cover landing

Sembilu Mei

By Dian Y.


1998

Pernahkah kalian memandang awan dan memikirkan hujan sepanjang hari? Tentang aromanya yang basah dan terkenang, tentang butirannya yang jatuh dari angkasa tak berbatas, tentang aliran air yang mengalir melewati aspal jalan, melewati sepatuku dan barangkali juga sepatumu atau bahkan mungkin juga sepatu dia? Dia. Dia yang ada di kehidupan antara aku dan kamu. Dia yang memiliki kisah denganmu bahkan jauh sebelum kisahmu dan kisahku dimulai.

***

Sudah tiga kali Jingga melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya yang ramping dan berwarna seperti sawo yang hampir matang. Dalam penantiannya yang belum juga menemukan ujung tiba-tiba perutnya bersuara kencang.

“Mungkin lebih baik aku menunggunya di kantin saja,” gumam Jingga tidak pada     siapa-siapa.

Saat kakinya sudah melangkah keluar dari lobi Fakultas Kedokteran yang cukup terkenal di penjuru nusantara, sebuah suara nyaring yang amat sering didengar kupingnya meneriakkan namanya dengan lantang.

“Jingga!!” suara  itu bergema memenuhi sudut lobi utama yang sepi, “tunggu! Maaf sudah membuatmu menunggu terlalu lama, rupanya Prof. Rudi akhir-akhir ini makin senang berbicara.”

Jingga diam di tempatnya, ia tak segera menanggapi perkataan pria yang paling ia puja ini. Bibirnya mengatup rapat. seolah-olah sudah dilapisi dengan double tape di sisi atas dan bawah. Dengan matanya yang jernih Jingga mengamati profil pacarnya dengan seksama tapi juga dengan sapuan kasih yang amat ketara dari binarnya.

Pacarnya memiliki tinggi badan yang menjulang untuk ukuran tubuh pria dewasa di Indonesia, tubuhnya tegap dan juga atletis sehingga mudah sekali menemukannya di keramaian. Rambutnya lurus berwarna coklat gelap yang selalu tercukur rapi, hal ini membuat Jingga selalu memberikan nilai plus padanya, dia memang kurang suka dengan pria yang terlihat acak adul. Bibirnya membentuk garis lintang tipis dengan semburat merah muda alami apalagi kulitnya berwarna putih seperti susu membuat warna bibir itu semakin kontras dan menggoda, hal ini selalu membuat Jingga iri dan juga sering kali membuatnya tak tahan untuk tidak mengecupnya.

***

   Pertama kali Jingga melihat bibir yang manis itu adalah dua tahun yang lalu, ketika dirinya terbangun dari pingsannya yang agak memalukan.

“Kamu jatuh pingsan tadi, sekarang kamu berada di ruang kesehatan. Nama saya Awan, saya senior yang bertugas menjaga dan mengawasi maba sakit hari ini.”

Bibir itu bergerak dengan lambat dan teratur, Jingga mengedipkan kelopak matanya berkali-kali, ia merasa panca indranya terlalu banyak menerima informasi dalam kurun waktu singkat.

Jingga tak enak hati dengan senior bernama Awan ini, meskipun ia terlihat ramah dan juga tidak galak tapi saat ini dirinya masih mahasiswa baru yang bisa kena damprat kapan saja sehingga meskipun kepalanya masih pusing lekas ia berusaha untuk duduk.

“Pelan-pelan, jangan terlalu terburu-buru!” kata Awan membantu Jingga untuk duduk, “ini minum.” Awan menyodorkan segelas teh hangat kepada Jingga yang segera diambilnya. Ia juga menunjukkan senyum tipis meski ia tak yakin apakah ia benar-benar tersenyum atau malah menyeringai.

“Kapan terakhir kali kamu makan?” tanya Awan sambil kembali meraih gelas yang tadi ia berikan kepada Jingga, isinya sudah hilang separuh.

“Saya lupa Kak, mungkin semalam.”

Awan menggeleng, pemuda itu kemudian berbalik menuju sudut ruangan. Mata Jingga mengawasi seluruh gerakan tubuh Awan, sebenarnya ia ingin menyuruh kedua buah bola matanya untuk berhenti memandangi makhluk rupawan itu, tapi mana bisa ia menolak pemandangan indah seperti ciptaan Tuhan ini. Namanya juga telah dicatat dengan baik oleh hati Jingga.

Saat Awan berbalik, jantung Jingga berdebar lebih cepat. Keringat dingin juga membanjiri tubuhnya.

