cover landing

Sepotong Hati Lelaki

By J.P. SUNU


Kebun binatang ini ternyata luas juga, kakinya sudah mulai terasa pegal padahal ia belum selesai menjelajahinya. Samo menemukan sebuah bangku taman di bawah rindang pepohonan. Ia ingin sejenak beristirahat. Sambil duduk Samo mengamati danau buatan di seberang sana, beberapa perahu kayuh berbentuk angsa berlalu-lalang di tengahnya. Hari ini pengunjung kebun binatang ramai sekali, pasti karena libur sekolah. Anak-anak kecil berlarian ke sana ke mari di sekitar kandang-kandang hewan, sementara para orang tua kewalahan mengawasinya.

Semilir angin dan naungan teduh membuatnya mengantuk. Samo memejamkan mata, kemudian tertidur begitu saja dalam posisi duduk. Segera saja mimpi itu datang lagi, mimpi tentang anak perempuannya.

Dalam mimpinya kali ini, putri kecilnya itu berusaha membangunkannya dengan memukul-mukul wajah ayahnya. Makin lama pukulan tangan-tangan mungil itu makin keras. Tapi Samo tahu bahwa ini hanya mimpi, seperti yang sudah-sudah. Samo masih ingin melanjutkan tidur  dan menikmati mimpinya, tapi sebuah pukulan mendarat telak di bibirnya yang setengah terbuka. Samo tersentak dan membuka mata.

Seorang anak perempuan kecil sedang duduk di sebelahnya. Satu tangan anak itu terangkat, siap-siap memukul sekali lagi namun tak jadi begitu melihat Samo sudah terbangun. Samo terperanjat. Ia tidak sedang bermimpi.       

“Kau Alic—“

“Noni Om.”

“Apa? Nyonyi?”

“Namaku Noni Om.”

“Oh, Noni? Kukira kamu tadi Alic—”

Samo celingak-celinguk, tidak ada orang lain di sekitar situ. Anak kecil ini menatapnya dengan polos. Wajahnya cantik sekali, mirip anaknya dulu. Usianya sekitar 4 tahun, atau mungkin kurang sedikit.  Seketika ia jatuh hati. Apa sebaiknya ia membawa kabur saja anak ini? Oh, tidak! Aku tidak gila... Belum!

***

Salah satu ikon unik di kebun binatang ini adalah sebuah bangunan berbentuk replika kapal, terletak persis di tengah-tengah danau buatan. Bangunan itu cukup besar dan digunakan sebagai area food court. Dirancang sebagai tempat makan sambil beristirahat setelah berkeliling kebun binatang. Tempat ini seharusnya menjadi tempat bersantai yang menyenangkan, andai saja tidak ada sebuah kejadian yang menggemparkan: Noni hilang dari rombongan mereka!

Riani ketakutan setengah mati, air mata membasahi pipinya yang putih meski tanpa bedak, lututnya lemas. Anak-anak kecil telah dikumpulkan dan dihitung, seharusnya ada enam, tapi kurang satu. Dengan gugup Riani berlari-lari mengitari ruangan food court yang luas itu, ia terus-menerus meneriakkan nama Noni sampai tenggorokannya nyaris tersedak. Tapi pencariannya sia-sia.

Rambut Riani yang dikuncir ekor kuda berayun-ayun ketika ia berlari kembali ke meja tempat keluarganya berkumpul. Keringat dingin membanjiri tubuh ramping gadis muda itu.

Anak-anak kecil yang sedang dipegangi orang tuanya masing-masing tidak bisa ditanyai kapan terakhir kali melihat Noni. Mereka ikut-ikutan ketakutan melihat kepanikan yang melanda para orang tua di sekitar mereka.

Ruspet juga telah kembali ke tengah-tengah rombongan. Pria tua itu napasnya memburu, ia juga tak menemukan Noni.

Pusti duduk di kursi sambil meremas-remas tangannya yang mulai keriput dengan cemas. Ia berganti-ganti menatap penuh harap kepada Ruspet suaminya dan anaknya, Riani.

“Kalian belum menemukan Noni?”

Riani dan Ruspet hanya menggeleng-geleng putus asa.

Kehebohan itu mulai menarik perhatian para pengunjung yang lain. Seseorang rupanya berinisiatif memanggil petugas keamanan kebun binatang yang sedang berpatroli.

“Ada masalah apa, Pak?” Seorang pria berseragam keamanan mendekati Ruspet.

“Cucu saya hilang. Kami sudah berusaha mencarinya tapi  belum ketemu.”

“Tolong bantu kami, Pak.” Riani mulai histeris.

“Gini aja, Mbak, Pak, saya akan antar Anda ke bagian informasi. Nanti mereka akan membantu dengan mengumumkan adanya anak hilang. Semoga jika ada yang menemukannya dapat segera menyerahkan ke petugas. Mari Mbak, Pak, ikuti saya.”

