi yang berada di meja depan.

Rhea mendengus.

Laki-laki ini benar-benar!

 

***

 

Biasanya, saat waktu ujian hampir habis, banyak siswa yang makin sibuk bertanya ke sana k mari tanpa ampun. Apalagi pelajaran seperti Kimia dan Ekonomi yang menguras banyak pikiran. Pengawas pun sering kali mengabaikannya karena terlalu lelah memarahi. Tapi kali ini berbeda. Pengawasnya Bu Tia. Killer-nya minta ampun. Jadilah ruang ujian 06 itu masih tetap hening.

Ronal sedikit diam kali ini.

Laki-laki itu mulai sibuk mengerjakan soal setelah sebelumnya selesai menggambar bebek di kertas buram.

Rhea melirik Ronal. Matanya tertuju pada lembar jawaban laki-laki itu. Banyak yang kosong. Ia pun menatap lembar jawabannya; sama. Ia menghela napas, lalu melirik jam dinding. Waktunya sudah hampir habis. Hanya tiga puluh menit lagi. Rhea memutuskan untuk mengerjakan soal yang belum dikerjakan dan menjawab asal soal yang tidak dipahami.

Kemudian Rhea melihat Ronal berdiri dan menutup lembar jawabannya. Ia berjalan ke meja guru dengan soal di tangan. Teman sekelas spontan menyoraki namanya.

"Wah..."

"Tumben pinter, Nal!"

Yang disoraki malah cengengesan tidak jelas, lalu kembali duduk di kursinya setelah menyimpan soal di meja guru. Semua siswa kalang kabut, ingin cepat-cepat selesai dan pergi dari ruangan terkutuk itu.

Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran Rhea. Kenyataan bahwa Ronal mengerjakan soal tersebut sendirian, tanpa menanyakan atau pun menyontek pada teman-temannya.

Apa laki-laki ini jenius?

Tapi dari penampilannya tidak memungkinkan.

"Belum kelar?" Pertanyaan Ronal membuat Rhea tersentak bukan main. Ia melirik laki-laki itu, lantas menggeleng.

Ronal menyerahkan kertas buram miliknya, seolah paham kalau kertas buram Rhea sudah habis tertutupi tinta. "Pake aja punya gue. Asal, jangan di bagian si bebek. Kasihan."

Rhea mengernyit di bagian kata 'bebek'. Tapi akhirnya ia menerima kertas milik Ronal yang masih kosong di bagian belakangnya.

"Makasih."

"Yoi."

Rhea mulai fokus pada soalnya. Mengabaikan Ronal yang masih duduk di kursinya. Padahal sesuai tradisi, siswa yang sudah menyelesaikan soal boleh keluar kelas.

Masa bodoh. Kenapa juga Rhea peduli.

Tanpa gadis itu sadari, Ronal memperhatikannya dalam diam.

 

***

 

Kantin penuh.

Itulah alasan kenapa Rhea dan Wena hanya mampu membeli roti di koperasi siswa karena tempat itu lumayan sepi. Kalau jajan di kantin, mereka harus mengantre. Hal itu cukup menghabiskan waktu mereka yang berharga, yang seharusnya bisa digunakan untuk membaca ulang materi dari pelajaran yang akan diujikan selanjutnya.

 Setelah duduk di kelas, tahu-tahu Wena memulai percakapan tentang Ronal.

"Yang satu bangku sama lo, beneran Ronal yang itu, kan?"

Rhea mengangkat alis. "Ronal yang itu? Maksudnya?"

Wena melahap rotinya. "Lo tau nggak sih list nama cowok nakal di sekolah?"

Kening Rhea mengernyit lantas menggeleng. "Ngapain ngapalin hal yang nggak penting."

"Sayangnya, hal itu sekarang penting buat lo. Karena Ronal yang sebangku sama lo itu masuk dalam list." Wena lalu berkata dengan nada merendahkan.

Rhea tersedak. "Seriusan?!"

Wena mengangguk mantap. "Ternyata doa gue terkabul. Lo sebangku sama cowok yang nggak beres." Wena lalu menyerahkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada Rhea. "Baca tuh urutan ke lima."

Mata Rhea langsung menatap urutan kelima.

Ronal Rasendra.

Rhea menatap name tag di hadapannya.

Sama.

Gadis itu menghela napas. Sial sekali. Ini adalah kali pertama ia satu bangku dengan laki-laki. Sayangnya juga, laki-laki itu ternyata tidak beres.

"Udah, sabarin aja."

Rhea mengangguk pasrah, lalu menyerahkan kembali ponsel Wena.

"Btw, Kak Zikran itu sialan banget. Masa setiap gue gerak, dia langsung ngeliatin gue dengan tatapan tajam. Kayak lagi liat pencuri aja. Curiga mulu bawaannya."

Rhea terkekeh. "Udah, sabarin aja." katanya mengutip ucapan Wena tadi.

"Copas omongan gue tuh. Kreatif dikit kali," katanya sarkastis. Rhea membalas dengan kekehan pelan.

"Tapi bener deh. Kalian itu lucu. Tumben 'kan lo bisa nurut sama cowok. Biasanya di kelas, lo paling bisa ngatur cowok."

Wena menghela napas. "Lo juga denger 'kan setiap gue noleh ke belakang cowok itu suka dehem-dehem nyebelin."

Untuk kali ini tawa Rhea sangat keras sampai mengundang tatapan beberapa orang. Sementara Wena mengeluarkan sumpah serapah, lalu menoleh ke depan kelas. Tepat saat itu ia melihat Zikran berdiri tenang di hadapannya. Gadis itu menelan saliva. Rhea yang menyadari Wena tiba-tiba diam langsung menatap lurus ke arah Zikran.

Mati.

Wena spontan berdiri dari kursi Zikran dan pindah duduk ke tempat duduknya. Rhea juga sama diamnya.

"Terusin aja obrolannya. Gue cuma mau ambil air doang, kok." kata Zikran lalu berlalu pergi.

Wena menunduk, diam membeku. Rhea berdiri dan duduk di kursi Zikran. Gadis itu mengusap pundak Wena.

"Wen...," panggilnya pelan.

Wena merengek dengan suara keras, tanpa air mata. "Nyebelin! Gue malu..."

Rhea menghela napas berat. Sepertinya pada Penilaian Akhir Semester kali ini ia dan Wena sama-sama mengalami kesulitan.