“Ini dimakan dulu, kalau tidak kamu bisa lebih dari pada pingsan lagi nanti.”

Batang coklat itu terlihat kecil di telapak tangan Awan yang lebar. Jingga menunduk, ia merasa malu dan takut malunya dapat bertambah banyak bila sampai ketahuan wajahnya memerah. Jingga membuka bungkus coklat dengan sangat perlahan dan menggigit ujungnya sedikit.

“Kamu belum menyebutkan namamu?” ada kelembutan di balik suara yang tidak terlalu merdu itu yang membuat hati Jingga merasa ringan dan aman.

“Nama saya Jingga, Kak,” ucap Jingga dengan gugup dan belum berani mengangkat kepalanya. Ia takut kalau Awan tahu wajanya memerah. Selain itu, ia juga bisa saja mengeluarkan seringai dungu seperti tadi.

Seperti mendengar kegugupan dari nada bicara Jingga, Awan tersenyum ramah sekali kemudian ia tertawa dan tawanya renyah.

“Tidak perlu gugup begitu Jingga, saya gak berniat memplonco kamu di sini. Malah saya pikir hal sia-sia. Saya sendiri waktu jadi junior seperti kamu cukup tersiksa walaupun tak sampai pingsan, sehingga saya tidak mau kembali memutar siksaan itu kepada orang lain.”

Mendengar hal itu, Jingga bertambah malu, ujung telinganya terasa panas dan pasti hal itu tertangkap jelas oleh mata Awan.

 “Bukan-bukan seperti itu maksud saya.”

Mereka terdiam dalam situasi yang aneh. Jingga berusaha memecah kesunyian di antara mereka berdua, ia berusaha berbicara dengan intonasi sehalus mungkin.

“Kakak tingkat berapa?”

“Tahun ini tahun ketiga saya. Kamu bukan berasal dari Jakarta, ya?”

“Saya dari Surabaya. Orang tua saya berada di sana, di sini saya tinggal dengan bude saya.”

“Saya juga bukan berasal dari sini, seluruh keluarga saya saat ini tinggal di Semarang.”

 “Oh, begitu."

“Tapi dulu sewaktu saya masih kecil, saya dan keluarga saya tinggal di Jakarta sampai kira-kira umur saya menginjak lima tahun barulah keluarga besar saya memutuskan untuk kembali pulang kampung. Dan sekarang saya kembali ke Jakarta untuk meneruskan studi saya.”

Jingga memperhatikan seniornya itu berbicara tanpa berkedip. Jingga merasa telah melihat bintang purba terbit. Bintang itu telah berevolusi dengan cepat menjadi bintang utama bagi eksistensi hati, jiwa dan hidupnya.

***

   Awan menyentuh pipi Jingga dengan lembut. Kelembutan tangannya bak menyentuh kain sutera tipis dari India.

“Kamu melamun, ya?”

Jingga tersadar dari perjalanannya yang singkat menjelajahi kembali waktu, waktu kali pertama ia jatuh cinta pada pemuda itu.

“Aku lapar, ayo kita makan! ”

Jingga menarik tangan Awan dengan gaya posesif. Mereka duduk di bangku kantin yang memang tidak besar tapi sangat rapi dan bersih. Awan sudah memesan makanan dan minum kesukaan mereka berdua.

“Kamu masih marah?” Awan menatap Jingga sambil menahan sendok yang terisi penuh dengan nasi melayang di udara.

“Enggak.”

“Lalu, apa yang salah?”

Jingga menarik satu napas panjang.

“Awan kamu tahukan kondisi Indonesia sedang tidak baik? Jakarta membara, bukan, bukan hanya Jakarta tapi seluruh tubuh negeri ini,” ucap Jingga pelan.  “Aku tahu kamu tidak peduli dengan politik secara keseluruhan, aku juga tahu bahwa bagimu cita-cita untuk menjadi dokter yang luhur adalah impian utama kamu, ormawa kampus dan segalanya bukanlah dunia yang menarik hatimu, tapi tolong dengarkan aku!” 

“Aku dengarkan, Jingga.”

Jingga membuat suaranya lebih pelan lagi, ia kemudian mencondongkan tubuhnya mendekati tubuh Awan yang berada di seberang meja. “Mahasiswa akan kembali turun ke jalan minggu depan, semuanya akan turun. Aku tak tahu bagaimana ini semua akan berakhir. Tapi kamu perlu berhati-hati. Kalau terjadi sesuatu sama kamu, aku bisa gila!” 