Riani dan Ruspet bergegas mengikuti  petugas itu. Pusti yang hendak ikut dilarang oleh Ruspet yang khawatir melihat istrinya yang nampak sudah kecapekan.

Diarahkan petugas keamanan, Riani dan Ruspet  berjalan kaki menuju ruang informasi yang jaraknya ternyata lumayan jauh. Kurang dua ratus meter lagi sebelum sampai ke tujuan,  terdengar seorang wanita membacakan sebuah pengumuman dengan lantang melalui pengeras suara. Pengumuman itu menyebutkan bahwa telah ditemukan seorang anak perempuan yang terpisah dari keluarganya.

“...dimohon kepada Opa Yuspet, Oma Yusti, atau Tante Yiani, untuk segera datang ke ruang informasi kami...”

Seperti kesetanan, Riani berlari kencang, meninggalkan Ruspet, menyalip langkah petugas keamanan di depannya.

***

 

Samo mengagumi kecerdasan Noni, anak sekecil ini tetap tenang dan mampu menjawab pertanyaan meski kadang ucapannya ada yang kurang jelas sehingga harus diminta mengulangi kata-katanya.

Sambil menunggu keluarga Noni yang semoga segera datang menjemput, Samo meminjam salah satu majalah bergambar hewan-hewan dari rak buku. Samo membacakan buku itu, sementara Noni menyimak dengan antusias. Sesekali jari kecilnya menunjuk gambar-gambar di buku itu sambil bertanya hewan apakah itu.

Tiba-tiba seorang perempuan menerobos ke dalam ruangan dengan cara yang mengejutkan. Begitu melihat Noni, perempuan itu langsung menjerit, “Noniii...!!!”

Noni yang semula duduk di samping Samo langsung melompat, berlari, dan menghambur ke pelukan perempuan itu. Noni tertawa gembira. Perempuan itu juga tertawa sambil bercucuran air mata. Perempuan itu terus memeluk sambil tak henti-henti menciumi wajah Noni.

“Noni, kamu tidak apa-apa Sayang?”

“Tidak apa-apa Tante. Ada Om yang menolongku.” Noni menunjuk Samo.

Samo datang menghampiri dan menyodorkan tangannya untuk menyalami Riani.

“Saya Samo.”

“Riani.” Sambil sibuk mengusap air matanya dengan punggung tangan, perempuan itu menyebutkan namanya.

Samo, mengambil wadah tisu di meja dan menyodorkannya kepada Riani.

“Terima kasih.” Riani mengambil tisu untuk menyeka mata dan pipinya, satu tangannya masih menggenggam tangan Noni erat-erat.

“Terima kasih sudah menolong Noni, kami sangat ketakutan ketika menyadari dia menghilang.” Riani mengamati pria yang telah menolong keponakannya. Seorang laki-laki muda—tidak terlalu muda—dengan tampang agak lumayan, namun tatapan matanya setengah kosong. 

“Tidak apa-apa, saya hanya kebetulan saja menemukannya.” Gara-gara keponakan kecilmu yang lucu ini memukuli wajahku saat aku sedang tidur.

Seorang pria dengan rambut beruban di kedua sisi kepalanya menyusul muncul dari pintu.

“Opaaa!” Noni berlari dan memeluk kaki pria itu.

Pria itu terkekeh. “Kamu membuat Opa cemas Noni, kamu dari mana saja?”

Noni kembali menunjuk Samo, “Itu Om Camo, yang menolongku.”

“Om Camo?” Pria itu mengulurkan tangan untuk menyalami Samo.

“Samo.” Samo membetulkan bunyi namanya.

Mereta tertawa bersama.

“Saya Ruspet, opanya Noni.”

Sebelum bisa meninggalkan tempat itu, mereka harus menandatangani surat pernyataan, menunjukkan KTP, dan beberapa formalitas lain. Berempat, Samo, Noni, Ruspet dan Riani difoto oleh petugas. “Untuk kenang-kenangan,” gurau petugas itu. Sebenarnya adalah untuk dokumentasi.

Spontan Riani menyodorkan ponselnya kepada petugas yang memotret. “Tolong sekali lagi Pak. Pakai HP saya.” Petugas itu menurutinya dengan senang hati.

***

Mereka bersama-sama meninggalkan tempat itu.

“Pak Ruspet, Mbak Riani. Saya sekalian pamit. Noni, Om Samo pulang dulu ya.”

“Tunggu dulu.” Ruspet menepuk pundak Samo. “Kami mengundangmu untuk makan siang bersama kami. Tolong jangan ditolak.”

“Iya Mas, kita makan dulu saja. Sekalian cerita, gimana tadi bisa ketemu Noni.” Riani ikut membujuk.

