cover landing

Sepatu Kaca

By Cepty-Brown


Lembayung senja sudah menampakkan warnanya. Menutup mata dengan tangan kiri, aku melangkahkan kaki yang terasa begitu sakit. Tidak terbiasa mengenakan sepatu seperti ini. Harusnya, aku tidak menuruti perintah Mama untuk mengenakannya. Sepatu dengan hak setinggi lima sentimeter ini membuatku kesakitan.

"Rin, kamu itu lama banget. Sira udah mau tukar cincin. Dan semua orang nungguin kamu. Cepetan!"

Hardikan itu membuatku menatap ke depan dan menemukan Mama yang sudah menatapku dengan galak. Aku hanya mengangguk dan kini mencoba untuk melangkah lebih cepat memasuki lobi hotel.

Kak Sira akan dipinang oleh seorang pria yang selama ini menjadi pacarnya. Arkana. Pria yang membuat jantungku berdegup kencang sejak melihatnya. Mungkin karena pria itu memperlakukanku sangat baik. Tidak seperti Kak Sira dan Mama yang begitu mengasingkanku gara-gara aku anak tiri di keluarga ini. Sayangnya, aku juga tidak bisa meninggalkan mereka karena utang budiku. Tanpa Mama mungkin aku tidak akan bisa hidup dengan baik sampai sekarang.

Ditinggal ibu kandungku sendiri saat aku berusia dua tahun, lalu Papa menikah dengan mamanya Kak Sira. Jarak usiaku dengan Kak Sira itu terpaut empat tahun. Dan di usia enam tahun, Papa meninggal dunia. Otomatis, aku hidup dalam belas kasihan Mama. Seingatku Mama memang merawatku, tetapi caranya selalu dibedakan dengan Kak Sira.

Aku sadar sepenuhnya kalau Mama terpaksa merawatku karena wasiat dari Papa. Papa juga yang meninggalkan harta warisan begitu banyak tapi aku harus dirawat oleh mereka selama aku belum menikah. Dongeng Cinderela yang terkenal itu memang terjadi dalam kehidupanku meski aku hanya punya satu kakak tiri. Bedanya, aku tidak mungkin mendapatkan pangeran kuda putih yang akan menjemputku. Maka, aku sudah ikhlas dengan yang terjadi.

"Airin... Cepat!"

Mama berteriak lagi dan aku mengatakan ya. Terpaksa berlari mengikuti Mama. Sampai akhirnya, aku sampai di tempat acara. Balroom mewah hotel ini sudah disulap dengan begitu indah. Ini acara pertunangan impian.

Aku melangkah dengan kaki terasa begitu nyeri untuk mendekati Kak Sira. Dia begitu cantik dengan gaun satin warna putih. Mewah. Berbeda denganku yang hanya mengenakan gaun lusuh pemberian Mama. Serta, sepatu kesempitan milik Mama yang sudah tidak terpakai.

"Kamu itu mau mempermalukan keluarga kita?" Kak Sira berbisik di sebelahku.

Harusnya aku memang tidak datang ke sini. Aku baru saja pulang dari shift kerjaku dan harus cepat ke sini. "Maaf, Kak."

Dia mendengkus mendengar permintaan maafku. Tapi kemudian, perhatian kami, teralih dengan suara MC. Mama dan Kak Sira sudah tidak memperhatikanku. Lebih baik begitu. Aku di sini hanya dijadikan pelengkap. Kata Mama, aku harus hadir agar menunjukkan kalau keluarga ini utuh. Dan pencitraan kepada seluruh orang kalau Mama juga menyayangiku yang notabene putri tirinya.

***

Acara pertunangan berjalan dengan lancar. Mama tersenyum bangga karena Kak Sira mendapatkan calon suami yang kompeten. Keluarganya juga kaya dan terpandang.

Lalu, mereka meninggalkanku di sini. Setelah acara, semua keluarga inti, berkumpul untuk memilih tanggal yang tepat untuk pernikahan. Tapi, Mama menyuruhku untuk membereskan barang-barang sisa acara. Meski sudah ada orang- orang yang menanganinya, tapi Mama ingin aku memastikan bahwa semua perlengkapan untuk acara tadi sudah harus dibereskan. Katanya, aku yang menjadi penanggung jawab dari keluarga. Padahal aku tahu itu hanya alasan untuk menahanku tetap di sini. Mama tidak mau ada aku di sana.

"Airin, kenapa masih di sini?" Aku baru saja melipat baju-baju yang dikenakan Mama dan Kak Sira saat acara. Kepalaku mendongak dan menemukan Pak Ardi, salah satu staf hotel yang juga panitia acara tadi. Dia sudah mengenalku karena selama satu minggu ini aku bolak balik mengurus semuanya.

"Owh, Pak Ardi. Saya harus membereskan ini semua." Aku menunjuk tas-tas yang ada di depanku. Pak Ardi mengernyitkan kening.

"Bukannya sudah ada petugasnya sendiri?”

Aku mengangguk. "Sudah. Tapi, Mama tidak ingin barang-barangnya disentuh orang lain."

Jawabanku membuat Pak Ardi hanya mengangguk pahm."Baiklah. Tapi, jangan sampai kemalaman. Ada yang antar, kan?"

Aku hanya mengangguk. Padahal aku juga bingung harus pulang naik apa, ini sudah pukul sebelas malam. Pak Ardi berpamitan dan meninggalkanku. Masih banyak orang yang membereskan tempat ini, jadi aku segera merapikan semua. Tapi, saat melangkah ingin mengambil tas kosong lagi, kakiku terasa begitu nyeri.