Awan menyentuh jari tangan Jingga, sudah dua tahun ini ia berpacaran dengan adik tingkatnya yang amat manis itu. Mereka memang memiliki perbedaan karakter yang cukup berbeda tapi Awan yakin pacar pertamanya ini adalah satu-satunya gadis yang paling tepat untuk menemani hidupnya hingga tua nanti.

“Aku gak akan pernah membiarkan kamu berubah jadi wanita gila.”

“Awan aku serius. Kamu tahukan masih ada sentimen tersendiri untuk orang-orang seperti kamu?”

Mata mereka saling bertemu. Melihat pandangan lembut Awan padanya membuat rasa kesal Jingga menguap. Ia tidak ingin membuat Awan sedih.

“Oh ya, menurut ramalan bintang yang aku baca di majalah kemarin lusa, Taurus minggu depan akan mendapatkan sebuah kejutan tidak terduga,” katanya mencoba mencairkan suasana.

Awan mengangkat kedua alisnya bersamaan. Ia selalu menganggap astrologi sebagai pseudosains. Katanya astrologi itu seperti sesuatu yang terlihat ilmiah, tetapi tidak masuk akal.

“Mengejutkan. Bagaimana dengan Scorpio?”

Tanggapan Awan membuat Jingga mengulum senyuman.

“Kurang begitu baik. Katanya akan terdapat sebuah perubahan besar bagi Scorpio wanita.

“Kamu pasti akan baik-baik saja, jangan khawatir!”

“Semoga.”

Awan mengangkat kedua bahunya bersamaan, seakan mencoba mengingat sesuatu kedua alis itu saling bertemu mulutnya sudah hendak bersuara namun suara Jingga mendahuluinya.

“Besok jadi jemput aku kan?”

“Jadi. Jam enam sudah siap ya!”

“Baik Tuan besar.” Jingga menampilkan senyumnya yang paling manis.

   Esoknya Jingga bangun mendahului ayam jago yang hendak berkokok. Akhir-akhir ini ia kerap mendapatkan mimpi buruk, utamanya mengenai dirinya sendiri  dan Awan. Tidurnya jadi kurang nyenyak, bangunnya jadi terlalu cepat dari semestinya. Jingga berjalan keluar kamar dan langsung menuju meja telepon di pojok ruangan. Hatinya sempat bimbang dan terus menimbang-nimbang apakah ia batalkan saja niatnya atau tidak.

Ia menepuk-nepuk gagang telepon dengan bimbang. Jingga mendesah pelan, kebimbangannya mulai pupus ketika tekadnya menguat.

“Halo, selamat pagi!” jawab suara dari seberang.

“Hai! Selamat pagi!” Jingga tidak berusaha menutupi kegembiraannya mendengar suara Awan.

“Hahaha! Ternyata kamu! Tumben sudah bangun, telepon pula.” Suara Awan terdengar kaget sekaligus gembira.

Jingga tidak segera menjawab, dia ragu dan sebetulnya tak ingin membicarakan mimpi buruknya mengenai Awan.

“Semalam aku mimpi wajah kadaver yang kamu ceritakan kemarin dulu.” Jingga berbohong.

“Ok, ok lain kali aku hanya akan cerita mayat-mayat yang cantik dan manis saja bagaimana?” goda Awan.

“Yang ganteng?” Jingga menantang Awan, ia tahu ia sedang digoda.

“Ya, jangan dong! Nanti kamu kecantol lagi.” Jawab Awan mantap.

Jingga menjulurkan lidahnya, ia lupa bahwa Awan tidak ada di hadapannya saat ini.

“Kok kamu udah bangun sih?”

“Iya, aku baru kelar jogging nih.” Terdengar Awan sedang menyeruput air.

“Rajin sekali kamu, tapi jangan sampai kehabisan tenaga untuk nanti malam!” goda Jingga.

“Tergantung apa yang akan kamu kenakan nanti,” canda Awan diiringi suara tawanya yang sangat khas di gendang telinga Jingga.

“Ih dasar,” keluh Jingga berlagak kesal.

Sejak pacaran mereka memang seperti itu, sering dan saling menggoda tapi mereka sama-sama tahu bahwa mereka bukan manusia yang tidak dapat menahan diri atas hawa nafsu mereka, mereka tidak pernah melakukan apa-apa di luarbatas kewajaran.