Samo ragu-ragu, tapi tangan mungil Noni menarik-narik tangannya.

“Tuh, Noni saja ikut mengundang,” senyum Riani secerah matahari.

“Baiklah. Saya tidak bisa menolak kalau begitu.” Samo ikut tersenyum, canggung.

***

“Nah, perkenalkan ini Omanya Noni,” jelas Ruspet memperkenalkan istrinya.

“Samo.” Samo menyalami.

“Pusti.”

“Yang duduk di seberang meja, dua orang sepupuku, istri-istrinya, dan anak-anaknya. Mereka dari Bandung,” Riani menerangkan.

Samo menyalami mereka satu per satu. Rupanya rombongan mereka banyak juga. Ketika tempat wisata sedang berada di puncak keramaian seperti ini, dengan banyak anak-anak kecil yang berlarian semau-maunya, pantas saja Noni bisa hilang.

“Nah Mas Samo, sekarang tolong ceritakan bagaimana bisa ketemu Noni tadi?” Pusti yang akhirnya bertanya.

Samo menceritakan kejadian yang dialaminya. Mereka semua tertawa keras terutama pada bagian ketika Noni memukuli muka Samo yang sedang tidur. Cerita itu rupanya sangat menggelikan bagi mereka, sehingga wajah-wajah cemas itu berganti dengan cepat menjadi cerah. Pusti bahkan tertawa terpingkal-pingkal sampai terbatuk-batuk.

Diam-diam Riani memerhatikan, meski Samo ikut tertawa ketika yang lain tertawa, tapi pikiran laki-laki itu seperti entah sedang berada di mana. Usianya mungkin agak sedikit tua—tidak terlalu tua sebenarnya. Kalau saja  laki-laki ini mau sedikit memperbaiki penampilannya, merapikan kumisnya, mencukur janggutnya yang konyol itu, sepertinya dia bisa cukup tampan.

Setelah emosi semua orang mereda, pembicaraan mulai mengarah ke hal-hal yang membuat Samo ingin segera melarikan diri.

“Jadi apa yang Mas Samo lakukan sendirian di kebun binatang?” Riani menatapnya dengan sepasang bintang cemerlang.

Samo mengeluh dalam hati, mengapa sejak pertama bertemu Riani pikirannya jadi aneh begini? Ah, pasti karena gadis ini cantik sekali. Bukankah gadis cantik selalu membuat semua pria jadi gugup dan aneh? Tidak, tidak. Itu tidak masuk akal, dia adalah pria dewasa, bukan anak kemarin sore. Lagi pula, sebenarnya gadis ini juga tidak cantik-cantik amat. Lihatlah matanya, bibirnya, rambutnya, tubuh rampingnya. Ah sial, dia memang cantik.

Samo menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan dirinya. Ini sangat memalukan, dan membuatnya merasa bersalah. Maaf Marina, maafkan aku istriku.

“Eh, iya, karena...” Samo berusaha menemukan alasan yang tidak terlalu tolol.

“Om Samo, lihat ada perahu bebek, itu, itu.” Noni menunjuk-nunjuk  perahu kayuh berbentuk bebek yang sedang lewat.

“Oh iya, bagus ya. Noni mau naik itu?”

“Enggak, cuma lihat aja.”

Terima kasih Noni, sudah menyelamatkanku dari pertanyaan tantemu.

“Tinggal di Jogja Mas Samo?”  

“Iya Pak Ruspet.” Terima kasih juga Pak Ruspet.

“Kerja apa?”

“Saya, ehm, anu, jasa interior.”

“Interior? Wah kebetulan ya, rumah kami sepertinya butuh sedikit renovasi. Sudah lama kerja di interior?”

“Yah, cukup  lumayan.” Baru 6 bulan sebenarnya, dan aku tidak tahu apa-apa tentang interior.

“Bagaimana kalau habis ini kita langsung ke rumah kami? Lihat-lihat dulu saja, barangkali ada ide, sebaiknya rumah kami harus diapakan?”

“Hari ini? Ehm, maaf tidak bisa hari ini Pak Ruspet. Bagaimana kalau Sabtu depan saja?”

“Oh, oke, Sabtu depan saja.”

Samo dan Ruspet bertukar nomor telepon.

Setelah menghabiskan nasi gorengnya, dan meminum sebotol air putih, rasanya sudah saatnya bagi Samo untuk pamitan. Samo menyalami semuanya, termasuk anak-anak kecil mereka. Tapi Noni tidak mau menyalaminya, gadis itu malah memeluk lehernya. Dada Samo berdesir, sepertinya bukan hanya Noni yang memeluknya, tapi juga kenangan Alicia. Ah, Alicia! Kenapa aku tak bisa berhenti merindukanmu Nak...

Samo menepuk-nepuk lembut punggung Noni. “Sampai ketemu Sabtu depan Noni.”

***