Aku baru tersadar kalau masih mengenakan sepatu kekecilan ini. Kuhela napasku dan kini mulai melepas sepatu. Saat membungkuk dan melimat tumitku, aku terkejut dengan luka di sana. Kakiku lecet.

"Aduh." Rasanya, begitu perih. Kulit arinya sampai mengelupas dan memperlihatkan warna putih di tulangnya. Aku meringis kesakitan. Saat itulah dering ponselku berbunyi. Aku langsung merogoh tas HP yang aku selempangkan.

Nama Mama langsung terlihat di layar ponsel. "Halo, Ma." Aku menempelkan ponsel ke telinga.

"Rin, kamu bawain bajunya Mama yang tadi. Itu baju ada berliannya. Mama lupa. Sekarang juga kamu bawa ke sini!"

"Bawa ke mana? Bukannya Mama masih sama Kak Sira, di restoran?"

"Iya, masih. Kami masih berunding. Kamu bawain cepat! Ini mamanya Arkana udah mau lihat. Itu koleksi berlian Mama yang terbaru." Aku hanya bisa menghela napas saat mendengar perintahnya.

"Aku lagi beresin ini, Ma. Kalau ke situ sekarang paling butuh waktu satu jam." "Mama nggak mau tahu. Kamu anterin sekarang juga."

Sebelum aku bisa menjawab lagi, Mama sudah mengakhiri teleponnya. Selalu saja begitu, Mama tidak pernah mau mengerti alasanku. Yang ada apa yang diperintahkan harus segera dituruti.

Aku segera membereskan barang-barang itu secepatnya. Lalu menenteng tas berisi baju-baju Mama dan Kak Sira. Membawanya dan dua tangan. Lupa dengan sepatu yang aku tinggal. Baru teringat saat aku sampai di lobi tapi ingin kembali juga terasa tidak memungkinkan. Mama pasti mengomel kalau aku telat.

Mengambil ponsel dan memilih untuk memesan taksi online. Padahal selama ini saja aku lebih memilih untuk menghemat uang gajiku. Setiap hari aku pulang dengan berjalan kaki karena jarak tempat kerja dan rumah lumayan dekat. Meski dibutuhkan waktu satu jam untuk sampai di rumah. Sekarang, aku harus rela merogoh uang untuk cepat sampai di tempat Mama berada.

"Mbak... Mbak... " Panggilan itu membuatku mendongak dari ponsel dan melihat seorang pegawai hotel berlari mendekat.

"Ini sepatu milik Mbak, kan?" Dia menenteng sepatu yang tertinggal. Aku langsung mengangguk.

"Makasih ya, Mas. Makasih banget." Aku menerima sepatu itu dan mas yang membawakan tersenyum ramah.

"Sama-sama, Mbak."

Saat itulah, mobil yang aku pesan sampai. Aku berpamitan dan mulai melangkah ke arah mobil. Driver-nya bahkan keluar dari mobil dan membukakan pintu lalu membantuku memasukkan dua tas besar yang sejak tadi aku bawa.

"Sudah semua?" Dia menoleh ke arahku saat aku sudah duduk di sebelah tas-tas itu.

"Sudah, terima kasih. " Dia mengangguk lalu menutup pintu. Berputar dan masuk ke balik kemudi.

Kakiku terasa sakit lagi. Sepatu yang sempat aku tenteng kini kuletakkan di pangkuan.

"Gara-gara kamu nih, aku terluka." Aku bermonolog sendiri. Sebal dengan keadaan ini meski aku tahu kalau sampai kapan pun aku akan tertindas seperti ini.

"Kalau aku buang, nanti Mama, pasti marah. Tapi, kalau aku pakai kamu akan melukaiku lagi."

Aku tidak sadar bermonolog lagi. Lalu rasa lelah itu menderaku. Dan kusandarkan kepala di jok mobil. Sampai akhirnya aku terlelap.

***

"Mbak... Mbak..."

Panggilan itu membuat mataku terbuka. Driver tadi sudah menghentikan mobilnya dan menoleh ke arah belakang tempatku duduk.

"Sudah sampai."

Aku menegakkan diri. Lalu mengedarkan pandangan dan memang benar ini sudah sampai di restoran tempat Mama dan Kak Sira. Bahkan aku bisa melihat wajah Mama yang tampak geram di depan restoran.

"Owh, makasih, Mas." Aku segera membuka pintu mobil. Membawa dua tasku lalu menutup pintu mobil. Berlari ke arah Mama yang tampak berkacak pinggang.

"Kamu telat. Percuma sampai sini. Keluarganya Arkana sudah pulang." Ucapan mama membuatku menghela napas lagi. Selalu seperti ini.

"Sekarang kamu bawa ini. Lalu masuk ke mobil." Mama menunjuk dua tas besar yang entah berisi apa. Bagaimana bisa membawa kalau tas yang aku bawa saja sudah membuatku kesulitan?

"Ma, tapi ini... "

"Nggak usah membantah. Cepetan!"

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya saat mendengar perintah Mama. Aku juga mencoba menyabarkan diri dan mulai mengambil semua tas itu. Dua tanganku penuh dengan tas. Kakiku terasa sakit. Saat menunduk, aku terkejut karena ternyata aku tidak mengenakan sepatu. Aku celingukan mencari mencari sepatu milik Mama itu, tapi tidak ketemu. Sepatuku menghilang atau tertinggal di mobil tadi?