“Udah ah, aku mau sarapan dulu, jangan sampai telat nanti, pokoknya kalau telat aku akan kasih hukuman.”

“Baik, nona besar.”

Jingga menutup teleponnya, hatinya sudah terasa lebih ringan. Tiba-tiba ia terkenang perkataan Budennya.

“Nak Awan itu calon suami idaman, top!”

Jingga kembali tersenyum riang, tangannya telah membuka lemari es bagian atas, di dalamnya terdapat sebuah kotak berwarna kuning. Ia mengambil kotak itu dan membuka tutupnya, di dalamnya terdapat sebuah batang coklat. Coklat itu masih terlihat baik, itu adalah coklat pemberian Awan saat pertama kali mereka bertemu, setelah puas memandangnya ia kembali memasukkan coklat itu ke dalam kotak keramat, kotak yang tidak boleh dibuka dan disentuh oleh siapapun.

***

   Pukul lima sore Awan sudah menampakkan dirinya di muka restoran rawon yang terkenal di kawasan Pasar Baru.  Melihat Awan datang girang betul hati Bude Yanti, buru-buru disambutnya calon keponakan kesayangannya yang ngganteng itu. Awan pun membalas antusiasme Bude Yanti dan segera saja anak muda itu diseret menuju rumahnya yang menempel tepat di belakang  restoran.

“Nak Awan makan dulu ya sebelum pergi.”

Sebenarnya itu adalah kalimat perintah dan yang diberi perintah pun dengan senang hati langsung menyetujuinya, sebab meski tubuhnya atletis tapi Awan memiliki nafsu makan yang sangat besar dan bukan rahasia lagi bahwa ia adalah penggemar berat rawon bude Yanti.

“Nak Awan tunggu di sini ya biar Bude suruh Pak Pri siapin rawon spesial buat kamu dulu, sebentar lagi Jingga turun kok.”

Awan duduk di meja makan keluarga Bude Yanti, dia sudah sangat hafal seluk beluk rumah Bude Yanti, semua perabotan bergaya jawa dan terbuat dari kayu utamanya kayu jati. Tak lama kemudian Bude Yanti datang dengan Mbok Nah pembantu di rumah itu.

“Bude banyak sekali.”

“Halah pasti juga habis sama kamu.”

“Masa nggak habis sih Bude, wong rawon enak gini kebangetan kalau sampe gak di abisin.”

Bude Yanti tersenyum girang, puas mendengar jawaban dari Awan.

“Saya makan ya Bude, Mbok Nah.”

Awan membuat tanda salib dengan gerakan yang amat cepat di depan dadanya. Hidungnya mengambang mencium aroma rawon, lidahnya terlanjur basah membayangkan lembutnya daging sandung lawur yang lembut menyentuh dinding mulutnya.

“Enak betul Bude, wah kalau saya tinggal di sini bisa-bisa berat badan saya bertambah banyak. Tangan Pak Pri emang yang paling top.”

Wajah Awan berubah menjadi sedikit kemerahan akibat terkena uap kuah rawon, jempolnya mengacung ke atas kepada Pak Pri juru masak Bude Yanti yang baru saja bergabung di ruangan. Dia tersenyum ramah pada Awan, setelah itu wajahnya berubah menjadi serius begitupun dengan wajah Bude Yanti lalu dengan terburu-buru mereka meninggalkan Awan seorang diri.

Dengan cepat satu centong nasi dan semangkok penuh dagin rawon berkurang setengah isinya, saat sedang asyik mengunyah suara Jingga yang tegas terdengar berisik di ujung tangga. Saat Awan mengangkat kepalanya, daging yang baru saja ditelannya hampir saja tersangkut di tenggorokannya.

“Hai!” sapa Jingga penuh semangat.

Awan terbatuk-batuk, setelah selesai dengan persoalannya ia kembali mengangkat kepalanya matanya terbelalak, memperlihatkan ekspresi yang lucu bagi Jingga.

“Mata kamu bisa copot tau gak!” Tangan kanan Jingga menyodorkan segelas air putih sementara tangan kirinya menggendong Sasti.

Awan mengeluarkan tiga buah permen loli dari kantong kemeja pendek dan memberikanya kepada Prasasti yang langsung disambut gembira oleh pipi montoknya. Prasasti merupakan satu-satunya anak Bude Yanti dengan suaminya yang meninggal dua tahun yang lalu setelah menjadi korban tabrak lari, ia adalah anak yang telah ditunggu selama belasan tahun oleh pasangan suami istri pekerja keras itu.

“Mata kamu bisa copot tau kalau kamu terus mendelik seperti itu.”

“Untung kamu ke kampus gak pernah dandan seperti ini.”

Jingga mengayun-ayunkan pinggulnya sehingga flanel yang ia ikat di pinggangnya bergerak ke kanan dan kiri, ia mengenakan kaos ketat warna kenari tanpa lengan dan mom jeans.

Hari itu Jingga memang terlihat lebih cantik dari biasanya, ia menguncir rambutnya tinggi betul sehingga menonjolkan fitur wajahnya yang mungil. Ia menyapukan sedikit perona pipi ke atas tulang pipinya yang halus dan tidak lupa bibirnya ia pulas dengan pelembab bibir berwarna merah tua yang terlihat samar-samar di atas bibirnya yang berwarna pucat.

“Kenapa? Takut kalah saing ya?” jawab Jingga, ia tahu betul bahwa hari ini dia dua kali terlihat lebih cantik dan menarik, telinga Awan berwarna kemerahan.

Bude Yanti kembali masuk ke dalam ruangan dengan wajah lega, sepertinya persoalan genting di restoran telah beres.

“Eh, eh, Sasti, ayo sini jangan ganggu orang pacaran!” Bude Yanti mengambil Sasti dari pelukan Jingga dan kembali berlalu dengan senyum usil di wajahnya.

“Ayo habiskan makananmu, lalu kita pergi!” Awan menuruti ucapan Jingga dengan patuh.

***

   Sepulangnya nonton film di Blok M-Plaza, Jingga berubah menjadi lebih diam dari biasanya dan hal itu membuat Awan cemas.

“Jingga kamu tahu enggak, andaikata kita hidup dan menjadi warga di planet lain yang berjarak enam puluh juta tahun cahaya maka kemungkinan kita masih bisa melihat dinosaurus hidup di bumi.” Awan berusaha membuka obrolan.

Jingga masih diam saja, sepertinya ia tidak begitu memperhatikan ucapan Awan dan Awan tidak menyerah ia teringat dengan sesuatu yang disukai pacarnya.

“Ngomong-ngomong kamu tahu gak awal mula astrologi modern dari siapa?” Akhirnya Jingga menengok mulai memperhatikannya, dia menggeleng ringan. “Claudius Ptolemaeus sang ahli astrologi dari Alexandria! Tapi, beliau juga ahli astronomi loh.” Jelas Awan disertai senyum lebar di wajahnya, ia yakin kekasihnya itu akhirnya tertarik dengan pembahasannya. 

Jingga memperhatikan Awan terus bicara dengan penuh semangat memamerkan pengetahuannya.

“Awan!” Jingga menyala ucapan Awan.

“Kamu gak akan pernah lupain aku kan?” suara Jingga terdengar seperti hendak menangis.

“Tentu saja tidak! Sayangku, apa kamu ada masalah atau apa?”

“Kamu janji gak akan pernah pergi dari hidup aku demi alasan apa pun?”

“Tentu saja. Kenapa kamu berpikir kalau aku bakal pergi ninggalin kamu?”

“Bukan apa-apa, aku cuma khawatir.” Jingga menggigit lidahnya, rasanya ia ingin menceritakan seluruh mimpi buruknya tetapi sesuatu memberatkan ujung lidahnya.

“Kamu enggak perlu khawatir soal itu. Aku janji enggak bakal ninggalin kamu.” Awan menyerahkan jari kelingking pada Jingga.

“Kamu hanya akan cinta sama aku aja kan?”

Awan mengecup kening Jingga dengan penuh kasih sayang, dibelainya pipi Jingga dengan ujung bibirnya.

“”Tentu saja.” Awan kini menatap Jingga lekat-lekat. “Apa yang membuat kamu berpikir aku akan mencintai wanita lain? Pernahkah kamu melihat aku melirik nakal pada perempuan lain?”

Jingga menempelkan kelingkingnya pada kelingking Awan dan kepalanya menggeleng beberapa kali.

“Tidak, kamu sempurna.”

“Meski aku belum membeli cincin bermata besar dan indah untukmu?” ucap Awan dengan raut wajah serius.

Mendengar itu Jingga tersenyum dan memeluk Awan dengan erat.

“Kamu tetap sempurna tanpa itu. Aku tak ingin batu permata yang besar, aku hanya ingin terus melihatmu dari pagi saat aku terjaga hingga malam ketika tubuhku lelah.”